Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4

per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka

salah satu tolak ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus,

dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup.

Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih

dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus

neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat

menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia

dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya

produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada

neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal.

Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih

pendek.

Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau

usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data

epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus

yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan

kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan

pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis

yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan.
Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik

(ikterus non-fisiologis).

Di Amerika Serikat, sebanyak 65 % bayi baru lahir menderita ikterus dalam

minggu pertama kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah sakit

pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi

baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya.1

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari Ikterus pada bayi ?

2. Bagaimana etiologi dari Ikterus pada bayi ?

3. Bagaimana patofisiologi terjadinya Ikterus ?

4. Apa saja gejala dan tanda Ikterus ?

5. Bagaimana diagnosis dari Ikterus ?

6. Bagimana penatalaksanaan dan pengelolaan Ikterus pada bayi ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan pembuatan referat ini adalah :

1. Untuk mengetahui definisi dari Ikterus

2. Untuk mengetahui etiologi dari Ikterus

3. Untuk mengetahui fisiologi dan patofisiologi Ikterus

4. Untuk mengetahui gejala dan tanda dari Ikterus

5. Untuk mengetahui diagnosis dari Ikterus

6. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Ikterus


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa

karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis,

ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. (HTA

Indonesia, 2004)

Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL. HTA

Indonesia, 2004)

Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:

a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan

b. Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan

>10 mg/dL

c. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam

d. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL

e. Ikterus menetap pada usia >2 minggu

f. Terdapat faktor risiko

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemu-

kan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam

minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Bayi dengan hiperbilirubinemia

tampak kuning akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan

kulit. (Wong, 2007)


Pada janin, tugas mengeluarkan bilirubin dari darah dilakukan oleh plasenta, dan

bukan oleh hati. Setelah bayi lahir, tugas ini langsung diambil alih oleh hati, yang

memerlukan sampai beberapa minggu untuk penyesuaian. Selama selang waktu tersebut,

hati bekerja keras untuk mengeluarkan bilirubin dari darah. Walaupun demikian, jumlah

bilirubin yang tersisa masih menumpuk di dalam tubuh. Oleh karena bilirubin berwarna

kuning, maka jumlah bilirubin yang berlebihan dapat memberi warna pada kulit, sklera,

dan jaringan-jaringan tubuh lainnya. (Hansen TWR, 2011)

Pada setiap bayi yang mengalami ikterus harus dibedakan apakah ikterus yang

terjadi merupakan keadaan yang fisiologik atau non fisiologik. Selain itu, perlu dimonitor

apakah keadaan tersebut mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi

hiperbilirubinemia berat yang memerlukan penanganan optimal. (Halamek,2002)

2.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65%

mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998

menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit

pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat

Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi

ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3%

dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. (Suradi,2001)

RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar

bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/Dl.(HTA

Indonesia, 2004)

Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin

setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi
cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan

hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128

kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait

hiperbilirubinemia.

Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens

ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus

fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar

13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan

bayi kurang bulan 22,8%.(HTA Indonesia, 2004)

2.3 Etiologi

Pada dasarnya warna kekuningan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal,

antara lain:

a. Produksi bilirubin yang berlebihan misalnya pada pemecahan sel darah merah

(hemolisis) yang berlebihan pada incompabilitas (ketidaksesuaian) darah bayi

dengan ibunya.

b. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi liver.

c. Gangguan proses tranportasi karena kurangnya albumin yang meningkatkan

bilirubin indirek.

d. Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan hepar karena infeksi atau

kerusakan sel hepar (kelainan bawaan). (Hasan, 2007)

2.4 Fisiologis

Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin

mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah

itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum,

namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus

fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin

serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6

mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat

muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2

mg/dL. (Health Technology Assessment, 2002)

Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain.

Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih

tinggi pada hari ke 6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa

minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada

hari ke 4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada

bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa

hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan

konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Gambar berikut menunjukkan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan

bilirubin
Gambar 1

Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang

berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang

diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko

lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah. Apabila

keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada

peningkatan kadar bilirubin.

2.5 Patogenesis

Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari

katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah pertama

oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan terjadi

pelepasan besi dan karbon monoksida. Besi dapat digunakan kembali, sedangkan karbon

monoksida diekskresikan melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi

menjadi bilirubin yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena

ikatan hidrogen intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam

plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak
terkonjugasi dengan albumin baik oleh faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat-

obatan), bilirubin yang bebas dapat melewati membran yang mengandung lemak (double

lipid layer), termasuk penghalang darah otak, yang dapat mengarah ke neurotoksisitas.

(Sukadi, 2010)

Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit, dimana bilirubin

terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan meningkat sejalan dengan

terjadinya peningkatan konsentrasi ligandin. Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pada

saat lahir namun akan meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan. (Sukadi,

2010)

Bilirubin terikat menjadi asam glukuronat di retikulum endoplasmik retikulum melalui

reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil transferase (UDPGT). Konjugasi

bilirubin mengubah molekul bilirubin yang tidak larut air menjadi molekul yang larut air.

Setelah diekskresikan kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan

menjadi tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi

terjadi di dalam usus kecil proksimal melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak

terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga

meningkatkan bilirubin plasma total. Siklus absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi,

dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang

pada neonatus, oleh karena asupan gizi yang terbatas pada hari-hari pertama kehidupan.

(Sukadi, 2010)

2.6 Faktor Resiko

2.6.1 ASI yang kurang

Bayi yang tidak mendapat ASI cukup saat menyusui dapat bermasalah karena tidak

cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus untuk memroses pembuangan bilirubin dari
dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi pada bayi prematur yang ibunya tidak memroduksi

cukup ASI. (Mathindas, 2013)

2.6.2 Peningkatan jumlah sel darah merah

Peningkatan jumlah sel darah merah dengan penyebab apapun berisiko untuk

terjadinya hiperbilirubinemia. Sebagai contoh, bayi yang memiliki jenis golongan darah

yang berbeda dengan ibunya, lahir dengan anemia akibat abnormalitas eritrosit (antara lain

eliptositosis), atau mendapat transfusi darah; kesemuanya berisiko tinggi akan mengalami

hiperbilirubinemia. (Mathindas, 2013)

2.6.3 Infeksi/ inkompabilitas ABO-Rh

Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari ibu ke janin di

dalam rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Kondisi ini dapat meliputi

infeksi kongenital virus herpes, sifilis kongenital, rubela, dan sepsis. (Mathindas, 2013)

2.7 Manifestasi Klinis

Ikterus dapat ada pada saat lahir atau dapat muncul pada setiap saat selama masa

neonatus, bergantung pada keadaan yang menyebabkannya. Ikterus biasanya mulai dari

muka dan ketika kadar serum bertambah, turun ke abdomen dan kemudian kaki. Bayi baru

lahir akan tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira kira 6 mg/dl. (Behrman,

2000)

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan derajat kuning pada BBL

menurut kramer adalah ”dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang

tulangnya menonjol seperti tulang, hidung, dada, lutut.


Tabel 1. Penilaian ikterus menurut Kramer

Derajat ikterus Luas ikterus Perkiraan kadar

bilirubin

5 mg/dl

I Kepala dan leher

9 mg/dl

II Sampai badan atas (

diatas umbilikus)

III Sampai badan bawah 11 mg/dl

(dibawah umbilikus)

hingga tungkai atas

(diatas lutut)

IV Sampai lengan dan 12 mg/dl

kaki dibawah lutut

16 mg/dl

V Sampai telapak tangan

dan kaki

Sumber: (Saifuddin, 2007).

Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat

pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai
ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu

hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi. (Khosim, 2004)

Bilirubin merupakan zat hasil pemecahan hemoglobin (protein sel darah

merah yang memungkinkan darah mengangkut oksigen. Hemoglobin terdapat dalam

eritrosit (sel darah merah) yang dalam waktu tertentu selalu mengalami destruksi

(pemecahan). Proses pemecahan tersebut menghasilkan hemoglobin menjadi zat heme

dan globin. Dalam proses berikutnya, zat-zat ini akan berubah menjadi bilirubin bebas

atau indirect. Dalam kadar tinggi bilirubin bebas ini bersifat racun, sulit larut dalam

air dan sulit dibuang. Untuk menetralisirnya, organ hati akan mengubah bilirubin

indirect menjadi direct yang larut dalam air. Masalahnya, organ hati sebagian bayi

baru lahir belum dapat berfungsi optimal dalam mengeluarkan bilirubin bebas

tersebut. Barulah setelah beberapa hari, organ hati mengalami pematangan dan proses

pembuangan bilirubin bisa berlangsung lancar. Ikterus akibat pengendapan bilirubin

indirek, pada kulit cenderung tampak kuning-terang atau oranye, ikterus pada tipe

obstruktif (bilirubin indirek) kulit tampak kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini

biasanya hanya terlihat pada ikterus yang berat. Bayi dapat menjadi lesu dan nafsu

makan jelek. Tanda-tanda kern ikterus jarang muncul pada hari pertama ikterus.

(Behrman, 2000)

2.8 Diagnosis

2.8.1 Visual

Metode visual memiliki angka kesalahan yang cukup tinggi, namun masih dapat

digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan ini sulit di-terapkan pada

neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evident base, pemeriksaan

metode visual tidak direkomendasikan, namun bila terdapat keterbatasan alat masih boleh
diguna-kan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining positif harus segera dirujuk untuk

diagnosis dan tata laksana lebih lanjut. (Sukadi, 2010)

Panduan WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai

berikut: (Sukadi, 2010)

1. Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya

matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan

buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.

2. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di bawah kulit

dan jaringan subkutan.

3. Keparahan ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi dan bagian tubuh yang tampak

kuning.

2.8.2 Bilirubin serum

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis

ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.

Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total perlu dipertimbangkan karena hal ini

merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.

(Sukadi, 2010)

2.8.3 Bilirubinometer transkutan

Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan prinsip kerja

memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang gelombang 450 nm). Cahaya

yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.

(Sukadi, 2010)
2.8.4 Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi. Oleh karena

itu, ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.

(Sukadi, 2010)

Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas,

antara lain dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini yaitu berdasar-kan

kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin dimana bilirubin menjadi

substansi tidak berwarna. Dengan pen-dekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus

neonatorum akan lebih terarah. (Sukadi, 2010)

Pemecahan heme menghasilkan biliru-bin dan gas CO dalam jumlah yang

ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka peng-ukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan

melalui pernapasan dapat digunakan seba-gai indeks produksi bilirubin. (Sukadi,

2010)

2.9 Tatalaksana

2.9.1 Ikterus fisiologis

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi

sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan

terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat,

dapat dilakukan beberapa cara berikut: (HTA, 2004)

a. Minum ASI dini dan sering

b. Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO

c. Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol

lebih cepat (terutama bila tampak kuning).


Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor

prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama

kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan

membutuhkan biaya yang cukup besar.

1. 2.9.1.1 Tatalaksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO) (Geneva, 2003)

1. Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat pada tabel 1.

2. Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir

sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis

3. Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan

golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:

 Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan

terapi sinar.

 Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi

sinar, lakukan terapi sinar

 Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab

hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring

G6PD bila memungkinkan.

4. Tentukan diagnosis banding

Indikasi:

Tabel 2. Indikasi Terapi sinar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum (Geneva,

2003)
a. faktor risiko meliputi: bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan

berusia 37 minggu), hemolisis dan sepsis.

b. Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada

lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus

sangat parah dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil

pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar .

Tabel 3. Indikasi Terapi Sinar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah (Martin, 2004)

1. Terapi sinar (fototerapi)

Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Intensitas cahaya yang biasa

digunakan adalah 6-12 Candela. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi.

Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, masing-masing berkuatan 20

Watt terdiri dari cahaya biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight

fluorescent tubes. Cahaya biru khusus memiliki kerugian karena dapat membuat bayi

terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat, hal ini secara umum tidak mengkhawatirkan.

Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus pada bagian tengah

unit terapi sinar standar dan dua tabung daylight fluorescent pada setiap again samping

unit.
1. Mekanisme kerja

Bilirubin tidak larut dalam air. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah

bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau

urin.

2. Persiapan unit terapi sinar

a. Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di

bawah lampu antara 280C – 300C.

b. Nyalakan unit dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi dengan baik.

c. Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah rusak atau berkelip-kelip (flickering).

d. Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung tersebut.

e. Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung

masih bisa berfungsi.

f. Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar

daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin

kepada bayi.

3. Pemberian terapi sinar

a. Tempatkan bayi di bawah sinar fototerapi.

b. Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang pada

basinet. Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam inkubator.

c. Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik. Tutupi mata bayi

dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak ikut tertutup. Jangan

tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip. Balikkan bayi setiap 3 jam.

d. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI, paling tidak setiap 3 jam.

Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan penutup mata.
Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan lain

(contoh: pengganti ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.

a) Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah),

tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari selama bayi

masih diterapi sinar.

b) Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan

bayi dari sinar terapi sinar. Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi

tinja bayi bisa menjadi lebih lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak

membutuhkan terapi khusus. Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan.

c) Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur yang tidak

bisa dilakukan di dalam unit terapi sinar.

d) Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar untuk

mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru). Ukur suhu

bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam.

e) Bila suhu bayi lebih dari 37,50C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara

pindahkan bayi dari unit terapi sinar sampai suhu bayi antara 36,50C - 37,50C.

f) Ukur kadar bilirubin serum setiap 12 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24

jam.

g) Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL

h) Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi, persiapkan

kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter

untuk transfusi tukar. Sertakan contoh darah ibu dan bayi. Bila bilirubin serum tidak

bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3 hari. Setelah terapi sinar dihentikan.

i) Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila

memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode klinis.


j) Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di atas nilai untuk

memulai terapi sinar, ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi

langkah ini pada setiap penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil

pemeriksaan atau perkiraan melalui metode klinis berada di bawah nilai untuk

memulai terapi sinar.

k) Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak

ada masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi.

l) Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa kembali bayi

bila bayi bertambah kuning. (Khosim, 2004)

4. Komplikasi terapi sinar

Komplikasi fototerapi pada bayi meliputi tinja lembek, kepanasan dan dehidrasi

(peningkatan kehilangan air yang tidak terasa [insensible water loss], dan sindrom bayi

perunggu (perubahan warna kulit yang coklat keabu-abuan dan gelap), denyut jantung dan

pernafasan bayi tidak teratur. (Aziz, 2009)s

a. Terapi transfusi tukar

Dilakukan apabila fototerapi tidak dapat mengendalikan kadar bilirubin. Transfusi

tukar merupakan cara yang dilakukan dengan tujuan mencegah peningkatan kadar

bilirubin dalam darah. Pemberian transfusi tukar dilakukan apabila kadar bilirubin

20 mg/dl, kenaikan kadar bilirubin yang cepat yaitu 0,3-1 mg/jam, anemia berat

dengan gejala gagal jantung dan kadar hemoglobin tali pusat 14 mg/dl, dan uji

Coombs direk positif.

Cara pelaksanaan transfusi tukar:

a) Dianjurkan pasien bayi puasa 3-4 jam sebelum transfusi tukar.

b) Pasien disiapkan dikamar khusus.

c) Pasang lampu pemanas dan arahkan kepada bayi.


d) Baringkan pasien dalam keadaan terlentang, buka pakaian pada daerah perut,

tutup mata dengan kain tidak tembus cahaya.

e) Lakukan transfusi tukar dengan protap.

f) Lakukan observasi keadaan umum pasien, catat jumlah darah yang keluar dan

masuk.

g) Atur posisi setiap 6 jam.

h) Lakukan pengawasan adanya perdarahan pada tali pusat.

i) Periksa kadar hemoglobin dan bilirubin tiap 12 jam. (Aziz, 2009)

Indikasi Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan

melakukan transfusi tukar pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar

berdasarkan keputusan WHO tercantum dalam tabel 5.

Tabel 5. Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum (Saiffudin,

2009)

Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi

bisa dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah

mencapai kadar di atas, sertakan contoh darah ibu dan bayi.


Tabel 6. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah (Saiffudin,

2009)

Keterangan: Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada

indikasi:

a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb < 11 gr/dL

b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi

sinar

c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13

gr/dL

d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara

adekuat dengan terapi sinar

e. Pemberian ASI secara optimal

Bahwa perlu diingat, bilirubin dapat dipecah apabila bayi mengeluarkan feses

dan urin. Sehingga pemberian ASI harus diberikan sebab ASI sangat efektif dalam

memperlancar buang air besar dan air kecil. Namun demikian, pemberiannya harus

tetap dalam pengawasan dokter, sebab pada beberapa kasus justru ASI dapat

meningkatkan bilirubin sehingga bayi semakin kuning. (Anang, 2008)

f. Terapi sinar matahari

Ini merupakan terapi tambahan atau bahkan terapi awalan. Bisa dilakukan

ketika bayi belum mendapatkan terapi yang lain atau bisa juga setelah selesai
perawatan dari rumah sakit. Terapi ini dilakukan dengan menjemur bayi dibawah

sinar mentari pagi antara jam 7 hingga 9 selama sekitar setengah jam dengan

dilakukan variasi posisi (terlentang, tengkuap, maupun miring).

Untuk terapi sinar matahari ini harus diingat bahwa jangan membuat posisi

bayi melihat langsung matahari karena dapat merusak mata. Serta jangan melebihi

jam 9 karena intensitas ultraviolet sangat kuat dan akan merusak kulit bayi. (Anang,

2008)

2.10 Diagnosis Banding

Sebagai diagnosis banding dari ikterus yaitu: atresia bilier, breast milk jaundice,

kolestasis, anemia hemolitik pada bayi baru lahir, hepatitis B, dan hipotiroid
BAB III

KESIMPULAN

Ikterus adalah perubahan warna menjadi kuning pada kulit, membrane mukosa, dan

sklera yang disebabkan peningkatan produksi bilirubin di dalam darah. Ikterus neonatorum

dibagi menjadi dua yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patologis. Ikterus biasanya mulai dari

muka dan ketika kadar serum bertambah, turun ke abdomen dan kemudian kaki. Bila kuning

terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai,

tangan maupun kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan

memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin

serum untuk memulai terapi.


DAFTAR PUSTAKA

Anang. Terapi Bayi Kuning. http://suaramerdeka.com/. 13 Juni 2008

Behrman, K.A. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta: EGC

Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J


Med 2001;344:581-90.

Hasan, R. 2007. Buku kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak . Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran UI.

Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA,
Martin RJ, editors. Neonatal-perinatal Medicine. Disease of the Fetus and Infant (Seventh
Edition). St Louis: Mosby Inc, 2002; p.1309-50.

Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of


Health Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia

Hidayat, Aziz. 2009. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidi


Saifuddin, A.B. 2007. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

Khosim MS. 2004. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta. IDAI

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum

Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement
of Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva 2003.

Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott
Williams and Wilkins;2004,185-222

Mathindas, Wilar, Wahani; Hiperbilirubinemia pada neonatus,2013. Jurnal Biomedik,


Volume 5, Nomor 1
Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,
Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1). Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2010; p. 147-53.

Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and


breast-feeding. Paedatr Indones 2001;41:69-75.

Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal Jaundice: Bilirubin
physiology and clinical chemistry. NeoReviews 2007;8:58-67.

Anda mungkin juga menyukai