Anda di halaman 1dari 11

1.

Abses Hati Amuba

a. etiologi

Penyebab utama abses hepar amebik adalah Entamoeba Histolytia dan merupakan
komplikasi ekstraintestinial dari Entamoeba Histolytica yang dapat menimbulkan pus dalam hati.
(Sudoyo, 2015)
Komplikasi ekstraintestinal yang paling sering terjadi akibat infeksiEntamoeba
histolytica adalah amebiasis intestinalis klinis. Entamoeba histolyticaadalah protozoa usus kelas
Rhizopoda yang mengadakan pergerakan menggunakan pseudopodi atau kaki semu. Terdapat 3
bentuk parasit yaitu: bentuk tropozoit, bentuk kista, dan bentuk prakista. Tropozoit adalah bentuk
yang aktif bergerak dan bersifat invasif, dapat tumbuh dan berkembang biak, aktif mencari
makanan,dan mampu memasuki organ dan jaringan. Bentuk kista Entamoeba Histolytica bulat,
dengan dinding kista dari hialin, tidak aktif bergerak . Terdapat dua ukuran kista,
yaitu minutaform yang berukuran <10 mikron, dan magnaform yang berukuran > 10 mikron.
Kista yang berukuran <10 mikron disebut Entamoeba hartamani yang ditemukan dalam
tinja,tidak patogen untuk manusia. Kista yang sudah matang mempunyai empat inti dan
merupakan bentuk infektif yang dapat ditularkan pada manusia, dan tahan terhadap asam
lambung. (Sudoyo, 2015)

b. Patofisiologi
Penularan abses hepar amebik terjadi secara fekal-oral, dengan masuknya kista infektif bersama
makanan atau minuman yang tercemar tinja penderita atau tinja karier amebiasis. Di dalam usus,
oleh pengaruh enzim tripsin dinding kista pecah. Di dalam sekum atau ileum bagian bawah
terjadi proses eksitasi, eksitasi adalah proses transformasi dari bentuk kista ke bentuk tropozoit.
Dalam proses eksitasi, satu kista infektif yang berinti empat tumbuh menjadi delapan amubula,
amubula menuju ke jaringan submukosa usus besar, lalu tumbuh dan berkembang menjadi
tropozoit. Bentuk tropozoit dapat menginvasi jaringan, amoeba dapat menjadi pathogen dengan
mensekresi enzim cysteine protease, sehingga dapat melisiskan jaringan maupun eritrosit dan
menyebar ke seluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. (Sudoyo, 2015)
Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah
melalui vena porta ke hati. Di hati Entamoeba Histolytica mensekresi enzim proteolitik yang
melisiskan jaringan hati dan membentuk abses. Lokasi yang tersering adalah lobus kanan (70%-
90%), kecenderungan ini diperkirakan akibat penggabungan dari beberapa tempat infeksi
mikroskopik, serta disebabkan karena cabang vena porta kanan lebih lebar dan lurus dari pada
cabang vena porta kiri. Ukuran abses bervariasi, yaitu dari diameter 1-25 cm, dinding abses
bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit. Didaerah sentral dari abses terjadi
pencairan yang berwarna coklat kemerahan, yang disebut anchovy sauce yang terdiri dari
jaringan hati nekrotik dan berdegenerasi. Amoebanya dapat ditemukan pada dinding abses dan
sangat jarang ditemukan di dalam cairan di bagian sentral abses. Kira-kira 25 % abses hati
amoebik mengalami infeksi sekunder sehingga cairan absesnya menjadi purulen dan berbau
busuk. (Sudoyo, 2015)
Terdapat periode laten yaitu jarak waktu yang lamanya bervariasi kadang-kadang sampai
bertahun-tahun diantara kejadian infeksi pada usus dengan timbulnya abses hati. Jarak waktu
antara serangan di intestinal dengan timbulnya kelainan di hati berbeda-beda. Bentuk yang akut
dapat memakan waktu kurang dari 3 minggu, tetapi bentuk yang kronis lebih dari 6 bulan,
bahkan mungkin sampai 57 tahun. Disamping itu hanya lebih kurang 10 % penderita abses hati
yang dapat ditemukan adanya kista E.histolytica dalam tinjanya pada waktu yang bersamaan,
bahkan dilaporkan 2-33 %. Faktor yang berperan dalam keaktifan invasi amoeba ini belum
diketahui dengan pasti tetapi mungkin ada kaitannya dengan virulensi parasit, diit flora bakteri
usus dan daya tahan tubuh sesorang baik humoral maupun seluler. (Sudoyo, 2015)

c. Manifestasi Klinik
Gejala dapat timbul secara mendadak (bentuk akut), atau secara perlahan-lahan (bentuk
kronik). Dapat timbul bersamaan dengan stadium akut dari amebiasis intestinal atau berbulan-
bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah keluhan intestinal sembuh. Pada bentuk akut,
gejalanya lebih nyata dan biasanya timbul dalam masa kurang dari 3 minggu. Keluhan yang
sering diajukan yaitu rasa nyeri di perut kanan atas. Rasa nyeri terasa seperti tertusuk tusuk dan
panas, demikian nyerinya sampai ke perut kanan. Dapat juga timbul rasa nyeri di dada kanan
bawah, yang mungkin disebabkan karena iritasi pada pleura diafragmatika. Pada akhirnya dapat
timbul tanda tanda pleuritis. Rasa nyeri pleuropulmonal lebih sering timbul pada abses hepatis
jika dibandingkan dengan hepatitis. Rasa nyeri tersebut dapat menjalar ke punggung atau skapula
kanan. Pada saat timbul rasa nyeri di dada dapat timbul batuk batuk. Keadaan serupa ini timbul
pada waktu terjadinya perforasi abses hepatis ke paru paru. Sebagian penderita mengeluh diare.
Hal seperti itu memperkuat diagnosis yang dibuat. (Sudoyo, 2015)
Gejala demam merupakan tanda yang paling sering ditemukan pada abses hepar. Gejala
yang non spesifik seperti menggigil, anoreksia, mual dan muntah, perasaan lemah badan dan
penurunan berat badan merupakan keluhan yang biasa didapatkan. Lebih dari 90 % didapatkan
hepatomegali yang teraba nyeri tekan. Hati akan membesar kearah kaudal atau kranial dan
mungkin mendesak kearah perut atau ruang interkostal. Pada perkusi diatas daerah hepar akan
terasa nyeri. Konsistensi biasanya kistik, tetapi bisa pula agak keras seperti pada keganasan. Pada
tempat abses teraba lembek dan nyeri tekan. Dibagian yang ditekan dengan satu jari terasa nyeri,
berarti tempat tersebutlah tempatnya abses. Rasa nyeri tekan dengan satu jari mudah diketahui
terutama bila letaknya di interkostal bawah lateral. Ini menunjukkan tanda Ludwig positif dan
merupakan tanda khas abses hepatis. Abses yang besar tampak sebagai massa yang membenjol
didaerah dada kanan bawah. Batas paru-paru hepar meninggi. Pada kurang dari 10 % abses
terletak di lobus kiri yang sering kali terlihat seperti massa yang teraba nyeri di daerah
epigastrium. (Sudoyo, 2015)
Ikterus jarang terjadi, kalau ada biasanya ringan. Bila ikterus hebat biasanya disebabkan
abses yang besar atau multipel, atau dekat porta hepatik. Pada pemeriksaan toraks didaerah
kanan bawah mungkin didapatkan adanya efusi pleura atau friction rub dari pleura yang
disebabkan iritasi pleura. (Sudoyo, 2015)
Gambaran klinik abses hati amebik mempunyai spektrum yang luas dan sangat bervariasi, hal ini
disebabkan lokasi abses, perjalanan penyakit dan penyulit yang terjadi. Pada satu penderita
gambaran bisa berubah setiap saat. Dikenal gambaran klinik klasik dan tidak klasik. (Sudoyo,
2015)
Gambaran klinik klasik didapatkan penderita mengeluh demam dan nyeri perut kanan
atas atau dada kanan bawah, dan didapatkan hepatomegali yang nyeri. Gambaran klasik
didapatkan pada 54-70 % kasus. Gambaran klinik tidak klasik ditemukan benjolan di dalam perut
(seperti bukan kelainan hati misalnya diduga empiema kandung empedu atau tumor pankreas),
Gejala renal (keluhan nyeri pinggang kanan dan ditemukan masa yang diduga ginjal kanan),
ikterus obstruktif, kolitis akut, gejala kardiak bila ruptur abses ke rongga perikardium, gejala
pleuropulmonal, abdomen akut. (Sudoyo, 2015)
d. Komplikasi
Infeksi sekunder (Sudoyo, 2015):
1. merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus.
2. Ruptur atau penjalaran langsung Rongga atau organ yang terkena tergantung pada letak
abses.
3. Perforasi paling sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga intraperitoneum,
selanjutnya pericardium dan organ-organ lain.
4. Komplikasi vaskuler
5. Ruptur kedalam v. porta, saluran empedu atau traktus gastrointestinal jarang terjadi.
6. Parasitemia, amoebiasis serebral
7. E. histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan menyangkut di organ lain misalnya
otak yang akan memberikan gambaran klinik dari lesi fokal intrakranial.
e. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Pemeriksaan laboratorium Leukositosis dengan shift to the left terjadi
pada 2/3 penderita, anemia dan hipoalbuminemia juga sering ditemukan. Abnormalitas dari tes
fungsi hati terjadi pada hampir semua penderita dan hal ini merupakan penanda yang cukup
sensitif untuk penyakit ini. Kenaikan kadar alkali fosfatase dan gamma-glutamil transpeptidase
terjadi pada 90 % kasus. Hiperbilirubinemia terjadi jika sumber infeksi berasal dari traktus
biliaris. Pada kasus-kasus abses hepar piogenik sebaiknya dilakukan kultur darah tepi, hal ini
penting untuk diagnostik, penanganan dan prognosis dari penderita. (Sudoyo, 2015)
Radiologi
USG adalah pemeriksaan pertama yang dilakukan jika dicurigai adanya space occupying
lession pada hepar, sensitivitasnya terhadap abses hepar 80 95 %. Lesi hanya dapat terlihat
jika mempunyai > 2 cm. Abses terlihat sebagai massa hypoechoic dengan batas yang tidak
teratur, tampak cavitas-cavitas/septum di dalam rongga abses. (Sudoyo, 2015)
Foto toraks
Tampak atelektasis, elevasi dari hemidiafragma kanan, dan efusi pleura kanan (50 %
kasus). MRI (dapat mendeteksi abses hepar dengan 0,3 cm), skening dengan Tm99 dan
gallium (sensitivitas 50 90 %). CT scan sensitivitas 95 100 %. Dengan CT juga dapat terlihat
kelainan intraabdomen lain yang menyertai abses hepar piogenik seperti massa pada pankreas,
Ca colon, divertikulitis, appendisitis, dan abses intraperitoneal. (Sudoyo, 2015)
f. Penatalaksanaan
Prinsip utama penanganan abses piogenik adalah pemberian antibiotik dan drainase dari abses.
Sekarang ini cara drainase operatif perannya sudah banyak diganti oleh drainase perkutaneus
yang lebih aman dan angka keberhasilannya cukup tinggi. (Sudoyo, 2015)
Antibiotik
Antibiotik yang diberikan adalah yang spektrum luas seperti golongan penisilin
(ampicillin), aminoglikosida (gentamisin atau tobramisin) dan metronidasol. (Sudoyo, 2015)
Pada penderita-penderita usia tua dengan gangguan ginjal dapat diberikan penisilin
(amoxicillin), sefalosporin (cefotaxime atau cefuroxime) dan juga metronidasol. Amphotericin B
dan flukonasol diberikan pada penderita-penderita dengan kecurigaan adanya infeksi oleh jamur.
Antibiotik diberikan secara intravena dan lama pemberian bervariasi antara 2 4 minggu atau
lebih tergantung respon klinik dan jumlah absesnya. (Sudoyo, 2015)
Drainase perkutaneus
Sekarang ini banyak penulis yang menganjurkan drainase perkutaneus sebagai
penanganan awal pada semua abses hepar piogenik, terutama pada penderita-penderita dengan
sakit berat yang tidak dapat menjalani operasi. Drainase perkutaneus dapat dilakukan dengan
tehnik Seldinger atau trocar, dengan bantuan CT atau USG. Angka keberhasilan berkisar antara
70 93 %, angka kematian antara 1 11 %. Indikasi tindakan ini adalah abses soliter dan
sederhana dengan akses drainase yang baik, tetapi beberapa penulis melaporkan bahwa tindakan
ini juga dapat dilakukan pada abses yang multipel. Kontra indikasi tindakan ini antara lain
koagulopati, abses sulit dicapai, multilobus, dan abses dengan dinding yang tebal dan pus yang
kental. (Sudoyo, 2015)
Drainase operatif
Bila penyebab dari abses hepar piogenik adalah akibat penyebaran infeksi dari organ
intraabdomen, maka laparotomi eksplorasi merupakan prosedur pilihan, karena dapat menangani
abses dan sumbernya. Indikasi lain prosedur ini adalah abses yang berlobus dan multipel, abses
yang tidak dapat dicapai dengan drainase perkutaneus, abses yang mengenai seluruh lobus hepar,
dan adanya kelainan pada traktus biliaris (batu atau striktur). Pendekatan standar yang dipakai
saat ini adalah transperitoneal. Dilakukan dengan insisi midline untuk mempermudah evaluasi
dan eksplorasi organ-organ intraabdomen. Setelah sumber infeksi ditemukan maka dilakukan
drainase dari abses. Abses diisolasi dari lapangan operasi, diaspirasi untuk kultur lalu dibuka
dengan kauter. Setelah dilakukan irigasi dari abses lalu diletakkan drai hisap pada rongga abses
tersebut. Untuk abses yang terletak di posterior dan diatas kubah maka lebih mudah dipakai
pendekatan transtorasik (transpleural). Pada penderita-penderita dengan infeksi sekunder akibat
keganasan pada hepar, hemobilia, dan penyakit granulomatosa kronik dilakukan reseksi hepar.
(Sudoyo, 2015)
Drainase transtorasik (Sudoyo, 2015):
a. insisi di posterior di atas kosta XII

b. tampak M. Lattisimus dorsi

c. insisi pada periosteum kosta XII

d. kosta XII disingkirkan lalu dasarnya diinsisi

e. diafragma dibebaskan lalu tampak peritoneum pada dasar diafragma

F. posisi drain secara skematik

2. Abses Hati Piogenik

a. etiologi

Penyebab utama abses hepar piogenik adalah bakteri Escherichia Coli. SelainEscherichia
Coli, organisme lain yang didapatkan adalah Klebsiella, Staphylococcus Aureus, Proteus,
Pseudomonas, dan bakteri anaerob. (Sudoyo, 2015)

Infeksi dari hati dapat juga berasal dari :

1. Sistem biliaris langsung dari kandung empedu atau melalui saluran-saluran empedu. Infeksi
pada saluran empedu yang mengalami obstruksi naik ke cabang saluran empedu intrahepatik
yang menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangitis dengan akibat abses multipel. Abses
hati piogenik multiple terdapat pada 50% kasus, hati dapat membengkak dan daerah yang
mengandung abses menjadi pucat kekuningan, berbeda dengan hati sehat disekitarnya yang
berwarna merah tua. Kebanyakan terdapat pada lobus kanan dengan perbandingan lima kali
lobus kiri. (Sudoyo, 2015)
2. Infeksi melalui sistem porta. Sepsis intra-abdomen, terutama apendisitis, divertikulitits,
disentri basiler, infeksi daerah pelvik, hemoroid yang terinfeksi dan abses perirektal merupakan
penyebab utama abses hepar piogenik. Pada umumnya berawal sebagai pileflebitis perifer
disertai pernanahan dan thrombosis yang kemudian menyebar melalui vena porta ke dalam hati.
(Sudoyo, 2015)

3. Hematogen melalui arteri hepatika. Trauma tajam atau tumpul dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan, dan nekrosis jaringan hati serta ekstravasasi cairan empedu yang mudah terinfeksi.
Hematoma subkapsuler dapat juga mengundang infeksi dan menimbulkan abses yang soliter dan
terlokalisasi. (Sudoyo, 2015)

b. Patofisiologi

Abses hepar piogenik paling sering disebabkan oleh penyakit saluran empedu (35-45 %
kasus). Perluasan infeksi di dalam perut (divertikulitis, apendistis, penyakit crohn) melalui vena
porta merupakan penyebab untuk 20 % lainnya. Sisa kasus disebabkan oleh perluasan infeksi
lokal secara langsung, penyebaran hematogen lewat arteri hepatika dari tempat yang jauh, atau
penyebab idiopatik (10-20 %). (Sudoyo, 2015)

Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan
adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh
bakteri tersebut. Adanya penyakit pada sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu
akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan
melibatkan cabang-cabang dari vena porta dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses
filelebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi
bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada
parenkim hati sehingga terjadi abses hepar piogenik. Penetrasi akibat trauma tumpul
menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik, dan terjadi kebocoran saluran empedu
sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri
ke hati dan terjadi pertumbuhan bakteri dengan proses supurasi dan pembentukan pus. (Sudoyo,
2015)

c. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis AHP biasanya lebih berat dari pada abses hati amebik. Dicurigai
adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klasik berupa nyeri spontan perut kanan atas,
yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya.
Demam/panas tinggi merupakan keluhan paling utama dengan tipe remiten, intermiten atau
febris kontinu, keluhan lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (68 %), mual dan
muntah (39%), berat badan menurun (46%). Setelah pemakain antibiotik yang adekuat, gejala
dan manifestasi klinis AHP adalah malaise, demam yang tidak terlalu tinggi dan nyeri tumpul
pada abdomen yang menghebat dengan adanya pergerakan. Apabila abses hati piogenik letaknya
dekat dengan diafragma, maka akan terjadi iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri pada bahu
sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektasis. Gejala lainnya adalah rasa mual dan muntah,
berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan, kelemahan badan, ikterus, buang air
besar berwarna seperti kapur dan buang air kecil berwarna gelap. (Sudoyo, 2015)

Pemeriksaan fisis yang didapatkan febris biasa hingga demam/panas tinggi, pada palpasi
terdapat hepatomegali serta perkusi terdapat nyeri tekan hepar, yang diperberat dengan adanya
pergerakan abdomen,splenomegali didapatkan apabila AHP telah menjadi kronik, selain itu bisa
didapatkan asites, ikterus serta tanda-tanda hipertensi portal. Adanya ikterus pada 24-52 % kasus
biasanya menunjukkan adanya penyakit sistem bilier yang disertai kolangitis dengan prognosis
yang buruk. (Sudoyo, 2015)

d. Komplikasi

Infeksi sekunder (Sudoyo, 2015):


1. merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus.
2. Ruptur atau penjalaran langsung Rongga atau organ yang terkena tergantung pada letak
abses.
3. Perforasi paling sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga intraperitoneum,
selanjutnya pericardium dan organ-organ lain.
4. Komplikasi vaskuler
5. Ruptur kedalam v. porta, saluran empedu atau traktus gastrointestinal jarang terjadi.
6. Parasitemia, amoebiasis serebral
7. E. histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan menyangkut di organ lain misalnya
otak yang akan memberikan gambaran klinik dari lesi fokal intrakranial.
e. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Pemeriksaan laboratorium Leukositosis dengan shift to the left terjadi
pada 2/3 penderita, anemia dan hipoalbuminemia juga sering ditemukan. Abnormalitas dari tes
fungsi hati terjadi pada hampir semua penderita dan hal ini merupakan penanda yang cukup
sensitif untuk penyakit ini. Kenaikan kadar alkali fosfatase dan gamma-glutamil transpeptidase
terjadi pada 90 % kasus. Hiperbilirubinemia terjadi jika sumber infeksi berasal dari traktus
biliaris. Pada kasus-kasus abses hepar piogenik sebaiknya dilakukan kultur darah tepi, hal ini
penting untuk diagnostik, penanganan dan prognosis dari penderita. (Sudoyo, 2015)
Radiologi
USG adalah pemeriksaan pertama yang dilakukan jika dicurigai adanya space occupying
lession pada hepar, sensitivitasnya terhadap abses hepar 80 95 %. Lesi hanya dapat terlihat
jika mempunyai > 2 cm. Abses terlihat sebagai massa hypoechoic dengan batas yang tidak
teratur, tampak cavitas-cavitas/septum di dalam rongga abses. (Sudoyo, 2015)
Foto toraks
Tampak atelektasis, elevasi dari hemidiafragma kanan, dan efusi pleura kanan (50 %
kasus). MRI (dapat mendeteksi abses hepar dengan 0,3 cm), skening dengan Tm99 dan
gallium (sensitivitas 50 90 %). CT scan sensitivitas 95 100 %. Dengan CT juga dapat terlihat
kelainan intraabdomen lain yang menyertai abses hepar piogenik seperti massa pada pankreas,
Ca colon, divertikulitis, appendisitis, dan abses intraperitoneal. (Sudoyo, 2015)
f. Penatalaksanaan
Prinsip utama penanganan abses piogenik adalah pemberian antibiotik dan drainase dari abses.
Sekarang ini cara drainase operatif perannya sudah banyak diganti oleh drainase perkutaneus
yang lebih aman dan angka keberhasilannya cukup tinggi. (Sudoyo, 2015)
Antibiotik
Antibiotik yang diberikan adalah yang spektrum luas seperti golongan penisilin
(ampicillin), aminoglikosida (gentamisin atau tobramisin) dan metronidasol. (Sudoyo, 2015)
Pada penderita-penderita usia tua dengan gangguan ginjal dapat diberikan penisilin
(amoxicillin), sefalosporin (cefotaxime atau cefuroxime) dan juga metronidasol. Amphotericin B
dan flukonasol diberikan pada penderita-penderita dengan kecurigaan adanya infeksi oleh jamur.
Antibiotik diberikan secara intravena dan lama pemberian bervariasi antara 2 4 minggu atau
lebih tergantung respon klinik dan jumlah absesnya. (Sudoyo, 2015)
Drainase perkutaneus
Sekarang ini banyak penulis yang menganjurkan drainase perkutaneus sebagai
penanganan awal pada semua abses hepar piogenik, terutama pada penderita-penderita dengan
sakit berat yang tidak dapat menjalani operasi. Drainase perkutaneus dapat dilakukan dengan
tehnik Seldinger atau trocar, dengan bantuan CT atau USG. Angka keberhasilan berkisar antara
70 93 %, angka kematian antara 1 11 %. Indikasi tindakan ini adalah abses soliter dan
sederhana dengan akses drainase yang baik, tetapi beberapa penulis melaporkan bahwa tindakan
ini juga dapat dilakukan pada abses yang multipel. Kontra indikasi tindakan ini antara lain
koagulopati, abses sulit dicapai, multilobus, dan abses dengan dinding yang tebal dan pus yang
kental. (Sudoyo, 2015)
Drainase operatif
Bila penyebab dari abses hepar piogenik adalah akibat penyebaran infeksi dari organ
intraabdomen, maka laparotomi eksplorasi merupakan prosedur pilihan, karena dapat menangani
abses dan sumbernya. Indikasi lain prosedur ini adalah abses yang berlobus dan multipel, abses
yang tidak dapat dicapai dengan drainase perkutaneus, abses yang mengenai seluruh lobus hepar,
dan adanya kelainan pada traktus biliaris (batu atau striktur). Pendekatan standar yang dipakai
saat ini adalah transperitoneal. Dilakukan dengan insisi midline untuk mempermudah evaluasi
dan eksplorasi organ-organ intraabdomen. Setelah sumber infeksi ditemukan maka dilakukan
drainase dari abses. Abses diisolasi dari lapangan operasi, diaspirasi untuk kultur lalu dibuka
dengan kauter. Setelah dilakukan irigasi dari abses lalu diletakkan drai hisap pada rongga abses
tersebut. Untuk abses yang terletak di posterior dan diatas kubah maka lebih mudah dipakai
pendekatan transtorasik (transpleural). Pada penderita-penderita dengan infeksi sekunder akibat
keganasan pada hepar, hemobilia, dan penyakit granulomatosa kronik dilakukan reseksi hepar.
(Sudoyo, 2015)
Drainase transtorasik (Sudoyo, 2015):
a. insisi di posterior di atas kosta XII

b. tampak M. Lattisimus dorsi

c. insisi pada periosteum kosta XII

d. kosta XII disingkirkan lalu dasarnya diinsisi


e. diafragma dibebaskan lalu tampak peritoneum pada dasar diafragma

F. posisi drain secara skematik

DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II edisi VI. Jakarta: Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai