Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Uveitis menunjukkan suatu peradangan pada iris (iritis, iridosiklitis), corpus ciliare

(uveitis intermediet, siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis), atau koroid (koroiditis).

Namun, dalam praktiknya, isitilah ini turut mencakup peradangan pada retina (retinitis),

pembuluh-pembuluh retina (vaskulitis retinal), dan nervus opticus intraokular (papilitis).

Uveitis bisa juga terjadi sekunder akibat radang kornea (keratitis), radang sklera (skleritis),

atau keduanya (sklerokeratitis). Uveitis biasanya terjadi pada usia 20-50 tahun dan

berpengaruh pada 10-20% kasus kebutaan yang tercatat di negara-negara maju. Uveitis lebih

banyak ditemukan di negara-negara berkembang dibandingkan negara-negara maju karena

lebih tinggi prevalensinya infeksi yang bisa mempengaruhi mata, seperti toksoplasmosis dan

tuberkulosis di negara-negara berkembang.(Vaughan, 2010).

Peradangan traktus uvealis banyak penyebabnya dan bisa mengenai lebih dari satu

bagian mata secara bersamaan. Uveitis anterior adalah bentuk yang paling umum dan

biasanya unilateral dengan onset akut. Gejala yang khas meliputi nyeri, fotofobia, dan

penglihatan kabur. Pada pemeriksaan, biasanya ditemukan kemerahan sirkumkorneal dengan

injeksi konjungtiva palpebralis dan sekret yang minimal. Pupil kemungkinan kecil (miosis)

atau iregular karena terdapat sinekia posterior. Peradangan yang terbatas pada bilik mata

depan disebut iritis, peradangan pada bilik mata depan dan vitreus anterior sering disebut

sebagai iridosiklitis. Sensasi kornea dan tekanan intraokuler harus diperiksa pada setiap

pasien uveitis. Penurunan sensasi terjadi pada infeksi herpes simpleks atau herpes zoster atau

lepra, sedangkan peningkatan tekanan intraokular bisa terjadi pada iridosiklitis herpes

simplex, herpes zoster, toksoplasmosis, sifilis, sarkoidosis, atau bentuk iridosiklitis lain yang

1
jarang, yang disebut krisis glaukomatosiklitik dikenal juga sebagai sindrom Posner

Schlossman. Sel putih dan debris inflamatorik (keratic precipitate) biasanya tampak jelas

pada endotel kornea pasien dengan peradangan aktif. Keratic precipitate mungkin besar

(mutton fat, atau granulomatosa), kecill (non-granulomatosa), atau stelata. Keratic precipitate

granulomatosa atau non granulomatosa biasanya terdapat disebelah inferior, di daerah

berbentuk baji yang dikenal sebagai segitiga Arlt. Sebaliknya, keratic precipitate stelata

biasanya tersebar rata di seluruh endotel kornea dan dapat dilihat pada uveitis akibat virus

herpes simplex, herpes zoster, toksoplasmosis, iridosiklitis heterokmik Fuch, dan sarkoidosis,

keratic precipitate mungkin juga ditemukan terlokalisasi pada daerah-daerah keratitis aktif

atau prakeratitis, terutama akibat infeksi herpes virus. Nodul-nodul iris dapat terlihat pada

tepi iris noduli Koeppe, di dalam stroma iris (nodul Bussaca), atau pada sudut bilik mata

depan (noduli Berlin). Gambaran penyakit granulomatosa, seperti mutton fat keratic

precipitate atau noduli iris pada uveitis, dapat mengindikasikan adanya penyebab infeksius

atau salah satu dari sejumlah kecil penyebab noninfeksius, seperti sarkoidosis, penyakit Vogt-

Koya-nagi-Harada, oftalmia simpatika, atau uveitis terinduksi lensa. Peradangan bilik mata

depan yang sangat berat dapat menyebabkan timbulnya tumpukan sel-sel radang di sudut

inferior (hipopian). Penyebab uveitis hipopion yang tersering di Amerika Utara dan Eropa

adalah uveitis yang berkaitan dengan HLA-B27; di Asia, penyakit Behcet pada komunitas

agrikultural di daerah-daerah yang lebih lembab di negara-negara berkembang, leptospirosis.

Iris harus diperiksa secara teliti untuk mencari tanda-tanda atrofi transluminasi, yang bisa

mengenai sebagian daerah (sectoral) atau membentuk pola bercak (patchy) pada infeksi virus

herpes simplex atau herpes zoster, atau membentuk pola difus pada iridosiklitis heterokromik

fuch. Adanya sinekia anterior atau posterior juga harus diperhatikan karena keduanya

menimbulkan presdiposisi terhadap glaukoma. (Vaughan, 2010)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Radang uvea dapat mengenai hanya bagian depan jaringan uvea atau selaput

pelangi (iris) dan keadaan ini disebut sebagai iritis. Bila mengenai bagian uvea maka

keadaan ini disebut sebagai sikilitis. Biasanya iritis akan disertai dengan sikilitis yang

disebut sebagai uveitis anterior. Bila mengenai selaput hitam bagian belakang mata

maka disebut koroiditis. (Ilyas, 2014)

Uveitis adalah peradangan uvea yang dapat mengakibatkan kebutaan. Uveitis

dapat disebabkan oleh peradangan di uvea saja, merupakan bagian dari penyakit

sistemik (autoimun, infeksi, keganasan), perluasan peradangan di kornea dan sklera,

trauma, namun sebagian tidak diketahui penyebabnya (idiopatik). Uveitis anterior

adalah inflamasi di iris dan badan siliar dengan gejala nyeri, mata merah, fotofobia,

dan penurunan tajam penglihatan. Uveitis intermediet merupakan peradangan di pars

plana namun sering diikuti vitritis dan uveitis posterior. Gejala uveitis intermediet

biasanya ringan, tidak disertai nyeri dan mata merah namun tajam penglihatan dapat

menurun akibat edema makula dan agregasi sel di vitreus. Uveitis posterior adalah

peradangan di koroid dan retina yang sering terjadi di negara berkembang karena

tingginya penyakit infeksi (toksoplasmosis, tuberkulosis, HIV, sifilis). Pasien

mengeluh penglihatan kabur namun tanpa disertai mata merah, nyeri, atau fotofobia.

Komplikasi uveitis posterior adalah katarak, glaukoma, edema makula, keratopati,

kekeruhan vitreus, ablasio retinae, dan atrofi nervus optik. Prognosis uveitis posterior

lebih buruk dibandingkan uveitis anterior. Panuveitis adalah peradangan seluruh

3
lapisan uvea. Diagnosis uveitis ditetapkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik

dan mata, pemeriksaan laboratorium dan pencitraan. Terapi uveitis ditujukan untuk

menekan inflamasi, perbaikan struktur dan fungsi penglihatan, menghilangkan nyeri

serta fotofobia. Kortikosteroid dan imunosupresan merupakan obat pilihan untuk

mengatasi inflamasi sedangkan NSAID untuk mengurangi nyeri dan sikloplegik untuk

mencegah sinekia posterior. Antimikroba diberikan bila uveitis disebabkan oleh

infeksi. Penyakit yang mendasari uveitis harus diatasi secara komprehensif untuk

mencegah perburukan, komplikasi dan kebutaan. (Sitompul, 2016)

B. Anatomi

Traktus uvealis

Traktus uvealis terdiri dari atas iris, corpus ciliare, dan koroid. Bagian ini

merupakan lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera.

Struktur ini ikut memvaskularisasi retina. (Vaughan, 2010 )

Gambar 1. Anatomi uvea

1. Iris

Iris adalah perpanjangan corpus ciliare ke anterior. Iris berupa permukaan

pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah pupil. Iris bersambungan

4
dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik mata depan dari bilik mata

belakang yang masing-masing berisi aques humor. Di dalam stroma iris terdapat

sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada permukaan

posterior iris merupakan perluasan permukaan retina ke arah anterior. (Vaughan,

2010)

Vaskularisasi iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris

mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga

normalnya tidak membocorkan fluoresin yang disuntikan secara intravena.

Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi ciliares.

Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil

pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas

parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang

ditimbulkan oleh aktivitas simpatis. (Vaughan, 2010)

2. Corpus Ciliare

Corpus ciliare, yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang,

membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm).

Corpus ciliare terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2

mm), dan zona posterior yang datar, pars plana (4 mm). Processus ciliares ini

terutama terbentuk dari kapilare dan vena yang bermuara ke vena-vena vorticosa.

Kapiler-kapilernya besar dan berlubang-lubang sehingga membocorkan fluoresin

yang disuntikan secara intravena. Ada dau lapisan epitel siliaris: suatu lapisan

tanpa pigmen di sebelah dalam, yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior

dan satu lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan

epitel pigmen retina. Prosessus ciliares dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi

sebagai pembentuk aqueus humor. (Vaughan, 2010)

5
Musculus ciliaris, tersusun dari gabungan serat-serat longitudinal, sirkular, dan

radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-

serat zonula, yang berorigo di lembah-lembah di antara processus ciliares. Otot ini

mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai berbagai

fokus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan

pandang. Serat-serat longitudinal musculus ciliaris menyisip ke dalam anyaman

trabekula untuk mempengaruhi besar porinya. Pembuluh-pembuluh darah yang

mendarahi corpus ciliare berasal dari circulus arteriosus major iris. Persarafan

sensoris iris melalui saraf-saraf siliaris. (Vaughan, 2010)

3. Koroid

Koroid terletak di segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera. Koroid

tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang, dan kecil. Semakin

dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam

pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh koroid

dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran posterior. Koroid di

sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di sebelah luar oleh sklera. Koroid

melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus opticus. Di sebelah anterior, koroid

bergabung dengan corpus ciliare. (Vaughan, 2010)

Kumpulan pembuluh darah koroid memvaskularisasi bagian luar retina yang

menyokongnya.

4. Retina

Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan

yang melapisi bagian dalam 2/3 posterior dinding bola mata. Retina membentang

ke anterior hampir sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora serrata dengan tepi

yang tidak rata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang

6
garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm pada sisi nasal. Permukaan luar

retina sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga

berhubungan dengan membran Bruch, koroid, dan sklera. Di sebagian besar

tempat, retina dan epitel pigmen retina mudah terpisah hingga terbentuk suatu

ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasi retina dapat dibatasi. Hal ini

berlawanan dengan ruang subkoroid yang dapat terbentuk antara koroid dan sklera,

yang meluas ke taji sklera, dengan demikan, ablasi koroid akan meluas melampaui

ora serrata, dibawah pars plana dan pars plicata. Lapisan-lapisan epitel pada

permukaan perluasan retina dan epitel pigmen retina ke anterior. Permukaan dalam

retina berhadapan dengan vitreus. (Vaughan, 2010)

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub

posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6 mm,

yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang

pembuluh darah retina temporal. Daerah ini sebagai area centralis, yang secara

histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel ganglionnya lebih

dari satu lapis. Makula lutea secara anatomis didefinisikan sebagai daerah

berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal kuning-xantofil. Fovea yang

berdiameter 1,5 mm ini merupakan zona avaskular retina angiografi fluoresens,

secara histologis, fovea ditandai sebagai daerah yang mengalami penipisan lapisan

inti luar tanpa disertai lapisan parenkim lain. Hal ini terjadi karena akson-akson sel

fotoreseptor berjalan miring (lapisan serabut Henle) dan lapisan-lapisan retina yang

lebih dekat dengan permukaan dalam retina lepas secara sentrifungal. Di tengah

makula, 4 mm lateral dari diskus optikus, terdapat foveola yang berdiameter 0,25

mm, yang secara klinis tampak jelas dengan optalmoskop sebagai cekungan yang

menimbulkan pantulan khusu. Foveola merupakan bagian retina yang paling tipis

7
(0,25 mm) dan hanya mengandung fotorepsetor kerucut. Gambaran histologis

fovea dan foveola ini memungkinkan diskriminasi visual yang tajam; foveola

memberikan ketajaman visual yang optimal. Ruang ekstraseluler retina yang

normalnya kosong cenderung paling besar di makula. Penyakit yang menyebabkan

penumpukan bahan ekstrasel secara khusus dapat mengakibatkan penebalan daerah

ini (edem makula). (Vaughan, 2010)

Retina menerima darah dari dua sumber; koriokapilaris yang berada tepat di luar

membran Bruch, yang mendarahi 1/3 luar retina, termasuk lapisan pleksiform luar

dan lapisan inti luar, fotorepsetor, dan lapisan epitel pigmen retina; serta cabang-

cabang dari arteria centralis retinae, yang mendarahi 2/3 dalam retina. Fovea

seluruhnya divaskularisasi oleh koriokapilaris dan rentan terhadap kerusakan yang

tak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina

mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar darah-

retina. Lapisan endotel pembuluh koroid berlubang-lubang. Sawar darah-retina

sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina. (Vaughan, 2010)

C. Klasifikasi dan Etiologi

The International Uveitis Study Group (IUSG) dan The Standardization of Uveitis

Nomenclatur (SUN) membagi uveitis berdasarkan anatomi, etiologi, dan perjalanan

penyakit. Secara anatomi, uveitis dibagi menjadi uveitis anterior, uveitis intermediet,

uveitis posterior, dan panuveitis sedangkan menurut etiologi, uveitis dibagi menjadi

infeksi (bakteri, virus, jamur, dan parasit), non-infeksi, dan idiopatik. Berdasarkan

perjalanan penyakit, uveitis dibagi menjadi akut (onset mendadak dan durasi kurang

dari empat minggu), rekuren (episode uveitis berulang), kronik (uveitis persisten atau

kambuh sebelum tiga bulan setelah pengobatan dihentikan), dan remisi (tidak ada

gejala uveitis selama tiga bulan atau lebih). (Sitompul,2106)

8
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus uvealis

yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid. Klasifikasi uveitis

dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi secara anatomis, klinis,

etiologis, dan patologis. Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral,

biasanya terjadi pada orang dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus

penyebabnya tidak diketahui. (Kuswandari, 2012)

1. Klasifikasi anatomis (Kuswandari, 2009)

a) Uveitis anterior

Merupakan inflamasi yang terjadi terutama pada iris dan korpus siliaris atau

disebut juga dengan iridosiklitis.

b) Uveitis intermediet

Merupakan inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer yang disertai

dengan peradangan vitreous.

c) Uveitis posterior

Merupakan inflamasi yang mengenai retina atau koroid.

d) Panuveitis

Merupakan inflamasi yang mengenai seluruh lapisan uvea.

2. Klasifikasi klinis

a) Uveitis akut

Uveitis yang berlangsung selama < 6 minggu, onsetnya cepat dan bersifat

simptomatik.

b) Uveitis kronik

Uveitis yang berlangsung selama > 6 minggu bahkan sampai berbulan-bulan

atau bertahun-tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik.

9
3. Klasifikasi etiologis

a) Uveitis infeksius

Uveitis yang disebabkan oleh infeksi virus, parasit, dan bakteri

b) Uveitis non-infeksius

Uveitis yang disebabkan oleh kelainan imunologi atau autoimun.

4. Klasifikasi patologis

a) Uveitis non-granulomatosa

Infiltrat dominan limfosit pada koroid

b) Uveitis granulomatosa

Infiltrat dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa multinukleus

Tabel 1. Perbedaan uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa

D. Gambaran klinis

1. Uveitis anterior

Uveitis anterior adalah peradangan mengenai iris dan jaringan badan siliar

(iridosiklitis) biasanya unilateral dengan onset akut. Penyebab dari iritis dan

10
iridosiklitis tidak dapat diketahui dengan melihat gambaran kliniknya saja. (Ilyas,

2015)

Penyebab uveitis anterior akut dibedakan dalam bentuk nongranulomatosa dan

granulomatosa akut-kronis. Nongranulomatosa akut disertai rasa nyeri, fotofobia,

penglihatan buram keratic presipitat kecil, pupil mengecil, sering terjadi

kekambuhan. Penyebabnya dapat oleh trauma, diare kronis, penyakit Reiter, herpes

simpleks, sindrom Bechet, sindrom Posner Schlosman, pascabedah, infeksi

adenovirus, parotitis, influenza, dan klamidia. Nongranulomatosa kronis dapat

disebakan artritis reumatoid dan Fuchs heterokromik iridosiklitis. (Ilyas, 2015)

Granulomatosa akut tidak nyeri, fotofobia ringan, buram, keratic presipitat

besar (Mutton fat) benjolan Koeppe (penimbulan sel pada tepi pupil atau benjolan

Bussaca ( penimbunan sel pada permukaan iris), terjadi akibat sarkoiditis, sifilis,

tuberkulosis, viris, jamur (histoplasmosis), atau parasit (toksoplasmosis). (Ilyas,

2015)

Uveitis terjadi mendadak atau akut berupa mata merah dan sakit, ataupun

datang perlahan dengan mata merah dan sakit ringan dengan penglihatan turun

perlahan-lahan. Iridosiklitis kronis merupakan epispde rekuren dengan gejala akut

yang ringan atau sedikit. (Ilyas, 2015)

Keluhan pasien dengan uveitis anterior akut mata sakit, merah, fotofobia,

penglihatan turun ringan dengan mata berair, dan mata merah. Pupil kecil akibat

rangsangan proses peradangan pada otot sfingter pupil dan terdapatnya edem iris.

Pada proses radang akut dapat terjadi miopisasi akibat rangsangan badan siliar dan

edem lensa. Terdapat flare atau efek tyndal di dalam bilik mata depan, jika

peradangan sangat akut maka akan terlihat hifema/hipopion. (Ilyas, 2015)

11
Terbentuk sinekia posterior, miosis pupil, tekanan bola mata yang turun akibat

hipofungsi badan siliar, tekanan bola mata dapat meningkat, melebarnya pembuluh

siliar dan perilimbus. Pada yang akut terbentuk hipopion dibilik mata depan,

sedang yang kronis terlihat edem makula dan kadang katarak. Perjalanan penyakit

iritis sangat khas yaitu berlangsung antara 2-4 minggu. (Ilyas, 2015)

Adanya sinekia anterior atau posterior juga harus diperhatikan karena

keduanya menimbulkan presdiposisi terhadap glaukoma. (Vaughan, 2010)

Gambar 2. nodul Bussaca di permukaan iris

Gambar 3. Nodul Koeppe di tepi pupil

12
Gambar 4. Hipopion

Gambar 5. keratic presipitat


a. Pemeriksaan penunjang

Penderita uveitis anterior akut yang memberikan respons baik dengan

pengobatan non spesifik, umumnya tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium.

Pada penderita yang tidak memberikan respon pengobatan non spesifik akan

dilakukan skin test untuk pemeriksaan tuberkolosis dan toxoplasmosis

(Suryani,dkk, 2006).

Pada kasus yang rekurens (berulang), berat, bilateral atau

granulomatous, dilakukan tes untuk sifilis, foto Rontgen untuk mencari

kemungkinan tbc, sarkoidosis dan PPD untuk mencari kemungkinan mumps

dan candida. Pada kasus dengan arthritis penderita muda, dilakukan tes ANA.

Pada kasus arthritis, psoriasis, uretritis, radang yang konsisten dan gangguan

pencernaan, dilakukan pemeriksaan HLA-B27 untuk mencari penyebab

autoimun. Pada dugaan kasus toksoplasmosis, dilakukan pemeriksaan IgG dan

IgM. (Suryani,dkk, 2006)

13
b. Pemeriksaan objektif

Kelopak mata edema disertai ptosis ringan

Konjungtiva merah, kadang disertai kemosis

Hiperemi perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah siliar sekitar limbus.

Bilik mata depan keruh (flare), disertai adanya hipopion atau keratik

presipitat

Edema iris dan warna menjadi pucat

Sinekia posterior (perlengketan iris dengan lensa)

Pupil menyempit, bentuk tidak teratur, reflek lambat sampai negatif

c. Penatalaksaanaan

Tujuan pengobatan pada uveitis anterior adalah untuk mengembalikan

atau memperbaiki fungsi pengelihatan. Adapun obat yang diberikan adalah

sebagai berikut (Suryani,dkk, 2006):

1. Midriatikum/sikloplegik

a. Sulfas atropin 1 % sehari 3 kali tetes

b. Homatropin 2 % sehari 3 kali tetes

c. Scopolamin 0,2 % sehari 3 kali tetes

2. Anti inflamasi

Dewasa

a) Preparat kortikosteroid

Oral : Prednison 2 tab sehari 3 kali

Sub konjungtiva : Hidrokortison 0,3 cc

b) Preparat non kortikosteroid

Anak

Prednison 0,5 mg/kgBB, sehari 3 kali

14
3. Antibiotik (diberikan bila ada indikasi yang jelas)

Dewasa

a. Lokal : tetes mata, kadang dikombinasi dengan preparat steroid

b. Sub konjungtiva, kadang dikombinasi dengan preparat steroid

c. Oral : Chloramphenicol sehari 3 kali 2 kapsul

Anak

Chloramphenicol 25mg/kgBB sehari 3-4 kali

2. Uveitis intermediate

Uveitis intermediet adalah peradangan di pars plana yang sering diikuti vitritis

dan uveitis posterior. Penyakit tersebut biasanya terjadi pada usia dekade ketiga-

keempat dan 20% terjadi pada anak. Penyebabnya sebagian besar idiopatik

(69,1%), sarkoidosis (22,2%), multiple sclerosis (7,4%), dan lyme disease (0,6%).

Selain itu, dapat juga disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis,

Toxoplasma, Candida, dan sifilis.(Sitompul, 2016)

Gejala uveitis intermediet biasanya ringan yaitu penurunan tajam penglihatan

tanpa disertai nyeri dan mata merah, namun jika terjadi edema makula dan agregasi

sel di vitreus (snowballs, Gambar 6) penurunan tajam penglihatan dapat lebih

buruk. Pars planitis berupa bercak putih akibat agregasi sel inflamasi dan jaringan

fibrovaskular (snowbank) yang menunjukkan inflamasi berat dan memerlukan

terapi agresif. Vaskulitis retina perifer terjadi pada 20-60% kasus. Komplikasinya

adalah edema makula (12-51%), glaukoma (20%), dan katarak (15-50%).

(Sitompul, 2016)

15
Gambar 6. Snowballs: bercak putih kekuningan di vitreus

a. Pemeriksaan penunjang

Pada kebanyakan kasus tidak diketahui penyebabnya, namun sifilis,

tuberculosis, dan sarkoidosis harus disingkirkan terlebih dahulu dengan

pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai

(Vaughan, 2010).

b. Penatalaksanaan ( medical mini notes opthalmologi 2016)

Lokal : tetes mata sulfas atropin 1% (prinsip: membuat dilatasi pupil

lebarnya dan tetap hingga 2 minggu), midriatikum lain hydrobromas

scopolamine

Hati-hati serangan akut glaukoma karena pelebaran pupil mengakibatkan

sudut mata depan menyempit. Bila terjadi serangan glaukoma, midiratikum

tetap diberikan sambil pemberian tablet diamox

Bila dengan atropin tidak berhasil dikarenakan adhesi yang kuat dengan

lensa makan beri midriatikum yang lebih kuat yaitu atropin 1% + kokain

5%. Bila diperlukan yang lebih kuat lagi: injeksi subkonjungtiva atropin

atau adrenalin 10/00

Kortikosteroid 4-6 kali perhari tergantung beratnya

Antibiotik bila penyebabnya mikroorgnisme diketahui

16
3. Uveitis Posterior

Uveitis posterior adalah peradangan lapisan koroid yang sering melibatkan

jaringan sekitar seperti vitreus, retina, dan nervus optik (Sitompul, 2016).

Gejala yang timbul adalah floaters, kehilangan lapang pandang atau scotoma,

penurunan tajam penglihatan. Ablatio retina, walaupun jarang paling sering

terjadi pada uveitis posterior. (Vaughan, 2010)

a. Pemeriksaan penunjang

Ditujukan untuk penyakit-penyakit spesifik maupun non spesifik (TBC dan

histoplasmosis), dan penyakit kolagen (Suryani,dkk, 2006).

b. Pemeriksaan klinis

Oftalmoskop:

1. Kekeruhan badan kaca

2. Bila retina masih terlihat, akan tampak fokal pucat disertai pigmen-

pigmen.

Lensa kontak 3 cermin Goldman:

1. Terlihat adanya pars planitis sebagai focal kepucatan dengan pigmen-

pigmen.

Segmen anterior

1. Tidak didapatkan kelainan yang berarti

2. Hiperemi perikorneal (-)

3. FFA : untuk mengetahui luas daerah radang, vaskulitis retina, dan

neovaskularisasi.

c. Penatalaksanaan

Pengobatan yang diberikan pada kasus uveitis posterior, yaitu (Suryani,dkk,

2006):

17
1) Midriatikum/sikloplegik

Sulfas atropin 1 % sehari 1 kali 1 tetes

Homatropin 2 % sehari 3 kali 1 tetes

2) Tetes/salep mata

Dexamethasone 1 % atau Betamethasone 1 %

Prednisolone 0,5 % tetes/salep 3 kali sehari

3) Injeksi

a) Periokuler

Long acting :

Methylprednisolone acetat atau

Triamcinolone acetonic 40 mg/cc/minggu

Short acting :

Betamethasone 4 mg/cc/hari

Dexamethasone 4 mg/cc/hari

b) Subtenon anterior

Obat yang diberikan sama dengan obat diatas, dosis 0,5 cc untuk

kasus pars planitis dan uveitis anterior.

c) Subtenon posterior

Obat sama, dosis 1,5 cc/suntikan untuk kasus pars planitis dan

uveitis posterior

4) Sistemik

a) Prednisolone : dosis awal 1-1,5 mg/kgBB diturunkan bertahap bila

respon baik

b) Cyclosporin dapat diberikan bila tidak ada respon dengan steroid

setelah pemberian 2 minggu. Dosis awal 5 mg/hari, bila ada respon

18
diberi dosis maintenance 2 mg/kgBB/hari dengan pengawasan faal

hati dan ginjal.

4. Panuveitis

Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea dan struktur sekitarnya seperti

retina dan vitreus. Penyebab tersering adalah tuberkulosis, sindrom VKH,

oftalmia simpatika, penyakit behcet, dan sarkoidosis. Diagnosis panuveitis

ditegakkan bila terdapat koroiditis, vitritis, dan uveitis

anterior.(Sitompul,2016)

E. Komplikasi

Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior maupun posterior.

Sinekia anterior dapat mengganggu aliran aqueous keluar di sudut bilik mata dan

menyebabkan glaukoma. Sinekia posterior, jika luas, dapat menyebabkan glaukoma

sekunder sudut tertutup dengan terbentuknya seclusio pupil dan penonjolan iris ke

depan (iris bombe). Penggunaan kortikosteroid dan sikloplegik yang agresif sejak dini

dapat memperkecil kemungkinan terjadinya komplikasi-komplikasi ini. (Vaughan,

2010)

Edem makula kistoid adalah penyebab hilangnya penglihatan yang paling

sering ditemukan pada pasien uveitis dan biasanya terlihat pada kasus-kasus berat

uveitis anterior atau uveitis intermediate. (Vaughan, 2010)

Ablatio retina bentuk traksional, regmantosa, dan eksdatif jarang terjadi pada

pasien uveitis posterior, intermediet atau difus (Vaughan, 2010)

F. Prognosis

Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan uveitis anterior karena

menurunkan tajam penglihatan dan terjadi kebutaan apabila tidak ditatalaksana

dengan baik (Sitompul, 2016).

19
BAB III

KESIMPULAN

Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan di negara berkembang. Tata laksana uveitis

bertujuan untuk menekan reaksi inflamasi, memperbaiki struktur dan fungsi penglihatan,

menghilangkan nyeri dan fotofobia. Obat yang dapat digunakan adalah kortikosteroid,

imunosupresan, NSAID, siklopegik dan antimikroba bila terdapat infeksi. Penyakit yang

mendasari uveitis harus diatasi secara komprehensif untuk mencegah perburukan dan

komplikasi.

20
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2016. Opthalmology. Medical Mini Notes. Makassar. Hal 90

Ilyas, Sidarta. 2014. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata : Uvea. Jakarta; Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal.125-136
Kuswandari, Yulianti dan Armanto Sidohutomo. 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit Mata :
Uvea. Surabaya; Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UWK Surabaya. Hal. 108-118.
Sitompul, R. 2016. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah
Kebutaan. Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK Universitas Indonesia. Jurnal Vol.4,
No.1.
Suryani, Prillia Tri, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit
Mata. Surabaya; RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Hal 156-166.
Vaughan & Asbury : Oftalmologi Umum / Paul Riordan-Eva, John P. Whitcher ; alih bahasa,
Brahm U. Pendit ; editor edisi bahasa Indonesia, Diana Susanto. Edisi 17. Jakarta :
EGC, 2010. Hal. 108-118
.

21

Anda mungkin juga menyukai