Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gastritis atau yang secara umum dikenal dengan sakit maag atau sakit

pada lambung ialah peradangan pada dinding lambung, terutama pada selaput

lendir lambung. Keadaan ini dapat diakibatkan oleh makanan yang mengiritasi

mukosa lambung, pengeluaran mukosa lambung yang berlebihan oleh sekret

lambung, sendiri dan kadang-kadang karena peradangan bakteri. Kondisi lainnya

yang sering menimbulkan gastritis adalah iritasi atau penipisan selaput lambung

akibat konsumsi minuman beralkohol (Widjadja, 2009).

Gastritis sering terjadi di setiap daerah, baik di perkotaan maupun di

pedesaan yang mengancam setiap orang tanpa mengenal usia, jenis kelamin

maupun status sosial. Penyakit gastritis sering muncul secara spontan dimana

kejadian ini bisa terjadi apabila pola makan tidak teratur dengan kebiasaan makan

makanan yang merupakan pantangan misalnya terbiasa makan makanan yang

mengandung gas, berbumbu pedas berlebihan, obat-obatan, alkohol, infeksi

kuman Helikobactery pylori serta adanya tekanan psikologis karena adanya

masalah ekonomi atau masalah keluarga (Fahrial, 2010).

Sakit maag (gastritis) tidak dapat kita anggap remeh karena gastritis yang

tidak diobati dapat mengakibatkan tukak lambung, pendarahan lambung, bahkan

kanker lambung, dan wanita hendaknya lebih waspada karena 60% dari penderita

gastritis adalah wanita. Penyebabnya antara lain wanita lebih tertutup dan mudah

mengalami stress, memiliki kebiasaan makan tidak teratur, dan sering melakukan

diet yang salah (Yuliarti, 2009).

Anak usia muda merupakan kelompok umur yang rentang terhadap

kejadian gastritis. Hal ini disebabkan karena ada kecenderungan gaya hidup yang

tidak sehat yang dilakukan oleh remaja yang dapat memicu terjadinya gastritis

pada usia muda. Mereka kadangkala tidak memperhatikan pola makannya dengan

makan tidak teratur demi berkumpul dengan temannya dimana kadangkala di

1
kalangan remaja ada semboyan makan tidak makan asal kumpul. Selain itu,

usia muda atau usia muda merupakan masa pencarian identitas dimana mereka

siap melakukan apasaja asal dapat diterima di lingkungan pergaulannya termasuk

mengkonsumsi minuman beralkohol dan merokok. Apabila mereka tidak

didukung oleh pola asuh orang tua yang baik, maka mereka dapat terbawa oleh

lingkungannya (Suharyanto, 2005).

Anak usia muda pada masa kini mengalami banjir stres yang datang dari

perubahan sosial yang cepat dan membingungkan serta harapan masyarakat yang

menginginkan mereka melakukan peran dewasa sebelum mereka masak secara

psikologis untuk menghadapinya. Tekanan-tekanan tersebut menimbulkan akibat

seperti kegagalan di sekolah, penyalahgunaan obat-obatan, depresi dan bunuh

diri, keluhan-keluhan somatik dan kesedihan yang kronis, serta gastritis (Elkind

dan Postman dalam Widyandana, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Fahrial (2010) di lima wilayah kota di

Jakarta mendapatkan sekitar 50% dari sampel penelitian mengalami sakit maag

dimana sebagian besar di antaranya adalah remaja. Menurut data Indonesia

Environmental Health Country Profile WHO pada tahun 2001 kejadian gastritis

menempati urutan kedelapan dari sepuluh penyakit peringkat utama dengan

proporsi sebesar 4,5%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Masriani

(2007) menemukan bahwa faktor yang berkaitan dengan kejadian gastritis adalah

tingkat stress, pola makan, dan jenis makanan.

Data tentang gastritis di Sulawesi Selatan pada tahun 2008, kasus baru

penderita gastritis pada pasien rawat jalan di rumah sakit sebesar 979 kasus.

Sedangkan pada penderita gastritis yang dirawat inap di rumah sakit sebesar 294

kasus (Dinkes Sulsel, 2009). Data dari Puskesmas Togo-Togo didapatkan kasus

gastritis pada tahun 2014 sebanyak 91 penderita, tahun 2015 sebanyak 102

penderita, dan tahun 2016 sebanyak 135 penderita . Adapun jumlah penderita

gastritis pada usia muda pada tahun 2016 sebanyak 60 orang (48,1%) (Rekam

Medik Puskesmas Togo-Togo, 2016).

2
Data tersebut di atas memberikan gambaran bahwa jumlah penderita

gastritis terus meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun dimana distribusi

kejadian gastritis lebih banyak terjadi pada usia muda (48,1%) dibandingkan

dengan usia yang lain. Walaupun tidak ada data yang pasti tentang kejadian

gastritis pada usia muda dari tahun ke tahun di Puskesmas Togo-togo, namun

berdasakan pengalaman peneliti selama bekerja beberapa tahun di wilayah

tersebut, peneliti melihat adanya kecenderungan insidensi yang cukup signifikan

pada usia muda yang semakin lama semakin meningkat yang mungkin

disebabkan karena pola hidup mereka yang tidak teratur. Oleh karena itu peneliti

merasa tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

gastritis pada usia muda di Puskesmas Togo-Togo.

B. Manfaat Penelitian

1. Bagi Dinas Kesehatan

Hasil penelitian ini merupakan informasi yang berharga tentang factor-faktor

yang mempengaruhi kejadian gastritis pada usia muda di Puskesmas Togo-

Togo.

2. Bagi puskesmas

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan bagi puskesmas dalam

upaya menurunkan angka kejadian gastritis pada masyarakat.

3. Bagi institusi pendidikan

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi mahasiswa dalam

penanganan gastritis.

3
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG GASTRITIS

A. Tinjauan Umum Tentang Gastritis

1. Definisi

Gastritis atau lebih dikenal sebagai maag berasal dari bahasa yunani

yaitu gastro, yang berarti perut/lambung dan it is yang berarti

inflamasi/peradangan. Gastritis bukan merupakan penyakit tunggal, tetapi

terbentuk dari beberapa kondisi yang kesemuanya itu mengakibatkan

peradangan pada lambung. Biasanya, peradangan tersebut merupakan akibat

dari infeksi oleh bakteri yang sama dengan bakteri yang dapat mengakibatkan

borok di lambung yaitu Helicobacter pylori. Selain itu, beberapa factor

dikaitkan dengan gastritis seperti trauma fisik dan pemakaian secara terus

menerus beberapa obat penghilang sakit dapat juga menyebabkan gastritis

(Yuliarti, 2009).

Pada beberapa kasus, gastritis dapat menyebabkan terjadinya borok

(ulcer) dan dapat meningkatkan resiko dari kanker lambung. Akan tetapi bagi

banyak orang, gastritis bukanlah penyakit yang serius dan dapat segera

membaik dengan pengobatan.

2. Penyebab

Lambung adalah sebuah kantung otot yang kosong, terletak pada

bagian kiri atas perut tepat dibawah tulang iga. Lambung orang dewasa

mempunyai panjang berkisar antara 10 inchi dan dapat mengembang untuk

menampung makanan atau minuman sebanyak 1 gallon. Bila lambung dalam

keadaan kosong, maka ia akan melipat, mirip seperti sebuah akordion. Ketika

lambung mulai terisi dan mengembang, lipatan - lipatan tersebut secara

bertahap membuka (Susilo, 2010).

Lambung memproses dan menyimpan makanan dan secara bertahap

melepaskannya ke dalam usus kecil. Ketika makanan masuk ke dalam

4
esophagus, sebuah cincin otot yang berada pada sambungan antara esophagus

dan lambung (esophageal sphincter) akan membuka dan membiarkan

makanan masuk ke lambung. Setelah masuk ke lambung cincin in menutup.

Dinding lambung terdiri dari lapisan lapisan otot yang kuat. Ketika makanan

berada di lambung, dinding lambung akan mulai menghancurkan makanan

tersebut. Pada saat yang sama, kelenjar - kelenjar yang berada di mukosa pada

dinding lambung mulai mengeluarkan cairan lambung (termasuk enzim -

enzim dan asam lambung) untuk lebih menghancurkan makanan tersebut.

Salah satu komponen cairan lambung adalah asam hidroklorida.

Asam ini sangat korosif sehingga paku besi pun dapat larut dalam cairan ini.

Dinding lambung dilindungi oleh mukosa - mukosa bicarbonate (sebuah

lapisan penyangga yang mengeluarkan ion bicarbonate secara regular

sehingga menyeimbangkan keasaman dalam lambung) sehingga terhindar dari

sifat korosif asam hidroklorida (Yuliarti, 2009).

3. Faktor resiko

a. Infeksi kuman Helicobacter pylori.

b. Sedang mengonsumsi obat-obatan steroid, beberapa antibiotik seperti

sulfa, eritromisin & metronidazol, histamin, dan kafein.

c. Sedang menggunakan obat aspirin atau antiradang non steroid

d. Memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol

e. Memiliki kebiasaan merokok.

f. Sering mengalami stress.

g. Waktu makan yang tidak teratur, sering terlambat makan, atau makan

berlebihan.

h. Terlalu banyak makan makanan yang pedas dan asam.

i. Sering mengalami refluks usus-lambung (aliran balik makanan dari usus

ke lambung) (Yuliarti, 2009).

5
4. Tanda dan gejala

Biasanya mempunyai gejala mual dan sakit pada perut bagian atas,

sedangkan gastritis kronis yang berkembang secara bertahap biasanya

mempunyai gejala seperti sakit yang ringan pada perut bagian atas dan terasa

penuh atau kehilangan selera. Bagi sebagian orang, gastritis kronis tidak

menyebabkan apapun (Susilo, 2010).

Kadang, gastritis dapat menyebabkan pendarahan pada lambung,

tapi hal ini jarang menjadi parah kecuali bila pada saat yang sama juga terjadi

borok pada lambung. Pendarahan pada lambung dapat menyebabkan muntah

darah atau terdapat darah pada feces dan memerlukan perawatan segera.

Karena gastritis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit

pencernaan dengan gejala-gejala yang mirip antara satu dengan yang lainnya,

menyebabkan penyakit ini mudah dianggap sebagai penyakit lainnya seperti

(Yuliarti, 2009):

a. Gastroenteritis

Juga disebut sebagai flu perut (stomach flu), yang biasanya terjadi akibat

infeksi virus pada usus. Gejalanya meliputi diare, kram perut dan mual

atau muntah, juga ketidaksanggupan untuk mencerna. Gejala dari

gastroenteritis sering hilang dalam satu atau dua hari sedangkan untuk

gastritis dapat terjadi terus menerus.

b. Heart burn

Rasa sakit seperti terbakar yang terasa di belakang tulang dada ini

biasanya terjadi setelah makan. Hal ini terjadi karena asam lambung naik

dan masuk ke dalam esophagus (saluran yang menghubungkan antara

tenggorokan dan perut). Heartburn dapat juga menyebabkan rasa asam

pada mulut dan terasa sensasi makanan yang sebagian sudah dicerna

kembali ke mulut

6
c. Stomach ulcers

Jika rasa perih dan panas dalam perut terjadi terus menerus dan parah,

maka hal itu kemungkinan disebabkan karena adanya borok dalam

lambung. Stomach (peptic) ulcer atau borok lambung adalah luka terbuka

yang terjadi dalam lambung. Gejala yang paling umum adalah rasa sakit

yang menjadi semakin parah ketika malam hari atau lambung sedang

kosong. Gastritis dan stomach ulcers mempunyai beberapa penyebab yang

sama, terutama infeksi H. pylori. Penyakit ini dapat mengakibatkan

terjadinya gastritis dan begitu juga sebaliknya.

d. Non-ulcer dyspepsia

Merupakan kelainan fungsional yang tidak terkait pada penyakit tertentu.

Penyebab pasti keadaan ini tidak diketahui, tetapi stress dan terlalu banyak

mengkonsumsi gorengan, makanan pedas atau makanan berlemak diduga

dapat mengakibatkan keadaan ini. Gejalanya adalah sakit pada perut atas,

kembung dan mual (Susilo, 2010).

5. Patofisiologi

Lambung memproduksi asam lambung dalam jumlah yang sesuai

untuk mengaktifkan berbagai enzim pencernaan yang akan mencerna makan

kita. Pada keadaan tertentu yang diakibatkan oleh faktor resiko di atas, asam

lambung diprosuksi dalam jumlah berlebih. Untuk mengatasinya, lambung

akan membentuk mekanisme pertahanan, yaitu dengan memproduksi lendir

yang berfunsi melindungi dinding lambung dan membuang keleibhan asam

tersebut. Namun, jika produksi asam lambung terus meningkat, mekanisme

pertahanan lambung pun tidak berjalan dengan baik, maka asam lambung

akan meniritasi dinding lambung dan menyebabkan luka sehingga terjadi

gastritis.

6. Pengobatan

Obat-obatan yang biasanya diberikan dokter bertujuan untuk

mengembalikan kesimbangan asam dalam lambung baik berupa obat-obat

7
yang menetralkan asam lambung seperti antasida atau yang mengurangi

produksi dari asam lambung yang ada seperti cimetidine atau ranitidine

(Yuliarti, 2009).

Eradikasi Helicobacter pylori merupakan cra pengobatan yang

dianjurkan untuk gastritis kronis yang ada hubungannya dengan infeksi oleh

kuman tersebut. Eradikasi dapat dicapai dengan pemberian kombinasi

penghambat pompa proton dan antibiotic. Antibiotik dapat berupa tetrasiklin,

metronidasol, dan amoksisillin. Kadang-kadang diperlukan lebih dari satu

macam antibiotic untuk mendapatkan hasil pengobatan yang baik (Hirlan,

2001).

7. Pencegahan

Pencegahan utama dari gastritis adalah dengan menjaga keseimbangan

zat yang ada dalam lambung misalnya dengan mengatur pola makan yang

teratur dan tidak mengkonsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama,

alkohol, atau zat kimia lain yang dapat merusak dinding lambung. Sebaiknya

dihindari makanan dengan rasa asam dan pedas (Yuliarti, 2009).

B. Tinjauan umum tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

gastritis

Gastritis biasanya terjadi ketika mekanisme pelindung ini kewalahan dan

mengakibatkan rusak dan meradangnya dinding lambung. Beberapa kondisi yang

dapat mengakibatkan terjadinya gastritis antara lain:

1. Pola Makan

Pola makan adalah tingkah laku manusia atau sekelompok manusia

dalam memenuhi kebutuhan akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan,

dan pemilihan makanan (Satriono, 2004).

Pola makan setiap orang berbeda-beda tergantung pada selera,

kebiasan, agama, pendidikan, pengetahuan, pendapatan, serta keadaan sekitar

lingkungannya (Masriani, 2007).

8
Gaya hidup dan budaya yang demikian jelas akan mempunyai

dampak tertentu yang dapat bersifat positif atau negatif terhadap status gizi

dan kesehatan. Kebiasaan hidup seseorang yang yang berdampak negatif

terhadap kesehatan berupa terbiasa untuk makan pada saat ada kesempatan

tidak memberikan waktu khusus untuk makan. Begitu juga pada prinsipnya

yang penting bisa mendatangkan kenyang tanpa memperhitungkan akibat dari

konsumsi makanan tersebut (Suhardjo, 2003).

Selain itu, ada saat-saat tertenut seseorang begitu sibuknya sehingga

tidak lagi memperhatikan waktu makan dan jumlah kumulatif seharusnya

yang mereka makan. Kebiasaan ini rentan terhadap timbulnya gejala gatritis

(Masriani, 2007).

Hadju (2001 dikutip dalam Masriani 2007) mengungkapkan

lambung umumnya kosong dalam 1-4 jam tergantung dari jumlah dan jenis

makanan yang dikonsumsi. Dalam kondisi normal, konsentrasi asam dan

aktivitas enzim pada lambung akan meningkat dan mencapai puncaknya

maksimal setiap 4 jam setelah makan dan kemudian menurun pada jam

berikutnya. Lamanya lambung menahan jenis makanan berbeda-beda dimana

makin tinggi zat karbohidrat umumnya sekitar 3 jam, tinggi protein sekitar 4

jam, dan tinggi lemak sekita 6 jam.

2. Frekuensi makan

Menurut Hadju (2001 dalam Masriani 2007) lambung umumnya

kosong dalam 1-4 jam tergantung dari jumlah dan jenis makanan yang

dikonsumsi. Dalam kondisi normal, konsentrasi asam dan aktivitas enzim

pada lambung akan meningkat dan mencapai puncaknya maksimal setiap 4

jam setelah makan dan kemudian menurun pada jam berikutnya. Lamanya

lambung menahan jenis makanan berbeda-beda dimana makin tinggi zat

karbohidrat umumnya sekitar 3 jam, tinggi protein sekitar 4 jam, dan tinggi

lemak sekita 6 jam. Secara normal, frekuensi makan yang dianjurkan adalah

minimal 3 kali sehari.

9
3. Jenis makanan

Beberapa makanan yang berpotensi menyebabkan gastritis antara

lain garam, alkohol, rokok, kafein yang dapat ditemukan dalam kopi, teh

hitam, teh hijau, beberapa minuman ringan (soft drinks), dan coklat. Beberapa

macam jenis obat juga dapat memicu terjadinya gastritis. Garam dapat

mengiritasi lapisan lambung. Beberapa penelitian menduga bahwa makanan

bergaram meningkatkan resiko pertumbuhan infeksi Helicobacter pylori.

Makanan yang diketahui sebagai iritan, korosif, makanan yang bersifat asam

dan kopi juga dapat mengiritasi mukosa labung (Susilo, 2010).

Diet pada penderita gastritis adalah diet lambung. Prinsip diet pada

penyakit lambung bersifat ad libitum, yang artinya adalah bahwa diet

lambung dilaksanakan berdasarkan kehendak pasien. Prinsip diet diantaranya

pasien dianjurkan untuk makan secara teratur, tidak terlalu kenyang dan tidak

boleh berpuasa. Makanan yang dikonsumsi harus mengandung cukup kalori

dan protein (TKTP) namun kandungan lemak/minyak, khususnya yang jenuh

harus dikurangi. Makanan pada diet lambung harus mudah dicernakan dan

mengandung serat makanan yang halus (soluble dietary fiber). Makanan tidak

boleh mengandung bahan yang merangsang, menimbulkan gas, bersifat asam,

mengandung minyak/ lemak secara berlebihan, dan yang bersifat melekat.

Selain itu, makanan tidak boleh terlalu panas atau dingin (Wijdaya, 2009).

4. Stress psikologis

Setiap orang mengalami stres dari waktu ke waktu dan umumnya

seseorang dapat menghadapi stres jangka panjang atau menghadapi stres

jangka pendek sampai stres tersebut berlalu. Stres dapat menimbulkan

tuntutan yang besar pada seseorang, dan apabila seseorang tidak bisa

beradaptasi maka dapat terjadi penyakit termasuk gastritis (Perry, 2005).

Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau

infeksi berat dapat menyebabkan gastritis dan juga borok serta pendarahan

pada lambung (Widjaya, 2009).

10
5. Konsumsi alkohol

Alkohol adalah zat kimia yang dapat menyebabkan ketergantungan

karena mempengaruhi reseptor ion channel pada reseptor gamma-

aminobutyric acid (GABA) dan reseptor asam glutamat dalam susunan saraf

pusat.

Pengaruh alkohol secara luas dapat mempengaruhi lambung dengan

merusak selaput lendir lambung sehingga terjadi gastritis, perdarahan

lambung, dan memperburuk penyerapan makanan. Alkohol juga dapat

menyebabkan kelainan pada otot, darah, pankreas, hormon dan jantung. Selain

itu, alkohol juga bisa merusak hatii (Widyandana, 2006).

Menurut Susilo (2010) gastritis juga biasa terjadi pada alkoholik dan

perokok berat. Mengkonsumsi alkohol berlebihan diketahui menyebabkan

gastritis akut. Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding

lambung dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung

walaupun pada kondisi normal.

6. Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus

Obat analgesik anti inflamasi nonsteroid (AINS) seperti aspirin,

ibuprofen dan naproxen dapat menyebabkan peradangan pada lambung

dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas melindungi dinding

lambung. Jika pemakaian obat - obat tersebut hanya sesekali maka

kemungkinan terjadinya masalah lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya

dilakukan secara terus menerus atau pemakaian yang berlebihan dapat

mengakibatkan gastritis dan peptic ulcer (Susilo, 2010).

C. Tinjauan Umum Tentang usia muda

Usia muda seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai

penyimpangan dan tidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-

teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan

gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja

11
karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan

lingkungan (Retnowati, 2010).

Usia muda seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai

penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya

teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan

gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja

karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan

lingkungan.

Hurlock (1973 dikutip dalam Retnowati, 2010) memberi batasan usia muda

berdasarkan usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18 tahun. Menurut

Thornburgh (1982 dikutip dalam Retnowati, 2010), batasan usia tersebut adalah

batasan tradisional, sedangkan aliran kontemporer membatasi usia remaja antara

11 hingga 22 tahun.

Perubahan sosial seperti adanya kecenderungan anak-anak pra-remaja

untuk berperilaku sebagaimana yang ditunjukan remaja membuat penganut aliran

kontemporer memasukan mereka dalam kategori remaja. Adanya peningkatan

kecenderungan para remaja untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan

kerja (magang) setamat SLTA, membuat individu yang berusia 19 hingga 22

tahun juga dimasukan dalam golongan remaja, dengan pertimbangan bahwa

pembentukan identitas diri remaja masih terus berlangsung sepanjang rentang

usia tersebut.

Lebih lanjut Thornburgh membagi usia remaja menjadi tiga kelompok,

yaitu (Suharyanto, 2005):

1. Remaja awal : antara 11 hingga 13 tahun

2. Remaja pertengahan: antara 14 hingga 16 tahun

3. Remaja akhir: antara 17 hingga 19 tahun.

12
Tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja adalah

sebagai berikut:

1. Mencapai hubungan yang baru dan lebih masak dengan teman sebaya baik

sesama jenis maupun lawan jenis

2. Mencapai peran sosial maskulin dan feminin

3. Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif

4. Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa

lainnya

5. Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi

6. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja

7. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan keluarga

8. Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk

tercapainya kompetensi sebagai warga negara

9. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan

secara sosial

10. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku

Hurlock, 1973 dikutip dalam retnowati, 2010).

Elkind dan Postman (dikutip dalam Retnowati, 2010) menyebutkan

tentang fenomena akhir abad duapuluh, yaitu berkembangnya kesamaan

perlakuan dan harapan terhadap anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak masa

kini mengalami banjir stres yang datang dari perubahan sosial yang cepat dan

membingungkan serta harapan masyarakat yang menginginkan mereka

melakukan peran dewasa sebelum mereka masak secara psikologis untuk

menghadapinya. Tekanan-tekanan tersebut menimbulkan akibat seperti kegagalan

di sekolah, penyalahgunaan obat-obatan, depresi dan bunuh diri, keluhan-keluhan

somatik dan kesedihan yang kronis.

Lebih lanjut dikatakan bahwa masyarakat pada era teknologi maju

dewasa ini membutuhkan orang yang sangat kompeten dan trampil untuk

mengelola teknologi tersebut. Ketidakmampuan remaja mengikuti perkembangan

13
teknologi yang demikian cepat dapat membuat mereka merasa gagal, malu,

kehilangan harga diri, dan mengalami gangguan emosional.

Tugas-tugas perkembangan pada usia muda yang disertai oleh

berkembangnya kapasitas intelektual, stres dan harapan-harapan baru yang

dialami remaja membuat mereka mudah mengalami gangguan baik berupa

gangguan pikiran, perasaan maupun gangguan perilaku. Stres, kesedihan,

kecemasan, kesepian, keraguan pada diri remaja membuat mereka mengambil

resiko dengan melakukan kenakalan yang dapat berdapmak pada kesehatannya

(Retnowati, 2010).

Permasalahan akibat perubahan fisik banyak dirasakan oleh remaja

awal ketika mereka mengalami pubertas. Pada remaja yang sudah selesai masa

pubertasnya (remaja tengah dan akhir) permasalahan fisik yang terjadi

berhubungan dengan ketidakpuasan/ keprihatinan mereka terhadap keadaan fisik

yang dimiliki yang biasanya tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkan.

Mereka juga sering membandingkan fisiknya dengan fisik orang lain ataupun

idola-idola mereka. Permasalahan fisik ini sering mengakibatkan mereka kurang

percaya diri. Levine & Smolak (2002 dikutip dalam Asrori, 2010) menyatakan

bahwa 40-70% remaja perempuan merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih

dari bagian tubuhnya, khususnya pada bagian pinggul, pantat, perut dan paha.

Dalam sebuah penelitian survey pun ditemukan hampir 80% remaja ini

mengalami ketidakpuasan dengan kondisi fisiknya (Kostanski & Gullone, 1998

dikutip dalam Asrori, 2010). Ketidakpuasan akan diri ini sangat erat kaitannya

dengan distres emosi, pikiran yang berlebihan tentang penampilan, depresi,

rendahnya harga diri, onset merokok, dan perilaku makan yang maladaptif. Lebih

lanjut, ketidakpuasan akan body image ini dapat sebagai pertanda awal

munculnya gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia (Polivy & Herman,

1999 dikutip dalam Asrori, 2010).

Selain itu, penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang akhir-akhir

ini sudah sangat memprihatinkan. Walaupun usaha untuk menghentikan sudah

14
digalakkan tetapi kasus-kasus penggunaan narkoba ini sepertinya tidak berkurang.

Ada kekhasan mengapa remaja menggunakan narkoba/ napza yang kemungkinan

alasan mereka menggunakan berbeda dengan alasan yang terjadi pada orang

dewasa (Hurlock, 2001).

D. KRITERIA OBJEKTIF

1. Pola makan

Kriteria objektif :

Teratur : bila skor responden 11

Tidak Teratur : bila skor responden < 11

2. Frekuensi makan

Kriteria objektif :

Tidak Cukup : bila responden makan dalam sehari semalam < 3 kali

Cukup : bila responden makan dalam sehari semalam 3 kali

3. Jenis makanan

Kriteria objektif :

Beresiko : bila skor responden 20

Tidak : bila skor responden < 20

4. Stress psikologis

Kriteria Obyektif:

Ya : bila responden menjawab dengan nilai 19

Tidak : bila responden menjawab dengan nilai < 19

5. Konsumsi alkohol

Kriteria objektif :

Ya : bila responden menjawab pernah mengkonsumsi alkohol

Tidak : bila responden menjawab tidak pernah mengkonsumsi alkohol

6. Kejadian gastritis

Kriteria objektif :

Ya : bila responden menjawab dengan nilai 18

Tidak : bila responden menjawab dengan nilai < 18

15
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan penelitian

Rancangan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah

penelitian analitik korelasional dengan menggunakan rancangan cross sectional

study untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian gastritis pada

usia muda di Puskesmas Togo-Togo.

B. Tempat dan waktu penelitian

1. Tempat penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Togo-Togo.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari juni 2017.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah kerja generalisasi yang terdiri atas objek dan

subjek yang karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja yang berada di

Puskesmas Togo-Togo sebanyak 650 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut. Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan

cara purposive sampling yakni pengambilan sampel menurut kriteria peneliti

yang mana kriteria tersebut meliputi:

a. Kriteria inklusi

1) Semua remaja yang berusia 12 sampai 21 tahun yang berdomisili di

Wilayah kerja Puskesmas Togo-Togo.

2) Bersedia untuk menjadi responden

16
b. Kriteria Eksklusi

1) Mengkonsumsi obat analgetik secara rutin.

2) Tidak hadir saat dilakukan penelitian

Adapun penentuan jumlah sampel pada penelitian ini yakni 10% dari

populasi (Sastroasmoro, 2008) yakni sebanyak 61 responden.

(N=10) CI:95%

D. Pengolahan Data dan Analisa Data

Data yang diperoleh kemudian diolah, sedangkan penyajian datanya

dilakukan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dengan presentasi dan

pengolahan tabel. Sebelum data diolah secara sistematik terlebih dahulu

dinyatakan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Seleksi

Hal ini bertujuan untuk mengklasifikasi data yang telah masuk menurut

kategori

2. Editing

Merupakan langkah pemeriksaan ulang atau pengecekan jumlah dan

kelengkapan pengisian kuisioner, apakah setiapa pertanyaan sudah dijawab

dengan tepat. Artinya setelah lembar wawancara diisi kemudian dikumpulkan

dalam bentuk data, dilakukan pengecekan dengan memeriksa kelengkapan

data, kesinambungan dan keseragaman data.

3. Koding

Setelah data masuk, setiap jawaban dikonversi atau disederhanakan ke

dalam angka-angka atau symbol-simbol tertentu sehingga memudahkan dalam

pengolahan data selanjutnya.

4. Tabulasi

Pengelompokan data ke dalam suatu table menurut sifat-sifat yang

dimiliki, kemudian data dianalisa secara statistik.

5. Analisa Data

17
Dilakukan melalui uji hipotesis dan pengolahan data dilakukan dengan

menggunakan program komputer.

a. Analisis univariat

Dilakukan terhadap tiap-tiap variabel penelitian untuk melihat

tampilan didtrisbusi frekuensi dan persentase dari tiap-tiap variabel

independen dan dependen.

b. Analisis bivariat

Analisis ini dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian dan menguji

hipotesis peneliti. Untuk maksud tersebut uji statistic yang digunakan

adalah uji Chi-Square (X2) dengan tingkat kemaknaan (a) : 0,05.

E. Masalah Etika

Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu mendapat adanya

rekomendasi dari institusinya atas pihak lain dengan mengajukan permohonan

izin kepada institusi/lembaga tempat penelitian dan dalam pelaksanaan penelitian

tetap memperhatikan masalah etik meliputi

1. Informed Consent

Lembar persetujuan yang diberikan pada responden yang akan diteliti yang

memenuhi kriteria inklusi.

2. Anonimity

Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama

responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.

3. Confidentiality

Kerahasiaan informasi dari responden dijamin, peneliti hanya melaporkan

data tertentu sebagai hasil penelitian

18
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Togo-Togo.

Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan dari 61 orang maka disajikan

beberapa data sebagai berikut :

Adapun data dari penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut:

1. Distribusi responden menurut karakteristik demografi

Distribusi responden berdasarkan karakteristik demografi meliputi

umur, jenis kelamin, dan pendidikan di Puskesmas Togo-Togo dijabarkan

sebagai berikut: dari segi umur responden sebagian besar berumur 16-20

tahun (63,9%), dari segi jenis kelamin menunjukan responden terbanyak

adalah yang perempuan (55,7%), dan dari segi tingkat pendidikan

menunjukkan bahwa sebagian besar responden tingkat pendidikannya SMP

(42,6%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel 4.1
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi
di Puskesmas Togo-Togo
Tahun 2016
Karakteristik Demografi f %
Umur (dalam tahun) :
15 Tahun 13 21,3
16 20 Tahun 39 63,9
> 20 Tahun 9 14,8
Jenis Kelamin :
Laki-Laki 27 44,3
Perempuan 34 55,7

Pendidikan :
SD 15 24,6
SMP 26 42,6
SMU 20 32,8
Jumlah 61 100,0
Sumber : Data Primer, 2016

19
2. Analisa univariat

a. Pola makan

Tabel 5.2.
Distribusi Responden Berdasarkan Pola Makan di Puskesmas Togo-
Togo Tahun 2016
Pola Makan f %
Tidak Teratur 40 65,6
Teratur 21 34,4
Jumlah 61 100,0
Sumber : Data Primer, 2016

Tabel 5.2. tentang distribusi responden berdasarkan pola

makan di Puskesmas Togo-Togo menunjukkan bahwa sebagian besar

responden (65,6%) pola makannya tidak teratur.

b. Frekuensi makan

Tabel 5.3.
Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Makan di Puskesmas
Togo-Togo Tahun 2016
Pola Makan f %
Tidak Cukup 42 68,9
Cukup 19 31,1
Jumlah 61 100,0
Sumber : Data Primer, 2016

Tabel 5.3. tentang distribusi responden berdasarkan frekuensi

makan di Puskesmas Togo-Togo menunjukkan bahwa sebagian besar

responden (68,9%) frekuensi makannya tidak cukup.

c. Jenis makanan

Tabel 5.4.
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Makanan di Puskesmas
Togo-Togo Tahun 2016
Jenis Makanan f %
Beresiko 42 68,9
Tidak Beresiko 19 31,1
Jumlah 61 100,0
Sumber : Data Primer, 2016

Tabel 5.4. tentang distribusi responden berdasarkan jenis

makanan di Puskesmas Togo-Togo menunjukkan bahwa sebagian besar

responden (68,9%) mengkonsumsi makanan yang beresiko untuk

terjadinya gastritis.

d. Stres psikologis

20
Tabel 5.5.
Distribusi Responden Berdasarkan Stres Psikologis di Puskesmas
Togo-Togo Tahun 2016
Stres Psikologis f %
Ya 14 23,0
Tidak 47 77,0
Jumlah 61 100,0
Sumber : Data Primer, 2016

Tabel 5.5. tentang distribusi responden berdasarkan stress

psikologis di Puskesmas Togo-Togo menunjukkan bahwa sebagian besar

responden (77,0%) tidak mengalami stress psikologis.

e. Konsumsi alkohol

Tabel 5.6.
Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Alkohol di Puskesmas
Togo-Togo Tahun 2016
Konsumsi Alkohol f %
Ya 7 11,5
Tidak 54 88,5
Jumlah 61 100,0
Sumber : Data Primer, 2016

Tabel 5.6. tentang distribusi responden berdasarkan konsumsi

alkohol di Puskesmas Togo-Togo menunjukkan bahwa sebagian besar

responden (88,5%) tidak mengkonsumsi alkohol.

f. Kejadian gastritis

Tabel 5.7
Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Gastritis di Puskesmas
Togo-Togo Tahun 2016
Kejadian Gastritis f %
Ya 34 55,7
Tidak 27 44,3
Jumlah 61 100,0
Sumber : Data Primer, 2016

Tabel 5.7. tentang distribusi responden berdasarkan kejadian

gastritis di Puskesmas Togo-Togo menunjukkan bahwa responden yang

mengalami gastritis lebih banyak (55,7%) dibandingkan responden yang

tidak mengalami gastritis (44,3%).

21
1. Analisa bivariat

a. Pengaruh pola makan dengan kejadian gastritis pada usia muda di

Puskesmas Togo-Togo

Tabel 5.8
Pengaruh Pola Makan dengan Kejadian Kejadian Gastritis Pada Usia
Muda di Puskesmas Togo-Togo
Kejadian Gastritis
Total
Pola Makan Ya Tidak
f % f % f %
Tidak Teratur 27 44,3 13 21,3 40 65,6
Teratur 7 11,4 14 23,0 21 34,4
Jumlah 34 55,7 27 44,3 61 100,0
Sumber : Data Primer, 2016 = 0,05 p= 0,023 OR=4,154

Tabel 5.8 tentang kejadian gastritis pada usia muda di Puskesmas

Togo-Togo berdasarkan pola makan responden menunjukkan bahwa

responden yang pola makannya tidak teratur yang mengalami gastritis

sebanyak 27 (44,3%) dan yang tidak mengalami gastritis sebanyak 13

(21,3%). Sedangkan responden yang pola makannya teratur yang

mengalami gastritis sebanyak 7 (11,4%) dan yang tidak mengalami

gastritis sebanyak 14 (23,0%). Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square

diperoleh nilai p=0,023, hal ini berarti nilai p < (0,05). Hal ini berarti

ada pengaruh pola makan dengan kejadian gastritis pada usia muda di

Puskesmas Togo-Togo. Adapun nilai Odds Ratio (OR)= 4,154 yang

berarti responden dengan pola makan yang tidak teratur beresiko untuk

terjadi gastritis sebanyak empat kali dibandingkan dengan responden

dengan pola makan yang teratur.

b. Pengaruh frekuensi makan dengan kejadian gastritis pada usia muda di

Puskesmas Togo-Togo

Tabel 5.9
Pengaruh Frekuensi Makan dengan Kejadian Kejadian Gastritis Pada
Usia Muda di Puskesmas Togo-Togo
Kejadian Gastritis
Total
Frekuensi Makan Ya Tidak
f % f % f %
Tidak Cukup 30 49,2 12 19,7 42 68,9
Cukup 4 6,5 15 24,6 19 31,1
Jumlah 34 55,7 27 44,3 61 100,0
Sumber : Data Primer, 2016 = 0,05 p= 0,001 OR=9,375

22
Tabel 5.9. tentang kejadian gastritis pada usia muda di Puskesmas

Togo-Togo berdasarkan frekuensi makan responden menunjukkan

bahwa responden yang frekuensi makannya tidak cukup yang

mengalami gastritis sebanyak 30 (49,2%) dan yang tidak mengalami

gastritis sebanyak 12 (19,7%). Sedangkan responden yang frekuensi

makannya cukup yang mengalami gastritis sebanyak 4 (6,5%) dan yang

tidak mengalami gastritis sebanyak 15 (24,6%). Berdasarkan hasil uji

statistik Chi Square diperoleh nilai p=0,001, hal ini berarti nilai p <

(0,05). Hal ini berarti ada pengaruh frekuensi makan dengan kejadian

gastritis pada usia muda di Puskesmas Togo-Togo. Adapun nilai Odds

Ratio (OR)= 9,375 yang berarti responden dengan frekuensi makan yang

tidak cukup beresiko untuk terjadi gastritis sebanyak sembilan kali

dibandingkan dengan responden yang frekuensi makannya cukup.

c. Pengaruh jenis makanan dengan kejadian gastritis pada usia muda di

Puskesmas Togo-Togo

Tabel 5.10
Pengaruh Jenis Makanan dengan Kejadian Kejadian Gastritis Pada Usia
Muda di Puskesmas Togo-Togo
Kejadian Gastritis
Total
Jenis Makanan Ya Tidak
f % f % f %
Beresiko 30 49,2 12 19,7 42 68,9
Tidak Beresiko 4 6,5 15 24,6 19 31,1
Jumlah 34 55,7 27 44,3 61 100,0
Sumber : Data Primer, 2016 = 0,05 p= 0,001 OR=9,375

Tabel 5.10. tentang kejadian gastritis pada usia muda di Puskesmas

Togo-Togo berdasarkan jenis makanan responden menunjukkan bahwa

responden yang jenis makanannya beresiko yang mengalami gastritis

sebanyak 30 (49,2%) dan yang tidak mengalami gastritis sebanyak 12

(19,7%). Sedangkan responden yang jenis makanannya tidak beresiko

yang mengalami gastritis sebanyak 4 (6,5%) dan yang tidak mengalami

gastritis sebanyak 15 (24,6%). Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square

diperoleh nilai p=0,001, hal ini berarti nilai p < (0,05). Hal ini berarti

23
ada pengaruh jenis makanan dengan kejadian gastritis pada usia muda di

Puskesmas Togo-Togo. Adapun nilai Odds Ratio (OR)= 9,375 yang

berarti responden yang mengkonsumsi jenis makanan yang merangsang

peningkatan asam lambung beresiko untuk terjadi gastritis sebanyak

sembilan kali dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi

makanan yang tidak merangsang peningkatan asam lambung.

d. Pengaruh stress psikologis dengan kejadian gastritis pada usia muda di

Puskesmas Togo-Togo

Tabel 5.11
Pengaruh Stress Psikologis dengan Kejadian Kejadian Gastritis Pada Usia
Muda di Puskesmas Togo-Togo
Kejadian Gastritis
Total
Stress Psikologis Ya Tidak
f % f % f %
Beresiko 12 19,7 2 3,3 14 23,0
Tidak Beresiko 22 36,0 25 41,0 47 77,0
Jumlah 34 55,7 27 44,3 61 100,0
Sumber : Data Primer, 2016 = 0,05 p= 0,023 OR=6,818

Tabel 5.11. tentang kejadian gastritis pada usia muda di Puskesmas

Togo-Togo berdasarkan stress psikologis responden menunjukkan bahwa

responden yang mengalami stress psikologis yang mengalami gastritis

sebanyak 12 (19,7%) dan yang tidak mengalami gastritis sebanyak 2

(3,3%). Sedangkan responden yang tidak mengalami stress psikologis

yang mengalami gastritis sebanyak 22 (36,0%) dan yang tidak

mengalami gastritis sebanyak 25 (41,0%). Berdasarkan hasil uji statistik

Chi Square diperoleh nilai p=0,023, hal ini berarti nilai p < (0,05). Hal

ini berarti ada pengaruh stress psikologis dengan kejadian gastritis pada

usia muda di Puskesmas Togo-Togo. Adapun nilai Odds Ratio (OR)=

6,818 yang berarti responden yang mengalami stress psikologis beresiko

untuk terjadi gastritis sebanyak empat kali dibandingkan dengan

responden yang tidak mengalami stress psikologis.

24
e. Pengaruh konsumsi alkohol dengan kejadian gastritis pada usia muda di

Puskesmas Togo-Togo

Tabel 5.12
Pengaruh Konsumsi Alkohol dengan Kejadian Kejadian Gastritis Pada
Usia Muda di Puskesmas Togo-Togo
Kejadian Gastritis
Konsumsi Total
Ya Tidak
Alkohol
f % f % f %
Ya 6 9,8 1 1,7 7 11,5
Tidak 28 45,9 26 42,6 54 88,5
Jumlah 34 55,7 27 44,3 61 100,0
Sumber : Data Primer, 2016 = 0,05 p= 0,121

Tabel 5.12. tentang kejadian gastritis pada usia muda di Puskesmas

Togo-Togo berdasarkan konsumsi alkohol responden menunjukkan

bahwa responden yang mengkonsumsi alkohol yang mengalami gastritis

sebanyak 6 (9,8%) dan yang tidak mengalami gastritis sebanyak 1

(1,7%). Sedangkan responden yang tidak mengkonsumsi alkohol yang

mengalami gastritis sebanyak 28 (45,9%) dan yang tidak mengalami

gastritis sebanyak 26 (42,6%). Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square

diperoleh nilai p=0,121, hal ini berarti nilai p > (0,05). Hal ini berarti

tidak ada pengaruh konsumsi alkohol dengan kejadian gastritis pada usia

muda di Puskesmas Togo-Togo.

B. Pembahasan

1. Pengaruh pola makan dengan kejadian gastritis pada usia muda

Distribusi responden berdasarkan pola makan di Puskesmas Togo-

Togo menunjukkan bahwa sebagian besar responden (65,6%) pola makannya

tidak teratur. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum remaja yang

berdomisili di Puskesmas Togo-Togo pola makannya tidak teratur. Hal ini

disebabkan karena ada kecenderungan gaya hidup yang tidak sehat yang

dilakukan oleh remaja yang dapat memicu terjadinya gastritis pada usia muda.

Mereka kadangkala tidak memperhatikan pola makannya dengan makan tidak

teratur demi berkumpul dengan temannya.

25
Berdasarkan hasil analisa data dengan uji statistik Chi Square

didapatkan ada pengaruh pola makan dengan kejadian gastritis pada usia muda

di Puskesmas Togo-Togo. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Masriani (2007) bahwa ada hubungan pola makan dengan

kejadian gastritis pada mahasiswa keperawatan Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin.

Hadju (2001 dikutip dalam Masriani 2007) mengungkapkan bahwa

lambung umumnya kosong dalam 1-4 jam tergantung dari jumlah dan jenis

makanan yang dikonsumsi. Dalam kondisi normal, konsentrasi asam dan

aktivitas enzim pada lambung akan meningkat dan mencapai puncaknya

maksimal setiap 4 jam setelah makan dan kemudian menurun pada jam

berikutnya. Lamanya lambung menahan jenis makanan berbeda-beda dimana

makin tinggi zat karbohidrat umumnya sekitar 3 jam, tinggi protein sekitar 4

jam, dan tinggi lemak sekita 6 jam.

Gaya hidup dan budaya yang demikian jelas akan mempunyai

dampak tertentu yang dapat bersifat positif atau negatif terhadap status gizi

dan kesehatan. Kebiasaan hidup seseorang yang yang berdampak negatif

terhadap kesehatan berupa terbiasa untuk makan pada saat ada kesempatan

tidak memberikan waktu khusus untuk makan. Begitu juga pada prinsipnya

yang penting bisa mendatangkan kenyang tanpa memperhitungkan akibat dari

konsumsi makanan tersebut (Suhardjo, 2003).

Selain itu, ada saat-saat tertentu seseorang begitu sibuknya sehingga

tidak lagi memperhatikan waktu makan dan jumlah kumulatif seharusnya yang

mereka makan. Kebiasaan ini rentan terhadap timbulnya gejala gatritis

(Masriani, 2007).

Data dari penelitian ini didapatkan responden yang pola makannya

tidak teratur namun tidak mengalami gastritis sebanyak 13 (21,3%) orang dan

responden yang pola makannya teratur yang mengalami gastritis sebanyak 7

(11,4%) orang. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian gastritis pada remaja

26
tidak hanya disebabkan oleh faktor pola makan yang tidak teratur, tetapi dapat

pula disebabkan oleh faktor lain seperti stress psikologis dan obat-obatan.

2. Pengaruh frekuensi makan dengan kejadian gastritis pada usia muda

Distribusi responden berdasarkan frekuensi makan di Puskesmas

Togo-Togo menunjukkan bahwa sebagian besar responden (68,9%) frekuensi

makannya tidak cukup dimana mereka makan pada umumnya hanya dua kali

sehari dimana mereka biasanya tidak sarapan pagi. Kondisi ini bisa memicu

untuk terjadinya gastritis pada remaja. Berdasarkan hasil analisa data dengan

uji statistik Chi Square didapatkan ada pengaruh frekuensi makan dengan

kejadian gastritis pada usia muda di Puskesmas Togo-Togo.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Masriani (2007) bahwa ada hubungan frekuensi makan dengan kejadian

gastritis pada mahasiswa keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin. Menurut Hadju (2001 dalam Masriani 2007) lambung umumnya

kosong dalam 1-4 jam tergantung dari jumlah dan jenis makanan yang

dikonsumsi. Dalam kondisi normal, konsentrasi asam dan aktivitas enzim pada

lambung akan meningkat dan mencapai puncaknya maksimal setiap 4 jam

setelah makan dan kemudian menurun pada jam berikutnya. Lamanya

lambung menahan jenis makanan berbeda-beda dimana makin tinggi zat

karbohidrat umumnya sekitar 3 jam, tinggi protein sekitar 4 jam, dan tinggi

lemak sekita 6 jam. Secara normal, frekuensi makan yang dianjurkan adalah

minimal 3 kali sehari.

Data dari penelitian ini didapatkan responden yang frekuensi

makannya tidak cukup namun tidak mengalami gastritis sebanyak 12 (19,7%)

orang dan responden yang frekuensi makannya cukup namun tetap mengalami

gastritis sebanyak 4 (6,5%). Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor lain yang

berpengaruh dengan kejadian gastritis pada remaja selain faktor frekuensi

makan seperti jenis makanan. Walaupun frekuensi makannya cukup, tetapi

apabila jenis makanan yang dikonsumsi merupakan makanan yang beresiko

27
untuk terjadinya gastritis seperti makanan yang pedas dan makanan yang

banyak mengandung lemak maka gastritis dapat tetap terjadi walaupun

frekuensi makannya cukup.

3. Pengaruh jenis makanan dengan kejadian gastritis pada usia muda

Distribusi responden berdasarkan jenis makanan di Puskesmas Togo-

Togo menunjukkan bahwa sebagian besar responden (68,9%) mengkonsumsi

makanan yang beresiko untuk terjadinya gastritis. Pada umumnya mereka suka

mengkonsumsi gorengan dan makanan yang pedas. Berdasarkan hasil analisa

data dengan uji statistik Chi Square didapatkan ada pengaruh jenis makanan

dengan kejadian gastritis pada usia muda di Puskesmas Togo-Togo.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Masriani (2007) bahwa ada hubungan jenis makanan dengan kejadian gastritis

pada mahasiswa keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Menurut Susilo (2010) beberapa makanan yang berpotensi menyebabkan

gastritis antara lain garam, alkohol, rokok, kafein yang dapat ditemukan dalam

kopi, teh hitam, teh hijau, beberapa minuman ringan (soft drinks), dan coklat.

Beberapa macam jenis obat juga dapat memicu terjadinya gastritis. Garam

dapat mengiritasi lapisan lambung. Beberapa penelitian menduga bahwa

makanan bergaram meningkatkan resiko pertumbuhan infeksi Helicobacter

pylori. Makanan yang diketahui sebagai iritan, korosif, makanan yang bersifat

asam dan kopi juga dapat mengiritasi mukosa lambung.

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh widjaya

(2009) bahwa diet pada penderita gastritis adalah diet lambung. Prinsip diet

pada penyakit lambung bersifat ad libitum, yang artinya adalah bahwa diet

lambung dilaksanakan berdasarkan kehendak pasien. Prinsip diet diantaranya

pasien dianjurkan untuk makan secara teratur, tidak terlalu kenyang dan tidak

boleh berpuasa. Makanan yang dikonsumsi harus mengandung cukup kalori

dan protein (TKTP) namun kandungan lemak/minyak, khususnya yang jenuh

harus dikurangi. Makanan pada diet lambung harus mudah dicernakan dan

28
mengandung serat makanan yang halus (soluble dietary fiber). Makanan tidak

boleh mengandung bahan yang merangsang, menimbulkan gas, bersifat asam,

mengandung minyak/ lemak secara berlebihan, dan yang bersifat melekat.

Selain itu, makanan tidak boleh terlalu panas atau dingin.

Data dari penenelitian ini didapatkan responden yang jenis

makanannya beresiko namun tidak mengalami gastritis sebanyak 12 (19,7%)

orang dan responden yang jenis makanannya tidak beresiko namun tetap

mengalami gastritis sebanyak 4 (6,5%) orang. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa jenis makanan bukanlah merupakan satu-satunya faktor

yang menyebabkan gastritis pada remaja, tetapi dapat pula disebabkan oleh

faktor lain seperti frekuensi makan.

4. Pengaruh stress psikologis dengan kejadian gastritis pada usia muda

Distribusi responden berdasarkan stress psikologis di Puskesmas

Togo-Togo menunjukkan bahwa sebagian besar responden (77,0%) tidak

mengalami stress psikologis. Hal ini terjadi karena pada umumnya masyarakat

yang tidak terkecuali di daerah pedesaan masih hidup rukun dan tidak banyak

tuntutan hidup dimana hal ini bisa memicu terjadinya stress.

Berdasarkan hasil analisa data dengan uji statistik Chi Square

didapatkan ada pengaruh stress psikologis dengan kejadian gastritis pada usia

muda di Puskesmas Togo-Togo. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Masriani (2007) bahwa ada stress psikologis dengan

kejadian gastritis pada mahasiswa keperawatan Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin.

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Perry

(2005) bahwa setiap orang mengalami stres dari waktu ke waktu dan

umumnya seseorang dapat menghadapi stres jangka panjang atau menghadapi

stres jangka pendek sampai stres tersebut berlalu. Stres dapat menimbulkan

tuntutan yang besar pada seseorang, dan apabila seseorang tidak bisa

beradaptasi maka dapat terjadi penyakit termasuk gastritis. Hal senada

29
diungkapkan oleh Widjaya (2009) bahwa stress fisik akibat pembedahan

besar, luka trauma, luka bakar atau infeksi berat dapat menyebabkan gastritis

dan juga borok serta pendarahan pada lambung.

Data dari penelitian ini didapatkan responden yang mengalami stress

psikologis tetapi tidak mengalami gastritis sebanyak 2 (3,3%) orang dan

responden yang tidak mengalami stress psikologis namun tetap mengalami

gastritis sebanyak 22 (36,0%) orang. Hal ini menunjukkan bahwa stress

psikologis hanyalah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan gastritis

pada remaja. Adapun faktor lain yang dapat menyebabkan gastritis pada

remaja seperti pola makan yang tidak teratur dan jenis makanan yang beresiko

seperti gorengan dan makanan yang pedas.

Distribusi responden berdasarkan konsumsi alkohol di Puskesmas

Togo-Togo menunjukkan bahwa sebagian besar responden (88,5%) tidak

mengkonsumsi alkohol. Hal ini menunjukkan bahwa remaja yang berdomisili

di Puskesmas Togo-Togo masih memegang adat dan dan kepercayaannya

dimana alkohol adalah hal yang dilarang oleh agama dan juga budaya

setempat.

Berdasarkan hasil analisa data dengan uji statistik Chi Square

didapatkan tidak ada pengaruh konsumsi alcohol dengan kejadian gastritis

pada usia muda di Puskesmas Togo-Togo

Hasil penelitian ini bertentangan dengan yang dikemukakan oleh

Widyandana (2006) bahwa pengaruh alkohol secara luas dapat mempengaruhi

lambung dengan merusak selaput lendir lambung sehingga terjadi gastritis,

perdarahan lambung, dan memperburuk penyerapan makanan. Alkohol juga

dapat menyebabkan kelainan pada otot, darah, pankreas, hormon dan jantung.

Selain itu, alkohol juga bisa merusak hati.

Selain itu, menurut Susilo (2010) gastritis juga biasa terjadi pada

alkoholik dan perokok berat. Mengkonsumsi alkohol berlebihan diketahui

menyebabkan gastritis akut. Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa

30
pada dinding lambung dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap

asam lambung walaupun pada kondisi normal.

Tidak ditemukannya pengaruh yang bermakna antara konsumsi

alkohol dengan kejadian gastritis dalam penelitian ini disebabkan karena

secara umum remaja yang tinggal di Kabupaten Jeneponto pada umumnya dan

di Puskesmas Togo-togo pada khususnya masih bersifat religius dimana

mereka tidak menjadikan alkohol sebagai konsumsi bagi mereka sehari-hari

karena adanya larangan dari ajaran agama dalam hal ini agama Islam dimna

sebagian besar responden beragama Islam.

Selain itu, secara umum budaya setempat juga tidak membolehkan

untuk mengkonsumsi alkohol sehingga sangat sulit untuk menemukan

pengguna alkohol tertuama pada usia remaja. Hal ini dapat dilihat dari hasil

penelitian ini dimana dari 61 responden yang mengkonsumsi alkohol hanya

sebanyak tujuh orang.

C. Keterbatasan Penelitian

1. Keterbatasan peneliti

Sampel kurang dan tidak merepresentasikan secara keseluruhan di desa Togo-

togo.

2. Keterbatasan waktu

Penelitian di lakukan di wilayah puskesmas Togo-togo yang melingkupi ada 7

desa. Desa yang paling dekat dari puskesmas Togo-togo adalah Desa Togo-

togo sehingga data kebanyakan di peroleh dari desa tersebut.

31
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ada pengaruh pola makan dengan kejadian gastritis pada usia muda di

Puskesmas Togo-Togo

2. Ada pengaruh frekuensi makan dengan kejadian gastritis pada usia muda di

Puskesmas Togo-Togo

3. Ada pengaruh jenis makanan dengan kejadian gastritis pada usia muda di

Puskesmas Togo-Togo

4. Ada pengaruh stress psikologis dengan kejadian gastritis pada usia muda di

Puskesmas Togo-Togo

5. Tidak ada pengaruh konsumsi alkohol dengan kejadian gastritis pada usia

muda di Puskesmas Togo-Togo

B. Saran

1. Diharapkan kepada pihak puskesmas untuk memberikan pengetahuan kepada

masyarakat dan remaja tentang gastritis dan faktor-faktor yang dapat

menyebabkan gastritis seperti pola makan yang tidak teratur, stress

psikologis, dan jenis makanan yang dapat memicu peningkatan asam

lambung.

2. Diharapkan kepada petugas kesehatan untuk memberikan pemahaman pada

penderita dan keluarganya tentang gastritis dan upaya yang dapat dilakukan

untuk mencegahnya.

3. Diharapkan kepada penderita untuk mencegah terjadinya gastritis dengan

pola makan yang teratur serta tidak mengkonsumsi makanan yang dapat

memicu timbulnya gastritis

4. Diharapkan kepada peneliti selanjutknya untuk melakukan penelitian dengan

metode yang lain seperti studi kasus yang terkait dengan kejadian gastritis.

32
DAFTAR PUSTAKA

Asrori, A. (2010) Psikologi Remaja,Karakteristik dan permasalahannya,


www.netsains.com, diakses 1 Oktober 2010

Dianawati, Ajen, (2003) Pendidikan Seks Untuk Remaja, Jakarta: Kawan Pustaka

Fahrial (2001) Menghindari sakit maag, http://www.perspektifbaru.com, Diakses 1


Oktober 2010.

Guyton, A. (2007) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC

Hidayat, A. (2007) riset Keperawatan dan Teknik penulisan ilmiah, Salemba Medika:
Jakarta.

Hirlan (2001) Gastritis, Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit
FKUI: Jakarta.

Hendrawan, N. (2003) Penyakit perut orang Indonesia,


www.kompas.cybermedia.com, Diakses 1 Oktober 2010

Hurlock, E.B. (2001). Psikolgi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang


Kehidupan, Jakarta : Penerbit Erlangga

Masriani, Z. (2007) Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian gastritis pada


mahasiswa ners A tahap akademik Fakultas Kedokteran Universitas
hasanuddin Makassar, Skripsi, tidak dipublikasikan, Makassar: universitas
Hasanuddin

Notoatmodjo, S (2005) Metodologi penelitian kesehatan, Jakarta: PT Rineka Cipta

Nursalam, (2008) Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian ilmu Keperawatan,


Edisi II, Jakarta: Salemba Medika

Retnowati, S. (2010) Remaja dan Permasalahannya, www.netsains.com, diakses 1


Oktober 2010

Sastroasmoro, S. dan Ismael, S. (2005) Dasar-dasar MetodologiPenelitian Praktis.


Jakarta: Binarupa Aksara

Sastroasmoro, S. (2008) Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta: Sagung


Seto

Saryono, (2008) Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Mitra Cendikia Press

Satriono, (2004) Bahan Ajar ilmu Gizi, tidak dipublikasikan, Makassar: Universitas
Hasanuddin

Smeltzer & Bare (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, Jakarta: EGC

Suhardjo (2003) Berbagai Cara pendidikan Gizi, Jakarta: Bumi Aksara

Suharyanto, B. (2005) Kenakalan Remaja, diakses dari Internet http://www.info-


ri.wm/news, Diakses 1 Oktober 2010

Sugiyono, (2008) Metodoilogi penelitian Bandung: Alfabeta.

33
Susilo, A. J. (2010) Gastritis (Maag), www.dokteronline.co.id, Diakses 1 Oktober
2010

Perry, A.G. (2005) Buku Ajar fundamental Keperawatan, Jakarta: EGC

Pratiknya, A.W. (2008) Dasar-Dasar Metodologi penelitian Kedokteran dan


Kesehatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Widyandana, (2006) Sakit lambung, bagaimana terjadinya?,


www.kompas.cybermedia.com, Diakses 1 Oktober 2010

Widjaya, R. (2009) Tindakan pencegahan dan pengobatan secara medis maupun


tradisional, Jakarta: Bee Media Indonesia

Yuliarti, N. (2009) Maag-kenali, hindari, dan obati, Yogyakarta: Penerbit Andi

34

Anda mungkin juga menyukai