Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hingga saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak akibat

penyakit kanker di negara berkembang. Sesungguhnya penyakit ini dapat dicegah bila

program skrining sitologi dan pelayanan kesehatan diperbaiki. Diperkirakan setiap tahun

dijumpai 500.000 penderita baru di seluruh dunia dan umumnya terjadi di negara

berkembang (Aziz et al., 2006).

Penyakit ini berawal dari infeksi virus yang merangsang perubahan perilaku sel

epitel serviks. Insidensi dan mortalitas kanker serviks di dunia menempati urutan kedua

setelah kanker payudara. Sementara di negara berkembang masih menempati urutan

pertama sebagai penyebab kematian akibat kanker pada wanita usia reproduktif. Hampir

80% kasus berada di negara berkembang (Aziz et al., 2006).

Di Indonesia, penyakit kanker menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab

kematian, 64% penderitanya adalah perempuan yaitu menderita kanker leher rahim dan

kanker payudara. Riset kesehatan dasar tahun 2007 menunjukan prevalensi kanker di

Indonesia adalah 4,3 per 1000 penduduk. Setiap tahun ditemukan kurang lebih 500.000

kasus baru kanker serviks dan tiga perempatnya terjadi di negara berkembang. Data yang

berhasil dihimpun oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia menunjukan bahwa

angka kejadian kanker di Indonesia sampai saat ini diperkirakan setiap tahun muncul

sekitar 200.000 kasus baru dimana jenis terbesar kanker tersebut adalah kanker serviks

(Ginting, 2012)

1
B. TUJUAN

1. Mengetahui mekanisme yang mendasari infeksi HPV terhadap terjadinya kanker

serviks.

2. Mengetahui tentang kanker serviks secara umum.

3. Mengetahui pencegahan kanker serviks secara dini.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah keganasan yang terjadi pada

serviks (leher rahim) yang merupakan bagian terendah dari rahim yang menonjol ke

puncak liang senggama atau vagina (Depkes RI, 2006).

2.2 EPIDEMIOLOGI

Pada tahun 2010 estimasi jumlah insiden kanker serviks adalah 454.000 kasus1.

Data ini didapatkan dari registrasi kanker berdasarkan populasi, registrasi data vital, dan

data otopsi verbal dari 187 negara dari tahun 1980 sampai 2010. Per tahun insiden dari

kanker serviks meningkat 3.1% dari 378.000 kasus pada tahun 1980. Ditemukan sekitar

200.000 kematian terkait kanker serviks, dan 46.000 diantaranya adalah wanita usia 15-

49 tahun yang hidup di negara sedang berkembang. (ESGO, 2011)

Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke-7 secara

global dalam segi angka kejadian (urutan ke urutan ke- 6 di negara kurang berkembang)

dan urutan ke-8 sebagai penyebab kematian (menyumbangkan 3,2% mortalitas, sama

dengan angka mortalitas akibat leukemia). Kanker serviks menduduki urutan tertinggi di

negara berkembang, dan urutan ke 10 pada negara maju atau urutan ke 5 secara global.

Di Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua dari 10 kanker terbanyak berdasar

data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens sebesar 12,7%.

Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah wanita penderita

baru kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk dan setiap tahun terjadi

40 ribu kasus kanker serviks.

3
Kejadian kanker serviks akan sangat mempengaruhi hidup dari penderitanya dan

keluarganya serta juga akan sangat mempengaruhi sektor pembiayaan kesehatan oleh

pemerintah. Oleh sebab itu peningkatan upaya penanganan kanker serviks, terutama

dalam bidang pencegahan dan deteksi dini sangat diperlukan oleh setiap pihak yang

terlibat.

2.3 ETIOLOGI

Peristiwa kanker serviks diawali dari sel serviks normal yang terinfeksi oleh HPV

(Human papillomavirus). Infeksi HPV umumnya terjadi setelah wanita melakukan

hubungan seksual. Sebagian infeksi HPV bersifat hilang timbul, sehingga tidak terdeteksi

dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun pasca infeksi. Hanya sebagian kecil saja dari

infeksi tersebut yang menetap dalam jangka lama, sehingga menimbulkan kerusakan

lapisan lendir menjadi prakanker (Sinta et al., 2010).

Human papillomavirus, sampai saat ini telah diketahui memiliki lebih dari 100 tipe,

dimana sebagian besar diantaranya tidak berbahaya dan akan lenyap dengan sendirinya.

Dari 100 tipe HPV tersebut, hanya 30 diantaranya yang beresiko kanker serviks. Adapun

tipe yang beresiko adalah HPV 16, 18, 31, dan 45 yang sering ditemukan pada kanker

maupun lesi prakanker serviks, yaitu menimbulkan kerusakan sel lendir luar menuju

keganasan. Sementara, tipe yang beresiko sedang yaitu HPV tipe 33, 35, 39, 51, 52, 56,

58, 59, dan 68, dan yang beresiko rendah adalah HPV tipe 6, 11, 26, 42, 43, 44, 53, 54,

55, dan 56. Dari tipe-tipe ini, HPV tipe 16 dan 18 merupakan penyebab tersering kanker

serviks yang terjadi di seluruh dunia. HPV tipe 16 mendominasikan infeksi (50-60%)

pada penderita kanker serviks disusul dengan tipe 18 (10-15%) (Sinta et al., 2010).

Faktor lain yang berhubungan dengan kanker serviks adalah aktivitas seksual terlalu

muda (<16 tahun), jumlah pasangan seksual lebih dari 1 orang, dan adanya riwayat

4
infeksi berpapil. Karena hubungannya erat dengan infeksi HPV, wanita yang mendapat

atau menggunakan penekan kekebalan (immunosuppressive) dan penderita HIV berisiko

menderita kanker serviks (Aziz et al., 2006).

2.4 TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala dini pada kanker serviks tidak spesifik seperti adanya sekret

vagina yang agak lebih banyak dan kadang-kadang dengan bercak perdarahan.

Umumnya tanda ini sangat minimal dan sering diabaikan oleh penderita. Tanda yang

lebih klasik adalah sebagai berikut :

a. Perdarahan bercak yang berulang baik perdarahan setelah bersetubuh atau

membersihkan vagina. Perdarahan menjadi lebih sering, lebih banyak dan

berlangsung lebih lama.

b. Sekret vagina yang berbau terutama pada masa nekrosis lanjut. Nekrosis ini terjadi

karena pertumbuhan tumor yang cepat tidak diimbangi dengan pertumbuhan

pembuluh darah (angiogenesis) agar mendapat aliran darah yang cukup. Nekrosis ini

menimbulkan bau yang tidak sedap dan reaksi peradangan non spesifik.

c. Pada stadium lanjut ketika tumor sudah menyebar ke luar dari serviks dan melibatkan

jaringan di rongga pelvis (Aziz et al., 2006).

2.5 FAKTOR RESIKO

Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu:

1. Usia > 35 tahun

Pada usia tersebut mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim.

Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker laher

rahim. Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada usia lanjut merupakan gabungan

5
dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen

serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.

2. Usia pertama kali menikah.

Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda untuk melakukan

hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar

daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan seks idealnya

dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan

hanya dilihat dari sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada

sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya

sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang

wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di

bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada

serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih

rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar

termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa

bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu

mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari

sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya

bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada

usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap

perubahan.

3. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan.

Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah

satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah sel-sel di

6
permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak sehingga tidak terkendali

sehingga menjadi kanker.

4. Penggunaan antiseptik.

Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik

maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya

kanker.

5. Wanita yang merokok.

Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks

dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan, lendir

serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di

dalam rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping

meropakan ko-karsinogen infeksi virus. Nikotin, mempermudah semua selaput lendir

sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-

paru maupun serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah

nikotin yang dikonsumsi yang bisa menyebabkan kanker leher rahim.

6. Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia.

Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena virus

HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker leher

rahim sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit kelamin berisiko terkena

kanker leher rahim.

7. Paritas (jumlah kelahiran).

Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi dengan jarak

persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur yang ada, seorang perempuan

yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko tinggi untuk terkena

penyakit kanker leher rahim. Dengan seringnya seorang ibu melahirkan, maka akan

7
berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya

dampak dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya Human Papilloma Virus

(HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker leher rahim.

2.6 PATOFISIOLOGI

Virus HPV menginfeksi membrana basalis pada daerah metaplasia dan zona

transformasi serviks. Setelah menginfeksi sel epitel serviks sebagai upaya berkembang

biak virus ini akan meninggalkan sekuensi genomnya pada sel inang. Genom HPV

berupa episomal (bentuk lingkaran dan tidak terintegrasi dengan DNA inang) dijumpai

pada CIN dan berintegrasi dengan DNA inang pada kanker invasif. Pada percobaan in

vitro HPV terbukti mampu mengubah sel menjadi immortal (Aziz et al., 2006).

Tipe HPV paling berisiko adalah tipe 16 dan tipe 18 yang mempunyai peranan

yang penting melalui sekuensi gen E6 dan E7 dengan mengode pembentukan protein-

protein penting dalam replikasi virus. Onkoprotein dari E6 akan mengikat dan

menjadikan gen penekan tumor (p53) menjadi tidak aktif, sedangkan onkoprotein E7

akan berikatan dan menjadikan produk gen retinoblastoma (pRb) menjadi tidak aktif.

P53 dan pRb adalah protein penekan tumor yang berperan menghambat kelangsungan

siklus sel. Dengan tidak aktifnya p53 dan pRb, sel yang telah bermutasi akibat infeksi

HPV dapat meneruskan siklus sel tanpa harus memperbaiki kelainan DNA-nya. Ikatan

E6 dan E7 serta adanya mutasi DNA merupakan dasar utama terjadinya kanker (Aziz et

al., 2006).

8
Gambar 1. Patofisiologi Perjalanan Kanker Serviks

2.7 DIAGNOSIS

a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Pada umumnya, lesi prakanker belum memberikan gejala. Bila telah menjadi

kanker invasif, gejalan yang paling umum adalah perdarahan (contact bleeding,

perdarahan saat berhubungan intim) dan keputihan.

Pada stadium lanjut, gejala dapat berkembang mejladi nyeri pinggang atau perut

bagian bawah karena desakan tumor di daerah pelvik ke arah lateral sampai obstruksi

ureter, bahkan sampai oligo atau anuria. Gejala lanjutan bisa terjadi sesuai dengan

infiltrasi tumor ke organ yang terkena, misalnya: fistula vesikovaginal, fistula

rektovaginal, edema tungkai.

b. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan klinik ini meliputi inspeksi, kolposkopi, biopsi serviks,

sistoskopi, rektoskopi, USG, BNO -IVP, foto toraks dan bone scan , CT scan atau

MRI, PET scan. Kecurigaan metastasis ke kandung kemih atau rektum harus

dikonfirmasi dengan biopsi dan histologik. Konisasi dan amputasi serviks dianggap

sebagai pemeriksaan klinik. Khusus pemeriksaan sistoskopi dan rektoskopi dilakukan

hanya pada kasus dengan stadium IB2 atau lebih.

9
1. Sitologi

Pemeriksaan sitologi dikenal dengan pemeriksaan pap smear. Sitologi

bermanfaat untuk mendeteksi sel-sel serviks yang tidak menunjukan adanya gejala

dengan tingkat ketelitiannya mencapai 90%.

2. Kolposkopi

Kolposkopi merupakan pemeriksaan serviks dengan menggunakan alat

kolposkopi yaitu alat yang disamakan dengan mikroskop bertenaga rendah

pembesaran antara 6-40 kali dan terdapat sumber cahaya di dalamnya. Kolposkopi

dapat meningkatkan ketepatan sitologi menjadi 95%. Alat ini pertama kali

diperkenalkan di Jerman pada tahun 1925 oleh Hanz Hinselmann untuk memperbesar

gambaran permukaan porsio sehingga pembuluh darah lebih jelas dilihat. Pada alat ini

juga dilengkapi dengan filter hijau untuk memberikan kontras yang baik pada

pembuluh darah dan jaringan. Pemeriksaan Kolposkopi dilakukan untuk konfirmasi

apabila hasil test pap smear abnormal dan juga sebagai penuntun biopsi pada lesi

serviks yang dicurigai.

3. Biopsi

Biopsi dilakukan di daerah yang abnormal jika sambungan skuamosa

kolumnar yang terlihat seluruhnya dengan menggunakan kolposkopi. Biopsi harus

dilakukan dengan tepat dan alat biopsi harus tajam dan diawetkan dalam larutan

formalin 10% sehingga tidak merusak epitel.

4. Kolonisasi

Kolonisasi serviks adalah pengeluarak sebagian jaringan serviks sehingga

bagian yang dikeluarkan berbentuk kerucut. Kolonisasi dilakukan apabila proses

dicurigai berada di endoservik, lesi tidak tampak seluruhnya dengan permukaan

10
kolposkopi, dan ada kesenjangan antara hasil sitologik dengan histopatologik

(Fatimah, 2009).

c. Diagnosis Banding (Pecorelli, 2009)

1. Adenokarsinoma Endometrial

2. Polip Endoservikal

3. Chlamydia trachomatis atau Infeksi menular seksual lainnya pada wanita dengan:

 Keluhan perdarahan vagina, duh vagina serosanguinosa, nyeri pelvis

 Serviks yang meradang dan rapuh (mudah berdarah, terutama setelah

berhubungan seksual).

2.8 KLASIFIKASI KANKER SERVIKS

Klasifikasi kanker dapat di bagi menjadi tiga, yaitu klasifikasi berdasarkan

histopatologi, klasifikasi berdasarkan terminologi dari sitologi serviks, dan klasifikasi

berdasarkan stadium stadium klinis menurut FIGO (The International Federation of

Gynekology and Obstetrics) :

a. Klasifikasi berdasarkan histopatologi :

1. CIN 1 (Cervical Intraepithelial Neoplasia), perubahan sel-sel abnormal lebih

kurang setengahnya.

2. CIN 2, perubahan sel-sel abnormal lebih kurang tiga perempatnya.

3. CIN 3, perubahan sel-sel abnormal hampir seluruh sel.

b. Klasifikasi berdasarkan terminologi dari sitologi serviks :

1. ASCUS (Atypical Squamous Cell Changes of Undetermined Significance)

11
2. LSIL (Low-grade Squamous Intraepithelial Lesion)

3. HSIL (High Grade Squamous Intraepithelial Lesion)

c. Klasifikasi berdasarkan stadium klinis :

1. Stadium 0, karsinoma in situ atau infeksi awal HPV.

2. Stadium I, karsinoma terbatas di serviks

3. Stadium Ia, invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara mikroskopik. Lesi

yang dilihat secara langsung walau dengan invasi yang baik sangat superfisial

4. Stadium Ia1, invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm dan lebar

tidak lebih dari 7 mm.

5. Stadium Ia2, invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3 mm tetapi kurang

dari 5 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm.

6. Stadium Ib, lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari stadium Ia.

7. Stadium Ib1, besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm.

8. Stadium Ib2, besar lesi secara klinis lebih dari 4 cm.

9. Stadium II, telah melibatkan vagina namun belum sampai ke 1/3 bawah atau

infiltrasi ke parametrium belum mencapai dinding panggul.

10. Stadium IIa, telah melibatkan vagina tapi belum melibatkan parametrium.

11. Stadium IIb, infiltrasi ke parametrium tetapi belum mencapai dinding panggul.

12. Stadium III, telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya perluasan sampai ke

dinding panggul.

12
13. Stadium IIIa, keterlibatan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium belum

mencapai dinding panggul.

14. Stadium IIIb, perluasan sampai dinding panggul atau adanya hidroneprosis atau

gangguan fungsi ginjal

15. Stadium IV, perluasan ke organ reproduktif.

16. Stadium IVa, keterlibatan mukosa kandung kemih atau mukosa rektum.

17. Stadiun IVb, metastase jauh atau telah keluar dari rongga panggul (Aziz et al.,

2006).

2.9 PENATALAKSANAAN

Setelah diagnosis kanker serviks ditegakan harus ditentukan terapi apa yang tepat

untuk setiap kasus. Secara umum ada beberapa terapi yang dapat diberikan bergantung

pada usia dan keadaan umum penderita, luasnya penyebaran, dan komplikasi lain yang

menyertai. Pada umumnya stadium lanjut (Stadium IIb, III dan IV) dipilih pengobatan

radiasi yang diberikan secara intrakaviter dan eksternal sedangkan stadium awal dapat

diobati melalui pembedahan dan radiasi.

 Tatalaksana Lesi Prakanker (Kemenkes RI)

Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,

sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang ada.

Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat

dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes IVA

dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program, yaitu bila

didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan pengobatan sederhana

dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah terlatih.

13
Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal direkomendasikan

untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi. Bila diperlukan maka

dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter Procedure (LEEP) atau Large

Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ) untuk kepentingan diagnostik

maupun sekaligus terapeutik.

Bila hasil elektrokauter tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa

dilanjutkan dengan tindakan konisasi atau histerektomi total.

Temuan abnormal hasil setelah dilakukan kolposkopi :

 LSIL (low grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan observasi 1

tahun.

 HSIL(high grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan observasi 6

bulan

Berbagai metode terapi lesi prakanker serviks:

1. Terapi NIS dengan Destruksi Lokal

Beberapa metode terapi destruksi lokal antara lain: krioterapi dengan N2O dan

CO2, elektrokauter, elektrokoagulasi, dan laser. Metode tersebut ditujukan untuk

destruksi lokal lapisan epitel serviks dengan kelainan lesi prakanker yang kemudian pada

fase penyembuhan berikutnya akan digantikan dengan epitel skuamosa yang baru.

a. Krioterapi

Krioterapi digunakan untuk destruksi lapisan epitel serviks dengan metode

pembekuan atau freezing hingga sekurang-kurangnya -20oC selama 6 menit (teknik

Freeze-thaw-freeze) dengan menggunakan gas N2O atau CO2. Kerusakan bioselular

akan terjadi dengan mekanisme: (1) sel‐ sel mengalami dehidrasi dan mengkerut; (2)

14
konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; (3) syok termal dan denaturasi kompleks

lipid protein; (4) status umum sistem mikrovaskular.

b. Elektrokauter

Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi dengan

melakukan eksisi Loop diathermy terhadap jaringan lesi prakanker pada zona

transformasi. Jaringan spesimen akan dikirimkan ke laboratorium patologi anatomi

untuk konfirmasi diagnostik secara histopatologik untuk menentukan tindakan cukup

atau perlu terapi lanjutan.

c. Diatermi Elektrokoagulasi

Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan efektif

jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan anestesi

umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan serviks sampai

kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi, terutama jika lesi tersebut

sangat luas.

d. Laser

Sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu

muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas helium, gas

nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser yang mempunyai

panjang gelombang 10,6u. Perubahan patologis yang terdapat pada serviks dapat

dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan dan nekrosis. Lapisan paling luar dari

mukosa serviks menguap karena cairan intraselular mendidih, sedangkan jaringan

yang mengalami nekrotik terletak di bawahnya. Volume jaringan yang menguap atau

sebanding dengan kekuatan dan lama penyinaran.

 Tatalaksana kanker serviks invasif

a. Mikroinvasi, stadium 1a1

15
Kasus-kasus stadium sangat dini ini biasanya dijumpai di negara maju dimana

program skrining sudah menjadi hal rutin. Diagnosis ditetapkan dengan pemeriksaan

histopatologi jaringan konisasi. Society of Gynecologic Oncologist menggolongkan

lesi dengan kedalaman invasi stroma 3 mm atau kurang tanpa adanya invasi pembuluh

darah atau limfe sebagai stadium 1a1. Stadium 1a1 tanpa invasi pembuluh darah dan

limfe kemungkinan penyebaran ke kelenjar getah bening regionalnya tidak lebih dari

1%. Hal ini dapat dilakukan tindakan konisasi serviks asalkan pada pemeriksaan

histopatologinya tidak dijumpai sel tumor pada tepi sayatan konisasi. Tingkat

kesembuhan pada stadium ini dapat diharapkan hingga 100% (Aziz et al., 2006).

b. Stadium 1a2

Kasus dengan invasi stroma lebih dari 3 mm tetapi kurang dari 5 mm

kemungkinan invasi pembuluh darah atau limfe sekitar 7%. Kasus pada stadium ini

harus dilakukan histerektomi radikal dengan limfadenektomi kelenjar getah bening

pelvis atau radiasi bila ada kontraindikasi tindakan operasi. Untuk mengurangi

komplikasi operasi, tindakan pembedahan cenderung kurang radikal karena

kemungkinan penyebaran ke parametrium sangat kecil. Bagi penderita yang masih

menginginkan kehamilan dapat dilakukan trakhelektomi (Aziz et al., 2006).

c. Stadium Ib

Stadium Ib1 (Ukuran lesi < 4 cm) pengobatannya adalah histerektomi radikal

dengan limfadenektomi kelenjar getah bening pelvis dengan atau tanpa kelenjar getah

bening paraaorta memberikan hasil yang efektif. Hasil yang sama efektifnya

didapatkan bila diberikan terapi radiasi. Walaupun kedua modalitas terapi ini

memberikan tingkat kelangsungan hidup yang sama, pada penderita usia muda

operasi radikal lebih disukai karena masih dapat mempertahankan fungsi ovarium.

16
Bagi penderita dengan ukuran lesi <2 cm dapat dilakukan operasi trakhelektomi

radikal sehingga masih dapat mengalami kehamilan. Disamping dapat

mempertahankan fungsi hormonal, keunggulan lain terapi operatif tidak terjadi

stenosis vagina akibat radiasi (Aziz et al., 2006).

Stadium Ib2 (Ukuran lesi > 4 cm) atau disebut juga kanker serviks bentuk

barel karena ukuran yang besar. Kemungkinan penyebaran ke kelenjar getah bening

regional sekitar 20-25%. Dengan bentuk yang besar ini secara anatomis bila diberikan

terapi radiasi akan memberikan bagian tengah tumor yang lebih radioresisten karena

bagian tengah ini lebih hipoksik. Setelah radiasi selesai diberikan ada kecenderungan

terjadi kekambuhan sentral (Aziz et al., 2006).

d. Stadium IIa
Jenis terapinya sangat individual bergantung dengan perluasan tumor ke

vagina. Keterlibatan vagina yang minimal dapat dilakukan histerektomi radikal,

limfadenektomi pelvis dan vaginektomi bagian atas. Terapi yang optimal pada

kebanyakan stadium IIa adalah kombinasi radiasi eksternal dan radiasi intrakaviter.

Operasi radikal dengan pengangkatan kelenjar getah bening pelvis dan paraaorta serta

pengangkatan vagina bagian atas dapat memberikan hasil yang optimal asalkan tepi

sayatan bebas dari invasi sel tumor (Aziz et al., 2006).

e. Stadium IIb, III dan IVa

Pada kasus stadium lanjut ini tidak mungkin lagi dilakukan tindakan operatif

karena tumor telah menyebar jauh ke luar dari serviks. Pengobatan pada stadium ini

lebih cenderung ke radiasi. Luas lapangan radiasi bergantung pada besar tumor serta

jauhnya keterlibatan vagina. Bila hasil pemeriksaan dicurigai menyebar sampai ke

kelenjar getah bening paraaorta, radiasi harus diperluas sampai daerah ini. Khusus

stadium IVa dengan penyebaran sampai ke mukosa kandung kemih lebih disukai

17
operasi eksenterasi dari pada radiasi tetapi eksenterasi juga menjadi pilihan terapi

kuratif atau paliatif pada kasus persisten sentral setelah mendapatkan kemoradiasi

ataupun bila ada komplikasi fistula rekto vagina atau vesiko-vaginal (Aziz et al.,

2006).

f. Stadium IVb

Kasus stadium terminal ini prognosisnya sangat jelek, jarang bertahan hidup

sampai setahun semenjak didiagnosis. Penderita stadium IVb bila keadaan umum

memungkinkan dapat memberikan kemoradiasi namun hanya bersifat paliatif (Aziz et

al., 2006).

2.10 PROGNOSIS

Prognosis kanker serviks sangat bergantung pada seberapa dini kasus ini

terdiagnosis dan dilakukan terapi yang adekuat. Terapi yang tidak adekuat berupa

tindakan pembedahan maupun radiasi yang tidak sesuai dengan jadwal akan mengurangi

tingkat keberhasilan dari terapi (Aziz et al., 2006).

18
BAB III

PEMBAHASAN

Human Papillomavirus

HPV adalah jenis virus yang cukup lazim. Jenis yang berbeda dapat

menyebabkan tumor atau pertumbuhan sel yang tidak normal (displasia) dalam atau di

sekitar leher rahim atau dubur yang dapat menyebabkan kanker leher rahim atau

dubur. Tumor-tumor ini pada umumnya tumbuh di permukaan kulit yang lembab dan

di daerah sekitar alat kelamin sehingga disebut tumor kulit dan tumor kelamin. Infeksi

HPV pada alat kelamin dapat disebarkan melalui hubungan seks, sedangkan

penularan tumor kulit pada tangan atau kaki dapat terjadi tanpa hubungan seks

(penularannya dapat melalui sentuhan atau penggunaan barang secara bersama).

Untuk mencegah penyebarannya dapat dilakukan dilakukan tes Pap untuk

mendeteksi pertumbuhan tidak normal dari sel pada leher rahim sejak awal atau pun

dengan melakukan sekret vagina. Tes ini dapat memeriksa dubur laki-laki dan

perempuan. Walaupun tes Pap tampaknya merupakan cara terbaik untuk menemukan

kanker leher rahim secara dini, pemeriksaan fisik dengan hati-hati mungkin

merupakan cara terbaik untuk menemukan kanker dubur. Sedangkan untuk mencegah

penularannya, sebaiknya menjaga kebersihan diri dan jangan melakukan seks dengan

lebih dari satu orang. Tanda infeksi HPV (tumor atau displisia) sebaiknya diobati

sesegera mungkin setelah dideteksi sebelum masalah manjadi lebih besar dan

mungkin kambuh setelah diobati.

Klasifikasi

Familia : Papovaviridae

19
Genus : Papillomavirus

Spesies : Human Papillomavirus

Morfologi Papillomavirus

Gambar 2. Bentuk Human Papilloma Virus

Papovavirus merupakan virus kecil ( diameter 45-55 nm ) yang mempunyai

genom beruntai ganda yang sirkuler diliputi oleh kapsid (kapsid ini berperan pada

tempat infeksi pada sel) yang tidak berpembungkus menunjukkan bentuk simetri

ikosahedral. Berkembang biak pada inti sel menyebabkan infeksi laten dan kronis

pada pejamu alamiahnya dan dapat menyebabkan tumor pada beberapa binatang

(Contoh : Virus Papilloma manusia (tumor), Virus BK (diasingkan dari air kemih

penderita yang mendapat obat-obat imunosupresif)).

Mekanisme infeksi virus diawali dengan protein menempel pada dinding sel

dan mengekstraksi semua protein sel kemudian protein sel itu ditandai (berupa garis-

garis) berdasarkan polaritasnya. Jika polaritasnya sama denagn polaritas virus maka,

dapat dikatakan bahwa sel yang bersangkutan terinfeksi virus. Setelah itu, virus

menginfeksikan materi genetiknya ke dalam sel yang dapat menyebabkan terjadinya

mutasi gen jika materi genetik virus ini bertemu dengan materi genetik sel. Setelah

terjadi mutasi, DNA virus akan bertambah banyak seiring pertambahan jumlah DNA

20
sel yang sedang bereplikasi. Ini menyebabkan displasia (pertumbuhan sel yang tidak

normal) jadi bertambah banyak dan tak terkendali sehingga menyebabkan kanker.

“Papova” berasal dari tiga nama yang sering dipelajari ( Papilloma,

Polyoma,Vacoulating ). Yang akan dibahas termasuk virus Papilloma yaitu yang

menyebabkan tumor jinak dan ganas pada banyak tipe mamalia. Virus ini merupakan

salah satu dari virus DNA yang diketahui menyebabkan tumor alamiah pada tuan

rumah aslinya. Virus Papilloma menyebabkan beberapa jenis tumor yang berbeda

pada manusia, meliputi tumor kulit, kondiloma genital/ kondiloma akuminata(KA)

atau tumor kelamin/atau genital wart (di masyarakat dikenal sebagai jengger ayam

dengan masa inkubasi :1-6 bulan rata-rata 3 bulan, tampak benjolan seperti jengger

ayam di sekitar kemaluan dan anus serta kebanyakan tanpa keluhan ), dan papilloma

larings.

Papillomavirus sangat tropik terhadap sel-sel epitel kulit dan membran

mukosa. Tahap-tahap dalam siklus replikasi virus tergantung pada faktor-faktor

spesifik yang terdapat dalam status diferensiasi berikutnya dari sel epitel.

Ketergantungan kuat replikasi virus pada status diferensiasi sel inang ini, meyebabkan

sulitnya perkembangbiakan Papillomavirus in vitro.

Dengan mikroskop elektron virus, HPV berbentuk ikosahedral dengan ukuran

55 nm, memiliki 72 kapsomer dan 2 protein kapsid, yaitu L1 dan L2. Virus DNA ini

dapat bersifat mutagen. Infeksi HPV telah dibuktikan menjadi penyebab lesi

prakanker, kondiloma akuminatum, dan kanker. Terdapat 138 strain HPV yang sudah

diidentifikasi, 30 di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Ada lebih

dari seratus virus yang dikenal sebagai virus papilloma manusia (human papilloma

virus/HPV). HPV dapat menyebabkan kanker leher rahim karena dapat membuat

pertumbuhan sel menjadi tidak normal (dengan cara virus masuk ke dalam inti sel di

21
leher rahim dan mengubah bentuk sel sehingga sel menjadi mudah rapuh dan

pertumbuhannya menjadi tidak beraturan). Satu penelitian menemukan 11.000

perempuan terdeteksi HPV-positif di AS dan sekitar 4000 orang meninggal

karenanya. HPV menular dengan mudah melalui hubungan seks. Diperkirakan 75

persen orang yang aktif secara seksual terutama berusia 15-49 tahun di AS mengalami

sedikitnya satu jenis infeksi HPV. Virus ini terdiri dari puluhan genotype, dan dapat

menyerang berbagai bagian tubuh seperti jari dan tangan, telapak kaki, wajah, genital.

Tipe Human papillomavirus cukup beragam. Dari 100 tipe HPV, hanya 30 di

antaranya yang berisiko kanker serviks. Adapun tipe yang paling berisiko adalah HPV

16, 18, 31, dan 45. Sedangkan tipe 33, 35, 39, 51, 52, 56, 58, 59, dan 68 merupakan

tipe berisiko sedang. Dan yang berisiko rendah adalah tipe 6,11, 26, 42, 43, 44, 53,

54, 55, dan 56. Dari tipe-tipe ini, HPV tipe 16 dan 18 merupakan penyebab 70%

kanker rahim yang terjadi, sedangkan HPV tipe 6 dan 11 merupakan penyebab 90%

kandiloma akuminata jinak dan Papilloma laring pada anak-anak. Infeksi HPV

memiliki keterkaitan dengan lebih dari 99% kasus kanker serviks di seluruh dunia

(Jawetz, 1995).

Penyakit Yang Ditimbulkan

Berbagai jenis HPV menyebabkan tumor umum pada tangan atau kaki. HPV

juga dapat mengakibatkan masalah pada mulut atau pada lidah dan bibir. Beberapa

jenis HPV dapat menyebabkan tumor kelamin pada penis, vagina dan dubur. Jenis

HPV lain dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak normal yang disebut

displasia. Displasia dapat berkembang menjadi kanker dubur pada laki-laki dan

perempuan, dan kanker leher rahim (cervical cancer), atau kanker penis. Displasia di

sekitar dubur disebut neoplasia intraepitelial anal (anal intraepithelial neoplasia/AIN).

Epitel adalah lapisan sel yang meliputi organ atau menutupi permukaan tubuh yang

22
terbuka. Neoplasia berarti perkembangan baru sel yang tidak normal. AIN adalah

perkembangan sel baru yang tidak normal pada lapisan dubur. Displasia pada daerah

leher rahim disebut neoplasia intraepitelial serviks (cervical intraepithelial

neoplasia/CIN).

Kondiloma genital dapat ditularkan melalui sentuhan dan hubungan seksual.

Penyakit ini dapat menyerang siapa saja, namun ada sebagian orang yang berisiko

untuk terjangkit penyakit ini antara lain: orang yang sering kontak dengan air/bekerja

di tempat basah (seperti tukang ikan, tukang daging, pemotong hewan), orang yang

hiperhidrosis/ telapak tangan atau kakinya selalu basah, anak-anak. Penyakit ini

menular baik dengan kontak langsung maupun tidak langsung seperti pemakaian

handuk dan baju yang bersamaan. Pada orang-orang yang berisiko terjangkit penyakit

ini dapat terjadi kekambuhan karena virus ini mudah hidup dan berkembang pada

kulit yang sering terkena trauma dan selalu basah. Pada orang yang

imunnocompromise atau daya tahan tubuh kurang baik atau buruk virus ini dapat

berkembang cepat pada seluruh badan atau bekembang menjadi keganasan kulit

seperi kanker skuamosa.

Gambar 3. Tumor kulit

23
Gambar 4. Genital Warts/ tumor kelamin

Kanker serviks merupakan penyebab kematian akibat kanker yang terbesar

setelah kanker payudara pada wanita di negara-negara berkembang, bahkan tiap

tahunnya sekitar seperempat juta wanita meninggal karena penyakit ini. Tidak hanya

itu, kanker serviks juga berdampak pada sekitar setengah juta wanita tiap tahunnya

dan 80% penderita kanker serviks hidup di negara-negara dengan pendapatan

penduduk yang rendah atau sedang. Menurut penelitian yang dikemukakan oleh

yayasan kanker Indonesia menyatakan bahwa tiap 1 jam, seorang wanita di Indonesia

meninggal akibat kanker serviks. Peristiwa kanker serviks diawali dari normal serviks

yang terinfeksi HPV dan menyebabkan timbulnya displasia sehingga menimbulkan

kanker. Kanker Serviks cenderung muncul pada wanita usia 35-55 tahun (pada saat

usia produktif). Namun dapat pula muncul pada perempuan berusia lebih muda.

Penyebab dari kanker ini adalah Human Papilloma Virus yaitu sejenis virus yang

menyerang manusia dan berpotensi menyebabkan terjadinya komplikasi dan

kemandulan. Serviks normal bentuknya lurus, sedangkan serviks yang terinfeksi

bentuknya membesar, keluar karena bertumor. Inilah yang menyebabkan rasa sakit

pada penderita kanker serviks saat melakukan hubungan seks.

Beberapa faktor yang dapat mempermudah terinveksi virus HPV yaitu

a. menikah atau memulai aktivitas seksual pada usia muda (kurang dari 18 tahun),

24
b. berganti-ganti pasangan seks (pasangan wanita tersebut maupun pasangan

suaminya),

c. wanita melahirkan banyak anak (sering melahirkan), sering menderita infeksi di

daerah rahim, dan

d. wanita perokok yang mempunyai resiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks

dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok.

Perlu diingat bahwa setiap perempuan beresiko untuk terinfeksi HPV

walaupun setia pada satu pasangan. Pasangan yang terinfeksi akan menjadi sumber

infeksi HPV bagi wanita lainnya. Ternyata walaupun kanker leher rahim adalah

penyakit perempuan tetapi lelaki memiliki peran penting di dalam penyebarannya.

Lelaki yang pernah menikah dengan perempuan penderita kanker leher rahim

otomatis bisa menularkan penyakit tersebut kepada perempuan lain melalui hubungan

seksual. Maka disarankan pada kaum lelaki yang suka ”jajan” agar berhati-hati, sebab

bukan tidak mungkin ia menjadi media perantara penyakit kanker leher rahim ke

istrinya sendiri. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah lesi (tumor) dapat membesar

dan tumbuh bersama. Tetapi resiko terbesar dari HPV adalah kanker leher rahim atau

bahkan kematian. Kanker leher rahim dapat dideteksi dengan menggunakan tes Pap

sehingga pertumbuhan sel yang abnormal pada leher rahim tersebut terdeteksi lebih

awal dan dapat dilakukan konisasi (mengambil bagian sel yang berubah) sebelum ia

berkembang menjadi kanker.

Gejala kanker serviks :

Gejala awal kondisi pra-kanker umumnya ditandai dengan ditemukannya sel-

sel abnormal serviks yang dapat ditemukan melalui tes Pap Smear. Sering kali kanker

serviks tidak menimbulkan gejala. Namun bila sel-sel abnormal ini berkembang

menjadi kanker serviks, barulah muncul gejala-gejala sebagai berikut :

25
1. Pendarahan vagina yang tidak normal seperti :

a. Pendarahan di antara periode menstruasi yang regular

b. Pendarahan di luar waktu haid

c. Periode menstruasi yang lebih lama dan lebih banyak dari biasanya

d. Pendarahan setelah hubungan seksual atau pemeriksaan panggul

e. Pendarahan sesudah menopause

f. Kelainan pada vagina (keluarnya cairan kekuningan, berbau)

2. Rasa sakit saat berhubungan seksual

3. Rasa sakit/ nyeri pada pinggul dan kaki

Tips menghindarkan wanita dari kemungkinan terkena kanker mulut rahim sebagai

berikut:

1. Waspadai gejalanya. Segera hubungi dokter kalau terdapat gejala-gejala yang tidak

normal seperti pendarahan, terutama setelah aktivitas seksual.

2. Pemeriksaan teratur. Lakukan tes pap smear setiap tahun. Ini dilakukan sampai

berusia 70 tahun.

3. Jangan merokok karena yang dikandung tembakau dapat merangsang timbulnya

sel-sel kanker melalui nikotin dikandung dalam darah Anda. Risiko wanita perokok

4-13 kali lebih besar dibandingkan wanita bukan perokok. Diperkirakan nikotin

memberikan efek toksik pada sel epitel, termasuk selaput lendir mulut rahim,

sehingga memudahkan masuknya mutagen virus dan membuatnya rentan terhadap

sel-sel kanker.

4. Hindarkan kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan

antiseptik maupun deodoran karena akan mengakibatkan iritasi di serviks yang

merangsang terjadinya kanker.

26
Beberapa hal yang bisa dikerjakan untuk menghindari ancaman kanker leher rahim

sbb :

1. Melakukan pap smear secara teratur (tiga tahun setelah hubungan seks pertama,

tiga bulan setelah melahirkan dan secara rutin minimal setahun sekali).

2. Menghindari hal-hal yang dapat meningkatkan risiko timbulnya kanker leher

rahim misalnya berganti-ganti pasangan seksual, merokok, dll.

3. Menjaga kebersihan organ intim.

4. Selalu waspada dan segera ke dokter bila mengalami tanda-tanda yang

mencurigakan, seperti keputihan dan pengeluaran cairan yang berbau busuk dari

vagina, perdarahan yang terjadi setelah melakukan hubungan intim, dan

perdarahan atau haid yang abnormal.

5. “Jangan tunda lagi”, luangkan waktu Anda untuk melakukan pemeriksaan pap

smear. Beberapa peneliti menganggap bahwa tes Pap/ pap smear pada dubur dan

leher rahim sebaiknya dilakukan setiap tahun untuk orang yang berisiko lebih

tinggi:

 Orang yang menerima seks anal (penis masuk pada duburnya)

 Perempuan yang pernah mengalami CIN

 Siapa pun dengan kadar CD4 di bawah 500

Namun peneliti lain menganggap pemeriksaan fisik dengan teliti dapat

menemukan semua kasus kanker dubur yang ditemukan melalui tes Pap pada

dubur.

Infeksi HPV

Infeksi HPV dapat terjadi saat hubungan seksual pertama, biasanya pada masa

awal remaja dan dewasa. Prevalensi tertinggi (sekitar 20%) ditemukan pada wanita

27
usia kurang dari 25 tahun. Pada wanita usia 25-55 tahun dan masih aktif berhubungan

seksual berisiko terkena kanker serviks sekitar 5-10 persen. Meski fakta

memperlihatkan, terjadi pengurangan risiko infeksi HPV seiring pertambahan usia,

namun sebaliknya risiko infeksi menetap/persisten malah meningkat. Hal ini diduga

karena seiring pertambahan usia terjadi perubahan anatomi (retraksi) dan histologi

(metaplasia). Selama serviks matang melebihi masa reproduktif seorang wanita, maka

cervical ectropion digantikan melalui suatu proses squamous metaplasia, untuk

membagi secara bertingkat epitel skuamosa. Epitel skuamosa bertingkat ini

diperkirakan lebih protektif pada banyak orang melawan penyakit yang ditularkan

melalui hubungan seksual. Selain itu, hasil imunitas dari paparan infeksi sebelumnya,

juga diduga sebagai biang dibalik penurunan insiden tersebut.

Infeksi HPV dapat mengakibatkan kanker serviks karena : Apoptosis (dari

bahasa Yunani apo = "dari" dan ptosis = "jatuh") adalah mekanisme biologi yang

merupakan salah satu jenis kematian sel terprogram. Apoptosis digunakan oleh

organisme multisel untuk membuang sel yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh.

Apoptosis berbeda dengan nekrosis. Apoptosis pada umumnya berlangsung seumur

hidup dan bersifat menguntungkan bagi tubuh, sedangkan nekrosis adalah kematian

sel yang disebabkan oleh kerusakan sel secara akut. Contoh nyata dari keuntungan

apoptosis adalah pemisahan jari pada embrio. Apoptosis yang dialami oleh sel-sel

yang terletak di antara jari menyebabkan masing-masing jari menjadi terpisah satu

sama lain. Apoptosis dapat terjadi misalnya ketika sel mengalami kerusakan yang

sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Keputusan untuk melakukan apoptosis berasal dari

sel itu sendiri, dari jaringan yang mengelilinginya, atau dari sel yang berasal dari

sistem imun. Bila sel kehilangan kemampuan untuk melakukan apoptosis (misalnya

karena mutasi), atau bila inisiatif untuk melakukan apoptosis dihambat (oleh virus),

28
sel yang rusak dapat terus membelah tanpa terbatas, yang akhirnya menjadi kanker.

Sebagai contoh, salah satu hal yang dilakukan oleh virus papilloma manusia (HPV)

saat melakukan pembajakan sistem genetik sel adalah menggunakan gen E6 yang

mendegradasi protein p53. Padahal protein p53 berperan sangat penting pada

mekanisme apoptosis. Oleh karena itu HPV dapat menyebabkan kanker serviks (Barr,

2007).

Penyebaran HPV

Penyebaran HPV dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti : letak geografis,

genetik, status sosial ekonomi rendah, nutrisi, sistem imun alami, banyak pasangan

seks, usia, dan rokok (nikotin). Tipe yang paling umum dijumpai justru yang paling

berbahaya, yakni 16 dan 18. Tipe 16 biasa ditemukan di wilayah seperti Eropa,

Amerika Serikat, dan wilayah lainnya. Sementara tipe 18 lebih banyak ditemukan di

Asia.

Penularan HPV

HPV tidak hanya tertular melalui pertukaran cairan tubuh (terutama malalui

hubungan seks, pertukaran jarum suntik untuk digunakan bersama,dll) tetapi juga

lewat penggunaan barang secara bersama (handuk, sprei, dll), sentuhan (apabila ada

tumor di badan), melalui ciuman (bila HPV sudah menyebabkan gangguan pada

mulut), serta kurangnya kesadaran untuk menjaga kebersihan tubuh (terutama daerah

sekitar organ kelamin). Oleh karenanya bukan tidak mungkin seseorang terinfeksi

HPV jauh sebelum ia melakukan hubungan seks pertamakalinya. Namun pada

umumnya penularan HPV terjadi melalui kontak seksual (umur 15 hingga 49 tahun),

tetapi tidak seorang dokter pun dapat memperkirakan kapan infeksi itu terjadi.

Kebanyakan infeksi HPV juga dapat mengalami remisi setelah beberapa tahun.

29
Beberapa di antaranya bahkan akan menetap dengan atau tanpa menyebabkan

abnormalitas pada sel. Untuk menemukan HPV, dokter mencari displasia atau tumor

kelamin. Oleh karenanya jika tampak adanya tumor maka segeralah memeriksakan

diri sehingga dokter dapat memeriksanya sedangkan perubahan pada leher rahim

dapat diperiksa atau diketahui dengan melakukan tes Pap. Walaupun Pap smear dapat

menyembuhkan kanker rahim, tidak berarti bahwa seseorang dapat terbebas begitu

saja. Orang yang pernah terinfeksi HPV harus rutin melakukan Pap smear karena

virus ini dapat sewaktu-waktu kembali tanpa disadari (Barr, 2007)

PATOFISIOLOGI

Penyebab kanker serviks adalah multifaktor, yang dibedakan berdasarkan atas

faktor risiko mayor, faktor risiko minor (Suwiyoga,2007). Pada faktor mayor kanker

serviks sekitar 90% terdapatnya virus HPV. Infeksi HPV risiko tinggi merupakan

awal dari patogenesis kanker serviks, sedangkan HPV risiko tinggi merupakan

karsinogen kanker serviks.

Virus HPV menginfeksi membrana basalis pada daerah metaplasia dan zona

transformasi serviks. Setelah menginfeksi sel epitel serviks sebagai upaya

berkembang biak virus ini akan meninggalkan sekuensi genomnya pada sel inang.

Genom HPV berupa episomal (bentuk lingkaran dan tidak terintegrasi dengan DNA

inang) dijumpai pada CIN dan berintegrasi dengan DNA inang pada kanker invasif.

Pada percobaan in vitro HPV terbukti mampu mengubah sel menjadi immortal (Aziz

et al., 2006).

Tipe HPV paling berisiko adalah tipe 16 dan tipe 18 yang mempunyai peranan

yang penting melalui sekuensi gen E6 dan E7 dengan mengode pembentukan protein-

protein penting dalam replikasi virus. Onkoprotein dari E6 akan mengikat dan

30
menjadikan gen penekan tumor (p53) menjadi tidak aktif, sedangkan onkoprotein E7

akan berikatan dan menjadikan produk gen retinoblastoma (pRb) menjadi tidak aktif.

P53 dan pRb adalah protein penekan tumor yang berperan menghambat kelangsungan

siklus sel. Dengan tidak aktifnya p53 dan pRb, sel yang telah bermutasi akibat infeksi

HPV dapat meneruskan siklus sel tanpa harus memperbaiki kelainan DNA-nya.

Ikatan E6 dan E7 serta adanya mutasi DNA merupakan dasar utama terjadinya kanker

(Aziz et al., 2006).

SKRINING HPV

1. Pemeriksaan sitology ( pap smear)

Merupakan pemeriksaan primer untuk mendeteksi kanker pada serviks

fungsinya adalah untuk melihat sel – sel dalam leher rahim dimana sampel

diambil dari liang vagina.

2. Tes DNA HPV

Pemeriksaan DNA HPV, merupakan pemeriksaan molekular yang

secara langsung bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya HPV pada sel –

sel yang diambil dari serviks. Infeksi HPV risiko tinggi merupakan penyebab

utama kanker leher rahim, ada 13 jenis yakni : 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51,

52, 56, 58, 59, dan 68.

Saat ini ada 2 macam pemeriksaan HPV DNA, yaitu:

a. HPV DNA:

Hanya untuk mengetahui ada tidaknya infeksi HPV subtipe risiko tinggi.

b. HPV DNA Genotyping: Dapat mengetahui hingga ke subtipe HPV.Beberapa

artikel reviewmenyatakan bahwa pemeriksaan HPV DNA (hingga penentuan

subtipe HPV) dipandang penting untuk 2 alasan:

31
 Mengetahui persistensi. Faktor yang me-nyebabkan perubahan sel ke arah

keganasan adalah persistensi virus. Apabila seseorang terinfeksi oleh

subtipe yang sama 2 kali berturut-turut dengan jeda 1 tahun, diistilahkan

sebagai infeksi persis-ten. Namun, apabila terinfeksi oleh sub-tipe yang

berbeda walaupun sama-sama subtipe risiko tinggi, dikenal sebagai infeksi

sesaat (transient infection).

 Karena infeksi oleh subtipe 16 dan 18 merupakan 70% penyebab kanker

leher rahim, berbagai artikel mengusulkan pembedaan tata laksana untuk

kedua subtipe tersebut. Bila ditemukan subtipe 16 atau 18, tanpa

memandang ada tidaknya abnormalitas pada pemeriksaan sitologi, tata

laksananya berupa kolpo-skopi. Namun, bila ditemukan subtipe risiko

tinggi lainnya (bukan subtipe 16 atau 18), tata laksana bergantung pada

kelainan sitologi.Apabila ditemukan HSIL pada pemerik-saan sitologi, tata

laksananya berupa kolposkopi. Apabila kelainan sitologinya adalah LSIL

(low – grade squamous intraepithelial lesion) atau lebih rendah, pasien

dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan sitology dan HPV setahun

kemudian. Apabila ditemukan subtipe yang sama (infeksi persisten), tata

laksananya berupa kolposkopi (American Journal of Epidemiology 2008).

Pencegahan Kanker Serviks

a. Skrining

Tes yang dapat membantu mencegah kanker leher rahim yakni:

1. Tes Pap (Pap smear atau) mencari prekanker, perubahan sel pada leher rahim

yang dapat menjadi kanker serviks jika tidak diobati dengan tepat. Mulai

dilakukan pada usia 21.

32
2. Papillomavirus test (HPV) manusia mencari virus yang dapat menyebabkan

perubahan sel.

Yang paling penting yang dapat dilakukan untuk membantu mencegah kanker

serviks adalah dengan melakukan tes skrining rutin.Jika hasil tes pap smear

normal, kesempatan untuk mendapatkan kanker serviks dalam beberapa tahun

ke depan sangat rendah. Untuk alasan itu, tidak perlu lagi tes Pap selama tiga

tahun. Pada usia 30 tahun atau lebih tua, dapat memilih untuk memiliki tes

HPV bersama dengan tes Pap. Jika kedua hasil tes normal, bisa menunggu

lima tahun untuk melakukan tes Pap berikutnya. Tapi pemeriksaan ke dokter

secara teratur tetap harus dilakukan(Centers for Disease Control and

Prevention, 2013).

Bagi wanita berusia 21-65, penting untuk terus mendapatkan tes Pap. Namun,

pada usia yang lebih tua dari 65 dan memiliki hasil tes Pap normal untuk

beberapa tahun, atau pada kondisi serviks yang tidak ada karena histerektomi

total pada kondisi non kanker, seperti fibroid, tidak perlu dilakukan tes Pap

lagi (Centers for Disease Control and Prevention, 2013).

b. Mendapatkan Vaksin HPV

Dua vaksin HPV yang tersedia untuk melindungi perempuan terhadap jenis

HPV yang menyebabkan kanker serviks yang paling, vagina, dan vulva. Kedua

vaksin yang direkomendasikan untuk remaja perempuan usia 11-12 tahun, dan

untuk wanita 13 sampai 26 tahun yang tidak mendapatkan salah satu atau semua

dari vaksin ketika mereka masih muda. Vaksin ini juga dapat diberikan pada

remaja perempuan usia 9 tahun. Disarankan bahwa wanita mendapatkan merek

vaksin yang sama untuk tiga dosis keseluruhan, bila memungkinkan. Penting

untuk dicatat bahwa bahkan wanita yang divaksinasi terhadap HPV perlu

33
memiliki Pap Smear secara teratur untuk skrining kanker serviks.Vaksin

melindungi terhadap infeksi dengan jenis HPV selama 6 sampai 8 tahun. Hal ini

tidak diketahui apakah perlindungan berlangsung lebih lama. Vaksin-vaksin tidak

melindungi perempuan yang sudah terinfeksi dengan HPV (Centers for Disease

Control and Prevention, 2013; National Cancer Institute, 2012).

c. Menghindari faktor risiko dan meningkatkan faktor proteksi

Menghindari faktor risiko kanker dapat membantu mencegah kanker tertentu.

Faktor risiko meliputi merokok, kelebihan berat badan, dan tidak cukup

berolahraga. Meningkatkan faktor proteksi seperti berhenti merokok, makan

makanan yang sehat, dan berolahraga juga dapat membantu mencegah beberapa

jenis kanker (National Cancer Institute, 2012).

Faktor-faktor risiko berikut meningkatkan risiko kanker serviks:

1. Infeksi HPV

Penyebab paling umum dari kanker serviks adalah infeksi pada serviks

dengan human papillomavirus (HPV). Ada lebih dari 80 jenis human

papillomavirus. Sekitar 30 jenis dapat menginfeksi leher rahim dan sekitar

setengah dari mereka telah dikaitkan dengan kanker serviks. Infeksi HPV umum

tetapi hanya jumlah yang sangat kecil wanita terinfeksi HPV mengembangkan

kanker serviks. Infeksi HPV yang menyebabkan kanker serviks menyebar

terutama melalui kontak seksual. Wanita yang menjadi aktif secara seksual pada

usia muda dan yang memiliki banyak pasangan seksual berada pada risiko yang

lebih besar infeksi HPV dan berkembangnya kanker serviks (National Cancer

Institute, 2012).

34
2. Merokok

Merokok rokok dan menghirup asap rokok meningkatkan risiko kanker

serviks. Di antara perempuan terinfeksi HPV, displasia dan kanker invasif terjadi

2 sampai 3 kali lebih sering pada perokok dan mantan perokok. Asap rokok

menyebabkan peningkatan yang lebih kecil dalam risiko (National Cancer

Institute, 2012).

3. Tingginya jumlah kehamilan aterm

Wanita yang memiliki 7 atau lebih kehamilan aterm mungkin memiliki

peningkatan risiko kanker serviks(National Cancer Institute, 2012).

4. Penggunaan jangka panjang dari kontrasepsi oral

Wanita yang telah menggunakan kontrasepsi oral ("pil KB") selama 5 tahun

atau lebih memiliki risiko lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan wanita

yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi oral. Risiko lebih tinggi setelah 10

tahun penggunaan (National Cancer Institute, 2012).

Faktor-faktor proteksi berikut dapat mengurangi risiko kanker serviks:

1. Mencegah infeksi HPV

HPV dapat dicegah dengan hal-hal berikut:

a. Menghindari aktivitas seksual: infeksi HPV serviks adalah penyebab paling

umum dari kanker serviks. Menghindari aktivitas seksual menurunkan risiko

infeksi HPV(National Cancer Institute, 2012).

b. Menggunakan perlindungan penghalang atau gel spermisida: Beberapa metode

yang digunakan untuk mencegah penyakit menular seksual (PMS) mengurangi

risiko infeksi HPV. Penggunaan metode penghalang pengendalian kelahiran

35
(seperti kondom atau gel yang membunuh sperma) membantu melindungi

terhadap infeksi HPV(National Cancer Institute, 2012).

Pengaruh diet pada risiko kanker serviks tidak diketahui. Uji coba pencegahan

kanker klinis digunakan untuk mempelajari cara-cara untuk menurunkan risiko

terkena jenis kanker tertentu. Percobaan pencegahan kanker dilakukan dengan orang-

orang sehat yang tidak menderita kanker tetapi yang memiliki peningkatan risiko

untuk kanker. Uji coba pencegahan lain yang dilakukan dengan orang-orang yang

telah menderita kanker dan berusaha untuk mencegah kanker lain dari jenis yang

sama atau untuk menurunkan kesempatan berkembangnyakankerjenis baru.

Percobaan lain yang dilakukan dengan sukarelawan sehat yang tidak diketahui

memiliki faktor risiko apapun untuk kanker. Uji coba ini termasuk makan buah-

buahan dan sayuran, berolahraga, berhenti merokok, atau minum obat tertentu,

vitamin, mineral, atau suplemen makanan (National Cancer Institute, 2012).

36
BAB IV

KESIMPULAN

1. Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah keganasan yang terjadi pada serviks

(leher rahim) yang merupakan bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak

liang senggama atau vagina.

2. Penyebab dari kanker serviks adalah Human Papillomavirus.

3. Faktor risiko kanker serviks adalah infeksi HPV, merokok, tingginya jumlah

kehamilan aterm, penggunaan jangka panjang dari kontrasepsi oral.

4. Pencegahan kangker serviks adalah dengan melakukan skrining, mendapatkan

vaksin HPV, dan menghindari faktor risiko.

37
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, MF., Andrijono, Saifuddin AB, editors., 2006. Buku Acuan Nasional Onkologi
Ginekologi. Edisi kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Barr E, Tamms G., 2007, Quadrivalent human papillomavirus vaccine,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17682997?dopt=Ab
Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Gynecologic Cancer: Cervical Cancer
Prevention. Diakses dari http://www.cdc.gov/cancer/cervical/basic_info/prevention.ht
m pada tanggal 14 Maret 2013
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pusat Promosi Kesehatan. Kanker Leher Rahim lebih cepat
ditemukan, Lebih besar kemungkinan sembuh. Jakarta.
Diananda R. 2009. Panduan Lengkap Mengenai Kangker. Yogyakarta: Mirza Media Pustaka
Fatimah A.N. 2009. Studi kualitatif tentang perilaku keterlambatan pasien dalam melakukan
pemeriksaan ulang pap smear di Klinik Keluarga Yayasan Kusuma Buana Tanjung
Priok Jakarta Timur Tahun 2008. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Jakarta.
Ginting, Herlina. 2012. Hubungan antara dukungan sosial dengan optimisme pada penderita
kanker serviks. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Invited commentary: Is monitoring of human papillomavirus infection for viral persistence
ready for use in cervical cancer screening? American Journal of Epidemiology
2008;168(2):138 – 44.
Jawetz, Melnick, 1995, Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan, Ed. 16, EGC, Jakarta
National Cancer Institute. 2012. Cervical Cancer Prevention. Diakses dari
http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/prevention/cervical/Patient/page3 pada
tanggal 14 Maret 2013
Sinta, NS. 2010. Kanker Serviks dan Infeksi Human Pappilomavirus (HPV). Jakarta:
Javamedia Network

European Society Gyncology Oncology (ESGO), Algorithms for management of cervical


cancer, 2011

Pecorelli S: Revised FIGO staging for carcinoma of the vulva, cervix, and endometrium. Int J
Gynaecol Obstet 105 (2): 103-4, 2009.

38

Anda mungkin juga menyukai