Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Minyak Goreng

2.1.1. Mutu Minyak Goreng

Minyak goreng adalah minyak yang telah mengalami proses pemurnian yang

meliputi degumming, netralisasi, pemucatan dan deodorisasi. Secara umum komponen

utama minyak sangat menentukan mutu minyak adalah asam lemaknya, karena asam

lemak menentukan sifat kimia maupun stabilitas minyak (Djatmiko,1985).

Minyak goreng yang dihasilkan dari bahan yang berbeda mempunyai stabilitas

yang berbeda pula, karena stabilitas minyak goreng dipengaruhi oleh beberapa faktor,

antara lain derajat ketidak jenuhan asam lemak yang dikandungnya, penyebaran

ikatan rangkap dan bahan bahan pembantu yang dapat mempercepat atau

menghambat proses kerusakan, dimana bahan pembantu tersebut terdapat secara alami

ataupun sengaja ditambahkan (Djatmiko.B,1985).

Menurut Winarno (2004) Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya,

yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan

dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan hidrasi gliserol akan membentuk

aldehida tidak jenuh atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu

minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol

bebas. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun,

karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Oleh karena itu untuk menekan
5
terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada suhu

yang tidak terlalu tinggi.

Dalam proses penggorengan, minyak berfungsi sebagai medium penghantar

panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan sumber kalori dalam bahan
pangan (Ketaren, 2008). Syarat mutu minyak goreng diatur dalam SNI 01-3741-2002

menurut (Wijana, dkk.,2005). Dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu munyak goreng

Komponen Kadar Maksimum


Keadaan :
Bau Normal
Rasa Normal
Air Maks. 0,30 % b/b
Asam lemak bebas (dihitung sebagai Maks. 0,30 % b/b
asam laurat)
Bilangan peroksida 1,0 mg oksigen/100 g
Cemaran logam :
Besi (Fe) Negatif
Timbal (Pb) Negatif
Sumber : SNI 01-3741-1995

2.1.2. Syarat mutu minyak goreng

Dalam memilih minyak goreng ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan yaitu :

2.1.2.1.Minyak goreng harus memiliki umur pakai yang lama dan ekonomis.

2.1.2.2.Tahan terhadap tekanan oksidatif.

2.1.2.3.Memiliki kualitas yang seragam.

2.1.2.4.Mudah untuk digunakan, baik dari segi bentuk maupun kemasan.

2.1.2.5.Memiliki titik asap yang tinggi dan kandungan asapnya rendah setelah

digunakan untuk menggoreng.

2.1.2.6.Mengandung flavor alami dan tidak menimbulkan off flavor pada produk yang

digoreng.

2.1.2.7.Mampu menghasilkan tekstur, warna, dan tidak menimbulkan efek greasy

pada permukaan produk.

Menurut Ketaren (2008), dalam proses perubahan sifat fisiko kimia minyak

ada tiga hal utama yang mempercepat proses perubahan tersebut yaitu; (1) keberadaan

komponen air di dalam bahan pangan yang digoreng yang dapat menyebabkan reaksi

hidrolisis minyak, (2) oksigen dari atmosfer yang dapat mempercepat reaksi oksidasi
minyak dan (3) suhu proses yang sangat tinggi yang berdampak pada percepatan

proses kerusakan minyak.

Minyak yang digunakan untuk proses penggorengan akan mengalami 4

perubahan besar yang terjadi yaitu; (1) perubahan warna, (2) oksidasi, (3) polimerasi

dan (4) hidrolisis.

2.1.3. Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Minyak

2.1.3.1. Lamanya minyak kontak dengan panas

Berdasarkan penelitian terhadap minyak jagung pada pemanasan 10-12 jam

pertama, bilangan Iod berkurang dengan kecepatan konstan, sedangkan jumlah

oksigen dalam lemak bertambah dan selanjutnya menurun setelah pemanasan 4 jam

kedua berikutnya. Kandungan persenyawaan karbonil bertambah dalam minyak

selama proses pemanasan, kemudian berkurang sesuai dengan berkurangnya jumlah

oksigen.

2.1.3.2. Suhu

Pengaruh suhu terhadap kerusakan minyak telah diselidiki menggunakan

minyak jagung yang dipanaskan selama 24 jam pada suhu , , dan 200

. Minyak dialiri udara pada 150ml/menit/kilo. Minyak yang dipanaskan pada suhu

160 dan menghasilkan bilangan peroksida lebih rendah dibandingkan

dengan pemanasan pada suhu 120. Hal ini merupakan indikasi bahwa

persenyawaan peroksida bersifat tidak stabil terhadap panas. Kenaikan nilai

kekentalan dan indek bias paling besar pada suhu , karena pada suhu tersebut

jumlah senyawa polimer yang berbentuk relativ cukup besar.

2.1.3.3. Penyerapan Bau

Minyak bersifat mudah menyerap bau. Apabila bahan pembungkus dapat

menyerap lemak, maka lemak yang tertutup ini akan teroksidasi oleh udara
sehingga rusak dan berbau. Bau dari bagian lemak yang rusak akan diserap oleh

lemak yang ada dalam bungkusan sehingga seluruh lemak akan rusak.

2.1.3.4. Hidrolisa

Dengan adanya air, lemak dapat terhidrolisa menjadi gliserol dan asam lemak.

Reaksi ini dapat dipercepat oleh basa, asam dan enzim-enzim. Hidrolisa sangat

mudah terjadi pada asam lemak rendah seperti pada mentega, minyak kelapa sawit

dan minyak kelapa. Hidrolisa sangat menurunkan mutu minyak goreng. Selama

penyimpanan dan pengolahan minyak atau lemak menyebabkan bertambahnya

asam lemak bebas. Asam lemak bebas dihilangkan dengan proses pemurnian,

sekaligus menghilangkan bau untuk menghasilkan minyak yang lebih baik

mutunya.

2.1.3.5. Akselerator Oksidasi

Kecepatan aerasi juga memengang peranan penting dalam menentukan

perubahan-perubahan selama oksidasi thermal. Nilai kekentalan naik secara

proporsional dengan kecepatan aerasi, sedangkan bilangan iod semakin menurun

dengan bertambahnya kecepatan aerasi. Konsentrasi persenyawaan karbonil akan

bertambah dengan penurunan kecepatan aerasi. Senyawa karbonil dalam lemak-

lemak yang telah dipanaskan dapat berfungsi sebagai pro-oksidan atau sebagai

akselerator pada proses oksidasi.

2.1.3.5. Struktur dan Komposisi Minyak

Lemak dan minyak terdiri dari trigliserida campuran, yang merupakan ester

dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Lemak tersebut jika dihidrolisis

menghasilkan tiga molekul asam lemak rantai panjang. Dan satu molekul gliserol.

Adapun proses hidrolisis trigliserida tersebut adalah sebagai berikut (Ketaren,

2008: 7).
O

CH2 O C R1 CH2OH
O
CH O C R2 H+ OH- CH(OH)+R1COOH+ R2COOH +R3COOH
O
CH2 O C R3 CH2OH
Trigliserida (Lemak) Gliserol Asam Lemak
Gambar 1. Proses Hidrolisis Trigliserida (Sumber: Ketaren, 2008: 7)

Trigliserida dapat berwujud padat atau cair, hal ini tergantung komposisi asam lemak

yang menyusunnya, sebagian besar minyak nabati berbentuk cair karena mengandung

sejumlah asam lemak tidak jenuh, yaitu asam oleat, linoleat, atau asam linolenat

dengan titik cair yang rendah. Lemak hewani umumnya berbentuk padat pada suhu

kamar karena banyak mengandung asam lemak jenuh, misalnya asam palmitat, dan

stearat yang mempunyai titik cair lebih tinggi (Ketaren, 2008)

Komponen-komponen lain yang mungkin terdapat, meliputi fosfolipid, sterol,

vitamin dan zat warna yang larut dalam lemak seperti klorofil dan karotenoid (Buckle

dkk, 1987: 328).

2.2. Minyak Jelantah

2.3.1. Pengertian minyak jelantah

Minyak jelantah merupakan minyak yang berasal dari sisa minyak

penggorengan bahan makanan. Minyak goreng bekas maupun minyak nabati yang

baru tersusun atas gliserida yang mempunyai rantai karbon panjang, yaitu ester antara

gliserol dengan asam karboksilat. Perbedaan minyak goreng bekas dengan minyak

nabati yang baru terletak pada komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuhnya. Minyak

goreng bekas memiliki kandungan asam lemak jenuh lebih besar dari minyak nabati
yang baru. Hal ini disebabkan pada proses penggorengan terjadi perubahan rantai tak

jenuh pada senyawa penyusunnya. Komposisi asam lemak tak jenuh minyak jelantah

adalah 30% sedangkan asam lemak jenuh 70% (Sudarmaji.S,2007).

2.3.2. Akibat penggunaan minyak jelantah

Minyak jelantah bila ditinjau dari komposisi kimianya, mengandung senyawa-

senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan.

Pemakaian minyak goreng hanya diperbolehkan selama 2 sampai empat kali

penggorengan. Jadi jelas bahwa pemakaian minyak jelantah yang berkelanjutan dapat

merusak kesehatan manusia, menimbulkan penyakit kanker, dan dapat mengurangi

kecerdasan generasi berikutnya.

Penggunaan minyak jelantah berulang juga akan membentuk akrolein, yaitu

suatu senyawa yang menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan dan menimbulkan

batuk. Minyak jelantah juga bersifat karsinogen sehingga dapat menyebabkan kanker.

Para ahli menyarankan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak

jenuh umumnya berasal dari lemak daging, lemak susu, mentega, lemak babi, minyak

kelapa, minyak sawit, dan minyak inti sawit. Setiap kali menggoreng makanan

mulailah proses penggorengan pada suhu yang benar dan suhu yang digunakan

sebaiknya berkisar antara 1750-2250C (Sudarmaji.S,2007).

2.3. Faktor yang dapat memperlambat kerusakan minyak jelantah

Kerusakan minyak tidak dapat dicegah, namun dapat diperlambat dengan

memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pertama, oksigen, semakin

banyak oksigen semakin cepat teroksidasi. Kedua, ikatan rangkap, semakin banyak

asam lemak tidak jenuhnya semakin mudah teroksidasi. Ketiga, suhu, suhu

penggorengan dan pemanasan yang tinggi akan mempercepat reaksi. Keempat,

cahaya serta ion logam tembaga (Cu2+) dan besi (Fe2+) yang merupakan faktor katalis
proses oksidasi; Antioksidan, semakin tinggi antioksidan ditambahkan semakin tahan

terhadap oksidasi. Untuk menghindari penurunan mutu akibat proses oksidasi dapat

menggunakan antioksidan. Antioksidan dapat diartikan sebagai pencegah oksidasi

dengan cara menurunkan konsentrasi oksigen (O2). Dengan memperhatikan faktor

penyebab, maka oksidasi ataupun ketengikan dapat diperlambat. Proses ketengikan

sangat dipengaruhi oleh adanya prooksidan dan antioksidan. Prooksidan akan

mempercepat terjadinya oksidasi, sedangkan antioksidan akan menghambatnya

2.4. Bilangan Peroksida

Bilangan peroksida adalah indeks jumlah lemak atau minyak yang telah

mengalami oksidasi. Angka peroksida sangat penting untuk identifikasi tingkat oksidasi

minyak. Minyak yang mengandung asam-asam lemak tidak jenuh dapat teroksidasi

oleh oksigen yang menghasilkan suatu senyawa peroksida. Cara yang sering digunakan

untuk menentukan angka peroksida adalah dengan metode titrasi iodometri.

Bilangan peroksida adalah banyaknya miliekuivalen peroksida dalam 100

gram lemak yang diitentukan berdasarkan jumlah I2 setelah minyak ditambah KI. Pada

prinsipnya lemak direaksikan denga KI dalam pelarut campuran asetat chloroform (3:

1) kemudian I2 yang terbentuk ditentukan secara yodometri (Anonymous, 2008).

Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan

pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan

rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida ini dapat ditentukan dengan

metode iodometri (Ketaren 2008). Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah

karena peristiwa oksidasi dan hidrolitik, baik enzimatik maupun non enzimatik. Di

antara kerusakan minyak yang mungkin terjadi ternyata kerusakan karena autooksidasi

yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Hasil yang diakibatkan oksidasi

lemak antara lain peroksida, asam lemak, aldehid, dan keton. Peroksida adalah produk
awal dari reaksi oksidasi yang bersifat labil, reaksi ini dapat berlangsung bila terjadi

kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan

mengakibatkan bau tengik pada minyak ( Ketaren, 2008 ). Bau tengik atau rancid

terutama disebabkan oleh aldehid dan keton. Untuk mengetahui tingkat kerusakan

minyak dapat dinyatakan sebagai angka peroksida atau angka asam thiobarbiturat

(TBA) (Sudarmadji. S,2007).

Secara umum, reaksi pembentukan peroksida dapat digambarkan sebagai

berikut :

R CH = CH R + O O
O O

R CH CH- R R CH CH R RC + R C

O O O H H

Monoksida Peroksida Aldehid

Bilangan peroksida biasanya diukur secara volumetri dengan metode yang

telah dikembangkan oleh Lea. Hal ini bergantung pada reaksi kalium iodida dalam

suasana asam dengan mengikat oksigen diikuti dengan titrasi dari pembebasan iodine

dengan natrium tiosulfat. Kloroform adalah pelarut yang biasanya digunakan (Egan.

H, dkk, 1981).

Hasil oksidasi berpengaruh terhadap bilangan peroksida dan dapat

mempersingkat periode induktif dari lemak segar, dan dapat merusak zat inhibitor.

Konstituen yang aktif dari hasil oksidasi lemak, berupa peroksida lemak atau

penambahan peroksida selain yang dihasilkan pada proses oksidasi lemak, misalnya

hidrogen peroksida dan asam persid dapat mempercepat proses oksidasi. Usaha

penambahan anti-oksidan hanya dapat mengurangi peroksida dalam jumlah kecil,


namun fungsi anti-oksidan akan rusak dalam lemak yang mengandung peroksida

dalam jumlah besar (Ketaren,2008).

2.4.1. Faktor-faktor yang mempercepat pembentukan peroksida

Proses pembentukan peroksida dipercepat oleh adanya cahaya,

pemanasan suasana asam, kelembaban udara dan katalis. Beberapa jenis logam atau

garam-garamnya yang terdapat dalam miyak merupakan katalisator pada proses oksidasi

misalnya logam tembaga, besi, cobalt, vanadium, mangan, nikel, khromium, sedangkan

alumunium kecil pengaruhnya terhadap proses oksidasi. Disamping itu beberapa

persenyawaan organik komplek yang terdapat secara alamiah dalam lemak, seperti

pigmen hematin atau enzim peroksida merupakan katalisator proses adesi oksigen ke

dalam tidak jenuh dalam minyak. Proses oksidasi juga terjadi karena adanya

mikroorganisme ( Ketaren, 2008 ).

2.4.2. Faktor-faktor yang menghambat pembentukan peroksida

Beberapa persenyawaan organik dapat menghambat proses oksidasi disebut

antioksidan. Persenyawaan antioksidan yang terdapat secara alamiah dalam minyak

adalah tokoferol ( vitamin E ), polifenol, gasipol, antho-sianin dan flavone. Disamping itu

persenyawaan organik sintetis yang sengaja ditambahkan untuk menghambat proses

oksidasi lemak misalnya senyawa amino, sianida, sulfat, dan phospat ( Ketaren, 2008 ).

2.4.3. Toksikologi peroksida

Dalam jangka waktu yang cukup lama peroksida dapat mengakibatkan destruksi

beberapa macam vitamin dalam bahan pangan lemak ( misalnya vitamin A, D, E, K, dan

sejumlah kecil vitamin B ). Bergabungnya peroksida dalam sistem peredaran darah

mengakibatkan kebutuhan vitamin E yang lebih besar. Peroksida akan membentuk

persenyawaan lipoperoksida secara non enzimatik dalam otot usus dan mitokondria

(Sudarmaji.S,2007).

2.5. Kulit pisang ambon


Pisang termasuk famili musaceae dari ordo scitamineae. Famili musaceae

mempunyai dua genus yaitu Musa dan Ensette. Genus musa terdiri atas golongan

Australimusa, Rhodochalamys, Callimusa dan Eumusa. Golongan Eumusa merupakan

yang terbanyak dan tersebar luas, buahnya dimakan dalam keadaan segar,

menghasilkan serat dan dapat berfungsi sebagai sayuran. Tumbuhan pisang

merupakan herba besar yang bersifat perenial, tingginya dapat mencapai dua sampai

enam meter. Akar adventiv tumbuh dari batang sejati ke segala arah membentuk

lapisan perakaran yang padat. Buah pisang umumnya terbentuk secara partenokarpi

atau tanpa pembuahan sehingga bakal biji banyak yang tidak berkembang menjadi biji

dan beberapa kultivar diploid dapat berbiji. Buah pisang ambon berukuran sedang

sampai besar, ujung tumpul, warna kulit hijau muda atau hijau kekuningan. Daging

buah berwarna putih sampai krem, lunak, teksturnya sangat halus, rasanya manis agak

asam dan kurang beraroma (Poerwanto, 1995).

Klasifikasi pisang adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

SubDivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Famili : Musaceae

Genus : Musa

Spesies : Musa acuminate L.

Pisang memiliki banyak kandungan gizi seperti karbohidrat, vitamin dan

mineral. Pisang kaya mineral seperti kalium, magnesium, fosfor, besi dan kalsium.

Pisang juga mengandung vitamin C, B kompleks, B6 dan serotin yang aktif sebagai

neurotransmitter dalam kelancaran fungsi otak. Selain itu, pisang merupakan jenis

buah yang memiliki banyak senyawa kimia yang bersifat antioksidan maupun
antibakteri. Penelitian terhadap pisang ambon menunjukkan bahwa pisang tersebut

banyak mengandung dopamin, suatu senyawa antioksidan kuat (Kanazawa and

Sakakibara,2000). Dilihat dari komposisinya buah pisang memiliki kandungan

vitamin A sangat tinggi, terutama provitamin A, yaitu beta karoten sebesar 5mg per

100 gram berat kering. Selain itu pisang juga memiliki kandungan antioksidan

galocatechin dalam jumlah besar.

Kulit pisang ambon kaya akan antioksidan betakaroten yang larut dalam

lemak, dan dapat menghambat proses oksidasi dan menyerap asam lemak rantai

pendek hasil oksidasi dalam minyak. Dengan adanya antioksidan dalam kulit pisang

maka energi dalam persenyawaan aktif ditampung oleh antioksidan, dampaknya

reaksi oksidasi terhenti, sehingga diduga dapat meminimalkan penurunan kualitas

minyak goreng (Ketaren,2008).

Anda mungkin juga menyukai