Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN
Campak atau morbili adalah suatu infeksi virus akut yang memiliki 3 stadium yaitu
stadium inkubasi, stadium prodromal, stadium erupsi. Transmisi campak terjadi melalui
udara, kontak langsung maupun melalui droplet dari penderita saat gejala yang ada minimal
bahkan tidak bergejala. (Soedarmo, 2012)
Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, pada tahun 2013 terjadi 145.700
kematian yang disebabkan oleh campak di seluruh dunia (berkisar 400 kematian setiap hari
atau 16 kematian setiap jam) pada sebagian besar anak kurang dari 5 tahun. Berdasarkan
laporan DirJen PP&PL DepKes RI tahun 2014, masih banyak kasus campak di Indonesia
dengan jumlah kasus yang dilaporkan mencapai 12.222 kasus. Frekuensi KLB sebanyak 173
kejadian dengan 2.104 kasus. Sebagian besar kasus campak adalah anak-anak usia pra-
sekolah dan usia SD. Selama periode 4 tahun, kasus campak lebih banyak terjadi pada
kelompok umur 5-9 tahun (3591 kasus) dan pada kelompok umur 1-4 tahun (3383 kasus).
Manifestasi klinik yang paling sering muncul adalah muncul ruam ruam yang makin lama
makan meluas hingga ke seluruh tubuh.
Saat ini campak merupakan penyakit yang mengancam jiwa. Setelah mengalami
campak, sering kali anak meningal akibat komplikasi campak dibandingkan campak itu
sendiri. Dari seluruh kasus campak, 58% mengalami komplikasi pneumonia, sekaligus
merupakan penyebab utama kematian pada kasus campak. Pneumonia dapat disebabkan oleh
virus campak itu sendiri atau merupakan infeksi dari Streptococcus pneumonia. (Nelson,
2012; Li, 2015)
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : An. A Nama Ayah : Tn. A
Umur : 1 tahun 4 bulan 7 Umur : 27 tahun
hari
Jenis kelamin : Laki-laki Pendidikan : Tamat SMA
Alamat : Desa Beringin Pekerjaan :Wiraswasta

Nama Ibu : Ny. D


Masuk RS : 15 Mei 2017 Umur : 25 tahun
Tgl. Diperiksa : 17 Mei 2017 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

II. ANAMNESIS
(anamnesis secara alloanamnesis terhadap: Ibu pasien)

1. Keluhan Utama
Demam 4 hari SMRS

2. Keluhan Tambahan
Bercak-bercak merah pada seluruh tubuh sejak 12 jam SMRS, batuk, pilek, sesak

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien laki-laki usia 1 tahun 4 bulan datang ke IGD RSUD Arjawinangun pada
tanggal 15 Mei 2017 dengan dikeluhkan demam sejak 4 sebelum masuk rumah sakit.
Demam dirasakan sepanjang hari. Keluhan disertai dengan muncul bercak-bercak merah
pada seluruh tubuh yang didahului muncul pada bagian belakang telinga dan selanjutnya
seluruh tubuh sejak 12 jam SMRS. Ibu menyangkal adanya bercak-bercak pada mulut.
Keluhan lain yang dirasakan adalah batuk, pilek serta pasien terlihat sesak. Keluhan lain
berupa kedua mata merah, dan mudah berair disangkal.
Keluhan gusi berdarah, mimisan, muntah disangkal oleh ibu pasien. Keluhan mual
dan muntah disangkal, nafsu makan kurang. Ibu mengatakan BAB dan BAK anak tidak
ada keluhan.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

1
Riwayat sakit Bronkopneumonia saat berusia 11 bulan

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada

6. Silsilah/Ikhtisar keturunan

Keterangan:

: ayah pasien
: ibu pasien

:pasien

7. Riwayat Pribadi
Riwayat kehamilan:
Kehamilan ini merupakan kehamilan yang diinginkan dan merupakan kehamilan pertama.
Ibu tidak pernah mengalami sakit yang serius selama hamil. Riwayat minum alkohol dan
merokok disangkal. Ibu memeriksakan kehamilannya dibidan cukup teratur.

Riwayat persalinan:
Pasien lahir dengan persalinan spontan dibantu oleh bidan. Pasien lahir cukup bulan di
Rumah Bidan, langsung menangis, berat lahir 3100 gram, panjang badan lahir 49 cm.

Riwayat pasca lahir:


Tidak ada

8. Riwayat Makanan

2
Ibu pasien mengatakan sejak anaknya lahir ibu memberikan ASI. Saat usia 6 bulan
pasien sudah diberikan makanan tambahan berupa bubur. Saat ini pasien diberikan susu
formula.

9. Perkembangan

Usia Motorik kasar Motorik halus Bicara Sosial


1 tahun 4 Dapat berdiri Dapat melempar Dapat Mampu
bulan (16 tanpa bantuan, mainan, mulai menyebutkan menunjukkan
bulan) dapat berjalan belajar kata yang emosi (senang,
sendiri menggunakan bermakna sedih, marah),
sendok memeluk dan
mencium,
mengenali diri
depan cermin

10. Imunisasi
Imunisasi yang telah dilakukan 1x saat lahir yaitu hepatitis B. Ibu tidak pernah datang ke
posyandu maupun puskesmas untuk melakukan imunisasi. Kesan: Imunisasi belum
lengkap sesuai umur menurut rekomendasi Depkes.

11. Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Sosial Ekonomi:
Menurut keterangan Ibu pasien, ayah pasien sehari-hari bekerja sebagai wiraswasta.
Sedangkan ibu tidak bekerja.
Lingkungan:
Pasien tinggal di desa Arjawinangun. Pasien tinggal bersama Kedua orang tua. Rumah
sederhana, sirkulasi udara dan pencahayaan baik. Di kamar terdapat ventilasi udara.
Rumah terdiri dari 1 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan dapur.

3
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Pemeriksaan Umum
1. Kesan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi : 112x/menit
Frekuensi napas : 44 x/menit
Suhu : 37,8 Celsius
SpO2 : 91%
Tekanan darah : tidak dilakukan pengukuran
4. Status Gizi:
Klinis : tampak kurus, tidak edema
Antropometris
Berat Badan (BB) : 12 kg
Tinggi/Panjang Badan(TB/PB) : 84 cm
Lingkar kepala : 44 cm
Lingkar lengan atas : 13,5 cm
BB/U : Gizi baik
TB/U : Tinggi baik
BB/TB : Gizi baik
(Gunakan kurva CDC/NCHS dan standard WHO-NCHS)

Simpulan status gizi: Gizi baik

B. Pemeriksaan Khusus
Kulit Tampak ruam makulopapular pada wajah, leher, badan
dan ekstremitas, tidak ada hematom dan tidak ada ikterik.
Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor 2mm/2mm, refleks cahaya langsung +/+, refelks
cahaya tidak langsung +/+
Telinga : Bentuk daun telinga normal, tidak ada massa pre-
aurikular dan retro-aurikular, nyeri tekan tragus (-), otore

4
-/-
Hidung : Bentuk normal, pernapasan cuping hidung (-), bekas
sekret mengering +/+ warna putih.
Mulut : Mukosa bibir lembab, tidak sianosis, trismus (-), faring
tidak hiperemis, Tonsil T1-T1 tenang
Leher : Simetris, tidak ada deviasi trakhea, tidak teraba
pembesaran kelenjar getah bening
Thoraks : Pulmo :
I : Normochest, dinding dada simetris statis dan dinamis,
retraksi suprasternal (-) retraksi epigastrium (-)
P : Ekspansi dinding dada simetris, fremitus vokal dan
taktil sulit dinilai.
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Vesikuler (Normal/Normal), ronkhi +/+,
(Ronkhi Basah), wheezing (-/-).
Cor :
I : Bentuk dada normal, tidak tampak iktus cordis
P : Iktus cordis teraba di ICS 2-3 linea MCS
P : Batas jantung kesan normal
A : BJ I dan II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen : I : Datar
P : Dinding perut supel, turgor kulit baik, hepar dan lien
tidak teraba, turgor baik
P : Timpani
A : Bising usus (+) normal
Alat Kelamin : Laki-laki, rambut pubis (-)

Ekstremitas : Akral hangat, Edema (-), sianosis (-), capillary refill time
< 2detik.
Superior Inferior
Akral hangat +/+ +/+
Akral sianosis -/- -/-
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Edema -/- -/-
Pemeriksaan
Capillary Refill Laboratorium
< 2detik < 2detik
15 Mei 2017
LAB HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN METODE

5
Darah
Lengkap
Hemoglobin 9, 6 gr/dL 11,5-16,5 Flowcytometri

Hematokrit 30,9 % 35.0-49.0 Flowcytometri


Lekosit 7,5 103/uL 4000-11000 Flowcytometri
Trombosit 435 103/uL 150000-450000 Flowcytometri

Eritrosit 64.94 mm3 4.1-5.8 Flowcytometri


Index
Eritrosit
MCV 62.8 fl 79-99 Kalkulasi
MCH 19.5 pg 27-31 Kalkulasi
MCHC 31.1 g/dL 33-37 Kalkulasi

RDW 18.1 % 11.5 14.5 Kalkulasi

MPV 6.4 fL 6.7 9. Kalkulasi


PDW 14.0 % 39.3-64.7 Kalkulasi
Hitung Jenis

Eosinofil 0 % 0-3 Flowcytometri

Basofil 0 % 0-1 Flowcytometri

Segmen 59.8 % 25-70 Flowcytometri


Limfosit 33.8 % 20-40 Flowcytometri
Monosit 6.4 % 0-9 Flowcytometri
Luc 0 % 3-6 Flowcytometri

V. RINGKASAN DATA DASAR


A . ANAMNESIS
Pasien laki-laki usia 1 tahun 4 bulan datang dengan keluhan demam sejak 4 hari SMRS yang
disertai dengan muncul bercak merah pada seluruh tubuh yang didahului dari belakang
telinga dan menyebar ke suluruh tubuh. Keluhan lain batuk, pilek dan anak terlihat sesak
serta nafsu makan menurun. Saat ini berat badan pasien 12 kg. Sejak lahir pasien
mendapatkan ASI.

6
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
1. Kesan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi : 112x/menit
Frekuensi napas : 44 x/menit
Suhu : 37,8 Celsius
SpO2 : 91%

Pemeriksaan Khusus
- Kulit :tampak ruam makulopapular pada wajah, leher, badan dan
ekstremitas, tidak ada hematom dan ti
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, mata berair
- Dada : jantung dalam batas normal
- Paru : vesikuler seluruh lapang paru, Ronkhi (+/+), wheezing (-/-)
- Abdomen : Bising usus terdengar, tidak ada nyeri tekan.
- Ekstremitas : akral hangat

VI. DIAGNOSIS KERJA


Morbili + suspek Bronkopneumonia

VII. DIAGNOSIS BANDING


- Rubella
- Exantema subitum
VIII. RENCANA PENGELOLAAN
A. Rencana Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen thorax PA

B. Rencana Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
O2 1 lt/menit
Intravena fluid RL 20 tetes per menit makro drip

7
Nebu combivent 0,5 mg/8 jam
Injeksi Antrain3x120 mg intravena
Vitamin A 200.000 unit
Isoprinosin 1x1

A. Rencana Pemantauan
Pantau tanda vital pasien

B. Rencana Edukasi
Edukasi terhadap keluarga pasien tentang penyakit yang diderita pasien.

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam

Follow Up tanggal 15 Mei 2017


S : (Alloanamnesis Ibu Pasien) Pasien dikeluhkan terdapat bintik-bintik merah, demam (+),
batuk dan pilek (+) serta terlihat sesak.
O : Pemeriksaan fisik
Kesan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Frekuensi nadi : 108 x/menit
Frekuensi napas : 30 x/menit

8
Suhu : 37,3o Celsius
SpO2 : 97% (dengan nasal canul 1 lpm)
Mata : CA-/- SI -/-
Thorax : Rh+/+ wh-/-
Abd : BU (+), nyeri tekan (-)
Kulit : ruam makulopapular (+)
Akral hangat
Rontgen: Cor : Besar dan bentuk baik
Pulmo : Hillus dan vaskular kasar , tampak infiltrat di lapangan
atas paru kanan
Sinus kostofrenikus dan diafragma baik
Kesan : Bronkopneumonia

A: Morbili + Bronkopneumonia
P: RL 20 tetes per menit
Injeksi Antrain 3x120 mg intravena
Nebu combivent 0,5 mg tiap 8 jam
Vitamin A 200.000
Isoprinosine 1x1 cth
Ambroxol 3x1 cth
Follow Up tanggal 17 Mei 2017
S : (Alloanamnesis Ibu Pasien) Bintik-bintik merah berkurang, demam +, batuk berdahak +,
intake sedikit.
O : Pemeriksaan fisik
Kesan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda Utama
Frekuensi nadi : 110 x/menit

9
Frekuensi napas : 28x/menit
Suhu : 37,4o Celsius
SpO2 : 97% (dengan nasal canul lpm)
Thorax : Rh +/+ wh-/-
Ekstremitas : rash morbiliform (+)
A: Morbili + Bronkopneumonia
P: RL 20 tetes per menit
Injeksi Antrain 3x120 mg intravena
Nebu combivent 0,5mg tiap 8 jam
Vitamin A 200.000
Isoprinosine 1x1 cth
Ambroxol 3x1 cth

Follow Up tanggal 18 Mei 2017


S : (Alloanamnesis Ibu Pasien) Pasien demam tidak ada, sesak + berkurang, batuk berdahak
+, makan sudah mulai membaik.
O: Pemeriksaan fisik
Kesan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda Utama
Frekuensi nadi : 104 x/menit
Frekuensi napas : 28 x/menit
Suhu :36,8o Celsius
SpO2 : 95% tanpa 02
Thorax : Rh +/+ wh-/-
Ekstremitas : rash morbiliform
A : Morbili + Bronkopneumonia
P: RL 20 tetes per menit
Injeksi Antrain 3x120 mg intravena
Nebu tiap 8 jam
Vitamin A 200.000
Isoprinosine 1x1 cth
Ambroxol 3x1 cth
Usul rontgen thorax

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. MORBILLI

Definisi
Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola (bahasa Latin),
yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama masern, dalam bahasa Islandia
dikenal dengan nama mislingar dan measles dalam bahasa Inggris.Campak adalah penyakit

11
infeksi virus akut, dengan gejala-gejala eksantem akut, demam, inflamasi mukosa dan saluran
napas, yang diikuti erupsi makulopapular berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi
kulit.Campak adalah penyakit menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu stadium
inkubasi, stadium prodormal (kataral), dan stadium erupsi yang bermanifestasi dengan
demam, konjungtivitis dan bercak koplik. Umur terbanyak penderita campak adalah < 12
bulan, diikuti kelompok umur 1-4 dan 5-14 tahun. Nama lain penyakit ini adalah morbili,
measles, dan rubeola. (Nelson, 2012)

Epidemiologi
Lebih dari 20 juta penularan campak terjadi setiap tahunnya, dengan 139.300
kematian pada tahun 2010. Sepuluh tahun terakhir telah menunjukkan peningkatan cakupan
imunisasi dengan vaksinasi virus campak yang dilemahkan, jadwal vaksinasi sebanyak dua
kali, dan tindakan preventif terhadap campak telah menurunkan angka kematian global akibat
campak hingga 74% dari 535.000 kematian pada tahun 2000. Mayoritas dari jumlah kematian
karena campak ini terjadi di Afrika dan Asia akibat terhambatnya program imunisasi dan
kurangnya pelayanan kesehatan yang memadai. (Haralambieva, Pankratz, dkk, 2013)
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) campak menduduki
tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada bayi (0,7%) dan tempat ke-5 dalam
urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1-4 tahun (0,77%).
Dari penelitian retrospektif dilaporkan bahwa campak di Indonesia ditemukan
sepanjang tahun. Studi kasus campak yang dirawat inap di rumah sakit selama kurun waktu
lima tahun, memperlihatkan peningkatan kasus pada bulan Maret dan mencapai puncak pada
bulan Mei, Agustus, September dan Oktober.
Pengalaman menunjukkan bahwa epidemi campak di Indonesia timbul secara tidak
teratur. Di daerah perkotaan epidemi campak terjadi setiap 2-4 tahun. Wabah terjadi pada
kelompok anak yang rentan terhadap campak, yaitu di daerah dengan populasi balita banyak
mengidap gizi buruk dan daya tahan tubuh yang lemah. Telah diketahui bahwa campak
menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum, sehingga mudah terjadi infeksi
sekunder atau penyulit. Penyulit yang sering dijumpai ialah bronkopneumonia (75,2%),
gastroenteritis (7,1%), ensefalitis (6,7%) dan lain-lain (7,9%). (Soedarmo, 2012)

12
Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, pada tahun 2013 terjadi 145.700
kematian yang disebabkan oleh campak di seluruh dunia (berkisar 400 kematian setiap hari
atau 16 kematian setiap jam) pada sebagian besar anak kurang dari 5 tahun. Berdasarkan
laporan DirJen PP&PL DepKes RI tahun 2014, masih banyak kasus campak di Indonesia
dengan jumlah kasus yang dilaporkan mencapai 12.222 kasus. Frekuensi KLB sebanyak 173
kejadian dengan 2.104 kasus. Sebagian besar kasus campak adalah anak-anak usia pra-
sekolah dan usia SD. Selama periode 4 tahun, kasus campak lebih banyak terjadi pada
kelompok umur 5-9 tahun (3591 kasus) dan pada kelompok umur 1-4 tahun (3383 kasus).
(Halim, 2016)

Etiologi
Virus campak berada di sekret nasofaring dan di dalam darah, minimal selama masa
tunas dan dalam waktu yang singkat sesudah timbulnya ruam. Virus tetap aktif minimal 34
jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4 minggu
disimpan dalam temperature 35C, dan beberapa hari pada suhu 0C. Virus tidak aktif pada
pH rendah. (Soedarmo,2012)

Campak disebabkan oleh Morbilivirus, salah satu virus RNA dari famili Paramyxoviridae.
1. Bentuk Virus

13
Virus berbentuk bulat dengan tepi kasar dan bergaris tengah 140 nm dan dibungkus oleh
selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang
bulat lonjong terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA), merupakan
struktur heliks nukleoprotein dari myxovirus. Selubung luar sering menunjukkan tonjolan
pendek, satu protein yang berada di selubung luar muncul sebagai hemaglutinin
(Soedarmo,2012)

2. Ketahanan Virus
Pada temperatur kamar virus campak kehilangan 60% sifat infeksifitasnya selama 3-5 hari,
pada 37C waktu paruh umurnya 2 jam, pada 56C hanya satu jam. Pada media protein ia
dapat hidup dengan suhu -70C selama 5,5 tahun, sedangkan dalam lemari pendingin dengan
suhu 4-6C dapat hidup selama 5 bulan. Virus tidak aktif pada PH asam. Oleh karena
selubung luarnya terdiri dari lemak maka ia termasuk mikroorganisme yang bersifat ether
labile, pada suhu kamar dapat mati dalam 20% ether selama 10 menit dan 50% aseton dalam
30 menit. Dalam 1/4000 formalin menjadi tidak efektif selama 5 hari, tetapi tidak kehilangan
antigenitasnya. Tripsin mempercepat hilangnya potensi antigenik (Soedarmo,2012)

3.Struktur Antigenik
Infeksi dengan virus campak merangsang pembetukkan neutralizing antibody, complement
fixing antibody, dan haemagglutinine inhibition antibody. Imunoglobulin kelas IgM dan IgG
muncul bersama-sama diperkirakan 12 hari setelah infeksi dan mencapai titer tertinggi sekitar
21 hari. Kemudian IgM menghilang dengan cepat sedangkan IgG tinggal tidak terbatas dan
jumlahnya terukur, sehingga IgG menunjukkan bahwa pernah terkena infeksi walaupun sudah
lama. Antibodi protektif dapat terbentuk dengan penyuntikkan antigen hemagglutinin murni.
(Soedarmo,2012)
Virus campak termasuk golongan paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi yang
kasar dan bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan
protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat lonjong, terdiri dari bagian
protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA) yang merupakan struktur helix
nucleoprotein dari myxovirus. Pada selubung luar seringkali terdapat tonjolan pendek. Salah
satu protein yang berada di selubung luar berfungsi sebagai hemaglutinin. (Soedarmo,2012)
Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi. Apabila
berada di luar tubuh manusia, keberadaannya tidak kekal. Pada temperatur kamar ia akan
kehilangan 60% sifat infektivitasnya setelah 3-5 hari, pada suhu 37C waktu paruh usianya 2

14
jam, sedangkan pada suhu 56C hanya satu jam. Sebaliknya virus ini mampu berahan dalam
keadaan dingin, pada suhu -70C dengan media protein ia dapat hidup selama 5,5 tahun,
sedangkan dalam lemari pendingin dengan suhu 4-6C, dapat hidup selama 5 bulan. Tetapi
bila tanpa media protein, virus ini hanya mampu bertahan selama 2 minggu, dan dapat
dengan mudah dihancurkan oleh sinar ultraviolet. (Soedarmo,2012)

Patofisiologi
Campak ditularkan melalui penyebaran droplet, kontak langsung, melalui sekret
hidung atau tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Masa penularan berlangsung mulai dari
hari pertama sebelum munculnya gejala prodormal biasanya sekitar 4 hari sebelum timbulnya
ruam, minimal hari kedua setelah timbulnya ruam. Virus campak menempel dan berkembang
biak pada epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada
kelenjar limfe regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem
retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya
giant cells dan proses peradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronkial
paru. Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi
dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3C : coryza,
cough and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk,
pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita
kontak dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.Virus
dapat berbiak juga pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik ensefalitis.
Setelah masa konvelesen, hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi makin
gelap, berubah menjadi deskuamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan karena pada
awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit. (Swart, 2007; Sabella, 2010)

Patogenesis
Penularannya sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat
menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet melalui udara,
sejak 1-2 hari setelah timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Infeksi virus
campak pertama kali terjadi pada epitel saluran nafas nasofaring. Infeksi di daerah nasofaring
ini akan diikuti dengan penyebaran virus campak ke jaringan limfatik regional yang
menyebabkan terjadinya viremia primer. Setelah viremia primer, terjadi replikasi ekstensif
dari virus campak yang terjadi pada jaringan limfatik regional maupun jaringan limfatik yang
lebih jauh. Replikasi virus campak juga terjadi di lokasi pertama infeksi. (Soedarmo, 2012)

15
Setelah lima hingga tujuh hari setelah infeksi terjadi viremia sekunder yang ekstensif
dan menyebabkan terjadinya infeksi campak secara generalisata. Kulit, konjungtiva, dan
saluran nafas adalah tempat yang jelas terkena infeksi, tetapi organ lainnya seperti kulit,
kandung kemih, dan usus.dapat terinfeksi pula. (Soedarmo, 2012)
Pada hari ke-9-10, fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva,
akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat itu virus
dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi klinis
dari system saluran nafas diawali dengan dengan keluhan batuk pilek disertai selaput
konjungtiva yang tampak merah. Respon imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel
pada system saluran pernapasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak
tampak sakit berat dan tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak
Koplik, yang dapat tanda pasti untuk menegakkan diagnosis.(Soedarmo, 2012)
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons delayed
hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14 sesudah
awal infeksi dan pada saat itu antibody humoral dapat dideteksi pada kulit. Kejadian ini tidak
tampak pada kasus yang mengalami defisit sel-T. (Soedarmo, 2012)
Dari hari ke-11 hingga 14 infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan
organ lain mencapai puncaknya dan kemudian titer virus akan menurun menurun secara cepat
dalam waktu 2 hingga 3 hari. Selama proses infeksi, virus campak akan bereplikasi di dalam
sel endotel, sel epitel, monosit, dan makrofag. (Cherry JD, Feign Rd et al, 2008)
Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan
kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan
lainnya. Dalam keadaan tertentu, adenovirus dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada
kasus campak. (Swart D, 2007)

Hari Manifestasi
0 Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan epitel nasofaring
atau kemungkinan konjungtiva
Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus
1-2 Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional
2-3 Viremia primer
3-5 Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di tempat infeksi
pertama, dan pada RES regional maupun daerah yang jauh
5-7 Viremia sekunder

16
7-11 Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus, termasuk saluran
nafas
11-14 Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain
15-17 Viremia berkurang lalu hilang, virus pada organ menghilang
Tabel 1. Patogenesis campak tanpa penyulit. (Soedarmo, 2012)

Manifestasi Klinis
Sekitar 10 hari setelah infeksi akan muncul demam yang biasanya tinggi, diikuti
dengan koriza/pilek, batuk dan peradangan pada mata. Gejala penyakit campak dikategorikan
dalam tiga stadium:
Stadium inkubasi
Masa inkubasi campak berlangsung kira-kira 8-12 hari. Walaupun pada masa ini
terjadi viremia dan reaksi imunologi yang ekstensif, penderita tidak menampakkan gejala
sakit.
Stadium prodromal
Manifestasi klinis campak biasanya baru mulai tampak pada stadium prodromal yang
berlangsung selama 2 hingga 5 hari. Gejala utama yang muncul adalah demam yang terus
meningkat hingga mencapai puncaknya suhu 39,4 - 40,6C pada hari ke 4 atau 5 yaitu pada
saat ruam muncul.

17
Anak menderita campak, terdapat bintik
kemerahan pada wajah dan seluruh tubuhnya.
(Nelson, 2012)

Selain itu biasanya terdapat batuk, pilek dan konjungtivitis. Inflamasi konjungtiva dan
fotofobia dapat menjadi petunjuk sebelum munculnya bercak Koplik. Garis melintang
kemerahan yang terdapat pada konjungtuva dapat menjadi penunjang diagnosis pada stadium
prodromal. Garis tersebut akan menghilang bila seluruh bagian konjungtiva telah terkena
radang

Koplik spot (Nelson,2012)

Koplik spot yang merupakan tanda patognomonik untuk campak muncul pada hari
ke-101 infeksi. Koplik spot adalah suatu bintik putih keabuan sebesar butiran pasir dengan
areola tipis berwarna kemerahan dan biasanya bersifat hemoragik. Tersering ditemukan pada
mukosa bukal di depan gigi geraham bawah tetapi dapat juga ditemukan pada bagian lain dari
rongga mulut seperti palatum, juga di bagian tengah bibir bawah dan karunkula lakrimalis.
Muncul 1-2 hari sebelum timbulnya ruam dan menghilang dengan cepat yaitu sekitar 12-18
jam kemudian. Pada akhir masa prodromal, dinding posterior faring biasanya menjadi
hiperemis dan penderita akan mengeluhkan nyeri tenggorokkan.

Stadium exantem
Pada campak yang tipikal, ruam akan muncul sekitar hari ke-14 infeksi yaitu pada
saat stadium erupsi. Ruam muncul pada saat puncak gejala gangguan pernafasan dan saat
suhu berkisar 39,5C. Ruam pertama kali muncul sebagai makula yang tidak terlalu tampak
jelas di lateral atas leher, belakang telinga, dan garis batas rambut. Kemudian ruam menjadi
makulopapular dan menyebar ke seluruh wajah, leher, lengan atas dan dada bagian atas pada

18
24 jam pertama. Kemudian ruam akan menjalar ke punggung, abdomen, seluruh tangan, paha
dan terakhir kaki, yaitu sekitar hari ke-2 atau 3 munculnya ruam. Saat ruam muncul di kaki,
ruam pada wajah akan menghilang diikuti oleh bagian tubuh lainnya sesuai dengan urutan
munculnya.
Saat awal ruam muncul akan tampak berwarna kemerahan yang akan tampak
memutih dengan penekanan. Saat ruam mulai menghilang akan tampak berwarna kecokelatan
yang tidak memudar bila ditekan. Seiring dengan masa penyembuhan maka muncullah
deskuamasi kecoklatan pada area konfluensi. Beratnya penyakit berbanding lurus dengan
gambaran ruam yang muncul. Pada infeksi campak yang berat, ruam dapat muncul hingga
menutupi seluruh bagian kulit, termasuk telapak tangan dan kaki. Wajah penderita juga
menjadi bengkak sehingga sulit dikenali. (Nelson, 2012; Soedarto, 2007)
Stadium eksantem: timbul ruam makulopapular dengan penyebaran sentrifugal yang
dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher, dada,
ekstremitas atas, bokong, dan akhirnya ekstremitas bawah. Ruam ini dapat timbul selama 6-7
hari. Demam umumnya memuncak (mencapai 400 C) pada hari ke 2-3 setelah munculnya
ruam.1,5,7 Jika demam menetap setelah hari ke-3 atau ke-4 umumnya mengindikasikan
adanya komplikasi.(Halim, 2016)

Stadium penyembuhan (konvalesens)


Setelah 3-4 hari umumnya ruam berangsur menghilang sesuai dengan pola timbulnya.
Ruam kulit menghilang dan berubah menjadi kecoklatan yang akan menghilang dalam 7-10
hari.(Halim, 2016)

Diagnosis Kerja
Diagnosis campak biasanya dapat dibuat dengan berdasarkan kelompok gejala klinis
yang sangat berkaitan, yaitu koriza dan mata meradang disertai batuk dan demam tinggi
dalam beberapa hari diikuti timbulnya ruam yang memiliki ciri khas, yaitu diawali dari
belakang telinga kemudian menyebar ke muka, dada, tubuh, lengan dan kaki dalam waktu 3
hari atau lebih bersamaan dengan meningkatnya suhu tubuh (demam 38,3 C (101F) dan
selanjutnya mengalami hiperpigmentasi dan mengelupas. Pada stadium prodromal dapat
ditemukan eksantema di mukosa pipi yang merupakan tanda patognomonis campak (bercak
Koplik). (Soedarmo, 2012)
Tetapi gejala klinis pada penyakit campak sering mengalami modifikasi misalnya
penyakit campak dapat timbul tanpa disertai demam dan tanpa timbul ruam-ruam pada kulit.

19
Hal seperti ini sering terjadi pada anak atau bayi yang sangat muda, penderita dengan
immunokompresi, anak dengan malnutrisi atau bisa pada anak yang sebelumnya telah
mendapat imunisasi campak. Karena banyak penderita menunjukkan gejala yang tidak jelas,
maka untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. (Setiawan,
2008)
1. Pemeriksaan darah rutin
Biasanya ditemukan leukopenia.

2. Deteksi virus

a. Virus campak dapat ditemukan pada sel mononuclear darah tepi, sekresi saluran nafas,
usapan konjugtiva dan dalam urin. Tetapi virus campak sangat sulit ditemukan,
sehingga pemeriksaan untuk menemukan virus jarang digunakan untuk menegakkan
diagnosis penyakit campak.
b. Sel epitel yang berasal dari nasofaring, mukosa bukalis, konjungtiva atau urin dapat
digunakan untuk pemeriksaan sitologi secara langsung untuk melihat sel raksasa dan
mendeteksi antigen dengan menggunakan antibodi terhadap protein N virus. Protein
ini paling banyak ditemukan pada sel yang terinfeksi.
c. Pemeriksaan jaringan langsung pada penderita dengan immunocompromised karena
respon antibodinya tidak terbentuk.
RNA virus dapat dideteksi dengan reverse transcription dan diamplifikasi memakai
PCR, teknik ini belum digunakan secara luas untuk menegakkan diagnosis. (Setiawan, 2008)

3. Mendeteksi antibodi

Diagnosis penyakit campak paling sering ditegakkan dengan pemeriksaan serologi.


Menggunakan sampel saliva atau serum. Antibodi IgM muncul bersamaan dengan munculnya
ruam pada kulit dan sebagian besar dideteksi 3 hari sesudah munculnya ruam. Antibodi IgM
meningkat cepat dan kemudian menurun hingga tidak dapat dideteksi setelah 4-12 minggu.
IgG sebaiknya diperiksa pada sampel yang sama untuk mengetahui apakah sudah pernah
terinfeksi atau sudah pernah mendapat imunisasi.
Saat pengambilan serum yang tepat untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium
adalah:
a. Usapan tenggorokan dan saliva diambil dalam 6 minggu sesudah munculnya gejala
untuk pemeriksaan antibodi IgM spesifik campak dan mendeteksi RNA virus.

20
b. Sampel darah diambil dalam 6 minggu sesudah munculnya gejala untuk mendeteksi
antibodi IgM spesifik virus dan RNA virus
Sampel darah umumnya diambil pada fase akut (1-7 hari setelah munculnya ruam
pada kulit) dan pada fase konvalesen untuk mendeteksi antibodi IgG spesifik campak. Positif
jika terjadi kenaikan titer antara fase akut dan konvalesen 4 kali lipat. (Setiawan, 2008)
Indikasi rawat inap pada pasien Morbili : Hiperpireksia, dehidrasi, kejang, asupan oral
sulit, atau disertai komplikasi.(Suprapto, 2012)

Alur Diagnostik

Kasus campak
klinis

Tidak ada
Spesimen darah
spesimen/tidak
adekuat
adekuat

Tidak ada
Ada hubungan
IgM (-) IgG (+) hubungan
epidemiologi
epidemiologi

Kasus campak
Bukan kasus Kasus campak Kasus campak
pasti secara epid
campak pasti secara lab klinis
(KLB)

Diagnosis Banding
1. Rubella
Rubella (German measles) merupakan suatu penyakit virus yang umumnya pada naka
dan dewasa muda, yang ditandai oleh suatu masa prodromal yang pendek, pembesaran
kelenjar getah bening servikal, suboksipital dan postaurikular, disertai erupsi yang
berlangsung 2-3 hari. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa dapat disertai kelainan
sendi dan purpura. Tubella pada kehamilan mudadapat mengakibatkan abortus, bayi lahir
mati, dan menimbulkan kelainan kongenital yang berat pada janin
Penularan terjadi melalui oral droplet, dari nasofaring, atau rute pernafasan.
Selanjutnya virus rubella memasuki aliran darah. Namun terjadinya erupsi di kulit belum
diketahui patogenesisnya. Viremia mencapai puncaknya tepat sebelum timbul erupsi di kulit.
Di nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih

21
lama. Selain dari secret nasofaring, virus rubella telah diisolasi dari kelenjar getah bening,
urin, cairan serebrospinal, ASI, cairan synovial, dan paru.
Penularan dapat terjadi biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah
timbulnya erupsi. Daya tular tertinggi terjadi pada akhir masa inkubasi, kemudian menurun
dengan cepat, dan berlangsung hingga menghilangya erupsi.
Manifestasi klinis:
Masa inkubasi: Masa inkubasi berkisar antara 14-21 hari. Dalam beberapa laporan
lain waktu inkubasi minimum 12 hari dan maksimum 17 sampai 21 hari.
Masa prodromal: Pada anak biasanya erupsi timbul tanpa keluhan sebelumnya, jarang
disertai gejala dan tanda pada masa prodromal. Namun pada remaja dan dewasa muda
masa prodromal berlangsung 1-5 hari dan terdiri dari emam ringan, sakit kepala, nyeri
tenggoril, kemerahan pada konjungtiva, rhinitis, batuk, dan limfadenopati. Gejala ini
segera menghilang pada waktu erupsi timbul. Gejala dan tanda prodromal biasanya
mendahului erupsi di kulit 1-5 hari sebelumnya. Pada beberapa penderita dewasa
gejala dan tanda tersebut dapat menetap lebih lama dan bersifat lebih berat. Pada 20%
penderita selama masa prodromal atau hari pertama erupsi, timbul enantemam
Forscheimer spot, yaitu macula atau petekia pada palatum molle, bias saling
merengkuh sampai seluruh permukaan faucia. Pembesaran kelenjar limfe bias timbul
5-7 hari sebelum timbul eksantema, khas mengenai kelenjar suboksipital,
postaurikular dan servikal, dan disertai nyeri tekan.
Masa eksantema. Seperti pada campak, eksantema mulai retroaurikular atau pada
muka dan dengan cepat meluas secara kraniokaudal ke bagian lain dari tubuh, mula-
mula berupa macula yang berbatas tegas dan kadang-kadang dengan cepat meluas dan
menyatu, memberikan bentuk campakform. Pada hari kedua eksantema di muka
menghilang, diikuti hari ke-3 di tubuh dan hari ke-4 di anggota gerak. Pada 40%
kasus infeksi rubella terjadi tanpa eksantema. Meskipun sangat jarang, dapat terjadi
deskuamasi posteksantematik. (Soedarmo, 2012)

Selain eksantema, limfadenopati merupakan suatu gejala klinis yang penting pada
rubella. Biasanya pembengkakan kelenjar getah bening itu berlangsung selama 5-8 hari.
Pada penyakit rubella yang tidak mengalami penyulit sebagian besar penderita sudah
dapat bekerja seperti biasa pada hari ke-3. Sebagian kecil penderita masih terganggu dengan
nyeri kepala, sakit mata, rasa gatal selama 7-10 hari. (Soedarmo, 2012)

22
2. Eksantema subitum
Eksantema subitum adalah penyakit virus pada bayi dan anak kecil yang bersifat akut,
biasanya terjadi secara sporadic dan dapat menimbulkan epidemic. Hal yang unik dari
eksantema subitum adalah ruam dan perbaikan klinis yang terjadi hampir simultan.
Eksantema subitum sudah lama dikenal sebagai penyakit eksantematus yang sering terjadi
pada anak. Beberapa nama lain dari penyakit ini adalah roseola infantum, sixth disease, the
rose rash of infants, dan pseudorubella.
Eksantema subitum merupakan infeksi primer HHV-6B. Eksantema subitum
merupakan penyakit yang umum, disertai panas yang akut pada anak. Meskipun manifestasi
klinik dari bayi atau anak yang menderita eksantema subitum bervariasi, tetapi memiliki
karakteristik khas yang timbul 3-6 hari. Pada periode demam ini berhubungan dengan
terdapatnya virus dalam darah. Saat periode demam selama 3-6 hari, anak menjadi rewel,
tetapi bila demam sudah menurun, anak menjadi tampak normal. Umumnya terjadi
limfadenopati servikal, tetapi karakteristik yang paling utama adalah timbulnya limfadenopati
di oksipital posterior pada 3 hari pertama infeksi, disertai eksantema (Nagayanas spots) pada
palatum molle dan uvula.
Setelah panas turun, kemudian timbul ruam pada tubuh, menyebar kearah leher,
wajah, dan ekstremitas. Lesi yang timbul berbentuk campakform atau rubella-like dengan
macular, lesi berwarna merah muda, ukuran dengan diameter 1-3 mm. dapat ditemukan juga
ubun-ubun besar yang menonjol namun akan sembuh secara spontan. Infeksi primer ini dapat
asimtomatik, tetapi juga dapat menimbulkan manifestasi klinik yang lain dari eksantema
subitum yang klasi. Pada beberapa kasus, eksantema subitum dapat juga disertai gejala-gejala
yang lain seperti otitis media sampai infeksi saluran pernapasan atas dan gastroenteritis.
(Soedarmo, 2012)

3. Scarletfever
Scarlet fever atau demam skarlatina adalah penyakit infeksi saluran napas atas yang
disebabkan infeksi Grup A Streptokokus (GAS) yang memproduksi eksotoksin pyrogenic
(erythrogenic toxin) di faring. Pada scarlet fever dapat ditemukan ruam yang karateristik, di
mana ruam ini diakibatkan infeksi Grup A Streptokokkus. Saat ini scarlet fever lebih sulit
ditemui dan virulensi-nya telah menurun dibanding masa lampau, tetapi siklus insidensi
masih ada, tergantung pada prevalensi strain bakteri yang memproduksi toxin dan status
imunitas populasi.

23
Metode transmisi penyebaran GAS pada faring terjadi melalui udara (droplet nuclei,
debu) dan lingkungan yang tercemar (baju, tempat tidur) merupakan sebagian kecil dari poses
penyebaran streptokokus. Kontak erat dengan individu terinfeksi dibutuhkan untuk
transmisiStreptokokus faring langsung secara droplet atau transfer fisik dari secret respirasi
yang berisi bakteri infeksi. Penyebaran di dalam keluarga dan sekolah sering terjadi. Pasien
infeksi aktif maupun infeksi subklinis mungkin bisa menyebarkan infeksi. Pada umumnya
penyebaran kedua (oleh penderita karier) terjadi 2 minggu pertama setelah bebas saki, karier
karena infeksi Streptokokus pada saluran nafas dan sering menimbulkan penularan
organisme. Makanan atau susu yang terkontaminasi mungkin bias menimbulkan infeksi
Streptokokus pada faring.
Ruam timbul pada 24-48 jam setelah onset simptom. Ruam sering dimulai dari area
sekitar leher dan menyebar ke perut dan dada serta ekstremitas. Ruam yang timbul difus,
popular berbatas tegas, dan erupsi eritme menghasilkan warna merah pucat pada kulit yang
menghilang dengan penekanan. Ruam sering ditemukan pada lipatan siku, axilla, dan
selangkangan. Saat diraba kulit terasa kasar dan teraba adanya bintik-bintik seperti pada kulit
angsa. Pada pipi sering terlihat kemerahan dengan mulut yang terlihat pucat. Setelah 3-4 hari
ruam mulai menghilang, diikuti dengan deskuamasi yang dimulai dari wajah kemudian
meluas ke bawah sehingga kulit terlihat seperti terbakar matahari ringan. Terkadang,
deskuamasi juga dapat terlihat pada ujung jari, telapak tangan, dan tumit. Selain itu, lidah
terlihat seperti terlapis dengan papilla yang membesar. Setelah deskuamasi, pada pasien
scarlet fever dapat ditemukan strawberry tongue. (Nelson, 2012)

4. Erupsi Obat Alergi


Erupsi obat alergi adalah reaksi alergi pada kulit atau mukokutan yang terjadi sebagai
akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Ada dua macam mekanisme pathogenesis erupsi
obat alergi. Pertama adalah reaksi mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non-
imunologis. Umumnya erupsi obat alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan
reaksi imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non-imunologis yang
disebabkan oleh toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat, dan perubahan dalam
metabolisme.
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai obat-
oabatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah
masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris.

24
Selain itu, dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik distribusi yang menyerluruh dan
simetris serta bentuk kelainan yang timbul.
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi
dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua
jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian
obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut
dikumpulkan. Akan tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita
yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi
obat alergi yang bersifat persisten. (Nababan, 2014)
Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan mengkonfirmasi
marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan aktivasi jalur imunopatologi
reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang
mendasari erupsi obat. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan
penyebab erupsi obat alergi adalah:
Biopsi kulit
Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat membantu menegakkan
diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan.
Akan tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan menegakkan diagnosis
serta melihat kemungkinan etiologi penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan
darah lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan lain-lain) serta fungsi
kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi
dimana bila perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm 3 menunjukkan erupsi obat alergi
yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila terdapat overdosis dari obat tersebut.
Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya. Uji
provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah
yang paling membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat
membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika
maupun alasan mediko legalnya. (Nababan, 2014)

25
Pada erupsi obat alergi, dapat timbul erupsi makulopapular atau morbiliformis. Erupsi
makulopapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa dapat diinduksi oleh
hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas
eritema dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi.
Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering
disebabkan oleh ampisilin, OAINS, sulfonamid, dan tetrasiklin. (Nababan, 2014)

Penatalaksanaan
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), anak harus diberikan cukup cairan
dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat simtomatik, dengan pemberian antipiretik,
antitusif, ekspektoran dan antikonvulsan bila diperlukan.
Pasien morbili diupayakan untuk memperbaiki keadaan umum dengan pemberian
cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang dibutuhkan adalah cairan maintenance yang
fungsinya adalah untuk menggantikan air yang hilang lewat urine, tinja, paru, dan kulit.
Karena cairan yang keluar sedikit sekali mengandung elektrolit, maka cairan pengganti
terbaik adalah cairan hipotonik seperti N4D5. Pemberian antibiotik dapat dilakukan jika ada
indikasi infeksi sekunder. Selain itu pemberian antibiotik sebagai profilaksis dari infeksi
sekunder tidak bermanfaat dan tidak dianjurkan. Pemberian antibiotik golongan
cephalosporin berupa ceftriaxone dapat digunakan pada infeksi saluran nafas dan dengan
dosis 50-75mg/kgBB/x sehari atau dibagi mejadi 2 dosis. Pengobatan simtomatik seperti
pemberian antipiretik berupa paracetamol pada pasien ini dikarenakan pasien mengeluhkan
demam. Dosis paracetamol pada anak yaitu 10- 15mg/kgBB/dosis.
Virus campak rentan terhadap ribavirin in vitro. Meskipun ribavirin (baik IV atau
aerosol) telah digunakan untuk mengobati orang dewasa yang terkena dampak parah dan
immunocompromised dengan campak akut atau SSPE (IV plus interferon dosis tinggi
intratekal). Ribavirin tidak disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk
indikasi ini. (Chen, 2016)
Terapi Vitamin A terbukti menurunkan angka morbiditas dan mortalitas sehingga
World Health Organization (WHO) menganjurkan pemberian vitamin A kepada semua anak
dengan campak, dimana elemen nutrisi utama yang menyebabkan kegawatan morbili
bukanlah protein dan kalori melainkan vitamin A. Ketika terjadi defisiensi vitamin A pada
kasus morbili maka akan menyebabkan kebutaan dan kematian. Indikasi pemberian vitamin A
pada anak usia 6 bulan sampai 12 tahun yang di rawat inap dengan morbili dan komplikasi
yang menyertainya (seperti, diare, pneumonia, dan croup). Pada anak dengan usia 6 bulan

26
lebih dengan morbili yang tidak menerima suplemen vitamin A dan yang memiliki faktor
risiko, berupa:
Imunodefisiensi
Bukti klinis defisiensi vitamin A
Absorbsi intestinal terganggu
Malnutrisi sedang sampai berat
Imigrasi dari wilayah yang tinggi mortalitas akan morbili

Regimen vitamin A yang tersedia adalah parenteral dan oral, dengan rekomendasi dosis:
single dose 200,000 IU oral untuk anak usia 1 tahun / lebih, dan 100,000 IU untuk anak usia
6 bulan sampai 1 tahun, dan 50,000 IU untuk anak usia kurang dari 6 bulan. (Nelson, 2011)
Antivirus seperti ribavirin (dosis 20-35 mg/kgBB/hari i.v) telah dibuktikan secara in
vitro terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan penderita campak berat dan penderita
dewasa yang immunocompromissed. Namun penggunaan ribavirin ini masih dalam tahap
penelitian dan belum digunakan untuk penderita anak.
Penderita campak tanpa komplikasi dapat berobat jalan. Anak harus diberikan cukup
cairan dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat simtomatik, dengan pemberian antipiretik,
antitusif, ekspektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan, diperlukan perbaikan keadaan
umum dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan diet yang memadai.
Indikasi rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39,5C), dehidrasi, kejang, asupan oral
sulit atau adanya penyulit. Di rumah sakit pasien campak dirawat di bangsal isolasi system
pernapasan. Pengobatan dengan penyulit disesuaikan dengan penyulit yang timbul.
Pada kasus dengan komplikasi:
- Ensefalopati:
Kloramfenikol 75 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis dan ampisil
100mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis selama 7-10 hari.
Dexametason dengan dosis awal 1mg/KgBB/hari, dilanjutkan 0,5
g/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran membaik. Pemberian
yang melebihi 5 hari, lakukan tappering off saat menghentika terapi.
3
Kebutuhan cairan dikurangi sampai kebutuhan, serta koreksi gangguan
4
elektrolit (Suprapto, 2012)
- Bronkopneumonia
Oksigen 2 lpm

27
Kloramfenikol 75mg/KgBB/Hari dibagi 4 dosis dan ampisilin
100mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis selama 7-10 hari. (Suprapto, 2012)

Komplikasi
Komplikasi umumnya terjadi pada anak resiko tinggi, yaitu: (Halim, 2016)
Usia muda, terutama dibawah 1 tahun
Malnutrisi (marasmus atau kwasiorkor)
Pemukiman padat penduduk yang lingkungannya kotor
Anak dengan gangguan imunitas, contohnya pada anak terinfeksi HIV, malnutrisi atau
keganasan
Anak dengan defisiensi vitamin.

Komplikasi dapat terjadi pada berbagai organ tubuh, antara lain: (Halim, 2016)

Saluran pernapasan: Bronkopneumonia, laringotrakeobronkitis (croup)


Saluran pencernaan: Diare yang dapat diikuti oleh dehidrasi
Telinga: Otitis media
Susunan saraf pusat:
- Ensefalitis akut
- Subacute Sclerosing Panencephalitis
Mata: keratitis
Sistemik: Septikemia karena infeksi bakteri sekunder

1. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia dapat disebabkan virus Campak sendiri atau oleh Pneumococcus,
Streptococcus, dan Staphylococcus yang menyerang epitel pada saluran pernafasan. Ditandai
dengan batuk, meningkatnya frekuensi nafas, dan adanya ronki basah halus. Pada saat suhu
turun, apabila disebabkan oleh virus gejala pneumonia akan menghilang, kecuali batuk yang
masih dapat berlanjut sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga turun pada saat yang
diharapkan dan gejala saluran nafas masih terus berlangsung, dapat diduga adanya
pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan invasi pada sel epitel yang telah dirusak
oleh virus. Gambaran infiltrate pada foto toraks dan adanya leukositosis dapat mempertegas
diagnosis. Di Negara sedang berkembang dimasa malnutrisi masih menjadi masalah, penyulit
pneumonia bakteri biasa terjadi dan dapat menjadi fatal bila tidak diberi antibiotik.
Untuk pengobatan diberikan antibiotik ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis
intravena dikombinasikan dengan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari intravena dalam 4 dosis,

28
sampai gejala sesak berkurang dan pasien dapat minum obat per oral. Antibiotic diberikan
sampai tiga hari demam reda. Apabila dicurigai infeksi spesifik, maka uji tuberculin
dilakukan setelah anak sehat kembali (3-4 minggu kemudian) oleh karena uji tuberkulin
biasanya negative (anergi) pada saat anak menderita campak. Gangguan reaksi delayed
hypersensitivity disebabkan oleh sel limfosit-T yang terganggu fungsinya. (Soedarmo, 2012)

2. Otitis Media Akut


Invasi virus ke dalam linga telinga tengah umumnya terjadi pada campak. Gendang
telinga biasanya hipertemis pada fase prodromal dan stadium erupsi. Jika terjadi invasi
bakteri pada lapisan sel mukosa yang rusak karena invasi virus akan terjadi otitis media
purulenta. Dapat pula terjadi mastoiditis.
Otitis media seringkali disebabkan oleh karena infeksi sekunder, sehingga perlu
diberikan antibiotic kotrimoksazol-sulfametokzasol (TMP 4mg/kgBB/hari dibagi dalam 2
dosis) (Soedarmo, 2012)

3. Ensefalitis
Merupakan penyakit neurologic yang paling sering terjadi, biasanya terjadi pada hari
ke-4-7 setelah timbulnya ruam. Kejadian ensefalitis sekitr 1 dalam 1000 kasus campak,
dengan mortalitas antara 30-40%. Terjadinya ensefalitis dapat melalui mekanisme
imunologik maupun melalui invasi langsung virus campak ke dalam otak. Gejala ensefalitis
dapat berupa kejang, letargi, koma dan iritabel. Keluhan nyeri kepala, frekuensi nafas
meningkat, twitching, disorientasi juga dapat ditemukan. Pemeriksaan cairan serebrospinal
menunjukkan pleositosis ringan, dengan predominan sel mononuclear, peningkatan protein
ringan, sedangkan kadar glukosa dalam batas normal.
Pada ensefalopati perlu diberikan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4
dosis dan ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis selama 7-10 hari. Deksametason
juga diberikan dengan dosis awal 1 mg/kgBB/hari, dilanjutkan 0,5 gr/kgBB/hari dibagi dalam
3 dosis sampai kesadaran membaik. Pemberian deksametason yang melebihi 5 hari dilakukan
tapering-off saat menghentikan terapi. Selain itu, perlu reduksi jumlah pemberian cairan
hingga kebutuhan untuk mengurangi edema otak dan perlu dilakukan koreksi elektrolit dan
gangguan gas darah. (Soedarmo, 2012)

4. SSPE (Subacute Sclerosing Panencephalitis)

29
Subacute sclerosing encephalitis merupakan kelainan degenerative susunan saraf
pusat yang jarang disebabkan oleh infeksi virus campak yang persisten. Kemungkinan untuk
menderita SSPE pada anak yang sebelumnya pernah menderita campak adalah 0,6-2,2 per
100.000 infeksi campak. Risiko terjadi SSPE lebih besar pada usia yang lebih muda, dengan
masa inkubasi rata-rata 7 tahun. Gejala SSPE didahului dengan gangguan tingkah laku dan
intelektual yang progresif, diikuti olehinkoordinasi motoric, kejang umumnya bersifat
mioklonik. Laboratorium menunjukkan peningkatan globulin dalam cairan serebrospinal,
antibody terhadap campak dalam serum (CF dan HAI) meningkat (1:1280). Tida ada terapi
untuk SSPE. Rata-rata jangka waktu timbulnya gejala sampai meninggal antara 6-9 bulan.
(Soedarmo, 2012)

5. Enteritis
Beberapa anak yang menderita campak mengalami muntah dan mencret pada fase
prodromal. Keadaan ini akibat invasi virus ke dalam sel mukosa usus. Dapat pula timbul
enteropati yang menyebabkan kehilangan protein (protein losing enteropaty).Pada keadaan
berat anak mudah jatuh dalam dehidrasi sehingga pemberian cairan intravena dapat
dipertimbangkan apabila terdapat enteritis + dehidrasi. (Soedarmo, 2012)

Pencegahan
a. Pencegahan tingkat awal
Pencegahan tingkat awal dilakukan dalam mencegah munculnya faktor predisposisi
atau resiko terhadap penyakit campak. Sasaran dari pencegahan primordial adalah anak-anak
yang masih sehat dan belum memiliki resiko yang tinggi agar tidak memiliki faktor resiko
yang tinggi untuk penyakit campak. Edukasi kepada orang tua anak sangat penting
peranannya dalam upaya pencegahan primordial. Tindakan yang perlu dilakukan seperti
penyuluhan mengenai pendidikan kesehatan, konselling nutrisi dan penataan rumah yang
baik.

b. Pencegahan tingkat pertama


Sasaran dan pencegahan primer adalah orang-orang yang termasuk kelompok
berisiko, yakni anak yang belum terkena campak, tetapi berpotensi untuk terkena penyakit
campak. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah seseorang
terkena penyakit campak, yaitu:

30
Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya pelaksanaan
Program Imunisasi Nasional (vaksinasi campak) untuk semua bayi.
Vaksinasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan. Vaksin ini diberikan
secara subkutan sebanyak 0,5 ml. Vaksin campak tidak boleh diberikan pada
wanita hamil, anak dengan TBC yang tidak diobati, dan penderita
leukemia.Vaksin campak dapat diberikan sebagai vaksin monovalent (measles-
containing vaccine; MCV) atau polivalen (measles-mumps-rubella; MMR).

c. Pencegahan tingkat kedua


Pencegahan sekunder adalah upaya untuk mencegah atau menghambat timbulnya
komplikasi dengan tindakan-tindakan seperti tes penyaringan yang ditujukan untuk
pendeteksian dini campak serta penanganan segera dan efektif. Tujuan utama kegiatan-
kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasi orang-orang tanpa gejala yang
telah sakit atau penderita yang beresiko tinggi untuk mengembangkan atau memperparah
penyakit. Memberikan pengobatan penyakit sejak awal sedapat mungkin dilakukan untuk
mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Edukasi dan pengelolaan campak memegang
peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien berobat.

d. Pencegahan tingkat ketiga


Pencegahan tersier adalah semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi.
Kegiatan yang dilakukan antara lain mencegah perubahan dari komplikasi menjadi kecatatan
tubuh dan melakukan rehabilitasi sedini mungkin bagi penderita yang mengalami kecacatan.
Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan dokter. Penyuluhan
juga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan penyakit
campak. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antara disiplin terkait juga sangat
diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu.
(Swart, 2007)

Imunisasi campak
Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak terpajan pada antigen yang serupa, tidak
terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu
kekebalan aktif dan kekebalan pasif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari

31
luar tubuh, bukan oleh individu itu sendiri. Sedangkan kekebalan aktif adalah kekebalan yang
dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan oleh antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan
secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama karena adanya memori
imunologik. (Setiawan, 2008)
Kekebalan aktif terhadap campak didapatkan melalui program imunisasi. Kekebalan
pasif terhadap campak didapat dari transfer antibodi IgG maternal melalui plasenta pada
masa-masa akhir kehamilan. Setelah dilahirkan, konsentrasi antibodi terhadap campak ini
menurun sehingga lamanya durasi imunitas pasif ini bergantung pada jumlah konsentrasi
awal antibodi saat dilahirkan. (Borras, 2012)
Bayi menerima kekebalan transplasental dari ibu yang pernah terkena campak.
Antibodi akan terbentuk lengkap saat bayi berusia 4 6 bulan dan kadarnya akan menurun
dalam jangka waktu yang bervariasi. Level antibodi maternal tidak dapat terdeteksi pada bayi
usia 9 bulan, namun antibodi tersebut masih tetap ada. Janin dalam kandungan ibu yang
sedang menderita campak tidak akan mendapat kekebalan maternal dan justru akan tertular
baik selama kehamilan maupun sesudah kelahiran (Phillips, 1983).

Saat ini ada beberapa macam vaksin campak:


Monovalen
Kombinasi vaksin campak dengan vaksin rubella (MR)
Kombinasi dengan mumps dan rubella (MMR)
Kombinasi dengan mumps, rubella dan varisela (MMRV). (Ranuh, 2014)

Vaksin monovalen diberikan pada bayi usia 9 bulan, sedangkan vaksin polivalen
diberikan pada anak usia 15 bulan. Penting diperhatikan penyimpanan dan transportasi
vaksin harus pada temperature antara 2C - 8C atau 4C serta vaksin tersebut harus
dihindarkan dari sinar matahari.

a. Vaksin campak monovalen


Telah dikeluarkan Permenkes no 42 tahun 2013 mengenai pemberian imunisasi untuk
campak diberikan 2 kali, yaitu pada umur 9 bulan sebagai imunisasi dasar dan pada umur 2
tahun sebagai imunisasi lanjutan. Kemudian pada anak usia sekolah dasar, diberikan
imunisasi campak yang ketiga pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)
Imunisasi tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer,
pasien TB yang tidak diobati, pasien keganasan atau transplantasi organ, mereka yang

32
mendapat pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak imunokompromais yang
terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV tanpa imunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan
terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak. (Ranuh, 2014)

Dosis dan cara pemberian:


Dosis vaksin campak 0,5 ml.
Pemberian diberikan pada umur 9 bulan, secara subkutan walaupun dapat diberikan
secara intramuscular.
Imunisasi campak diberikan lagi pada umur 2 tahun dan saat masuk sekolah SD
(Program BIAS) (Ranuh, 2014)

Reaksi KIPI
Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang
pada seorang yang telah memiliki imunitas. Kejadian KIPI imunisasi campak telah
menurun dengan digunakannya vaksin campak hidup yang dilemahkan.
Gejala KIPI yang berupa demam yang lebih dari 39,5C yang terjadi pada 5-15 %
kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 5 hari.
Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun demikian peningkatan
suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam.
Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi
dan berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan akibat imunisasi
jika seseorang memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasi penyakit alami.
Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti
ensefalopati pasca imunisasi. Diperkirakan risiko terjadinya efek samping tersebut 30
hari sesudah imunisasi 1 di antara 1 milyar dosis vaksin. (Ranuh, 2014)

b. Kombinasi vaksin campak, mumps, dan rubella


Vaksin untuk mencegah campak, gondongan, dan rubella merupakan vaksin
kombinasi yang dikenal sebagai vaksin MMR (measles, mumps, dan rubella), dosis 05 ml.
Vaksin MMR merupakan vaksin kering yang mengandung virus hidup, harus disimpan pada
temperature 2-8C atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin harus digunakan
dalam waktu 1 jam setelah dicampur dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terlindung dari

33
cahaya, karena setelah dicampur vaksin sangat tidak stabil dan cepat kehilangan potensinya
pada temperatur kamar. Pada temperature 22-25C, akan kehilangan potensi 50% dalam 1
jam, pada temperature >37C vaksin menjadi tidak aktif setelah 1 jam.
Pemberian vaksin MMR dengan dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intramuscular
atau subkutan. Imunisasi ini menghasilkan serokonversi terhadap ketiga virus ini >90% kasus
dan diberikan pada umur 12-18 bulan.
Sesuai dengan Jadwal Pemberian Imunisasi anak umur 6-18 tahun rekomendasi IDAI
tahun 2017, vaksin MMR diberikan pada umur 15 bulan. Namun apabila belum mendapat
imunisasi campak, maka pemberian MMR dapat diberikan pada kesempatan pertama anak
datang ke tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit atau dokter / dokter spesialis anak).
Pemberian imunisasi MMR kedua diberikan pada umur 5 tahun.
Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan dan
rubella atau imunisasi campak. Tidak ada dampak imunisasi yang terjadi pada anak yang
sebelumnya telah mendapat imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.
Berikut reaksi KIPI yang dapat terjadi pasca imunisasi MMR:
Pada penelitian yang mencakup 6000 anak yang berusia 1-2 tahun, dilaporkan setelah
vaksinasi MMR dapat terjadi malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi 1 minggu
setekah imunisasi yang berlangsung selama 2-3 hari.
Laporan dari CDC menyatakan bahwa vaksin MMR dapat menyebabkan efek
samping demam, komponen campak yang paling sering menyebabkan efek samping
ini. Kurang lebih 5% anak akan mengalami demam >39,4C setelah imunisasi MMR.
Reaksi demam tersebut biasanya berlangsung 7-12 hari setelah imunisasi dan
umumnya berlangsung 1-2 hari.
Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demam pada 0,1% anak,
ensefalitis pasca imunisasi <1/1.000.000, dan pembengkakan kelenjar parotis pada 1%
anak berusia sampai 4 tahun, pada umumnya terjadi pada minggu ketiga dan kadang-
kadang lebih lama.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan terjadi kira-kira
1/1.000.000 kasus dengan galur virus gondongan Urabe, angka kejadian ini lebih kecil
apabila menggunakan jalur virus gondongan Jeryl Lyn.
Trombositopenia biasanya akan sembuh sendiri, kadang-kadang dihubungkan dengan
komponen rubella dari MMR. Kepada orang tua harus dijelaskan tentang
kemungkinan gejala yang bakal timbul dan diberikan petunjuk untuk mengurangi

34
demam, teramsuk pengguanan parasetamol pada masa 5-12 hari setelah imunisasi.
(Ranuh, 2014)

Kontra indikasi vaksin MMR:


Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau gangguan imunitas, mereka
yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat
steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2 mg / kgbb / hari prednisolon).
Anak dengan alergi berat terhadap gelatin atau neomisin.
Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain. Imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1
bulan setelah imunisasi yang terakhir.
Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan harus ditunda selama 2
bulan, seperti pada vaksin rubella.
Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian
immunoglobulin atau transfuse darah (whole blood).
Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk HIV). (Ranuh, 2014)

Prognosis
Campak merupakan self limited disease, namun sangat infeksius. Mortalitas dan
morbiditas meningkat pada penderita dengan faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya
komplikasi. Di negara berkembang, kematian mencapai 1-3%, dapat meningkat sampai 5-
15% saat terjadi KLB campak. (Halim, 2016)
Pada penyakit campak yang tidak disertai dengan komplikasi maka prognosisnya
baik. Sedangkan pada campak yang disertai komplikasi (misal ensefalitis dan pneumonia)
maka prognosisnya buruk karena dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup meskipun
jarang ditemukan. Penyakit campak juga merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas
yang penting pada anak-anak yang mengalami malnutrisi sehingga harus diwaspadai.

II. Bronkopneumonia

Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, protozoa). Bronkopneumonia didefinisikan sebagai

35
peradangan akut dari parenkim paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi
bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.1

Epidemiologi Pneumonia
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak
di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di
seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia,
sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional
(SKN) 2001, 27,6% angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan
oleh penyakit system respiratori, terutama pneumonia.2
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah
umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun
Insiden pneumonia pada anak 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun,
sedangkan dinegara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan
lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita di negara berkembang.2
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
menunjukkan, prevalensi nasional ISPA: 25,5%, angka kesakitan ( morbiditas ) pneumonia
pada bayi: 2,2%, balita: 3%, angka kematian ( mortalitas ) pada bayi 23,8% dan balita 15,5%.

Etiologi Pneumonia
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak,
terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Etiologi
pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram
negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan
balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae,
Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain
bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae 2.
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang mencakup 15-
40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan
adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens global pneumonia RSV anak-balita

36
adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang
perlu rawat-inap. Diperkirakan tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita
karena pneumonia RSV, 99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas
mempertegas kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia
anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.2

Tabel 1. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut umur dengan terjadinya infeksi. 10


Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Bakteria
Escherichiacolli Group D streptococci
Group B streptococci Haemophillusinfluenzae
Listeriamonocytogenes Streptococcuspneumoniae
Ureaplasmaurealyticum
Virus
Cytomegalovirus
Herpes simplex virus

3 minggu Bakteria Bakteria


3 bulan Clamydiatrachomatis Bordetellapertusis
Streptococcuspneumoniae Haemophillusinfluenza type B
Virus & non typeable
Moxarellacatarrhalis
Respiratory syncytial virus
Staphylococcusaureus
Influenza virus
Ureaplasmaurealyticum
Para influenza virus
Virus
1,2 and 3
Adenovirus Cytomegalovirus

4 bulan Bakteria Bakteria


5 tahun Streptococcuspneumoniae Haemophillusinfluenza type B
Clamydiapneumoniae Moxarellacatarrhalis
Mycoplasmapneumoniae Neisseriameningitis
Staphylococcusaureus
Virus
Virus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Varicella zoster virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Adenovirus
Measles

5 tahun dewasa Bakteria Bakteria

37
Clamydiapneumonia Haemophillusinfluenza type B
Mycoplasmapneumonia Legionellaspecies
Streptococcuspneumoniae Staphylococcusaureus
Virus
Adenovirus
Epstein barr virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Varicella zoster virus

Tabel 2. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi. 10


Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumonia
Haemophilus influenzae
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Legionella pneumophila
Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp.
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis)
Coxiella burnetii (Q fever)
Viruses: respiratory syncytial virus, parainfluenza virus (children); influenza A and B
(adults); adenovirus
(military recruits); SARS virus
Hospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods, Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Serratia marcescens,
Escherichia coli) and
Pseudomonas spp.
Staphylococcus aureus (usually penicillin resistant)
Pneumonia kronis
Nocardia
Actinomyces
Granulomatous: Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria, Histoplasma
capsulatum,
Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis

38
Klasifikasi Pneumonia
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan retraksi
subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang. Namun demikian,
kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak malnutrisi dan sering
overlapping dengan gejala malaria.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut2 :


Klasifikasi Anak usia < 2 bulan Anak usia 2 bulan 5 tahun
Pneumonia Kesadaran turun, letargis Kesadaran turun, letargis
Sangat Berat Tidak mau menetek / Tidak mau minum
Kejang
minum
Sianosis
Kejang
Malnutrisi
Demam atau hipotermia
Bradipnea atau
pernapasan ireguler
Pneumonia Berat Napas cepat Retraksi (+)
Retraksi yang berat Masih dapat minum
Sianosis (-)
Pneumonia Takipnea
Ringan Retraksi (-)
Tabel . Klasifikasi beratnya pneumonia berdasarkan WHO. 2

Sedangkan dalam MTBS/IMCI, derajat keparahan dalam diagnosa pneumonia dapat


dibagi menjadi pneumonia berat yang harus dirawat inap dan pneumonia ringan yang bisa
rawat jalan.
Diagnosis Klinis Klasifikasi (MTBS)
Pneumonia berat (rawat inap) :
-tanpa gejala hipoksemia Penyakit sangat berat
-dengan gejala hipoksemia (Pneumonia berat)
-dengan komplikasi
Pneumonia ringan (rawat jalan) Pneumonia
Infeksi respiratorik akut atas Batuk : bukan pneumonis
Tabel 3. Hubungan antara diagnosisi klinis dan Klasifikasi-Pneumonia (MTBS). 3

1. Klasifikasi Menurut sifatnya, yaitu:


a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak
mempunyai faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus
pneumoniae (pneumokokus), Hemophilus influenzae, juga Virus penyebab infeksi

39
pernapasan (Influenza, Parainfluenza, RSV). Selain itu juga bakteri pneumonia yang
tidak khas atypical yaitu mykoplasma, chlamydia, dan legionella.
b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi, selain
penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi mereka yang
mempunyai penyakit menahun seperti diabetes mellitus, HIV, dan kanker,dll. 4
2. Berdasarkan Mikroorganisme Penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised). 9
3. Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang
terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk pneumonia yang terjadi
di rumah sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam. 9
b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di rumah sakit, infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit.
Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di temukan yaitu Staphylococcus
aureus atau bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti E.coli, Klebsiella
pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi obat tergolong
tinggi untuk bakteri penyebab HAP. 9
c. Pneumonia aspirasi
4. Berdasarkan lokasi infeksi
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus besar
umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran
airbronchogram.Konsolidasi yang timbul merupakan hasil dari cairan edema yang
menyebar melalui pori-pori Kohn.Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah
Streptococcus pneumoniae.Jarang pada bayi dan orang tua.Pneumonia yang terjadi
pada satu lobus atau segmen. Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya
obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses keganasan. 9
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak
konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan adanya bercak-bercak

40
infiltrate multifocal pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus.
Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus. 9
c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil.
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma. Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak
merata.9
Patogenesis Pneumonia1,4
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya
mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :
1. Inhalasi langsung dari udara
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah infeksi yang
terdiri dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung.
2. Jaringan limfoid di nasofaring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain
yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk.
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
8. Sekresi enzim enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai antimikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang
meliputi empat stadium, yaitu :
a. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah
dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan

41
mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan
cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat
plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan
penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
c. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di
alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.

42
Gambar. Patofisiologi

Patofisiologi Pneumonia
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu. Selain itu, toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung
merusak sel-sel system pernapasan bawah. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai
permukaan: 9
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 2,0 nm melalui udara dapat mencapai bronkus
terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada
saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan
terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar
infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu
tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat
(drug abuse). 9

43
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis
eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. 9
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling
mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus,
bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-
paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke
seluruh tubuh melalui peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling
umum sebagai penyebab pneumonia.

Gambar Algoritma Patofisiologi bronkhopneomonia4

Gejala Klinis Pneumonia


Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga
sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam
kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan dirumah sakit.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas
anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-
kadang tidak khas terutama pada bayi, dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia

44
pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda,
sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
- Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti : mual, muntah atau diare ; kadang-kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
- Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, merintih, dan sianosis.

Pemeriksaan Fisik Pneumonia


Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut :
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan
cuping hidung.
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
- Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus
selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps
paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
- Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi ditemukan crackles sedang
nyaring.Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun
rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah
(tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles
individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles
dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan
napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas , pada
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi
halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi. 9

Pemeriksaan Penunjang Pneumonia


Pemeriksaan laboratorium

45
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung
leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus
leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 2 dengan limfosit
predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm2 dengan neutrofil yang
predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan
LED.Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau
darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan

Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks
pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya
pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah
pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada
foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan
diagnosis.

Gambar 3 Ro. infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae6

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:


- Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing dan hiperaerasi
- Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas

46
yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round
pneumonia
- Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
- Perselubungan/konsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau
segment paru secara anantomis.
- Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
- Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil. Tidak
tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.
- Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi
dengan jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di
lobus medius kanan.
- Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
- Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir
terkena.
- Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
- Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara
pada bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus).
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi.
Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat
pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia,
hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya penyebab pneumonia
lobaris tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada
lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. 9
1. Pneumonia Lobaris
Foto Thorax

47
Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu segmen/lobus (lobus kanan bawah PA
maupun lateral)) atau bercak yang mengikutsertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram biasanya
ditemukan pada pneumonia jenis ini.

CT Scan

Hasil CT dada ini menampilkan gambaran hiperdens di lobus atas kiri sampai ke perifer.

2. Bronchopneumonia (Pneumonia Lobularis)


Foto Thorax

48
Pada gambar diatas tampak konsolidasi tidak homogen di lobus atas kiri dan lobus bawah kiri.
CT Scan

Tampak gambaran opak/hiperdens pada lobus tengah kanan, namun tidak menjalar sampai perifer.
3. Pneumonia Interstisial
Foto Thorax

Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial prebronkial. Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi oleh perselubungan yang tidak merata.

C-Reactive Protein (CRP)


Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri
superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi
respons terhadap terapi antibiotik.

49
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk
pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-kumur
dengan akuades biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian
membatukkan dahaknya. Dahak ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat.
Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak boleh lebih dari 4 jam). Jika terjadi
kesulitan mengeluarkan dahak, dapat dibantu nebulisasi dengan NaCl 3%. Kriteria
dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu
bila ditemukan sel PMN > 25/lpk dan sel epitel < 10/lpk. 9

Diagnosis Pneumonia
Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja. Dan
dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat.
Kriteria napas cepat :
- pada anak umur 2 bulan 11 bulan : > 50 kali/menit
- pada anak umur 1 tahun 5 tahun : > 40 kali/menit
Pneumonia Berat
Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut :
Kepala terangguk angguk
Pernapasan cuping hidung
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas, konsolidasi, dll)
Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini :
- Napas cepat :
o Anak umur < 2 bulan : > 60 kali /menit
o Anak umur 2 11 bulan : > 50 kali/menit
o Anak umur 1 5 tahun : > 40 kali/menit
o Anak umur > 5 tahun : > 30 kali/menit
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar :
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :
- Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
- Kejang, letargis atau tidak sadar
- Sianosis

50
- Distres pernapasan berat

Diagnosis Banding Pneumonia


Diagnosis Gejala klinis yang ditemukan
Bronkiolitis - episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
- gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau tidak ada respon
dengan bronkodilator
Tuberculosis - riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
- uji tuberculin positif (10 mm, pada keadaan imunosupresi 5 mm)
(TB)
- pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
- demam ( 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
- batuk kronis ( 3 minggu)

pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik.


Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut, falang.
Asma - riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan batuk dan
pilek
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang

berespon baik terhadap bronkodilator


Tabel. Diagnosis banding anak yang datang dengan keluhan batuk dan atau kesulitan bernafas

Penatalaksanaan Pneumonia
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak
mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap.
Bayi Anak
Saturasi oksigen < 92%, sianosis Saturasi oksigen <92%, sianosis
Frekuensi napas > 60 kali/menit Frekuensi napas > 50 kali/menit
Distres pernapasan, apnea intermiten, atau Distres pernapasan
grunting
Tidak mau minum/menetek Grunting
Keluarga tidak bisa merawat di rumah Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Tabel 6. Kriteria rawat inap pneumonia2

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik
yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena,
terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula

51
darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus
ditanggulangi dengan adekuat.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.
Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga
disebabkan oleh bakteri.
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapt dilakukan karena tidak
tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, dipilih berdasarkan pengalaman empiris
yakni didasrkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan
keadaan klinis pasien serta epidemiologis.
Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat
diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Dosis yang
digunakan adalah Kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau
Amoksisilin (25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan
selama 5 hari.
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol ulang
anaknya setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak memburuk, tidak bisa
minum atau menyusu.
Ketika anak kembali :
-Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan membaik,
lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari
-Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke
antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi.
-Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai pedoman di
bawah ini.

Pneumonia rawat inap


Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), harus
dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberikan respons yang baik maka
diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit
dengan amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.

52
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat
(tidak dapat menyusu atau minum/makan, ata memuntahkan semuanya, kejang, letargis
atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25
mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai
alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin (7,5
mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau
klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan
klosasiklin (atau diklosasiklin) secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan
mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.

Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara kamar, harus
diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk
mempertahankan saturasi oksigen >92%
- Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat
- Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan
pneumonia
- Anitipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyaman pasien
(Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali)
- Nebulisasi dengan 2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary clearance
- Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam
sekali, termasuk pemerikaan saturasi oksigen
Nutrisi
-Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral, harus dihindari.
Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus
diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khusunya pada bayi/anak

53
dengan ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan sebaiknya menggunakan
yang terkecil.
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan agar anak tidak mengalami overhidrasi
karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik
Kriteria pulang:
-Gejala dan tanda pneumonia menghilang
-Asupan peroral adekuat
-Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
-Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol dan kondisi
rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.

Komplikasi Pneumonia
Komplikasi dari pneumonia adalah :
Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru
merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura
terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
Infeksi sitemik
- Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
- Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

Prognosis Pneumonia6
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada
anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat
memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi
esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama
dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh
faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.

Pencegahan Pneumonia5
Pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati
secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.

54
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat, makan makanan bergizi
dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dan lainnya.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain.
Vaksinasi pneumokokus
Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan diberikan 2 kali
dengan interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali, namun keduanya perlu
dosis ulangan 1 kali pada usia 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup 1 kali.
Vaksinasi Hib
Imunisasi Hib dapat mencegah infeksi oleh Haemophilus Influenza tipe B. Organisme ini
dapat menyebabkan pneumonia, meningitis dan infeksi tenggorokan berat. Vaksin ini
berbentuk polisakarida murni (PRP : Purified Capsular Polysaccharide ) kuman H. Influenza
tipe B, antigen dalam vaksin tersebut dapat dikonjugasi dengan protein-protein lain seperti
toksoid tetanus (PRP-TT), toksoid difteri (PRP-D atau PRPCR50) atau dengan
meningokokus (PRP-OMPC). Cara pemberiannya dilakukan dengan suntikan dengan interval
2 bulan kemudian bosternya dapat diberikan pada usia 18 bulan.

55
SIMPULAN

Campak merupakan penyakit yang sangat infeksius yang disebabkan oleh virus
campak yang ditularkan melalui perantara droplet. Manifestasi klinis berupa demam, batuk,
pilek, konjungtivitis, dan ruam seluruh tubuh. Tatalaksana umumnya suportif disertai
pemberian vitamin A sesuai usia penderita. Bronkopneumonia merupakan salah satu
komplikasi dari penyakit campak ini. Pencegahan dilakukan dengan imunisasi vaksin campak
ataupun vaksin MMR.

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.

2. Borras E, Urbiztondo L, Costa J, Batalla J, Torner N, Plasencia A, et al. Measles


antibodies and response to vaccination in children aged less than 14 months:
implications for age of vaccination. Epidemiol Infect 2012;140(9):1599-606.
3. Chen Selina SP, Steele RW. 2016. Measles Medication. Medscape. November
4. Cherry J.D. Feign R.D. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-4. Philadepia:
WB Saunders; 2008.h.1889-91.
5. Garna, Herry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi. Bandung : UNPAD

6. Halim, Ricky. 2016. Campak pada Anak. CDK-238/ vol.43 no.3. Jakarta. CDK

7. Haralambieva IH, Ovsyannikova IG, Pankratz VS, Kennedy RB, Jacobson RM, Poland
GA. The genetic basis for interindividual immune response variation to measles vaccine:
new understanding and new vaccine approaches. Expert Review of Vaccines 2013
01;12(1):57-70.
8. Hegar, Badriul. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : IDAI.
9. Latief, Abdul, dkk. 2009. Pelayanan Kesehatan anak di rumah sakit standar WHO.
Jakarta : Depkes

57
10. Mariz, DR. 2012. Diagnosis dan tatalaksana Morbili. Universitas Lampung.
11. Nababan KA. Profil erupsi obat di satuan medis fungsional ilmu kesehatan kulit dan
kelamin RSUP Haji Adam Malik tahun 2010 2013. Medan: Universitas Sumatera
Utara; 2014.
12. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
13. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta :EGC.
14. Opstapchuk M, Roberts DM, haddy R. community-acquired pneumonia in infants and
children. Am fam physician 2004;20:899-908
15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti.2003

16. Phillips C.S. 1983. Measles. In: Behrman R.E., Vaughan V.C. (eds) Nelson Textbook of
Pediatrics. 12th edition. Japan. Igaku-Shoin/Saunders. p.743

17. Price, Sylvia Anderson. 2005. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease


Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 6. Jakarta : EGC
18. Rahajoe, Nastini.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi 1. Jakarta : IDAI
19. Ranuh, IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedianto,
Soedjatmiko. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.
20. Sabella C. 'Measles: Not just a childhood rash', Cleveland Clinic Journal of Medicine
2010;77(3):207-13.
21. Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. 2009. Panduan pelayanan medis dept. IKA. Jakarta :
RSCM
22. Setiawan IM. Penyakit Campak. Jakarta: Sagung Seto; 2008.
23. Seward Jane. 2015. Measles 2015: Situational Update, Clinical Guidancem and
Vaccination Recommendations. COCA. Februari
24. Soedarmo, SSP. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Edisi Kedua. 2012.h.109-18.
25. Soedarto. Sinopsis Kedokteran Tropis. Surabaya: Airlangga University Press; 2007.
26. Suprapto, Novita. 2012. Kapita Selekta:Campak. Jakarta. Media Aesculapius. h. 67-68.
27. Swart D, Rik L. 'The Pathogenesis of Measles Revisited'. Pediatric Infectious Disease
Journal 2007; 27(10).

58

Anda mungkin juga menyukai