Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Efusi pleura adalah akumulasi cairan tidak normal di rongga pleura yang
diakibatkan oleh transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura.
Efusi pleura selalu abnormal dan mengindikasikan terdapat penyakit yang
mendasarinya. Efusi pleura dibedakan menjadi eksudat dan transudat berdasarkan
penyebabnya. Rongga pleura dibatasi oleh pleura parietal dan pleura visceral. Pada
keadaan normal, sejumlah kecil (0,01 mL/kg/jam) kapasitas pengeluaran sedikitnya
0,2 mL/kg/jam.Cairan pleura terakumulasi saat kecepatan pembentukan cairan pleura
melebihi kecepatan absorbsinya. (Williams, 2007)
Efusi pleura dapat terjadi sebagai komplikasi dari berbagai penyakit.
Pendekatan yang tepat terhadap pasien efusi pleura memerlukan pengetahuan insidens
dan prevalens efusi pleura. Distribusi penyakit penyebab efusi pleura tergantung pada
studi populasi. Penelitian yang pernah dilakukan di rumah sakit Persahabatan, dari
229 kasus efusi pleura pada bulan Juli 1994-Juni 1997, keganasan merupakan
penyebab utama diikuti oleh tuberkulosis, empiema toraks dan kelainan ekstra
pulmoner. Penyakit jantung kongestif dan sirosis hepatis merupakan penyebab
tersering efusi transudatif sedangkan keganasan dan tuberkulosis (TB) merupakan
penyebab tersering efusi eksudatif. (Williams, 2007)
Mengetahui karakteristik efusi pleura merupakan hal penting untuk dapat
menegakkan penyebab efusi pleura sehingga efusi pleura dapat ditatalaksana dengan
baik.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Efusi pleura merupakan kondisi akumulasi cairan berlebih pada rongga pleura
mengindikasikan terjadinya ketidakseimbangan antara pembentukan cairan pleura dengan
penyalirannya. Rongga pleura normal akan mengandung sedikit cairan, yaitu sekitar 0,1
sampai 0,2 mL/kg dari berat badan di tiap sisi.
Cairan pelura terbentuk dan tersalirkan secara perlahan dengan laju yang sama, dan
diketahui memiliki konsentrasi protein yang lebih rendah dibandingkan dengan paru-paru
dan kelenjar-kelenjar limfa. Cairan pleura ini dapat terakumulasi melalui satu mekanisme
atau lebih, diantaranya:
 Peningkatan tekanan hidrostatik di dalam sirkulasi mikrovaskular: data klinis yang
ada menunjukkan bahwa peningkatan pada tekanan baji kapiler merupakan penentu
yang paling penting di dalam kemunculan dan perkembangan kondisi efusi pleura
pada kondisi gagal jantung kongestif.
 Penurunan tekanan onkotik pada sirkulasi mikrovaskular akibat hipoalbuminemia,
yang dimana hal ini meningkatkan kecenderungan untuk membentuk cairan
interstisial pelura.
 Peningkatan tekanan negatif pada rongga pleura, dan juga peningkatan tingkat
kecenderungan pembentukan cairan pleura; dimana hal ini dapat terjadi dengan
atelektasis yang besar.
 Pemisahan permukaan pleura, yang mengendalikan penurunan gerakan cairan di
dalam rongga pleura dan menghambat penyaliran limfatik pelura; kondisi ini dapat
terjadi karena ketidakmampuan paru-paru untuk mengembang secara sempurna.
 Peningkatan permeabilitas sirkulasi mikrovaskular akibat mediator-mediator
inflamatori, yang dimana hal ini memungkinkan lebih banyak cairan dan protein
untuk bocor disepanjang paru-paru dan permukaan viseral kedalam rongga pleura;
kondisi ini telah diketahui dapat terjadi dengan infeksi, seperti contohnya pneumonia.
 Terganggunya penyaliran limfatik dari permukaan pleura akibat penyumbatan oleh
tumor atau fibrosis.
 Pergerakan cairan asitik dari rongga peritoneal akibat limfatik diafragmatik ataupun
karena gangguan diafragmatik.

2
B. Anatomi dan Fisiologi
1. Paru
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai
alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran untuk
terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Pertukaran ini
terjadi pada alveolus – alveolus di paru melalui sistem kapiler. (Sherwood, 2011)
Paru terdiri atas 3 lobus pada paru sebelah kanan, dan 2 lobus pada paru
sebelah kiri. Pada paru kanan lobus – lobusnya antara lain yakni lobus superior, lobus
medius dan lobus inferior. Sementara pada paru kiri hanya terdapat lobus superior dan
lobus inferior. Namun pada paru kiri terdapat satu bagian di lobus superior paru kiri
yang analog dengan lobus medius paru kanan, yakni disebut sebagai lingula pulmonis.
Di antara lobus – lobus paru kanan terdapat dua fissura, yakni fissura horizontalis dan
fissura obliqua, sementara di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri
terdapat fissura obliqua. (Susan, 2009)
Paru sendiri memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk
mengembang dan mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk mengembang
dan mengempis ini di sebabkan karena adanya surfactan yang dihasilkan oleh sel
alveolar tipe 2. (Sherwood, 2011)
Namun selain itu mengembang dan mengempisnya paru juga sangat dibantu
oleh otot – otot dinding thoraks dan otot pernafasan lainnya, serta tekanan negatif
yang teradapat di dalam cavum pleura. (Sherwood, 2011)
2. Cavum thoraks
Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh manusia yang di kenal sebagai
cavum thoraks. Karena paru memiliki fungsi yang sangat vital dan penting, maka
cavum thoraks ini memiliki dinding yang kuat untuk melindungi paru, terutama dari
trauma fisik. Cavum thoraks memiliki dinding yang kuat yang tersusun atas 12 pasang
costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra thoracalis, sternum, dan otot –
otot rongga dada. Otot – otot yang menempel di luar cavum thoraks berfungsi untuk
membantu respirasi dan alat gerak untuk extremitas superior.(Susan, 2009)
3. Pleura
Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks, paru juga dibungkus
oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan embriologi dari coelom extra-
embryonal yakni pleura. Pleura sendiri dibagi menjadi 3 yakni pleura parietal, pleura
visceral dan pleura bagian penghubung. Pleura visceral adalah pleura yang menempel

3
erat dengan substansi paru itu sendiri. Sementara pleura parietal adalah lapisan pleura
yang paling luar dan tidak menempel langsung dengan paru. Pelura bagian
penghubung yakni pleura yang melapisi radiks pulmonis, pleura ini merupakan pelura
yang menghubungkan pleura parietal dan pleura visceral. (Susan, 2009). Pleura
parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura diafragmatika, pelura
mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula pleura. Pleura diafragmatika yakni
pleura parietal yang menghadap ke diafragma. Pleura mediastinalis merupakan pleura
yang menghadap ke mediastinum thoraks, pleura sternocostalis adalah pleura yang
berhadapan dengan costa dan sternum. Sementara cupula pleura adalah pleura yang
melewati apertura thoracis superior.(Susan. 2009). Pada proses fisiologis aliran cairan
pleura, pleura parietal akan menyerap cairan pleura melalui stomata dan akan
dialirkan ke dalam aliran limfe pleura. (Sherwood. 2011)
Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan yang
disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting pada proses
respirasi yakni mengembang dan mengempisnya paru, dikarenakan pada cavum
pleura memiliki tekanan negatif yang akan tarik menarik, di mana ketika diafragma
dan dinding dada mengembang maka paru akan ikut tertarik mengembang begitu juga
sebaliknya. Normalnya ruangan ini hanya berisi sedikit cairan serous untuk melumasi
dinding dalam pleura. (Sherwood. 2011)
C. Tanda dan Gejala
Akumulasi cairan pleura dapat menyebabkan kelainan atau gangguan
ventilatori restriktif dan menurunkan tingkat kapasitas paru-paru total, kapasitas
fungsionalitas, dan kapasitas vital paksa. Kondisi ini dapat menyebabkan
ketidaksesuaian antara ventilasi-perfusi akibat sebagian paru-paru yang menjadi
atelektatik pada beberapa wilayah tertentu, dan jika cukup berukuran besar, kondisi
ini dapat mengganggu curah jantung dengan menyebabkan kolaps diastolik
ventrikular.
Gejala-gejala yang muncul tergantung pada jumlah cairan dan penyebab akan kondisi
ini. Banyak dari para pasien penderitanya tidak mengalami kemunculan gejala ketika
efusi pleura terdiagnosa. Gejala-gejala yang muncul dapat mencakup rasa nyeri dada
yang bersifat peluritik, dispnea, dan batuk kering tidak berdahak.
Temuan-temuan fisik adalah menurunnya fremitus taktil, redupan pada perkusi, dan
menurunnya atau menghilangnya suara nafas. Gesekan pleura dapat terdengar ketika

4
inspirasi lambat, yaitu ketika permukaan pleura yang menjadi kasar bergesekan. (Jose,
2005).
D. Pemeriksaan radiografi pada bagian dada
Radiografi dada lateral dan posteroanterior standar masihlah merupakan teknik
yang paling penting sebagai upaya diagnosis awal untuk efusi pleura. Cairan pleura
bebas mengalir ke bagian rongga pleural yang paling tergantung. Pada posisi berdiri,
ini merupakan wilayah subpulmonik, dan akumulasi cairan dapat menyebabkan
elevasi hemitoraks, penggantian lateral kubah diafragma, dan pembesaran sudut
kostofrenik. Namun, setidaknya 250 mL cairan harus terakumulasi sebelum menjadi
terlihat pada radiograf posteroanterior.
Radiografi dekubitus lateral merupakan hal yang sangat penting di dalam evaluasi
efusi subpulmonik. Teknik ini sangat sensitif, dimana akan mampu untuk mendeteksi
efusi sekecil 5 mL sekalipun di dalam beberapa penelitian eksperimental, dan teknik
ini harus digunakan sebagai pemeriksaasn rutin.
Pada pemeriksaan radiografi dada dengan posisi pasien terlentang, yang
dimana teknik ini sering digunakan di unit penanganan intensif, efusi pelura yang
berukuran sedang sampai besar dapat bisa saja tidak terdeteksi, hal ini karena cairan
pleura dapat berada di bagian belakang, dan tidak adanya perubahan pada diafragma
atau batas pleura lateral juga tidak akan terdeteksi. Pada kasus-kasus ini, efusi pleura
dapat dicurigai keberadaannya ketika terdapat peningkatan opasitas akan hemitoraks
tanpa menutupi penanda-penanda vaskular. Jika efusi terduga memang terjadi, maka
radiografi dekubitus lateral atau USG haruslah dilakukan, karena kedua media ini
adalah lebih reliabel untuk mendeteksi efusi pleura yang berukuran kecil pada situasi
penanganan intensif. (Jose, 2005).

Tabel 1. Beberapa penyebab efusi pleura

Frekuensi Transudat Eksudat


Umum Gagal jantung kongestif Efusi parapneumonik
Sindrom nefrotik Malignansi/ kanker
Sirosis dengan asites Embolisme paru
Penyakit vaskular kolagen
Pankreatitis
Tuberkulosis

5
Sindrom cedera pasca-kardiak
Tidak terlalu umum Dialisis peritoneal Kilotoraks
Urinotoraks Uremia
Atelaktasis Perforasi esofagus
Embolisme paru Penyakit yang disebabkan
Miksedema oleh asbestos
Reaksi yang dipicu oleh obat-
obatan
Infeksi virus
Sindrom kuku kuning
Sarkoidosis
Efusi terlokulasi, didefinisikan sebagai efusi yang tidak bergeser bebas di dalam rongga
pleura, yang dimana hal ini terjadi ketika terdapat adhesi antara pleura viseral dengan pleura
parietal. Tampilan dekubitus lateral akan dapat membantu di dalam membedakan antara
cairan bebas dengan cairan terlokulasi. Pasien haruslah diposisikan dengan posisi
menyamping dengan sisi yang terdampak berada di bagian bawah pada meja x-ray. (Jose,
2005)
Radiograf dada juga dapat memberikan tanda yang penting untuk mengetahui penyebab efusi.
Efusi bilateral yang disertai dengan kardiomegali biasanya disebabkan oleh gagal jantung
kongestif. Efusi unilateral yang besar tanpa pergeseran mediastinal kontralateral akan
menunjukkan atelektasis yang besar, infiltrasi paru-paru dengan tumor, mesotelioma, atau
mediastinum tetap akibat tumor atau fibrosis. Bahkan efusi dapat tidak terlihat pada
radiograf dada berbaring karena cairan pleura berada di bagian belakang. (Jose, 2005)
a. Ultranosografi

Manfaat utama dari ultrasonografi dibandingkan dengan radiografi adalah


kemampuannya untuk membedakan antara komponen-komponen solid/ padat
(contohnya tumor atau pleura yang menebal) dengan komponen-komponen cair dari
suatu proses pleural. Media ini berguna di dalam pendeteksian abnormalitas yang
bersifat subpulmonik (dibawah paru-paru) atau subfrenik (dibawah diafragma) dan
juga berguna di dalam pemedaannya.
Penggunaan utama ultrasonografi adalah untuk memandu torasentesis pada
efusi pelura yang berukuran kecil atau yang terlokulasi, yang dimana hal ini dapat
meningkatkan kualitas hasil dan keamanan prosedur. Namun, tidaklah praktis untuk

6
merekomendasikan ultrasonografi untuk semua efusi. Unit-unit ultrasound portabel
dapat dibawa ke samping tempat tidur pasien dengan kondisi sakit yang parah. (Jose,
2005)
b. Tomografi terkomputasi

Tomografi terkomputasi (CT), dengan gambar seksional silangnya, dapat


digunakan untuk mengevaluasi situasi-situasi kompleks dimana anatomi tidak dapat
sepenuhnya diassessment melalui radiografi konvensional ataupun ultrasonografi. CT
merupakan alat yang berguna untuk membedakan empiema dari abses paru, di dalam
mendeteksi masa pleura (contohnya: mesotelioma, plak), di dalam mendeteksi
abnormalitas-abnormalitas parenkhimal paru yang “tersembunyi” oleh efeusi, dan di
dalam mengetahui kumpulan cairan yang terlokulasi. (Jose, 2005)
E. TORASENTESIS DAN PEMERIKSAAN-PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Transudat vs eksudat
Walaupun pemeriksaan riwayat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
radiografik dapat memberikan tanda-tanda yang penting akan penyebab efusi pleura,
namun hampir dari seluruh kasus haruslah dievaluasi dengan torasentesis diagnostik.
(Jose, 2005)
Terdapat beberapa kemungkinan situasi dimana toransentesis tidak boleh
dilakukan, yaitu ketika efusi berukuran terlalu kecil untuk secara aman diaspirasi
(ketebalan < 10 mm yang terlihat dari hasil pemeriksaan ultrasonografi atau radiografi
dekubitus lateral) atau ketika dapat dijelaskan melalui penyebab yang berupa gagal
jantung kongestif (khususnya efusi bilateral yang meningkatkan diuresis), bedah
torasik terbaru atau bedah abdominal, atau status pasca-melahirkan. Namun, prosedur
dapatlah masih diindikasikan pada situasi-situasi ini jika kondisi klinis pasien
memburuk. Hampir dari seluruh efusi haruslah dievaluasi dengan torasentesis
diagnostik. (Jose, 2005).
Tabel 2. Kriteria Light untuk membedakan cairan pleura transudatif dari cairan pelura
eksudatif
Rasio Protein Rasio Laktat Laktat Dehidrogenasi
Serum/ Pleural Dehidrogenasi Serum/ Serum
Pleural
Transudat* ≤0,5 ≤0,6 ≤200 U/L*
Eksudat+ >0,5 >0,6 >200 U/L*

7
*2/3 batas atas kadar serum normal
+
Kriteria positif tunggal adalah cukup untuk mengklasifikasikan cairan sebagai eksudat

Tabel 3. Sensitifitias dan spesifisitas pengujian/ pemeriksaan untuk membedakan efusi


eksudatif dari efusi transudatif
Sensitifitas untuk Spesifisitas untuk
eksudat eksudat
(%) (%)
Kriteria Light 98 83
Kadar kolesterol cairan-pleura >60 mg/dL 54 92
Kadar kolesterol cairan-pleura >43 mg/dL 75 80
Rasio kolesterol cairan-pleura / kolesterol 89 81
serum > 0,3
Kadar albumin serum minus kadar albumin 87 92
cairan pleura ≤1,2 g/dL
Dimodifikasi atas izin dari Light RW. Pleural Efussion. N Engl J Med 2002: 346: 1971-1977

Setelah mendapatkan sampel cairan pleura, dokter haruslah menentukan


apakah efusi besifat transudatif (yaitu; akibat gaya hidrostatik, dan dengan kandungan
protein yang rendah) atau bersifat eksudatif (akibat peningkatan permeabilitas
permukaan pleura dan pembuluh-pembuluh darah, dengan kandungan protein yang
secara relatif tinggi). Jika cairan bersifat transudat, maka kemungkinan penyebab
biasanya sedikit, dan prosedur diagnostik lanjutan pun tidak diperlukan untuk
dilakukan. Sebaliknya, jika cairan bersifat eksudat, maka akan terdapat banyak
kemungkinan penyebab, dan pemeriksaan diagnostik pun akan dibutuhkan (Tabel 1).
Beberapa pemeriksaan/ pengujian akan cairan pleura telah diajukan untuk
dapat membedakan transudat dari eksudat. Kriteria Light (Tabel 2), pada awalnya
diterbitkan pada tahun 1972, dan sampai saat ini kriteria ini masih menjadi standar
emas, yang membutuhkan pengukuran simultan akan kadar protein dan laktat
dehidrogenasi pada cairan pelura dan pada serum. Kriteria baru yang diajukan
tidaklah lebih sensitif ataupun lebih spesifik (Tabel 3).
Penggunaan beberapa kriteria yang lebih baru untuk membedakan antara
transudat dengan eksudat pada beberapa pasien dengan gagal jantung kongestif yang

8
mendapatkan obat diuretik – yang dimana dapat menyebabkan peningkatan sementara
pada konsentrasi protein pada cairan pleura akibat pergerakan air dari cairan pleura ke
darah – diketahui akan memiliki efusi eksudatif menurut kriteria Light. Jika tampilan
klinis menunjukkan efusi transudatif yang tidak komplikaitf, maka kadar albumin
pada serum dan cairan pelura harus diukur. Perbedaan 1,2 g/dL atau kurang
mengindikasikan pleural eksudat, sedangkan perbedaan yang lebih dari 1,2 g/dL
mengindikasikan transudat. Konsentrasi yang rendah akan kolesterol pada cairan
pleura dapat menjadi lebih akurat di dalam pengklasifikasian cairan ini sebagai
transudat. (Jose, 2005)
Jika efusi pleura tampaknya bersifat transudat, maka pemeriksaan
laboratorium awal dapatlah terbatas hanya pada kadar protein, kolesterol, dan laktat
dehidrogenasi pada cairan pleural (Tabel 4). Pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat
menjadi satu alternatif bagi semua pengukuran yang disyaratkan oleh kriteria Light.
(Jose, 2005)

Tabel 4. Kriteria yang lebih baru untuk pengklasifikasian eksudat dan transudat
Laktat Kolesterol Protein
Dehidgrogenasi
Transudat ≤45%* ≤45 mg/dL ≤2,9 g/dL
Eksudat >45%* >45 mg/dL > 2,9 g/dL
*Dari batas atas serum normal

Tabel 5. Diagnosis definitif yang didasarkan pada analisis cairan pleura


Diagnosis Kriteria
Urinotoraks pH <7, transudat, rasio cairan pleura dengan kreatinin serum > 1
Empiema Nanah, pewarna Gram atau kultur positif
Malignansi/ kanker Pengujian sitologis positif
Kilotoraks Trigliserida > 110 mg/dL, kilomikron
Tuberkulosis, infeksi Pewarna atau kultur positif
jamur
Hemotoraks Hematokrit >50% darah
Ruptura esopagus pH < 7, amilase tinggi (salivari)

9
Tiap test ini harus disusun dan diatur dengan berdasarkan pada kecurigaan klinis.
Jika efusi bersifat eksudatif, pemeriksaan lanjutan pun harus dilakukan untuk melahirkan
diagnosis (Tabel 5, Tabel 6). Gambar 1 memberikan satu algoritma diagnostik awal untuk
efusi pleura.
F. Pemeriksaan/ pengujian spesifik cairan pleura
Kadar glukosa pada transudat dan hampir dari seluruh eksudat adalah sama
dengan kadar glukosa serum. Sebagian kecil kondisi dapat menyebabkan kadar glukosa
cairan pleura yang sangat rendah (< 25 mg/dL), contohnya; artritis reumatoid,
tuberkulosis, empiema, dan malignansi dengan keterlibatan pleura yang ekstensif.
Presentasi klinis biasanya akan membantu di dalam pengidentifikasian penyebab yang
paling memungkinkan. (Jose, 2005).
pH cairan pleura normal adalah sekitar 7,64, hal ini disebabkan oleh transport
aktif HCO3 kedalam rongga pleural. Tergantung pada kondisi klinis, pH cairan pleura
yang rendah dapat berguna untuk menentukan diagnosis, memandu terapi, dan
menentukan tingkat prognosis. Secara umum, pH yang lebih rendah biasanya berkaitan
dengan inflamasi dan proses-proses infiltratif seperti contohnya efusi parapneumonik
yang terinfeksi, empiema, malignansi, penyakit vaskular kolagen, tuberkulosis, dan
ruptura esofagus. Urinotoraks merupakan satu-satunya efusi transudatif yang dapat terjadi
dengan pH cairan pleura yang rendah. (Jose, 2005)
Pengukuran pH cairan pleura adalah penting jika dokter menduga bahwa efusi
yang terjadi bersifat parapneumonik, yaitu; diakibatkan oleh pneumonia. pH cairan pleura
yang bernilai dibawah 7,2 pada situasi ini mengindikasikan bahwa pasien memiliki resiko
yang meningkat untuk outcome yang buruk dan mengindikasikan kebutuhan akan
tindakan penyaliran (Tabel 7).
Pada kasus malignansi/ kanker, para pasien dengan beban tumor pada pleura yang
bersifat ekstensif biasanya memiliki pH cairan pelura yang rendah (<7,28) dan kadar
glukosa yang rendah. Secara umum, para pasien ini memiliki tingkat keselamatan jangka-
pendek yang buruk, namun pH pleura saja hanya memiliki akurasi yang tidak cukup
untuk penggunaan klinis di dalam pengidentifikasian pasien yang tidak boleh menjalani
sklerosis pleura, hal ini karena alasan tingkat keberhasilan prosedur yang buruk (lihat
Sklerosis pleura, dibagian bawah). (Jose, 2005)
Amilase. Kadar amilase pleura yang tinggi (> 200 U/dL) biasanya
mengindikasikan pankreatitis, malignansi, atau ruptura esofagus. Kondisi klinis biasanya
memisahkan entitas-entitas ini, namun jika dibutuhkan, asai tambahan isoenzim pun dapat

10
digunakan (sumber salivari vs pankreatik). Pada ruptura esofagus dan pada 10% non
malignansi pankreatik, amilasi adalah tipe salivari. Ruptura esofagus muncul dengan
kadar amilase yang hampir lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan kadar serum,
sedangkan kadar amilase pada cairan pleura pada kasus pankreatitis dan kanker pankreas
adalah lebih tinggi lagi (10-30 kali lipat kadar serum). (Jose, 2005)
G. UJI DIAGNOSTIK LAINNYA
A. Biopsi pleura
Beberapa kondisi utama yang dapat dilakukan dengan biopsi jarum pada pleura
adalah pleuritis tuberkulosis dan malignansi pleura. Biopsi jarum saat ini merupakan
upaya yang direkomendasikan ketika pleuritis tuberkulosa diduga terdapat pada pasien,
dan adenosin deaminase cairan pleura atau kadar interferon-gamma tidaklah definitif
(lihat Tuberkulosis di bagian bawah). Spesimen biopsi pleura parietal adalah positif untuk
granuloma pada 80% kasus pleurisi tuberkulosa, pewarnaan tahan asam adalah positif
pada 26%, dan kultur adalah positi fpada 56%. Setidaknya satu dari tiga pengujian/
pemeriksaan adalah positif pada 91% kasus.
Tingkat insiden granuloma pada biopsi pleura adalah sama dengan para pasien
dengan dan tanpa infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV) (hitungan CD4+ berada
dibawah 200/mm3). Cairan pleura pada para pasien HIV tampaknya bersifat smear-positif
dan kultur-positif untuk baksil tahan asam. (Jose, 2005)
Biopsi pleura juga direkomendasikan ketika terduga adanya malignansi, namun
penelitian sitologis cairan pleura adalah negatif dan torakoskopi belumlah tersedia. (Jose,
2005)
B. Torakoskopi
Toraksoskopi (atau pleuroskopi) melibatkan tindakan pemasukkan endoskop
melalui dinding dada untuk secara langsung melihat dan mengumpulkan sampel dari
pleura.
Tujuan dari torakoskopi medis (yang dilakukan oleh dokter ahli paru-paru pada
pasien yang diberikan sedasi) adalah untuk memvisualisasikan paru-paru secara
keseluruhan, dan ketika diperlukan, untuk melakukan biopsi parietal atau biopsi
permukaan pleura viseral. Indikasi utama mencaku efusi pleura yang penyebabnya tidak
diketahui, khususnya jika diduga pasien mengidap mesotelelioma, kanker paru-paru, atau
tuberkulosis. Tindakan ini juga dapat dilakukan untuk memberikan senyawa/ obat
sklerotik. (Jose, 2005)

11
Pembedahan torakoskopis yang berpanduan video dilakukan di ruang operasi, dan
pasien pun akan diberikan anestesi umum dan dengan ventilasi paru tunggal. Beberapa
prosedur dapat dilakukan dengan cara ini: biopsi paru jepit, lobektomi, pneumonektomi,
reseksi nodul paru, perbaikan fistula bronkhopleural, dan evaluasi tumor mediastinal atau
adenopati. (Jose, 2005)
Tabel 6. Pemeriksaan/ uji cairan pleura
Pada semua efusi
Protein
Laktat dehidrogenase
Kolesterol
Hitungan dan diferensial sel
Pada efusi eksudat*
Analsis sitologis
pH#
Pewarna Gram dan kultur
Pewarna/ kultur jamur
Pewarna/ kultur bakteri tahan asam
Pengujian-pengujian lain
Glukosa
Amilase
Adenosin deaminas atau kadar gamma-interferon
Titer antibodi antinuklir
Hematokrit
Trigliserid
Kreatinin
Albumin
*Cairan dapat disimpan untuk analisis lanjutan yang didasarkan pada hasil awal,
walaupun untuk alasan-alasan praktis, banyak dari para dokter yang melakukan pemeriksaan/
pengujian pada waktu yang bersamaan
#
pH perlu diukur pada efusi transudat hanya ketika urinotoraks terduga.
Kontraindikasi utama terhadap torakoskopi medis ataupun bedah adalah kurangnya
rongga pleura akibat adhesi pleura. Kontraindikasi realtif mencakup batuk yang tidak
terkendali, hipoksemia, koagulopati, dan penyakit jantung yang parah. (Jose, 2005)

12
Beberapa komplikasi dari tindakan torakoskopi medis (contohnya; kebocoran udara persisten
dan emfisema subkutan) adalah kecil dan jarang terjadi. Kasus kematian merupakan hal yang
sangat jarang terjadi akibat tindakan ini. Efusi pleura terjadi pada 75% dari seluruh pasien
penderita lupus. (Jose, 2005)
H. EFUSI PLEURA PADA PENYAKIT-PENYAKIT KHUSUS
Adalah penting untuk pertama-tama mengevaluasi pasien untuk mengetahui
kondisi jantung, ginjal, intra-abdominal, sistemik, dan kondisi-kondisi inflamatori
yang dapat memicu terjadinya efusi pleura. (Jose, 2005)
1. Penyakit vaskular kolagen
Efusi pleura muncul pada 75% dari seluruh pasien penderita lupus sistemik
eritematosus (SLE) dan pada 5% dari seluruh pasien penderita artritis reumatoid
selama pengidapan penyakit. (Jose, 2005)

Gambar 1. Pendekatan pada efusi pleura

*Sitologi dapat dilakukan jika penyakit malignan/ kanker terduga diidap pasien. Jika infeksi
dipertimbangkan di dalam kemungkinan diagnosis lain, maka pemeriksaan pH dan glukosa
pada cairan pleura harus dilakukan pada proses evaluasi awal.
Pada kasus pleuritis tuberkulosis, efusi pleura dapat mirip seperti pneumonia bakteri akut.
2. SLE
Titer antibodi antinuklir cairan pleura (ANA) dapat membantu untuk membedakan
efusi SLE dengan efusi yang disebabkan oleh penyebab-penyebab lain, bahkan pada
para pasien dengan SLE. Titer ANA cairan pleura yang lebih tinggi dari 1:160 atau
rasio ANA cairan-serum pleura yang lebih tinggi dari 1,0 akan mengindikasikan lupus

13
pleuritis. Walaupun kriteria ini tampaknya bersifat spesifik, namun tidaklah begitu
sensitif. (Jose, 2005)
3. Artritis reumatoid.
Efusi pleura pada artritis reumatoid seringkali tidak memunculkan gejala. Kondisi ini
akan memunculkan efusi pleura yang besar dan seringkali terjadi berbulan-bulan
tanpa perubahan. Efusi reumatoid biasanya terjadi pada para pasien dengan titer faktor
reumatoid serum yang tinggi dan nodul-nodul reumatoid. Cairan biasanya memiliki
kadar glukosa yang sangat rendah. Titer faktor reumatoid pleural tidaklah bermanfaat
untuk melakukan diagnosa karena akan menjadi meningkat pada kondisi pneumonia,
tuberkulosis, malignansi, dan SLE.
Pada para pasien dengan artritis reumatoid yang ditangani dengan terapi faktor anti-
tumor-nekrosis, maka kehati-hatian harus dilakukan untuk mengekslusi diagnosis
tuberkulosis. (Jose, 2005)
4. Tuberkulosis
Di banyak wilayah di dunia, tuberkulosis masih menjadi penyebab utama efusi pleura.
Ruptura fokus kaseus subpleura kedalam rongga pleura akan memungkinkan protein
tuberkulosis memasuki rongga pleura dan dapat menggenerasi reaksi hipersensitivitas
yang bertanggungjawab atas banyak manifestasi klinis. (Jose, 2005)
Efusi pleura pada pleuritis tuberkulosa dapat muncul sebagai penyakit akut
yang menyerupai pneumonia bakteri akut. Hal ini biasanya bersifat unilateral dan
memiliki beragam ukuran. Koeksistensi penyakit parenkhimal akan tampak pada hasil
pemeriksaan radiograf standar pada 19% pasien. (Jose, 2005)
Cairan pleura pada tuberkulosis biasanya bersifat eksudat dengan lebih dari 50%
limfosit pada hitungan diferensial sel darah putih. Cairan ini jarang sekali
mengandung lebih dari 5% sel-sel mesotelial, yang diamana hal ini dapat dijelaskan
melalui keterlibatan ekstensif permukaan pleura melalui proses inflamatori. Diagnosis
definitif dapatlah sulit dan tergantung pada demonstrasi baksil tahan asam pada
sputum, cairan pleura, ataupun spesimen biopsi pleura, atau demonstrasi granuloma
pada pleura. Analisis cairan pleura dan kultur untuk baksil tahan asam adalah positif
pada kurang dari 25% kasus. Kultur biopsi pleura dapat meningkatkan hasil sampai
55%.(Jose, 2005)
Pengukuran tambahan yang menunjukkan diagnosis mencakup adenosin
deaminase cairan pleura, interferon-gamma, dan reaksi rantai polimerasi untuk DNA
mikobakterial. Peningkatan kadar adenosin deaminase pleural dapat terobservasi pada

14
pleurisi tuberkulosa, artritis reumatoid, dan empiema. Kadar adenosin deaminase yang
mencapai diatas 40 U/L dapat membedakan efusi tuberkulosa dari efusi pleura
limfositik lain (yaitu; malignansi, limfoma, penyakit vaskular kolagen), begitu juga
dengan kadar interferon-gamma yang diatas 140 pg/mL. (Jose, 2005)

Tabel 7. Pendekatan yang disarankan untuk pengklasifikasian dan penanganan efusi


parapneumonik*
Resiko Anatomi pH Bakteriologi Penyaliran
akan rongga (Pewarna diindikasikan#
outcome pleura gram atau
yang kultur)
buruk
Sangat Efusi alir DAN >7,2 DAN Negatif atau Tidak
rendah bebas tidak
minimal diketahui
(<10 mm
pada
dekubitus
lateral)
Rendah Efusi alir DAN ≥7,2 DAN Negatif Tidak@
bebas kecil
sampai
sedang (>10
mm dan
<1/2
hemitoraks)
Sedang Efusi alir ATAU <7,2 ATAU Positif Ya
bebas besar
atau efusi
terlokulasi
(≥1/2
hemitoraks)
Tinggi Nanah Ya

15
*Tidaklah diperlukan untuk membuktikan keberadaan pneumonia bakteri: diagnosis klinis
sudah cukup
#
Hasil pemeriksaan pH dan bakteriologis memiliki prioritas dibandingkan dengan jumlah
cairan. Jika kondisi klinis memburuk, maka torasentesis berulang dan penyaliran harus
dipertimbangkan untuk dapat dilakukan
5. Urinotoraks
Urinotoraks, merupakan penyebab efusi pleura yang cukup jarang terjadi, kondisi ini
diyakini dapat terjadi ketika urin bergerak secara retroperitoneal kedalam rongga
pleura yang dapat disebabkan oleh obstruksi urin, trauma, inflamatori retroperitoneal
atau proses malignan, nefrostomi yang gagal, atau biopsi ginjal. Cairan pleura
merupakan transudat dengan fitur unik karena memiliki rasio kreatinin cairan dengan
kreatinin serum yang lebih tinggi dari 1,0. Cairan pleura pada kondisi ini juga dapat
memiliki nilai pH yang rendah (<7,3) atau kadar glukosa yang rendah, yang dimana
keduanya ini merupakan jarang terjadi pada efusi transudatif. (Jose, 2005)
6. Setelah operasi tandur pirau arteri koroner
Efusi pleura merupakan hal yang umum terjadi sesaat pasien mendapatkan
tindakan operasi tandur pirau arteri koroner (CABG). Tingkat prevalensi kemunculan
kondisi ini setelah 1 minggu pasca operasi adalah 40% - 75% pasien. (Jose, 2005)
Hampir dari seluruh efusi ini berukuran kecil, unilateral, cenderung terjadi
dibagian kiri, dan tidak memunculkan gejala. Secara umum, kondisi ini akan secara
perlahan menghilang setelah beberapa minggu. Efusi pleura yang berukuran besar
(>25% hemitoraks) yang tidak dapat dijelaskan oleh kondisi lain terjadi pada sebagian
kecil pasien. (Jose, 2005)
Cairan pleura pada kondisi ini biasanya bersifat eksudat dan dapat
diklasifikasikan dengan mengacu pada deskripsi kotornya. Efusi berdarah cenderung
muncul lebih awal (< 4 minggu setelah operasi) dan mudah ditanggulangi dengan satu
sampai tiga thoracenteses terapeutik. Efusi yang tidak berdarah cenderung muncul
lebih telat (> 4 minggu setelah operasi) dan memiilki kadar laktat dehidrogenasi yang
relatif rendah dan persentase yang tinggi akan limfosit. Efusi tidak berdarah adalah
lebih sulit dikendalikan walaupun diberikan torasentesis berulang, dan kondisi ini
akan memerlukan pemberian obat anti-inflamatori atau pleurodesis kimia. (Jose,
2005)

16
7. Efusi kilosa
Efusi kilos dapat terjadi ketika kil atau chyle memasuki rongga pleura akibat
disrupsi saluran torasik yang disebabkan oleh trauma (bedah atau non-bedah) atau
oleh kanker. Penyaliran efusi kilosa secara kontinyu dapat menyebabkan malnutrisi
dan berkurangnya imunitas akibat hilangnya protein, lemak, elektrolit, dan limfosit.
(Jose, 2005)
Penanganan konservatif awal terdiri dari pembatasan asupan lemak makanan
sampai trigliserid rantai-menengah yang diserap melalui sistem vena portal dan tidak
dibawa oleh limfa, hal ini dilakukan untuk menurunkan laju alir limfa. Jika
diperlukan, aliran limfa dapat dikurangi dengan menggunakan nutrisi parenteral total
dan menghindari asupan oral.
Terapi bedah untuk kilotoraks, dengan ligasi saluran torasi atau implantasi pirau
pleuroperitoneal, dapat dibutuhkan sebelum pasien menjadi terlalu kurus untuk
mentoleransi intervensi ini. (Jose, 2005)
8. Efusi pleura akibat embolisme paru
Efusi pleura terjadi pada 30% sampai 50% para pasien penderita emboli paru.
Adalah mungkin bahwa jumlah yang signifikan akan efusi yang tidak terdiagnosa
sebeneranya disebabkan oleh embolisme paru. (Jose, 2005)
Cairan efusi untuk kondisi ini dapat bersifat transudatif (24%) atau eksudatif,
hal ini tergantung pada mekanismenya. Cairan efusi yang transudatif terjadi ketika
terjadi gagal jantung bagian kanan dan peningkatan tekanan kapiler pada pleura
parietal. Eksudat terjadi akibat peningkatan permeabilitas kapiler pada paru-paru
(yang disebabkan oleh iskemia atau mediator-mediator inflamatori akibat trombi yang
kaya akan platelet). Antikoagulasi standar merupakan penanganan pilihan(Jose, 2005)
9. Efusi pleura di unit penanganan/ perawatan intensif
Insiden efusi pleura di unit penanganan intensif (ICU) adalah beragam, hal ini
tergantung pada metode skrining. Satu penelitian, dengan menggunakan
ultrasonografi rutin, menemukan fakta bahwa efusi pleura terjadi pada 62% para
pasien yang dirawat di ICU medis. Di sisi lain, efusi pleura pun terdeteksi melalui
pemeriksaan fisik dan opasifikasi paling sedikit satu pertiga bidang paru-paru pada
pemeriksaan radiografi yang dialami oleh 8,4% pasien yang dirawat di ICU. Dengan
metode yang disebutkan terakhir, eksudat yang berkaitan dengan infeksi merupakan
kondisi yang paling umum. (Jose, 2005)

17
Torasentesis tidaklah berkontraindikasi dengan para pasien yang dirawat di
ICU yang mendapatkan pemasangan ventilasi mekanis. Di dalam satu penelitian yang
mengkaji efusi yang terdokumentasikan secara klinis, torasentesis rutin dapat
terkomplikasi dengan pneumotoraks pada 7% pasien. Penelitian yang sama
menunjukkan bahwa torasentesis dapat merubah diagnosis pada 45% pasien dan
merubah penanganan pada 33% pasien. Penggunaan ultrasonografi sebagai pemandu
diketahui dapat meningkatkan tingkat keamanan torasentesis pada para pasien yang
dipasangi ventilasi mekanis. (Jose, 2005)
10. Efusi yang tidak dapat dijelaskan
Penyebab dari 15% sampai 20% dari seluruh efusi pleura adalah sulit diketahui
walaupun para dokter berupaya untuk melakukan diagnostik yang intensif. Efusi pleura
yang tidak dapat dijelaskan telah didefinisikan sebagai efusi pleura tanpa penyebab, dan
hal ini sulit dijelaskan walaupun sudah dilakukan toransentesis berulang. Dokter haruslah
memastikan bahwa semua penyebab yang tidak biasa untuk kasus efusi pleural telah
dipertimbangkan dan penelitian lanjutan pun harus dilakukan. (Jose, 2005)
Kira-kira sekitar 50% dari seluru efusi ini akan sembuh dengan sendirinya, dan
tidak ada penyakit yang muncul sebagai penyebab dalam jangka panjang setelahnya.
Banyak dari efusi pleural yang tidak sembuh diketahui merupakan bentuk akibat dari
penyakit-penyakit malignan/ kanker, yang memang tampaknya tidak akan dapat
disembuhkan. Penyebab yang dapat ditangani yang paling umum akan efusi yang tidak
dapat dijelaskan adalah tuberkulosis. (Jose, 2005)
Dengan demikian, prosedur invasif seperti contohnya torakoskopi berbantuan-
video ataupun torakotomi dengan pensampelan langsung pleura akan sering
direkomendasikan untuk para pasien dengan kondisi ini. (Jose, 2005)

I. TERAPI
1. Torasentesis terapeutik
Setiap efusi plera yang cukup besar yang dapat menyebabkan gejala-gejala
pernafasan yang parah haruslah disalirkan, tanpa memandang penyebab ataupun
penanganan spesifik. Peredaan gejala adala tujuan utama dari penyaliran terapeutik untuk
para pasien ini. (Jose, 2005)
Kontraindikasi yang jelas akan torasentesis adalah infeksi kutan aktif pada lokasi
punktur/ insersi. Beberapa kontraindikasi relatif mencakup diatesis pendarahan parah,
antikoagulasi sistemik, dan munculnya sedikit volume cairan. (Jose, 2005)

18
Kemungkinan komplikasi dari prosedur ini adalah pendarahan (akibat punktur
yang tidak disengaja pada pembuluh darah atau parenkima paru), pneumotoraks, infeksi
(infeksi jaringan lunak atau empiema), laserasi organ intra perut, hipotensi, dan edema
paru. (Jose, 2005)

Gambar 2. Hasil pemindaian tomografi terkomputasi pada dada dengan “tanda pleural yang
terpisah” (ditandai dengan tanda panah), yang didapat dari penderita empiema. Pasien ini
membutuhkan penyaliran dengan torakostomi tuba/ selang.

Secara umum, tidak lebih dari 1000 samai 1500 mL cairan harus diambil pada satu
waktu penanganan. Penyaliran cairan secara cepat dapat meningkatkan resiko komplikasi
akan edema paru yang kembali meluas pada paru-paru yang terdampak atau gerakan cairan
cepat dari rongga intravaskular ke rongga pleura (pasca renjat torasentesis). Komplikasi-
komplikasi ini tampanya berkaitan dengan penghasilan tekanan negatif yang berlebih pada
rongga pelura selama torasentesis. Torasentesis volume besar dapat dilakukan dengan disertai
pemonitoran tekanan intrapleural. (Jose, 2005)
2. Torakostomi (selang/ tuba dada)
Torakostomi selang akan memungkinkan penyaliran volume cairan atau udara
yang cukup banyak dari rongga pleura.
Beberapa indikasi khusus untuk penempatan selang/ tuba dada mencakup
pneumotoraks spontan atau iatrogenik (khususnya jika berukuran besar dan memunculkan
gejala), hemotoraks, trauma dada penetratif, efusi parapneumonik atau empiema
komplikatif, kilotoraks, dan pleurodesis efusi pleura yang tidak memunculkan gejala.
Pada pasien yang mengalami gejala atau yang secara klinis tidak stabil, maka
tidak ada kontraindikasi absolut dalam hal pemasangan tuba/ selang dada. Pada para
pasien dengan rongga pleura komplikatif akibat multi lokulasi atau pleurodesis

19
sebelumnya, maka pemindaian CT scan dada dengan kontras haruslah dilakukan untuk
membimbing/ memandu proses pemasangan tuba/ selang dada. Untuk penyaliran dan
pleurodesis efusi pleura ganas, maka selang dada polimer silikon (Silastic) yang
berukuran 20 sampai 24 F biasanya akan dibutuhkan, walaupun kateter ukuran kecil (8-14
F) ditempatkan dengan panduan fluoroskopik, ultrasound, atau CT juga dapat berguna.
(Jose, 2005)
Efusi parapneumonik komplikatif dan empiema yang nyata (Gambar 2) membutuhkan
tindakan penyaliran dengan selang dada ukuran besar (28-36 F) untuk mengendalikan
reaksi inflamatori pleura, yang diketahui tidak akan merespon terhadap antibiotik
intravena.
Pada efusi dengan komplikasi termultilokulasi, penempatan kateter ukuran kecil
berpanduan pencitraan (10-14 F) haruslah dipertimbangkan untuk dilakukan. Jika
penyaliran yang tepat tidak dapat dilakukan, walaupun dengan pemposisian selang secara
tepat (yang diverifikasi dengan CT dada), terapi fibrinolitik dapatlah digunakan. Obat-
obatan seperti contohnya streptokinase, urinokinase, dan alteplase dapat melisiskan fibrin
dan memperbaiki kualitas penyaliran. (Jose, 2005)
3. Sklerosis pleural
Sklerosis pleural (pleurodesis) akan dipertimbangkan untuk para pasien dengan
efusi malignan simptomatik kambuhan yang sulit dikendalikan, dan terkadang, pada
kasus-kasus efusi jinak setelah kegaglan penanganan medis. Obat-obatan sklerotik
diinstilasikan kedalam rongga pleura melalui torakostomi selang untuk menghasilkan
serositis kimia dan fibrosis pada pleura.
Sklerosis pleura harus diupayakan hanya jika paru-paru mengembang secara
penuh setelah pembuangan cairan. Pleura viseral dan parietal perlu diaproksimasi, yang
dimana akan memperkecil rongga pleural sehingga penyembuhan fibrotik dapat mencapai
simfisis pleural. Tingkat keberhasilan akan penggunaan obat fibrosis (yaitu, talk,
doxycycline, dan tetracycline) adalah 75%, dibandingkan dengan tingkat keberhasilan
dari penggunaan obat-obatan antineoplastik yang hanya mencapai 44% (yaitu;
bleomicin). Talk merupakan obat yang paling efektif, dengan tingkat keberhasilan
lengkap yang mencapai 93%. Kegagalan pleurodesis biasanya diakibatkan oleh teknik
yang tidak optimal atau ketidakmampuan untuk mengaproksimasi permukaan pleural.
(Jose, 2005)

20
J. Terapi bedah

Torakoskopi berbantuan video merupakan upaya yang sangat berguna untuk


menangani efusi pneumonik yang tidak tersalirkan secara lengkap. Dengan torakoskopi,
lokuli pada pleura dapat dihambat/ didisrupsi, rongga pleura dapat secara utuh disalirkan,
dan selang dada dapat secar optimal ditempatkan/ dipasang.
Pada kasus empiema dengan sepsis yang sulit terkendali atau progresi ke arah fase
fibroproliferatif, torakotomi penuh dengan dekortikasi pun dapat dilakukan dengan
pengangkatan semua jaringan fibrosa dan pengevakuasian seluruh nanah dari rongga
pleura. Dekortikasi pada situasi ini akan mengeliminasi sumber septik dan
memungkinkan paru-paru untuk dapat mengembang. (Jose, 2005)

21
BAB III
KESIMPULAN

Efusi pleura merupakan kondisi akumulasi cairan berlebih pada rongga pleura
mengindikasikan terjadinya ketidakseimbangan antara pembentukan cairan pleura dengan
penyalirannya. Efusi pleura dapat terdiagnosis dengan USG dan CT scan dan dapat
diterapi dengan beberapa cara seperti:
1. Torasentesis terapeutik
2. Torakostomi (selang/tuba dada)
3. Sklerosis pleural
4. torakoskopi

22
DAFTAR PUSTAKA

C. Jose. Yataco, MD. A. Raed. Dweik, MD. Pleural Effusions: Evaluation and Management.

Volume 72. Cleveland Clinic Journal Of Medicine; 2005

Light RW. Pleural diseases. 5 th Williams and Wilkins; 2007. p.412 . ed. Baltimore

Sherwood L. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem, Ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2011

S. Susan. Gray’s Anatomy 40th Edition. London: Churchill Livingstone; 2009.

23

Anda mungkin juga menyukai