PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4
per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka
salah satu tolak ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus,
dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup.
Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih
neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat
menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia
produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada
neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal.
Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih
pendek.
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau
usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data
epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus
yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan
kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan
pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis
yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan.
Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik
(ikterus non-fisiologis).
minggu pertama kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah sakit
pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa
karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis,
ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. (HTA
Indonesia, 2004)
Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL. HTA
Indonesia, 2004)
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:
b. Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan
>10 mg/dL
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemu-
kan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam
minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Bayi dengan hiperbilirubinemia
tampak kuning akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan
bukan oleh hati. Setelah bayi lahir, tugas ini langsung diambil alih oleh hati, yang
memerlukan sampai beberapa minggu untuk penyesuaian. Selama selang waktu tersebut,
hati bekerja keras untuk mengeluarkan bilirubin dari darah. Walaupun demikian, jumlah
bilirubin yang tersisa masih menumpuk di dalam tubuh. Oleh karena bilirubin berwarna
kuning, maka jumlah bilirubin yang berlebihan dapat memberi warna pada kulit, sklera,
Pada setiap bayi yang mengalami ikterus harus dibedakan apakah ikterus yang
terjadi merupakan keadaan yang fisiologik atau non fisiologik. Selain itu, perlu dimonitor
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65%
mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998
menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.
pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat
ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3%
dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. (Suradi,2001)
RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar
bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/Dl.(HTA
Indonesia, 2004)
setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi
cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan
hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128
kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait
hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens
ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus
fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar
13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan
2.3 Etiologi
Pada dasarnya warna kekuningan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal,
antara lain:
a. Produksi bilirubin yang berlebihan misalnya pada pemecahan sel darah merah
dengan ibunya.
b. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi liver.
bilirubin indirek.
d. Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan hepar karena infeksi atau
2.4 Fisiologis
mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah
itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum,
namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus
fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin
serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6
mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat
muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain.
Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih
tinggi pada hari ke 6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa
minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada
hari ke 4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada
bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa
hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan
bilirubin
Gambar 1
Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang
berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang
diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko
lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah. Apabila
keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada
2.5 Patogenesis
katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah pertama
oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan terjadi
pelepasan besi dan karbon monoksida. Besi dapat digunakan kembali, sedangkan karbon
monoksida diekskresikan melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi
menjadi bilirubin yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena
ikatan hidrogen intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam
plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak
terkonjugasi dengan albumin baik oleh faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat-
obatan), bilirubin yang bebas dapat melewati membran yang mengandung lemak (double
lipid layer), termasuk penghalang darah otak, yang dapat mengarah ke neurotoksisitas.
(Sukadi, 2010)
Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit, dimana bilirubin
saat lahir namun akan meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan. (Sukadi,
2010)
bilirubin mengubah molekul bilirubin yang tidak larut air menjadi molekul yang larut air.
Setelah diekskresikan kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan
menjadi tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi
terjadi di dalam usus kecil proksimal melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak
terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga
dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang
pada neonatus, oleh karena asupan gizi yang terbatas pada hari-hari pertama kehidupan.
(Sukadi, 2010)
Bayi yang tidak mendapat ASI cukup saat menyusui dapat bermasalah karena tidak
cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus untuk memroses pembuangan bilirubin dari
dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi pada bayi prematur yang ibunya tidak memroduksi
Peningkatan jumlah sel darah merah dengan penyebab apapun berisiko untuk
terjadinya hiperbilirubinemia. Sebagai contoh, bayi yang memiliki jenis golongan darah
yang berbeda dengan ibunya, lahir dengan anemia akibat abnormalitas eritrosit (antara lain
eliptositosis), atau mendapat transfusi darah; kesemuanya berisiko tinggi akan mengalami
Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari ibu ke janin di
dalam rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Kondisi ini dapat meliputi
infeksi kongenital virus herpes, sifilis kongenital, rubela, dan sepsis. (Mathindas, 2013)
Ikterus dapat ada pada saat lahir atau dapat muncul pada setiap saat selama masa
neonatus, bergantung pada keadaan yang menyebabkannya. Ikterus biasanya mulai dari
muka dan ketika kadar serum bertambah, turun ke abdomen dan kemudian kaki. Bayi baru
lahir akan tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira kira 6 mg/dl. (Behrman,
2000)
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan derajat kuning pada BBL
menurut kramer adalah ”dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang
bilirubin
5 mg/dl
9 mg/dl
diatas umbilikus)
(dibawah umbilikus)
(diatas lutut)
16 mg/dl
dan kaki
Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat
pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai
ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu
hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi. (Khosim, 2004)
eritrosit (sel darah merah) yang dalam waktu tertentu selalu mengalami destruksi
dan globin. Dalam proses berikutnya, zat-zat ini akan berubah menjadi bilirubin bebas
atau indirect. Dalam kadar tinggi bilirubin bebas ini bersifat racun, sulit larut dalam
air dan sulit dibuang. Untuk menetralisirnya, organ hati akan mengubah bilirubin
indirect menjadi direct yang larut dalam air. Masalahnya, organ hati sebagian bayi
baru lahir belum dapat berfungsi optimal dalam mengeluarkan bilirubin bebas
tersebut. Barulah setelah beberapa hari, organ hati mengalami pematangan dan proses
indirek, pada kulit cenderung tampak kuning-terang atau oranye, ikterus pada tipe
obstruktif (bilirubin indirek) kulit tampak kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini
biasanya hanya terlihat pada ikterus yang berat. Bayi dapat menjadi lesu dan nafsu
makan jelek. Tanda-tanda kern ikterus jarang muncul pada hari pertama ikterus.
(Behrman, 2000)
2.8 Diagnosis
2.8.1 Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang cukup tinggi, namun masih dapat
digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan ini sulit di-terapkan pada
neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evident base, pemeriksaan
metode visual tidak direkomendasikan, namun bila terdapat keterbatasan alat masih boleh
diguna-kan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining positif harus segera dirujuk untuk
1. Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan
2. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di bawah kulit
3. Keparahan ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning.
Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total perlu dipertimbangkan karena hal ini
(Sukadi, 2010)
memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang gelombang 450 nm). Cahaya
yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
(Sukadi, 2010)
2.8.4 Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi. Oleh karena
itu, ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
(Sukadi, 2010)
antara lain dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini yaitu berdasar-kan
substansi tidak berwarna. Dengan pen-dekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus
2010)
2.9 Tatalaksana
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi
sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan
terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat,
c. Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol
prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama
kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan
1. Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat pada tabel 1.
2. Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir
3. Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan
terapi sinar.
Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi
Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab
hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring
Indikasi:
2003)
a. faktor risiko meliputi: bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan
b. Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada
lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus
sangat parah dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil
Tabel 3. Indikasi Terapi Sinar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah (Martin, 2004)
digunakan adalah 6-12 Candela. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi.
Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, masing-masing berkuatan 20
Watt terdiri dari cahaya biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight
fluorescent tubes. Cahaya biru khusus memiliki kerugian karena dapat membuat bayi
terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat, hal ini secara umum tidak mengkhawatirkan.
Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus pada bagian tengah
unit terapi sinar standar dan dua tabung daylight fluorescent pada setiap again samping
unit.
1. Mekanisme kerja
Bilirubin tidak larut dalam air. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah
bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau
urin.
a. Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di
b. Nyalakan unit dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi dengan baik.
e. Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung
f. Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar
daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin
kepada bayi.
b. Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang pada
c. Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik. Tutupi mata bayi
dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak ikut tertutup. Jangan
tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip. Balikkan bayi setiap 3 jam.
d. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI, paling tidak setiap 3 jam.
Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan penutup mata.
Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan lain
(contoh: pengganti ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.
a) Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah),
tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari selama bayi
b) Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan
bayi dari sinar terapi sinar. Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi
tinja bayi bisa menjadi lebih lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak
membutuhkan terapi khusus. Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan.
c) Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur yang tidak
d) Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar untuk
mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru). Ukur suhu
bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam.
e) Bila suhu bayi lebih dari 37,50C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara
pindahkan bayi dari unit terapi sinar sampai suhu bayi antara 36,50C - 37,50C.
f) Ukur kadar bilirubin serum setiap 12 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24
jam.
kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter
untuk transfusi tukar. Sertakan contoh darah ibu dan bayi. Bila bilirubin serum tidak
bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3 hari. Setelah terapi sinar dihentikan.
i) Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila
memulai terapi sinar, ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi
langkah ini pada setiap penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil
pemeriksaan atau perkiraan melalui metode klinis berada di bawah nilai untuk
k) Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak
l) Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa kembali bayi
Komplikasi fototerapi pada bayi meliputi tinja lembek, kepanasan dan dehidrasi
(peningkatan kehilangan air yang tidak terasa [insensible water loss], dan sindrom bayi
perunggu (perubahan warna kulit yang coklat keabu-abuan dan gelap), denyut jantung dan
tukar merupakan cara yang dilakukan dengan tujuan mencegah peningkatan kadar
bilirubin dalam darah. Pemberian transfusi tukar dilakukan apabila kadar bilirubin
20 mg/dl, kenaikan kadar bilirubin yang cepat yaitu 0,3-1 mg/jam, anemia berat
dengan gejala gagal jantung dan kadar hemoglobin tali pusat 14 mg/dl, dan uji
f) Lakukan observasi keadaan umum pasien, catat jumlah darah yang keluar dan
masuk.
2009)
bisa dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah
2009)
Keterangan: Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada
indikasi:
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb < 11 gr/dL
sinar
gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara
Bahwa perlu diingat, bilirubin dapat dipecah apabila bayi mengeluarkan feses
dan urin. Sehingga pemberian ASI harus diberikan sebab ASI sangat efektif dalam
memperlancar buang air besar dan air kecil. Namun demikian, pemberiannya harus
tetap dalam pengawasan dokter, sebab pada beberapa kasus justru ASI dapat
Ini merupakan terapi tambahan atau bahkan terapi awalan. Bisa dilakukan
ketika bayi belum mendapatkan terapi yang lain atau bisa juga setelah selesai
perawatan dari rumah sakit. Terapi ini dilakukan dengan menjemur bayi dibawah
sinar mentari pagi antara jam 7 hingga 9 selama sekitar setengah jam dengan
Untuk terapi sinar matahari ini harus diingat bahwa jangan membuat posisi
bayi melihat langsung matahari karena dapat merusak mata. Serta jangan melebihi
jam 9 karena intensitas ultraviolet sangat kuat dan akan merusak kulit bayi. (Anang,
2008)
Sebagai diagnosis banding dari ikterus yaitu: atresia bilier, breast milk jaundice,
kolestasis, anemia hemolitik pada bayi baru lahir, hepatitis B, dan hipotiroid
BAB III
KESIMPULAN
Ikterus adalah perubahan warna menjadi kuning pada kulit, membrane mukosa, dan
sklera yang disebabkan peningkatan produksi bilirubin di dalam darah. Ikterus neonatorum
dibagi menjadi dua yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patologis. Ikterus biasanya mulai dari
muka dan ketika kadar serum bertambah, turun ke abdomen dan kemudian kaki. Bila kuning
terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai,
tangan maupun kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan
memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin
Hasan, R. 2007. Buku kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak . Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran UI.
Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA,
Martin RJ, editors. Neonatal-perinatal Medicine. Disease of the Fetus and Infant (Seventh
Edition). St Louis: Mosby Inc, 2002; p.1309-50.
Khosim MS. 2004. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta. IDAI
Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement
of Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva 2003.
Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott
Williams and Wilkins;2004,185-222
Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal Jaundice: Bilirubin
physiology and clinical chemistry. NeoReviews 2007;8:58-67.