Anda di halaman 1dari 50

CASE REPORT

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Oleh :
DITA EVITA HERSAFITRI
1102012069

Dokter Pembimbing :
dr. Melly Ismelia, Sp PD

KEPANITERAAN KLINIK
STASE ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

1
I. Identitas Pasien
Nama. : Tn. A. S.
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Nomor CM :865699
Umur : 25 tahun
Alamat : Sukawening
Agama : Islam
Suku Bangsa : Sunda
Status Pernikahan : Belum menikah
Status Pekerjaan : Tidak bekerja
Tanggal Masuk : 30 / 05 / 2016
Tanggal Keluar : 09 / 06 / 2016
Jam Masuk : 16.40 WIB
Keterangan Pulang : Perbaikan
Ruangan : Zamrud

II.Anamnesis ( Autoanamnesis )
A.Keluhan Utama :
Bengkak di seluruh badan makin memberat semenjak 1 minggu SMRS.

B.Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan bengkak pada seluruh badan.
Keluhan dirasakan sudah lama dan hilang timbul serta semakin memberat 1 minggu
SMRS. Bengkak terdapat pada mata, pipi, tangan, perut, skrotum dan kaki. Sesak nafas
diakui pasien dan diperberat dengan aktivitas. Pasien mengaku berat badannya menjadi
bertambah dari awalnya 48 kg menjadi 55 kg saat ini. Pasien juga mengeluh nyeri dan
pegal pada kedua pinggang dan kadang terasa panas. Nyeri dirasakan hilang timbul
semenjak 2 tahun yang lalu. BAK kurang lancar dan berwarna kuning keruh, BAB
kadang disertai mencret. Pasien juga mengeluh telinganya seperti berdengung serta
pandangan menjadi kabur sejak 1 bulan terkakhir. Keluhan demam, mual dan muntah
disangkal oleh pasien

2
C.Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah menderita penyakit dengan gejala bengkak pada seluruh badan
dan sakit kuning 5 tahun yang lalu dan pernah rawat jalan di RS Bethesda dan RS
PKPN. Kemudian 3 tahun yang lalu pasien pernah rawat jalan di klinik dr. Zulkarnaen
dan pasien mengatakan bahwa dokter mendiagnosis sakit ginjal, kemudian pasien
diberikan obat yang harus diminum rutin namun pasien tidak ingat nama obat yang
diberikan tetapi setelah minum obat tersebut pasien terus menerus BAK. Pasien
awalnya rutin berobat namun tidak melanjutkan kontrol rutin. Riwayat jantung,
hipertensi dan diabetes mellitus disangkal pasien.

D.Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat penyakit ginjal dikeluarga disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat
penyakit jantung dan paru dan tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes
mellitus di keluarga.

E.Riwayat Alergi :
Tidak ada riwayat alergi obat, makanan, debu maupun serbuk bunga.

F.Keadaan Sosial – Ekonomi :


Pasien tinggal bersama ayah, ibu dan kedua adiknya. Pasien tidak bekerja dan
hanya diam dirumah.

G. Riwayat Kebiasaan
. Riwayat kebiasaan merokok dan minum alkohol diakui pasien. Pasien
mengaku jarang minum air putih dan hampir setiap hari mengkonsumsi mie instan.

H.Anamnesis Sistem Organ Tubuh :


Kulit : Tidak ada kelainan
Kepala : Tidak ada kelainan
Mata : Edema pada palpebra superior kanan dan kiri
Telinga : Telinga terasa berdengung dan seperti mendengar suara
jangkrik
Hidung : Tidak ada kelainan
Mulut : Tidak ada kelainan

3
Leher : Tidak ada kelainan
Thoraks : Tidak ada kelainan
Abdomen : Kadang terasa nyeri dan panas pada kedua pinggang
Saluran Kemih / Kelamin : BAK sedikit / skrotum membesar
Saraf dan Otot : Terasa kram pada kaki sering saat dingin dan malam
hari
Ekstremitas : Edema pada seluruh ekstremitas atas dan bawah

I.Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Sakit sedang
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 70 x / menit
Respirasi : 20 x / menit
Suhu : 36,2o C
Keadaan Gizi. : Baik, tidak tampak kurus.
TB=157 cm, BB= 55 kg
IMT= 22,3 kg/m2 (normoweight)
Sianosis : Tidak tampak sianosis
Edema : Ascites (+), ekstremitas bawah (+), ektremitas atas (+)
Cara Berjalan. : Normal
Mobilitas : Cukup aktif
Pasien mampu untuk berjalan ke kamar mandi
Aspek Kejiwaan : Tingkah laku : Wajar
: Alam Perasaan : Biasa
: Proses Berpikir : Wajar
Kulit : Warna : Kuning langsat
: Jaringan Parut : Tidak ditemukan
: Pembuluh Darah : Tidak tampak melebar
: Keringat : Tidak berlebihan
: Lapisan lemak : Cukup
: Efloresensi : Tidak ditemukan
: Pigmentasi : Tidak ditemukan
: Suhu Raba : Hangat
: Kelembapan : Biasa

4
: Turgor : Baik
Kepala : Normocephali
: Ekspresi Wajah : Wajar
: Simetrisitas Muka : Simetris
: Rambut : Hitam lurus
Tidak mudah dicabut.
Mata : Exophthalmus :-/-
: Endophtalmus :-/-
: Kelopak mata : Bengkak
: Conjungtiva Anemis : +/+
: RCL / RCTL : +/+ / + /+
: Sklera Ikterik : -/-
: Lapang Penglihatan : Tidak diperiksa
: Deviatio konjugae : Tidak diperiksa
: Lensa : Tidak diperiksa
: Visus : Tidak diperiksa
: TIO : Tidak diperiksa
Telinga : Lubang : Normal
: Serumen : Tidak diperiksa
: Cairan : Tidak tampak ada cairan
: Penyumbatan : Tidak tampak
: Perdarahan : Tidak tampak ada darah
Hidung : Pernafasan cuping hidung : Tidak tampak
Mulut : Bibir : Lembab
: Langit – Langit : Normal
: Faring : Tidak hiperemis
: Sianosis peroral : Tidak tampak
: Tonsil : T1 – T1
Leher : Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran
kelenjar getah bening di submentalis, submandibularis,
subparotis, supraclavicular, infraclavicula, dan axilla
: Tiroid : Tidak teraba pembesaran
: Deviasi trakea : (-)

5
Cardio : Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
: Palpasi : Iktus kordis teraba pada sela iga ke- 5
sebelah medial garis midclavicula
sinistra.
: Perkusi : Batas jantung kanan pada linea sternalis
dextra sela iga ke 4
Batas jantung kiri pada linea
midclavicula sinistra sela iga ke 5
Batas pinggang jantung pada
parasternalis sinistra sela iga ke 3
: Auskultasi : Bunyi jantung S1 = S2 murni regular,
S3/S4 (-/-)
: Murmur ( - ) Gallop ( - )
Pulmo (depan) : Inspeksi : Hemitoraks simetris,
tidak tampak adanya nodul, sikatrik,
hematom, massa, edema, deformitas dan
fraktur pada kedua hemitoraks. Jenis
pernafasan abdominothorakal.
: Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris
Nyeri tekan hemithorax dextra dan
sinistra (-)
: Perkusi : Sonor di hemithoraks dextra dan
sebagian redup di hemithoraks sinistra
: Auskultasi : Vesicular Breathing Sign simetris di
kedua hemitoraks
: Ronkhi ( +/+ ) Wheezing ( - /- )
Pulmo (belakang) : Inspeksi : Hemitoraks simetris,
tidak tampak adanya sikatrik, massa
dan fraktur pada kedua hemitoraks.
: Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris
: Perkusi : batas paru hati pada ICS 6, peranjakan
paru (+)

6
: Auskultasi : Vesicular Breathing Sign simetris di
kedua hemitoraks
: Ronkhi ( + / + ) Wheezing ( - / -)
Abdomen : Inspeksi : Cembung
: Auskultasi : BU ( + ) Normal : 12 x / menit di 4
kuadran abdomen
: Perkusi : Redup di sebagian lapang abdomen
: Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada 4 kuadran
adomen. Pembesaran hepar tidak teraba,
pembesaran lien tidak teraba. Shifting
dullness (+), vesica urinaria teraba penuh,
tes undulasi (+) adanya cairan dalam
abdomen (asites +) nyeri ketok CVA (-),
defans muskular (-),
Ekstremitas : Purpura : Tidak ditemukan
: Petechie : Tidak ditemukan
: Hematom : Tidak ditemukan
: Kelenjar getah bening
Axila : Tidak teraba pembesaran
Inguinal : Tidak teraba pembesaran
: Edema : Tampak edema pada kedua ekstremitas
bawah dan atas. Pitting edema (-) Edema
pretibia (+)
: Varises : Tidak tampak varises pada ekstremitas
: Akral : Hangat

J.Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ini dilakukan :
1. Pemeriksaan Hematologi Rutin
2. HbsAg
3. Urin Rutin
4. Kimia Klinik

7
K.Ringkasan Permasalahan
Pasien 25 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan bengkak pada seluruh
badan, keluhan dirasakan hilang timbul. Bengkak terdapat pada mata, pipi, tangan,
perut, skrotum dan kaki disertai. Sesak nafas (+), nyeri dan pegal pada kedua pinggang
(+) dan kadang terasa panas. Berat badan pasien bertambah karena bengkak pada
seluruh tubuh.. Pasien juga mengeluh BAK hanya sedikit. Buang air besar terkadang
mencret. Pasien memiliki riwayat penyakit ginjal (+). Pada pemeriksaan fisik
didapatkan ascites (+), undulasi (+), shifting dullness (+). Pada pemeriksaan lab
didapatkan nilai ureum dan kreatinin meningkat diatas normal serta proteinuria +3.

L.Daftar Permasalahan
Chronic Kidney Disease stage V e.c Gromerulopati
Hipertensi stage I
Anemia Gravis
Oedema Anasarka

M. Perencanaan
- Infus NaCL 10 gtt
- Infus Kidmin (IV)
- Furosamide 2x2 tab (PO)
- Bicnat tab 3x1 (PO)
- Calos tab 3x1 (PO)
- Asam folat tab 1x1 (PO)
- Aminoral tab 3x1 (PO)
- Transfusi PRC 3 labu

N. Prognosis
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Fungsional : dubia ad malam
Quo ad Sanationam : ad bonam

8
Hasil Laboratorium 30 / 05 / 2016 pukul 11.52 WIB
a. Darah Rutin
Hemoglobin : 3,7 gr/dL
Hematokrit : 12 %
Leukosit : 8.820 /mm3
Trombosit : 330.000 /mm3
Eritrosit : 1.87 juta/mm3
b. Kimia Klinik
AST : 21
ALT :8
Ureum : 160
Kreatinin : 10,1
Gula Darah Sewaktu : 96

Hasil Laboratorium 31 / 05 / 2016 pukul 11.52 WIB


c. Darah Rutin
Hemoglobin : 5,1 gr/dL
Hematokrit : 16 %
Leukosit : 7.350 /mm3
Trombosit : 225.000 /mm3
Eritrosit : 2.18 juta/mm3
d. Imunoserologi
HBsAg : Negatif
e. Urine rutin
Kimia Urine
Berat jenis urine : 1.010
Blood urine : POS (+)
Leukosit esterase : Negatif
pH Urine : 6,5
Nitrit Urine : Negatif
Protein urine : 500/ (+++)
Glukosa Urine : 50/ (+)
Keton urine : Negatif

9
Urobilinogen urine : NORMAL
Bilirubin urine : Negatif
Mikroskopis Urine
Eritrosit : 3-6
Leukosit : 2-4
Sel Epitel : 4-8
Bakteri : Negatif
Kristal : Negatif
Silinder : Negatif

10
M. Follow Up.
Tanggal. S O A P

31 / 05 / -Bengkak di muka dan BB : 56 kg - CKD e.c PD :


2016 ekstremitas KU : SS - HBsAg
Gromerulopati
(puffy face +) KS : CM - Urin Lengkap
-Mual (-) Muntah (-) T : 120 / 100 mmHg - Anemia Gravis
-BAK dan BAB N : 59 x / menit PT:
kurang lancar R : 16 x / menit - Infus NaCl 10 gtt
S : 36,4o C - Kidmin infus
Mata: CA +/+ - Furosamide 2x2
SI -/- tab

Hidung: PCH ( - ) - Bicnat 3x 1 tab

Mulut: SPO ( - ) - Calos 3x 1 tab

Cardio : - Asam folat 1x 1

BJ I - II reg. M (-) G (-) tab

Pulmo : - Aminoral 3x 1 tab

VBs ka=ki Rh +/+Wh -/- - Transfusi PRC s/d


Hb ≥ 8 gr/dl
Abdomen :
- Rencana HD bila
BU (+) NT (+) asites (+)
Hb ≥ 8 gr/dl
Massa (-)
Edema : atas (+/+) bawah
(+/+)
Akral : Hangat

11
Tanggal. S O A P

01 / 06 / - Bengkak di wajah, BB : 56 kg - CKD e.c Pd:


2016 skrotum dan ekstremitas KU : SS
Gromerulopati
- Mual (-) Muntah (-) KS : CM Pt :
pusing (-) lemas, nafsu T : 130 / 80 mmHg - Anemia - Infus NaCl 10 gtt
makan menurun N : 71 x / menit Gravis - Kidmin infus
- Nyeri dan pegal kedua R : 20 x / menit - Furosamide 2x 2 tab
pinggang S : 36,2o C - Bicnat 3x 1 tab
- Mencret sudah 5x Mata: CA +/+ - Calos 3x 1 tab
- BAK kurang lancar SI -/- - Asam folat 1x 1 tab

Hidung: PCH ( - ) - Aminoral 3x 1 tab

Mulut: SPO ( - )
Cardio :
BJ I - II reg. M (-) G (-)
Pulmo :
VBs ka=ki Rh +/+

Wh -/-
Abdomen :
BU (+) NT (+) asites (+)
Massa (-)
Edema : atas +/+ bawah
+
/+
Akral : Hangat
Hasil Laboratorium 01 / 06 / 2016 pukul 08.11 WIB
a. Darah Rutin
Hemoglobin : 6,7 gr/dL
Hematokrit : 21 %
Leukosit : 8.850 /mm3
Trombosit : 271.000 /mm3
Eritrosit : 2.89 juta/mm3

12
Hasil Laboratorium 01 / 06 / 2016 pukul 19.53 WIB
a. Darah Rutin
Hemoglobin : 7,0 gr/dL
Hematokrit : 23 %
Leukosit : 7.840 /mm3
Trombosit : 208.000 /mm3
Eritrosit : 3.01 juta/mm3

13
Tanggal. S O A P

02 / 06 / - Bengkak di muka BB : 55 kg - CKD e.c PD :


2016 dan ekstremitas KU : SS
Glomerulopati
- Nyeri kedua KS : CM
pinggang T : 140 / 90 mmHg PT :
- Badan terasa pegal- N : 74 x / menit - Infus NaCl 10 gtt
pegal R : 20 x / menit - Kidmin infus
- mual (+) S : 36,9o C - Furosamide 2x 2 tab
- Nafsu makan susah Mata: CA +/+ - Bicnat 3x 1 tab
-BAK kurang lancar SI - / - - Calos 3x 1 tab
dan berwarna kuning Hidung: PCH ( - ) - Asam folat 1x 1 tab
keruh Mulut: SPO ( - ) - Aminoral 3x 1 tab
Cardio : - Pro HD
BJ I - II reg. M (-) G (-)
Pulmo :
VBs ka=ki Rh +/+ Wh -

/-
Abdomen :
BU (+) NT (+) asites
(+)
Massa (-)
Edema : atas +/+ bawah
+
/+
Akral : Hangat

14
Tanggal. S O A P

03 / 06 / -Bengkak di wajah dan BB : 54 kg - CKD ec Pd:


2016 ekstremitas KU : SS
Glomerulopati
-Nyeri kedua pinggang KS : CM
-Badan terasa pegal- T : 140 / 80 mmHg Pt :
pegal dan terasa kaku N : 67 x / menit - Infus NaCl 10 gtt
- BAK lancar dan sering R : 24 x / menit - Kidmin infus
- BAB masih susah S : 37, 0o C - Furosamide 2x 2 tab
Mata: CA +/+ - Bicnat 3x 1 tab
SI - / - - Calos 3x 1 tab
Hidung: PCH (-) - Asam folat 1x 1 tab
Mulut: SPO (-) - Aminoral 3x 1 tab
Cardio : - Pro HD
BJ I - II reg. M (-) G (-)
Pulmo :
VBs ka=ki Rh +/+ Wh -/-
Abdomen :
BU (+) NT (+) asites (+)
Massa (-)
Edema : atas +/+ bawah +/+
Akral : Hangat

15
Tanggal. S O A P

04 / 06 / -Bengkak seluruh tubuh BB : 54 kg - CKD ec Pd:


2016 menurun KU : SS
Glomerulopati
-Nyeri pinggang kanan KS : CM
berkurang T : 130 / 90 mmHg Pt :
-Penglihatan menurun N : 63 x / menit - Infus NaCl 10 gtt
-Skrotum membesar R : 24 x / menit - Kidmin infus
-Nyeri perut terasa S : 36,7o C - Furosamide 2x 2 tab
berkurang Mata: CA +/+ - Bicnat 3x 1 tab
-BAK dan BAB mulai SI - / - - Calos 3x 1 tab
lancar Hidung: PCH ( - ) - Asam folat 1x 1 tab
Mulut: SPO ( - ) - Aminoral 3x 1 tab
Cardio :
BJ I - II reg. M (-) G (-)
Pulmo :
VBs ka=ki Rh +/+ Wh -/-
Abdomen :
BU (+) NT (+) asites (-)
Massa (-)
Edema : atas +/+ bawah
+
/+
Akral : Hangat

16
Tanggal. S O A P

06 / 06 / -Bengkak seluruh BB : 50 kg - CKD ec PD :


2016 tubuh menurun KU : SS
Glomerulopati
- Nyeri pada kedua KS : CM
pinggang kadang T : 140 / 90 mmHg PT :
disertai rasa panas N : 60 x / menit - Infus NaCl 10 gtt
-Nafsu makan sudah R : 20 x / menit - Kidmin infus
membaik S : 36,0o C - Furosamide 2x 2 tab
-BAK sering Mata: CA +/+ - Bicnat 3x 1 tab
SI - / - - Calos 3x 1 tab
Hidung: PCH ( - ) - Asam folat 1x 1 tab
Mulut: SPO ( - ) - Aminoral 3x 1 tab
Cardio :
BJ I - II reg. M (-) G (-)
Pulmo :
VBs ka=ki Rh -/- Wh -/-
Abdomen :
BU (+) NT (+) asites (+)
Massa (-)
Edema : atas -/- bawah
+
/+
Akral : Hangat
Hasil Laboratorium 08 / 06 / 2016
a. Darah Rutin
Hemoglobin : 8,9 gr/dL
Hematokrit : 28 %
Leukosit : 7.710 /mm3
Trombosit : 185.000 /mm3
Eritrosit : 3.68 juta/mm3
b. Hitung Jenis Leukosit
Basofil :0
Eosinofil : 19

17
Batang :0
Netrofil : 44
Limfosit : 35
Monosit :2
c. Kimia Klinik
Ureum : 156 mg/dL
Kreatinin : 11.7 mg/dL

18
Tanggal. S O A P

07 / 06 / -Bengkak seluruh tubuh BB : 50 kg - CKD ec PD :


2016 menurun KU : SS
Glomerulopati
- Nyeri pada kedua KS : CM
pinggang kadang T : 150 / 100 mmHg PT :
disertai rasa panas N : 60 x / menit - Infus NaCl 10 gtt
-BAK terasa nyeri tidak R : 20 x / menit - Kidmin infus
bercampur darah S : 36,0o C - Furosamide 2x 2 tab
- Setelah cuci darah Mata: CA +/+ - Bicnat 3x 1 tab
terasa pusing, mual dan SI - / - - Calos 3x 1 tab
sesak nafas. Hidung: PCH ( - ) - Asam folat 1x 1 tab
Mulut: SPO ( - ) - Aminoral 3x 1 tab
Cardio : - Pro HD
BJ I - II reg. M (-) G (-)
Pulmo :
VBs ka=ki Rh -/- Wh -/-
Abdomen :
BU (+) NT (+) asites (+)
Massa (-)
Edema :atas -/- bawah +/+
Akral : Hangat

Hasil Laboratorium 07 / 06 / 2016


d. Kimia Klinik
Ureum : 104 mg/dL
Kreatinin : 7,3 mg/dL

19
Tanggal. S O A P

08 / 06 / -Bengkak seluruh BB : 49 kg - CKD ec PD :


2016 tubuh menurun KU : SS
Glomerulopati
- Nyeri pinggang kanan KS : CM
terkadang disertai rasa T : 150 / 100 mmHg PT :
panas N : 60 x / menit - Infus NaCl 10 gtt
- Mual (-) batuk (-) R : 20 x / menit - Kidmin infus
- Pandangan masih S : 36,0o C - Furosamide 2x 2 tab
kabur Mata: CA +/+ - Bicnat 3x 1 tab
-BAK sering SI -/- - Calos 3x 1 tab
Hidung: PCH ( - ) - Asam folat 1x 1 tab
Mulut: SPO ( - ) - Aminoral 3x 1 tab
Cardio :
BJ I - II reg. M (-) G (-)
Pulmo :
VBs ka=ki Rh -/- Wh -/-
Abdomen :
BU (+) NT (+) asites (-)
Massa (-)
Edema : atas -/- bawah +/+
Akral : Hangat

Hasil Laboratorium 08 / 06 / 2016


e. Kimia Klinik
Ureum : 135 mg/dL
Kreatinin : 10.7 mg/dL

20
PERTANYAAN KASUS.

1. Bagaimana diagnosa pada pasien ini ?

(S)

1. Pasien datang dengan keluhan sesak nafas dan bengkak pada seluruh tubuhnya
(kelopak mata, pipi, tangan, perut, skrotum dan kaki) makin memberat sejak 1
minggu SMRS.
2. OS mengeluh nyeri pada kedua pinggang terkadang disertai rasa panas dirasakan
makin memberat sejak 1 minggu SMRS.
3. Pasien juga mengeluh BAK kurang lancar, urin berwarna kuning keruh
4. Riwayat bengkak dan nyeri pinggang hilang timbul sejak 7 tahun yang lalu.
5. Pasien memiliki riwayat penyakit ginjal dan pernah dirawat di RS 3 tahun yang
lalu

(O)
KU : Sakit Sedang. KS : Compos Mentis.
T : 140 / 90 mmHg. N : 70 x / menit.
R : 20 x / menit. S : 36,5 o C
Mata : Kelopak mata bengkak, SI -/-, CA+/+ pupil ishokor
Abdomen : undulasi (+) shifting dullness (+)
Ekstremitas : Edema pada ekstremitas atas dan bawah
Pulmo : VBS ki = ka Taktil Fremitus & Vokal Fremitus simetris
Ronkhi +/+ Wheezing -/-

[O]

Kriteria chronic kidney disease :

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan.


2. Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan pencitraan (imaging tests)
3. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

1. 21
(A)

Chronic Kidney Disease ec Gromerulonefritis

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah sindrom yang terdiri dari


penurunan kemampuan filtrasi ginjal (dalam hitungan bulan), retensi produk
buangan dari nitrogen, gangguan elektrolit dan asam basa. Terjadi oliguri
(pengeluaran urin < 400mL/dL) namun jarang terjadi sebagai manifestasi
klinis. Gagal ginjal kronik sering asimtomatik dan sering didapat dengan tanda
peningkatan konsentrasi ureum dan kreatinin.

KONSUL KE SP Mata Dan HEMODIALISA

22
PEMBAHASAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE

I. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada
suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis
atau transplantasi ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lainnya dalam darah).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah sindrom yang terdiri dari penurunan
kemampuan filtrasi ginjal (dalam hitungan bulan), retensi produk buangan dari
nitrogen, gangguan elektrolit dan asam basa. Terjadi oliguri (pengeluaran urin <
400mL/d) namun jarang terjadi sebagai manifestasi klinis. Gagal ginjal kronik
sering asimtomatik dan sering didapat dengan tanda peningkatan konsentrasi ureum
dan kreatinin.

II. Kriteria dan Klasifikasi

Kriteria Chronic Kidney Disease (NKF-KDOQI, 2002)

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

23
Chronic Kidney Disease (CKD) diklasifikasikan berdasarkan penyebab, laju
filtrasi glomerulus, dan albuminuria. Penentuan penyebab PGK berdasarkan ada atau
tidak adanya penyakit sistemik dan lokasi abnormalitas pada ginjal yang ditemukan
dari pemeriksaan patologi anatomi.

Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus

Klasifikasi dibuat atas dasar LFG, yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft –
Gault sebagai berikut :
LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan albuminuria

Hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik


Hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik sebagai berikut :
a) Penurunan cadangan faal ginjal ( LFG = 40 – 75 %)

24
Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan. Maslah ini sesuai dengan konsep intac
nephrom hypothesis.
b) Insufisiensi renal (LFG = 20 – 50 %)
Pasien CKD pada tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normal walaupun
sudah memperlihatkan keluhan-keluhan yang berhubungan dengan retensi
azotemia. Pada pemeriksaan hanya ditemukan hipertensi, anemia (penurunan HCT)
dan hiperurikemia. Pasien pada tahap ini mudah terjun ke sindrom acute on chronic
renal failure
Sindroma akut pada penyakit ginjal kronik:
- Oliguria
- Tanda–tanda overhydration (bendungan paru, bendungan hepar, kardiomegali).
- Edema perifir (ekstrimitas & otak )
- Asidosis, hiperkalemia
- Anemia
- Hipertensi berat
Klinik sering dikacaukan dengan penyakit jantung hipertensif.
c) Gagal ginjal (LFG = 5 – 25 %)
Gambaran klinik dan laboratorium makin nyata : anemia, hipertensi, overhydration
atau dehidrasi, kelainan laboratorium seperti penurunan HCT, hiperurikemia,
kenaikan ureum & kreatinin serum, hiperfosfatemia, hiponatremia dilusi atau
normonatremia, kalium K+ serum biasanya masih normal.
d) Sindrom azotemia (LFG = kurang dari 5 %)
Sindrom azotemia (istilah lama uremia) dengan gambaran klinik sangat komplek
dan melibatkan banyak organ (multi organ).

III. Etiologi

Penyebab penyakit ginjal kronik secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian,
yaitu pre-renal (penyakit ginjal sirkulatorik), renal (penyakit ginjal intrinsik), dan post-
renal (uropati obstruksi akut). Penyebab pre-renal adalah hipoperfusi ginjal, ini
disebabkan oleh:
1. Hipovolemia, misalnya pada perdarahan, luka bakar, diare, asupan kurang,
pemakaian diuretik yang berlebihan.

25
2. Penurunan curah jantung pada gagal jantung kongestif, infark miokardium,
tamponade jantung, dan emboli paru.
3. Vasodilatasi perifer terjadi pada syok septic, anafilaksis dan cedera, dan
pemberian obat antihipertensi.
4. Gangguan pada pembuluh darah ginjal, terjadi pada proses pembedahan,
penggunaan obat anestesi, obat penghambat prostaglandin, sindrom hepato-
renal, obstruksi pembuluh darah ginjal, disebabkan karena adanya stenosis
arteri ginjal, embolisme, trombosis, dan vaskulitis.
Penyebab gagal ginjal pada renal (penyakit ginjal intrinsik) dibagi antara lain:
1. Kelainan pembuluh darah ginjal, terjadi pada hipertensi maligna.
2. Penyakit pada glomerolus, terjadi pada pascainfeksi akut, glomerulonefritis,
3. Penyakit interstisial pada nefritis interstisial alergi (antibiotika, diuretic,
allopurinol, rifampin, fenitoin, simetidin, NSAID), infeksi (stafilokokus,
bakteri gram negatif, leptospirosis, bruselosis, virus, jamur, basil tahan
asam) dan penyakit infiltratif (leukemia, limfoma, sarkoidosis).
Penyebab gagal ginjal post-renal dibagi menjadi dua yaitu terjadinya :
1. sumbatan ureter yang terjadi pada fibrosis atau tumor retroperitoneal,
striktura bilateral pascaoperasi atau radiasi, batu ureter bilateral.
2. Sumbatan uretra, hipertrofi prostate benigna, kanker prostat, striktura ureter,
kanker kandung kemih, kanker serviks, dan kandung kemih “neurogenik”

IV. Patofisiologi

Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya.


Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron
yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai
oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh penurunan
fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Beberapa hal yang dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas CKD adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Pada stadium paling dini CKD, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Sampai

26
pada LFG sebesar 60%, pasien belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%,
mulai terjadi keluhan pada pasien, seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan
lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi, seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
(renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Gambar 4. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik

27
V. Manifestasi Klinis

Uremia menyebabkan gangguan fungsi hampir semua sistem organ. Bahkan,


terapi dialisis yang optimal tidak sepenuhnya efektif sebagai terapi pengganti ginjal,
karena sebagian kelainan akibat gangguan fungsi ginjal tidak berespon terhadap
dialisis.
Adapun gangguan yang dialami oleh penderita PGK meliputi:
1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa
a. Homeostasis Natrium dan Air
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil
kandungan Natrium dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara
perlahan penyebabnya adalah terganggunya keseimbangan
glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium
dari proses pencernaan menyebabkan penambahan natrium yang
menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana
ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan
kerusakkan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik
yang belum di dialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, pemberian
loop diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat
digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga
memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan
H2O. Ketika penyebab ekstra renal pada kehilangan cairan terjadi
seperti muntah, diare, berkeringat, demam, pasien akan mengalami
kekurangan CES.
b. Homeostasis Kalium.
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu
disertai dengan penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun
demikian hiperkalemia dapat terjadi dengan gejala klinis berupa
konstipasi, katabolisme protein, hemolisis, pendarahan , transfusion
of stored redblood cells, augmented dietary intake, metabolik asidosis
dan beberapa obat dapat menghambat kalium masuk ke dalam sel atau
menghambat sekresi kalium di distal nefron. Hipokalemia jarang
terdapat pada penyakit ginjal kronik. Biasanya merupakan tanda

28
kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi diuretik atau
kehilangan dari gastro intestinal.
c. Metabolik Asidosis.
Dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari hari
dan produksi penyangga jatuh dibawah kadar yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan eksternal ion-ion hidrogen. Asidosis
metabolik ialah akibat yang tidak dapt dihindarkan. Pada kebanyakan
pasien dengan insufisiensi ginjal yang stabil, pemberian 20-30
mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki
asidosis. Namun dalam respons terhadap tantangan asam yang
mendadak (apakah dari sumber endogen atau eksogen), pasien gagal
ginjal kronik, rentan terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali
yang besar utuk koreksi. Pemberian natrium harus dilaksanakan
dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.

2. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat.


Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat
diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH
atau low bone turnover dengan rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi
dari penyakit tulang akibat sekunder hiperparatiroidism berhubungan
dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu :
a. Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat
(PO4) menimbulkan retensi PO43-
b. Tertahannya PO43- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH
dan masa sel kelenjar par) Tertahannya PO43- juga menyebabkan
terjadinya produksi yang berlebihan dan sekresi PTH melalui turunnya
ion Ca2+ dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 – dihidroksi oleh
kalsiferol)
c. Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis
akibat pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar
kalsitriol yang rendah, pada akhirnya, menimbulkan hiperparatiroidism
melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Kalsitriol diketahui
memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu

29
penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan
peningkatan kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol
menimbulkan gannguan absorbsi Ca2+ dari traktus gasrto interstinal,
yang kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnya
meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol,
semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari paratiroid
sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Low turn over bone
disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu osteomalasia
dan penyakit tulang adinamik. Osteodistrofi renal merupakan
komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksaan
osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia
dan pemberian hormon kalsitriol (1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian
pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran
cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga
ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

3. Kelainan kardiovaskuler
a. Penyakit Jantung Iskemik
Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan akibat
dari faktor resiko tradisional (klasik), yaitu hipertensi, hipervolemia,
dislipidemi, overaktivitas simpatis, dan hiperhomosisteinemia. Dan
faktor resiko non- tradisional, yaitu anemia, hiperfosfatemia,
hiperparatiroidisme, dan derajat mikroinflamasi yang dapat ditemukan
dalam setiap derajat penyakit ginjal kronik. Derajat inflamasi
meningkatkan reaktan fase akut, seperti interleukin 6 dan C- reaktif
protein, yang menyebabkan proses penyumbatan koroner dan
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Nitride oksida
merupakan mediator yang penting dalam pada dilatasi vaskular.
Keberadaan nitrit oksida, pada penyakit ginjal kronik menurun sebab
terjadi peningkatan konsentrasi asimetris dimetil-1-arginin.

30
b. Gagal jantung kongestif.
Kelainan fungsi jantung, seperti myocardial ischemic disease dan atau
left ventricular hypertrophy, bersamaan dengan retensi air dan garam
pada uremia, kadang menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema
pulmonal.
c. Hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.
Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang paling
sering. Hipertensi yang berkepanjangan menyebabkan terjaadinya
hipertrofi ventrikel.

4. Kelainan hematologi
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80 – 90 % pasien penyakit ginjal kronik
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang
ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,
kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri),
masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis,
defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi
uremik, proses inflamasi akut maupun kronik, hirparatiroidisme
yang berat, keracunan aluminium, dan keadaan umum lain seperti
hemoglobinopaties. Anemia yang tidak diterapi akan berhubungan
dengan beberapa kelainan fisiologis, seperti penurunan
pengantaran dan penggunaan oksigen ke jaringan, meningkatkan
cardiac output, pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel, angina,
gagal jantung kongestif, penurunan fungsi mental dan kognitif,
gangguan siklus menstruasi, gangguan host untuk melawan
infeksi. Selain itu anemia dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan pada anak dengan penyakit ginjal kronik. Evaluasi
terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 g % atau
hematokrit ≤ 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar
besi serum/serum iron,kapasitas ikat besi total/total iron binding
capacity, feritin serum), mencari sumber paerdarahan, morfologi
eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.

31
b. Gangguan pembekuan.

Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time,


penurunan aktivitas faktor pembekuan III, kelainan platelet
agregation, dan gangguan konsumsi protrombin. Gejala kliniknya
berupa perdarahan yang abnormal, perdarahan dari luka operasi,
perdarahan spontan dari traktus gastro intestinal, dan lain-lain.

5. Kelainan neuromuscular
Neuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan
komposisi dan fungsi otot, merupakan komplikasi yang sering pada
penyakit ginjal kronik. Gejala awal pada sistem saraf pusat, seperti
gangguan ingatan sedang, gangguan konsentrasi, dan gangguan tidur;
iritabilitas neuromuskular, seperti hiccups, keram, fasikulasi atau
twiching otot. Pada uremia terminal, didapatkan astherixis,
mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejang dan koma.
Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari saraf
motorik, ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian distal
lebih dari bagian proximal.

6. Kelainan gastrointestinal
Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor ,sensasi
pengecapan seperti metal, gastritis, peptic disease, ulserasi mukosa
pada saluran pencernaan yang dapat menyababkan nyeri perut, mual,
muntah, dan kehilangan darah, peningkatan insiden terjadinya
divertikulosis, pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik,
meningkatkan terjadinya pankreatitis.

7. Gangguan metabolik endokrin


Pada laki-laki yang telah menjalani dialisis dalam waktu yang lama
akan terjadi impotensi, oligospermia, displasia sel germinal, yang
menurunkan kadar testosteron plasma.

32
8. Kelainan dermatologi
Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit akibat anemia,
ekimosis dan hematoma akibat gangguan pembekuan, gatal dan
ekskoriasi akibat deposisi calcium- fosfat dan hiperparatiroid
sekunder, diskolorasi berwarna kuning akibat deposisi pigmen
metabolik dan urokrom, serta uremic frost akibat kadar urea itu
sendiri.

VI. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik difokuskan pada tekanan darah dan kerusakan organ
target akibat hipertensi. Karena itu, funduskopi dan pemeriksaan prekordial (left
ventricular heave, bunyi jantung keempat) perlu dilakukan. Funduskopi penting
pada pasien diabetes untuk mencari tanda-tanda retinopati diabetikum, yang
berkaitan dengan nefropati. Pemeriksaan fisik lain terhadap manifestasi CKD
adalah edema dan polineuropati sensorik.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari petunjuk tentang penyakit
yang mendasari atau memperparah, serta tingkat kerusakan ginjal dan konsekuensi-
konsekuensinya. Elektroforesis protein serum dan urin perlu dilakukan pada semua
pasien yang berusia di atas 35 tahun dengan PGK yang tidak diketahui sebabnya,
khususnya jika juga terdapat anemia dan kadar kalsium serum yang meningkat, atau
bahkan normal tetapi terdapat insufisiensi ginjal. Jika terdapat glomerulonefritis, maka
etiologi infeksi yang mendasari misalnya hepatitis B dan C serta HIV perlu dinilai.
Pengukuran serial fungsi ginjal perlu dilakukan untuk menentukan kecepatan
perburukan ginjal serta memastikan bahwa penyakit benar-benar kronis dan bukan
subakut sehingga berpotensi reversibel. Konsentrasi kalsium, fosfor, dan PTH serum
perlu diukur untuk mengevaluasi penyakit tulang metabolik. Konsentrasi hemoglobin,
besi, vitamin B12, dan folat juga perlu dievaluasi. Urin 24 jam mungkin bermanfaat,
karena ekskresi protein >300 mg mungkin merupakan indikasi untuk terapi dengan
inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) atau angiotensin receptor blocker
(ARB).

33
Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan pencitraan yang paling bermanfaat adalah ultrasonografi ginjal,
yang dapat memverifikasi adanya dua ginjal, menentukan apakah keduanya simetrik,
memberi perkiraan tentang ukuran ginjal, dan menyingkirkan massa ginjal serta tanda-
tanda obstruksi. Karena diperlukan waktu bagi ginjal untuk menciut akibat penyakit
kronis, ditemukannya ginjal kecil bilateral menunjang diagnosis CKD yang telah
berlangsung lama, dengan komponen jaringan parut yang ireversibel. Jika ukuran ginjal
normal maka terdapat kemungkinan bahwa penyakit ginjalnya akut atau subakut.
Pengecualiannya adalah nefropati diabetikum (ukuran ginjal meningkat pada awal
nefropati diabetikum sebelum terjadi PGK disertai penurunan LFG), amiloidosis, dan
nefropati HIV, pada keadaan-keadaan tersebut ukuran ginjal mungkin normal
meskipun terjadi PGK. Penyakit ginjal polikistik yang telah mencapai tahap gagal
ginjal hampir selalu bermanifestasi sebagai ginjal yang membesar disertai kista
multipel. Diagnosis penyakit renovaskular dapat dilakukan dengan berbagai teknik,
termasuk sonografi Doppler, pemeriksaan kedokteran nuklir, atau pemeriksaan CT atau
MRI.

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal


Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Kontraindikasi biopsi ginjal yaitu pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah
mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas dan obesitas.
Kontraindikasi lain untuk biopsi ginjal adalah hipertensi tak terkontrol, infeksi
aktif saluran kemih, diatesis perdarahan, dan obesitas morbid. Pada pasien PGK yang
memiliki indikasi biopsi, waktu perdarahan perlu diukur, jika meningkat, pasien perlu
diberi desmopresin sesaat sebelum prosedur. Tindakan hemodialisis secara singkat
(tanpa heparin) juga dapat dipertimbangkan sebelum biopsi ginjal untuk menormalkan
waktu perdarahan.

34
GLOMERULONEFRITIS KRONIK
Glomerulonefritis Kronik (GNK) ditandai oleh kerusakan glomerulus secara
progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama. Umumnya
GNK tidak mempunyai hubungan dengan GNAPS (Glomerulus Nefritis Akut Pasca
Streptokokus) maupun GNPC (Glomerulonefritis Progresif Cepat), tetapi kelihatannya
merupakan penyakit de novo. Penyakit cenderung timbul tanpa diketahui asal usulnya,
dan biasanay baru ditemukan pada stadium yang sudah lanjut, ketika gejala-gejala
insufisiensi ginjal timbul. Menurut stadium penyakit, akan timbul poliuria atau oliguria,
berbagai derajat proteinureia, hipertensi, azotemia progresif, dan kematian akibat
uremia.
Pada GNK yang lanjut maka ginjal tampak mengkerut, kadang-kadang
beratnya hanya tinggal 50 gram saja dan permukaannya bergranula. Perubahan-
perubahan ini disebabkan karena berkurangnya jumlah nefron karena iskemia dan
hilangnya nefron. Dilihat dari mikroskop maka tampak sebagian besar glomerulus telah
mengalami perubahan. Mungkin terdapat campuran antara perubahan-perubahan
membranosa dan proliferative dan pembentukan epitel berbentuk sabit. Akhirnya
tubulus mengalami atrofi, fibrosis interstisialis dan penebalan dinding arteria. Kalau
semua organ strukturnya telah mengalami kerusakan hebat, maka organ ini disebut
ginjal stadium akhir dan mungkin sulit menentukan lesi asalnya terjadi pada
glomerulus, interstisial, dan disebabkan oleh pielonefritis kronik atau vaskular.

SINDROMA NEFROTIK
Walaupun banyak penderita GNK juga menderita proteinuria persistent
asimtomatik selama perjalanan penyakitnya tetapi hanya 50 % diantaranya yang akan
berkembang menjadi sindrom nefrotik. Sindrom nefrotik merupakan keadaan klinis
dimana terjadi proteinuria massif (> 3,5 g/hari), hipoalbuminemia, edema, dan
hiperlipidemia. Biasanya kadar BUN normal
Peristiwa awal pada kebanyakan kasus merupakan reaksi antigen dan antibody
pada glomerulus yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas MBG, proteinuria
masif dan hipoalbuminemia. Penderita sindroma nefrotik biasanya mengeluarkan 5-15
gr protein per 24 jam. Hipoalbuminemia melalui penurunan tekanan koloid osmotik,
cenderung menimbulkan transudasi cairan dari ruang vaskuler ke dalam ruang
interstisium. Hal ini merupakan mekanisme langsung edema. Kecuali itu, hipovolemia
akibat penurunan aliran plasma ginjal dan LFG mengaktifkan mekanisme renin-

35
angiotensin. Hipovolemia juga mengaktifkan mekanisme reseptor volume atrium kiri.
Akibatnya terjadi peningkatan kadar aldosterone serta peningkatan produksi ADH.
Garam dan air di retensi oleh ginjal, sehingga memperberat edema. Dengan
berulangnya rangkaian kejadian tersebut maka terjadilah edema masif. Akan tetapi
jumlah protein yang dikeuarkan tidak berbanding langsung dengan beratnya edema,
karena setiap orang berbeda dalam kecepatan sintesis proteinnya untuk menganti
protein yang hilang. Penyebab hiperlipidemia yang sering menyertai sindroma nefrotik
tidak jelas. Kolesterol serum, fosfolipid dan trigliserid biasanya mengalami
peningkatan

36
2.Bagaimana Penanganan pada Pasien ini ?

(P)

-Infus RL 500 cc 20 gtt / menit


(O) Kebutuhan cairan
= 50cc/Kg BB/24 Jam
= 50cc x 55 /24 jam
= 2.750 cc / 24 jam
(O) Tetes/menit
(Kebutuhan cairan x Faktor tetes) = jumlah tetesan/menit
(Jumlah jam x 60 menit)

Infus set Otsuka (2.750 x 15) = 41.250 = 28 tetes/menit


(24 x 60) 1.440
Infus set Terumo (2.750 x 20) = 55.000 = 38 tetes/menit
(24 x 60) 1.440

- Infus Kidmin
Adalah larutan infus asam amino 7.2%, yang mengandung sejumlah besar BCAA (Asam amino
rantai cabang) yaitu leucine, isoleucine dan valine yang dapat menghambat pemecahan protein
otot dan meningkatkan sintesa protein otot. Kidmin juga mengandung beberapa asam amino
nonesensial kecuali glisin, untuk memenuhi Kebutuhan yang meningkat pada gangguan ginjal.

 Indikasi : Untuk memberikan asam amino pada pasien gangguan ginjal baik akut maupun
kronik yang mengalami Hipoproteinemia, malnutrisi, dan sebelum dan sesudah operasi.

 Dosis dan pemberian : Gagal ginjal Kronik
 Infus vena perifer : Dosis umum dewasa adalah 200 ml per hari, diinfuskan lewat vena
perifer.Kecepatan infus pada dewasa adalah 100 ml per 60 menit (rata-rata 25 tetes per
menit) Jika diberikan selama hemodialis, harus diinfuskan lewat sisi vena lubang injeksi
dialisis, 90 – 60 menit sebelum terapi hemodialysis berakhir. Dianjurkan memberikan
Kalori 1500 kkal per hari untuk melindungi pemecahan asam amino.
 Infus vena sentral : Dosis umum dewasa adalah 400 ml per hari, diinfuskan lewat vena
sentral sebagai total nutrisi parenteral. Lebih dari 300kkal dari non protein kalori harus
diberikan tiap 1gram nitrogen (100 ml produk) untuk efisiensi asam amino
 Efek samping: Fenomen acid rebound, konstipasi, flatulen, hiperkalsemia dan metabolik
alkalosis, milk alkali syndrome

37
-Furosemid 10 mg 2 x 2 tab ( PO )
Furosemid merupakan anti hipertensi golongan diuretic (Loop diuretic) yang kerjanya
menghambat reabsorbsi Na dan Cl terutama pada medular dari angsa henle ascendens. Furosemid
juga meningkatkan kadar plasma renin dan dapat menyebabkan hiperaldosteron sekunder.
Furosemid mengurangi tekanan darah pada hipertensi maupun normotensi serta mengurangi udem
pulmoner sebelum diuresis terjadi.
- Indikasi : hipertensi dengan gangguan ginjal, edema jantung, paru, ginjal, dan hepar.
- Kontraindikasi : Anuria, koma hepatikum, hamil, laktasi, DM, gout, gangguan keseimbangan
elektrolit dan cairan tubuh, gangguan fungsi hati, SLE, BPH.
- Dosis awal : 20-40 mg od/bid, dosis maksimal 600 mg, 3-4 kali sehari.
- Efek Samping : Hipokalemia, hipomagnesemia,hiponatremia

- Aminoral 3x 1 tab
Indikasi: Insufisiensi ginjal kronik dengan diet tinggi kalori rendah protein ≤40 g/hr, retensi yang
terkompensasi atau dekompensasi, LFG 5-50 mL/menit

Dosis: 4-8 Kaplet 3 x sehari.

Kontraindikasi : Hiperkalsemia, gangguan metabolism asam amino

Efek samping: Hiperkalsemia

- Bicnat 3x1 tablet (Natrium Bikarbonat)


-
Digunakan untuk mengatasi asidodis metabolik, alkalinisasi urin, dan pengobatan lokal pruritus.

Dosis: 1-4 gr. Sediaan 500-1000 mg. Satu gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12mEq
asam.

Kontraindikasi : pasien dengan riwayat kalsium dalam ginjal yang diperhitungkan, hiperkalsemia,
hipofosfatemia, serta pasien yang diduga keracunan digoksin.

Efek samping: milk alkali syndrome jika diberikan dalam dosis besar dan bersamaan dengan susu
pada pengobatan tukak peptik. Alkalosis sistemik, perforasi lambung.

38
- Asam folat 3x1 tablet.
Indikasi: Anemia megaloblastik yang disebabkan defisiensi asam folat

Kontraindikasi : Pengobatan anemia pernisiosa dan anemia megaloblastik lainnya dimana vitamin
B12 tidak cukup (tidak efektif).

Efek Samping : Umumnya terjadi perubahan pola tidur, sulit berkonsentrasi, Iritabilita,aktivitas
berlebih, depresi mental, anoreksia, mualmual, distensi abdominal dan flatulensi.

Peringatan : Jangan diberikan secara tunggal untuk anemia pernisiosa Addison dan penyakit
defisiensi vitamin B12 lainnya karena dapat menimbulkan degenerasi majemuk dari medula
spinalis serta Jangan digunakan untuk penyakit ganas kecuali anemia megaloblastik dapat terjadi
komplikasi defisiensi folat

- Calos 3x1 tablet. (Calcium Carbonat)


Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif, karena mula kerjanya cepat, maka daya
kerjanya lama dan daya menetralkan asamnya tinggi.

Dosis: 2-3 gr/ hari. Tablet 0,5-0,6 gr. Sediaan 600-1000 mg. Satu gram kalsium karbonat dapat
menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2 gr

Kontraindikasi : pasien dengan riwayat kalsium dalam ginjal yang diperhitungkan, hiperkalsemia,
hipofosfatemia, serta pasien yang diduga keracunan digoksin. ¾

Efek samping: Kembung, diare atau konstipasi

39
PEMBAHASAN

Tatalaksana pada Chronic Kidney Disease

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:


 Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
 Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
 Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

A. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya


Tabel 7. Rencana Tatalaksan Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
Derajat LFG(ml/mnt/1,73m2 Rencana Tatalaksana
1 > 90 - Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid
evaluasi pemburukan (progression) Fungsi
ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler

2 60-89 - Menghambat pemburukan (progression)


fungsi ginjal

3 30-59 - Evaluasi dan terapi komplikasi

4 12-29 - Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 <15 - Terapi Pengganti Ginjal

B. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid


Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat penurunan LFG pada
pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid
(superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak

40
terkontrol infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras,
atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

C. Menghambat Pemburukan Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab pemburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus.
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:
Pembatasan Asupan Protein.

Tabel 8. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LFG ml/menit Asupan Protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak di batasi

25 – 60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk > 0,35 gr/kg/hari < 10 g


nilai biologi tertinggi

0,6-0,8/kg/hari, termasuk > 0,35 gr/kg/hari


5-25 protein nilai biologi tertinggi atau tambahan < 10 g
0,3 g asam amino esensial atau asam keton

0,8/kg/hr(+ 1 gr protein /g proteinuria atau


0,3 gr/kg tambahan asam amino esensial
asam keton
<60 < 9 gram
(sindrom nefrotik)

Terapi Farmakologis. Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.


Pemakaian obat anti hipertenasi, disamping bermanfaat untuk memperkecil
resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa pengendalian tekanan darah
mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein
dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrogi glomerulus.

41
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Komveting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui
berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal.
Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria.

D. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Tabel 9. Komplikasi Penyakit Ginjal Klinik
Derajat Penjelasan LFG Komplikasi
(ml/mnt)
1 Kerusakan Ginjal > 90
dengan LFG normal

2 Kerusakan Ginjal 60-89 - Tekanan darah mulai


dengan penurunan LFG
ringan
- Hiperfosfatemia
3 Penurunan LFG sedang 30-59 - Hipokalcemia
- Anemia
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosistinemia

4 Penurunan LFG berat 15-29 - Malnutrisi


- Asidiosis Metabolik
- Cenderung Hiperkalemia
- Dislipedemia

5 Gagal ginjal <15 - Gagal Jantung


- Uremia

42
Anemia. Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik.
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritopoitin. Hal – hal yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi kehilangan darah (missal; pendarahan saluran cerna, hematuri)
masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam
folat, penekanan sumsum tulang oleh subtansi uremik, proses inflamasi akut
maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10
g % atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besis
serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ Total Iron Binding Capacity, feritin
serum), mencari sumber pendarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada
penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian
eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini
status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam
mekanisme kerjanya. Pemberian tansfusi pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan
yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secraa tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi
ginjal sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.

Osteodistrofi Renal. Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal


dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon
Kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi
pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan absorbsi
fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal
juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

Mengatasi Hiperfosfatemia
Pembatasan asupan fosfat yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah
garam. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari.

Mengatasi Asidosis
Asidosis metabolik kronik yang ringan pada penderita uremia biasanya
akan menjadi stabil pada kadar bikarbonat plasma 16 sampai 20 mEq/l.

43
Penurunan asupan protein dapat memperbaiki keadaan asidosis, tetapi bila
kadar bikarbonat serum kurang dari 15 mEq/l, beberapa ahli nefrologi
memberikan terapi alkali, baik natrium bikarbonat maupun sitrat pada dosis 1
mEq/kg/hari secara oral, untuk menghilangkan efek sakit pada asidosis
metabolik, termasuk penurunan masa tulang yang berlebihan. Asidosis ginjal
biasanya tidak diobati kecuali bila bikarbonat plasma turun di bawah angka 15
mEq/L, ketika gejala-gejala asidosis dapat mulai timbul. Asidosis berat
dikoreksi dengan NaHCO3 parenteral, maka perlu disadari resiko yang
ditimbulkannya. Koreksi pH darah secara berlebihan dapat mempercepat
timbulnya tetani, kejang, dan kematian. Perlu diingat bahwa penderita gagal
ginjal kronik juga mengalami hipokalsemia.

Mengatasi Hiperurisemia
Obat pilihan hiperurisemia pada PGK adalah allopurinol. Obat ini
mengurangi kadar asam urat dengan menghambat sintesis sebagian asam urat
total yang dihasilkan oleh tubuh. Untuk meredakan gejala-gejala artritis gout
dapat digunakan kolkisin (obat antiradang pada gout artritis).

Mengatasi Neuropati Perifer


Tidak ada pengobatan yang diketahui untuk mengatasi perubahan
tersebut kecuali dengan dialisis yang dapat menghentikan perkembangannya.
Karena itu, perkembangan neuritis sensorik merupakan tanda bahwa dialisis
tidak boleh ditunda-tunda lagi. Neuropati motorik mungkin reversible. Uji
kecepatan konduksi saraf biasanya dilakukan setiap 6 bulan sekali untuk
memantau perkembangan neuropati perifer.

Pengobatan segera pada infeksi


Penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang lebih tinggi
terhadap infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua infeksi dapat
memperkuat proses katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat serta
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga infeksi harus segera diobati untuk
mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut. Namun,deteksi infeksi pada
pasien PGK tahap akhir membutuhkan tingkat kecurigaan dan perhatian yang
tingi terhadap indicator yang kurang spesifik seperti takikardia, kelelahan, atau

44
sedikit peningkatan temperature. Perhatian harus diberikan karena hipotermia
merupakan gambaran klinis sindron uremik dan banyak pasien PGK tahap akhir
yang tidak memperlihatkan peningkatan temperature tubuh yang diperkirakan
atau hitung leukosit saat terjadi infeksi.
a. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah
garam kalsium, alumunium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam
ini diberikan secra oral, untuk menghambat absorbsi fofat yang berasal dari
makanan. Garam kalsium yang banyak dipake adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan kalsium acetate.
b. Pemberian bahan kalsium mimetik (calcium mimetic agent). Akhir-akhir
ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada
kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut
juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang
sangat baik serta efek samping yang minimal.
Tabel 10. Fosfat, Efikasi dan Efek Sampingnya
Cara/Bahan Efikasi Efek Samping
Diet rendah fosfat Tidak selalu Malnutrisi
Al(OH)3 mudah Intosikasi Al
Ca CO3 Bagus Hipercalcemia
Ca Acetat Sedang Mual,muntah
Mg(OH)2/MgCO3 Sangat Bagus Intoksikasi Mg
Sedang

Pembatasan Cairan dan Elektrolit


Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air
yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik
melalui urine maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang
keluar melalui insible water antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas
permukaan tubu), maka air yang masuk dianjurka 500-800 ml ditambah jumlah
urine.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan

45
aritnia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang
mengandung kalium danmakanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran)
harus dibatasi kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan
natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah
garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah
derajat edema yang terjadi.

E. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)


Terapi pengganti ginjal pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa
hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal.

1. Hemodialisis (HD)
a. Indikasi untuk inisiasi terapi dialisis
Inisiasi terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksikazotemia, dan malnutrisi. Keputusan untuk inisiasi terapi
dialisis berdasarkan pertimbangan klinis dan parameter biokimia.
Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis berdasarkan parameter
laboratorium bila LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m2.

Tabel 11. Indikasi inisiasi terapi dialisis


1. Indikasi absolut
 Periecarditis
 Ensefalopati / neuropati azotemik
 Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik
 Hipertensi refrakter
 Muntah persisten
 BUN > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg %
2. Indikasi elektip
 LFG (formula Cockcroft dan Gault) antara 5 dan 8
ml/m/1,73 m2 Mual, anoreksia,muntah, dan astenia berat

46
b. Persiapan untuk program dialisis regular
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus
mendapatinformasi yang harus dipahami sendiri dan keluarganya.
Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular
a) Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
b) Psikoligis yang stabil
c) Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama
waktu tidak terbatas sebelum transplantasi ginjal
d) Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting
untuk menjamin kualitas hidup optimal
e) Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :
- Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
- Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis
f) Operasi A-V fístula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/%
terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.

2. Dialisis peritoneal ( DP )
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Frekuensi
dialisisperitoneal intermiten makin meningkat, di Amerika 2-3% dan
Kanada 10% dari semua pasien yang memerlukan dialisis peritoneal
intermiten. TENCKHOF (1974) telah meramalkan bahwa dari semua
pasien yang memerlukan dialisis kronik di Kanada (40-50%), diantaranya
kira-kira 20-25% akan memerlukan dialisis peritoneal kronik.
Indikasi medik CAPD:
- pasien anak-anak dan orang tua, umur lebih dari 65 tahun
- pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskuler,
misal infark miokard atau iskemi koroner
- pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila
dilakukan hemodialisis.
- kesulitan pembuatan AV shunting
- pasien dengan stroke
- pasien GGT dengan residual urin masih cukup

47
- pasien neropati diabetik disertai co-morbiditi dan co-mortaliti
Indikasi non-medik :
- Keinginan pasien sendiri
- Tingkat intelektual tinggi untuk melaksanakan sendiri (mandiri)
- Di daerah yang jauh dari pusat ginjal

3. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal :
(a) Ginjal cangkok (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal,sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70 -
80% faal ginjal alamiah.
(b) Kualitas hidup normal kembali
(c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
(d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
(e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.

3. Bagaimana Prognosis pada pasien ini?

Prognosis akan bervariasi tergantung pada seberapa cepat upaya deteksi dan
penanganan dini, serta penyakit penyebab. Kekuatan relatif dari masing-masing faktor
akan bervariasi untuk setiap komplikasi dan prognosis. Risiko penyakit ginjal stadium
akhir, seperti gagal ginjal dan acute kidney injury (AKI), terutama dipengaruhi oleh
diagnosis klinis pasien, LFG, derajat albuminuria, atau penanda kerusakan atau cedera
ginjal lainnya. Semua kondisi ini akan mempengaruhi kualitas dan harapan hidup dan
berkontribusi untuk memprediksi prognosis.

Prognosis

Quo ad Vitam : ad bonam


Quo ad Fungsional : dubia ad malam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

48
KESIMPULAN

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan


etiologi yang beragam salah satunya yaitu Glomerulonefritis Kronik (GNK)
ditandai oleh kerusakan glomerulus secara progresif lambat akibat
glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama. Umumnya GNK tidak mempunyai
hubungan dengan GNAPS (Glomerulus Nefritis Akut Pasca Streptokokus) maupun
GNPC (Glomerulonefritis Progresif Cepat), tetapi kelihatannya merupakan
penyakit de novo. Penyakit cenderung timbul tanpa diketahui asal usulnya, dan
biasanya baru ditemukan pada stadium yang sudah lanjut, ketika gejala-gejala
insufisiensi ginjal timbul. Menurut stadium penyakit, akan timbul poliuria atau
oliguria, berbagai derajat proteinureia, hipertensi, azotemia progresif, dan kematian
akibat uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah sindrom yang terdiri dari penurunan
kemampuan filtrasi ginjal ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
retensi produk buangan dari nitrogen, gangguan elektrolit dan asam basa. Gagal
ginjal kronik sering asimtomatik dan sering didapat dengan tanda peningkatan
konsentrasi ureum dan kreatinin. Pada tahap end stage memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

49
DAFTAR PUSTAKA

Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation,


classification and stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.

Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci. Harrison's Principles of


Internal Medicine 16th Edition. USA : McGraw-Hill, 2004.

Gunawan, S. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FKUI: Jakarta.

Joanne, MB dan Karl, S. 2013. Bab 11: Penyakit Ginjal Kronik, Edisi 1, p. 106-
120, dalam Buku Harrison Nefrologi dan Gangguan Asam Basa, editor Dimanti
A dkk. Jakarta: EGC.

KDIGO. 2013. KDIGO 2012 Clinical Practice Guidline For The Evaluation
And Management Of Chronic Kidney Disease. Journal of the International
Society of Nephrology, Kidney International supplements, 3 (1), 19-111

Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit. Jakarta: ECG.

Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi
2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 – 503.

Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 – 1040.

Suwitra, K. 2009. Bab 163: Penyakit Ginjal Kronik, Edisi 5, p.1035-1040,


dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, editor Sudoyo A.W dkk. Jakarta:
Interna Publishing

Tanto, Chris dan Ni Made Hustrini. Gagal ginjal kronik dalam Kapita selekta
kedokteran. Edisi keempat. Jakarta: Media Aesculapius FKUI,2014:642-647

50

Anda mungkin juga menyukai