Anda di halaman 1dari 43

Kumpulan Makalah tentang Perencanaan Kota

Di masa mendatang, fungsi kota sebagai pusat pertumbuhan, titik kontak hubungan
dan perdagangan internasional, nodal informasi dan inovasi teknologi menjadi
semakin stategis. Selain itu, tetap saja kota akan menjadi ruang yang paling ideal
bagi pertumbuhan dan diversifikasi kegiatan ekonomi berbasis sektor industri, jasa
dan perdagangan. Wajarlah, dalam menghadapi tantangan global kelak, peran
stategis ini harus di tingkatkan.
Pertumbuhan penduduk yang terlalu pesat dan tersentralisasi di Pusat-pusat kota
secara simultan telah memberikan beban masalah pengelolaan kota yang muskil
dan bahkan "counter productive" terhadap manfaat "aglomerasi" dan "economic of
scale". Karena tekanan masalah yang demikian berat maka kebijakan pengelolaan
perkotaan seringkali tidak mampu efisien dan cenderung mengikuti mekanisme
pasar yang lebih mengejar maksimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan tanah-tanah
kota. Proses ini dapat saja menyebarkan kepadatan penduduk dalam kota dan
mendistribusikannya ke wilayah pinggiran, namun sekaligus menciptakan
pemekaran
fisik kota yang tidak tertata yang justru pada gilirannya menambah beban
permasalahan pengelolaan kota itu sendiri.

...

Kumpulan Makalah tentang Perencanaan Kota

1. 1. Himpunan Makalah Perencanaan Kota Dihimpun Oleh : Ir. Fitri Indra


Wardhono
2. 2. 2 Daftar Isi 1. Penataan Ruang Perkotaan
.......................................................................................... 3 2. Pendekatan
Keterpaduan Sebagai Jawaban Terhadap Permasalahan Penataan Ruang
Perkotaan di Masa
Mendatang.......................................................................................... 8 3.
Sistem Kota-Kota dan Penataan Ruang dalam Pengelolaan Fungsi
Kota................... 18 4. Manajemen Pembangunan Kota Masa Depan
............................................................ 24 5. Kebijakan Nasional Perkotaan
Dalam Memasuki Milenium Ketiga .............................. 30 6. Konsepsi Urban
Management dan Isu-Isu Yang Berkembang (Studi Build) ................ 39 7.
Lingkungan Surabaya menuju Milenium III Mewujudkan Peran Masyarakat
dalam
Pembangunan....................................................................................................
............. 45 8. Jakarta : Fenomena Ruang dan Bentuk sebuah Metropolis
........................................ 55 9. City Development
Strategy.......................................................................................... 67 10.
Prosedur Perencanaan Kota di Indonesia (Suatu Tinjauan Mengenai
Perkembangan dan
Penerapannya)...................................................................................................
...... 94 11. Perencanaan Pembangunan Dalam Otonomi Daerah yang Semakin
Luas............... 98 12. Secercah Optimisme Terhadap Keberlanjutan Kota di
Indonesia............................ 103 13. Tugas Pengawas Tata Ruang
................................................................................. 105 14. Proyeksi
Penduduk Kota-kota di Indonesia Periode 1995 - 2005 ............................ 113
3. 3. 3 1.Penataan Ruang Perkotaan Oleh : Prof. Dr. Ir. H.M. Nad Darga
Talkurputra 1. Ringkasan Kota-kota besar di Indonesia "tidak sehat". Struktur
pertumbuhannya cendrung meniadakan ruang terbuka, sedangkan
pemukiman terus terdesentralisasi, bergerak menjauh dari pusat kota,
menyebar dan menggeser wilayah pertanian di wilayah pinggiran. Proses ini
tidak saja kian membebani pengelolaan kota namun juga me- ngorbankan
fungsi ekologis lingkungan dan tanah pertanian di wilayah pinggir-an dengan
segala dampaknya. Permu-kimam kumuh, kemacetan, degradasi lingkungan,
polarisasi kemampuan ma-syarakat, serta social unrest adalah se- jumlah
indikator permasalahan yang se-cara kumulatif tidak efektif bagi pertum-
buhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat kota dan wilayah pinggiran-
nya serta membebani roda pertumbuh-an nasional. Transformasi struktur
pere- konomian Indonesia yang prematur menjadi akar seluruh permasalahan
ini, sehingga laju urbanisasi menjadi terlampau tinggi di atas kemampuan kota
untuk berbenah. Dengan demikian, pengelolaan kota, termasuk penataan
ruangnya, tidak dapat lagi dipandang sebagai beban internal kota. 2.
Pendahuluan Di masa mendatang, fungsi kota sebagai pusat pertumbuhan,
titik kontak hubungan dan perdagangan internasional, nodal informasi dan
inovasi teknologi menjadi semakin stategis. Selain itu, tetap saja kota akan
menjadi ruang yang paling ideal bagi pertumbuhan dan diversifikasi kegiatan
ekonomi berbasis sektor industri, jasa dan perdagangan. Wajarlah, dalam
menghadapi tantangan global kelak, peran stategis ini harus ditingkatkan. Hal
tersebut masih mungkin bagi Indonesia. Lihat saja komposisi urbanisasi,
perbandingan penduduk perkotaan dengan pedesaan masih tergolong rendah,
hanya 30 %. Padahal rata-rata penduduk perkotaan di negara-negara yang
berpendapatan menengah adalah sekitar 48%, bahkan di negara-negara maju
mencapai di atas 70%. Jakarta, meskipun dihuni kurang lebih 9.7 juta jiwa
namun hanya menampung + 20 persen penduduk perkotaan, sementara
Manila 30 persen, Bangkok 69 persen dan Seoul 43 persen. Jadi, dari sisi
komposisi penduduk, perkotaan Indonesia masih tergolong aman.
Masalahnya justru terletak pada kecepatan laju urbanisasi yang terlampau
tinggi yakni 5,4 % per tahun dalam dekade 1980. Tidak saja tinggi, namun
urbanisasi di Indonesia merupakan hasil proses transformasi struktur ekonomi
yang prematur, yang terjadi karena dualislistik pembangunan di Indonesia
dalam era Orde Baru. Dualistik pembangunan ini telah menempatkan sektor
pertanian sebagai lapangan usaha kelas bawah, gurem, tidak efisien dan tidak
"prestigous", sehingga me- nyebabkan pelepasan tenaga kerja pertanian ke
sektor moderen, industri dan jasa, di perkotaan menjadi terlampau cepat,
sehingga meskipun lapangan kerja di sektor moderen ini sangat kompetitif,
tetap saja urbanisasi meningkat tajam. Apabila
4. 4. 4 asumsi ini benar, maka transisi komposisi penduduk perkotaan akan
meningkat sangat tajam menjadi 42 % pada tahun 2010 dan mencapai 60 %
pada tahun 2018. 3. Pertumbuhan Kota Pertumbuhan penduduk yang terlalu
pesat dan tersentralisasi di Pusat-pusat kota secara simultan telah memberikan
beban masalah pengelolaan kota yang muskil dan bahkan "counter
productive" terhadap manfaat "aglomerasi" dan "economic of scale". Karena
tekanan masalah yang demikian berat maka kebijakan pengelolaan perkotaan
seringkali tidak mampu efisien dan cenderung mengikuti mekanisme pasar
yang lebih mengejar maksimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan tanah-tanah
kota. Proses ini dapat saja menyebarkan kepadatan penduduk dalam kota dan
mendistribusikannya ke wilayah pinggiran, namun sekaligus menciptakan
peme- karan fisik kota yang tidak tertata yang justru pada gilirannya
menambah beban permasalahan pengelolaan kota itu sendiri. Pembangunan
fisik kota berpola "urban sprawl" telah jauh merambat ke wilayah- wilayah
pinggiran bahkan di sebagian besar wilayah perbatasan pembangunan fisik ini
telah menyatu dan sulit dibedakan. Permasalahan ini mempersulit
penyediakan dan pemelihara fasilitas perkotaan. Tidak saja itu, permukimam
pinggiran ini hanya terikat secara administratif dengan wilayah sekitar namun
secara fungsional dan spatial telah terintegrasi dengan kota, sehingga sedikit
sekali mempunyai keterkaitan dengan ekonomi dan sosial pedesaan.
Sementara itu, meningkatnya permintaan terhadap tanah di wilayah pinggiran
kota ikut mendorong kompetisi penggunaan dan kelangkaan tanah di wilayah
tersebut. Kompetisi dan kelangkaan ini secara langsung mengangkat harga
tanah sekaligus menempatkan wilayah pinggiran kota sebagai ladang subur
usaha spekulan tanah. Tentu saja hal ini akan mendorong percepatan mutasi
penggunaan tanah dari pertanian ke nonpertanian yang kian hari kian
bertambah. Berkurangnya tanah pertanian karena ter-desak oleh
perkembangan fisik kota ber- dampak percepatan fragmentasi pemilikan
tanah, sehingga luas garapan menjadi se-makin kecil dan tidak lagi efisien
untuk usa-ha pertanian. Hal ini menjadi pemicu lebih lanjut pengalihan
penguasaan dan penggu-naan tanah dari pertanian ke nonpertanian yang
akhirnya menyebabkan tanah-tanah pertanian dipinggiran kota menjadi
semakin rentan terhadap mutasi penggunaan lahan. Pengalihan fungsi
penggunaan tanah perta-nian ke kegiatan nonpertanian di wilayah pinggiran
kota memberikan dampak eko-logis yang serius seperti berkurangnya
penyediaan air bagi masyarakat kota atau justru kebanjiran di musim hujan.
Selain itu, pola pembangunan fisik kota yang horizontal yang terutama
didominasi oleh pembangunan perumahan-perumahan di pinggiran kota
secara langsung meningkatkan jumlah masyarakat "commutter". Kemacetan
di jalan raya terutama di waktu pagi dan sore hari terus menjadi-jadi, kian hari
kian buruk. Dalam menghadapi kompleksitas beban permasalahan kota
tersebut, pengelolaan perkotaan seyogyanya perlu diselenggarakan secara
lebih arif dan efektif. Visi uta- ma pembangunan perkotaan perlu
diperioritaskan untuk menciptakan iklim perko- taan yang lebih manusiawi,
berwawasan lingkungan dan tidak semata-mata menge- jar pertumbuhan
ekonomi dan fisik. Kegiatan pembangunan fisik yang selama ini cendrung
untuk mengurangi ruang terbuka dan kehijauan kota seyogyanya di eva- luasi
kembali. Demikian juga, pemerintah kota perlu tetap memberikan
perlindungan
5. 5. 5 bagi masyarakat yang kurang mampu. Tingginya polaritas kemampuan
untuk mem- peroleh akses pelayanan dan menikmati hasil-hasil pembangunan
yang tersebar dalam berbagai segmen mayarakat terbukti dengan indikasi-
indikasi meningkatnya kriminalitas, ketidakpedulian dan gangguan-gangguan
sosial lainnya. "Social distress" semacam itu menyebabkan kenyamanan dan
keamanan untuk tinggal dan berusaha di dalam kota akan cepat menurun dan
semakin menjauh dari maksud dan tujuan pembangunan itu sendiri. Dinamika
perkembangan kota dan urbanisasi tidak dapat lagi dipandang sebagai
masalah internal kota semata-mata melainkan sudah memiliki dimensi yang
lebih luas dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial, ekonomi, informasi
dan politik se- cara nasional dan global. Dalam kontek inilah perlu diciptakan
keseimbangan pem- bangunan antarwilayah, pembangunan lingkungan hidup
yang layak, serta memper- kecil dampak negatif yang ditimbulkan oleh
wilayah dengan tingkat pertumbuhan tinggi terhadap wilayah-wilayah yang
lambat pertumbuhannya. Dengan demikian kegiatankegiatan perencanaan
penataan ruang kota dengan penataan ruang wilayah di sekitarnya tidak pantas
lagi dilakukan secara terpisah, seperti yang selama ini dilakukan Di samping
itu, kebijakan pembangunan perkotaan perlu juga diarahkan kepada
pembangunan kota-kota baru yang mandiri. Langkah-langkah ini sangat
penting untuk tujuan desentralisasi dan dekonsentrasi pembangunan kota dan
sebagai alat untuk menarik migran potensial yang cendrung ke kota-kota
metropolitan. Dengan demikian kota-kota ini dapat berperan dalam
membenahi ketimpangan antardaerah serta mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi nasional, oleh karenanya mempu- nyai arti yang sangat strategis.
Dalam sisi lain, visi pembangunan perkotaan tersebut harus lebih melibatkan
peran aktif pihak swasta dan masyarakat karena pada kenyataannya merekalah
yang menjadi motor penggerak pembangunan kota. Untuk itu diperlukan
peningkatan ke- mampuan dalam perencanaan dan transparansi dalam
pembangunan dan pengelo- laan perkotaan agar peran aktif swasta dan
masyarakat dapat ditumbuhkem- bangkan. 4. Pengendalian Ruang Kota
Kegiatan penataan dan pemanfaatan ruang kota pada dasarnya adalah kegiatan
penataan dan pemanfaatan tanah-tanah perkotaan yang dikuasi oleh
masyarakat dan badan hukum. Dengan demikian, diperlukan serangkaian
tindakan-tindakan yang melibatkan kegiatan-kegiatan pengaturan penguasaan
dan penggunaan tanah dalam mengendalikan atau mengintervensi mekanisme
pasar dalam pemanfaatan tanah yang terikat akan hukum "the highest and best
use of land". Secara ope- rasional, upaya-upaya pemanfaatan dan
pengendalian ruang untuk mewujudkan kondisi ideal dari suatu perencanaan
tersebut ditempuh melalui mekanisme pengadaan tanah dan pengendalian
penggunaan tanah melalui kebijakan perijinan hingga pemberian hak atas
tanah. Wajar, sebagai syarat untuk menjamin berfungsinya rencana tata ruang
perkotaan, maka diperlukan sarana pengendalian yang salah satunya adalah
mekanisme per- ijinan dan hak atas tanah. Tentu saja dalam pelaksanaan
pemberian ijin hingga penerbitan hak harus menghormati hak atas tanah yang
dimiliki oleh masyarakat. Dengan demiki-an akan tercapai suatu proses yang
saling berkesinambungan
6. 6. 6 dalam penataan dan pe-manfaaatn ruang di mana pemberian perijianan
adalah esensi dari upaya pemanfaatan dan pengendalian ruang. Penataan
ruang perkotaan dapat juga dilaksanakan dengan program antara lain
konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah secara konsepsional merupakan langkah
yang sangat strategis dalam pengelolaan pembangunan perkotaan, yang antara
lain adalah : Mempercepat penyediaan dan pembangunan infrastruktur dan
fasilitas umum lainnya, Meningkatkan intensitas penggunaan tanah serta
memperbaiki kondisi ling- kungan, Menghemat pengeluaran anggaran
pemerintah untuk mengadakan tanah dan pembangunan infratruktur dan
fasilitas umum, Meningkatkan nilai tanah, Menghindarkan penggusuran
masyarakat pemilik tanah dari lokasi asalnya, Mendorong partisipasi
masyarakat dalam pembangunan perkotaan sekaligus menurunkan
ketimpangan sosial yang bersumber dari kondisi permukimam,
Memungkinkan terbentuknya sistem perpajakan yang lebih baik dan adil.
Selain program konsolidasi tanah, pemerintah kota sudah saatnya melibatkan
parti- sipasi yang lebih aktif pihak swasta dalam mengembangkan program
pembangunan rumah vertikal terutama dengan sistim sewa. Pembangunan
perumahan susun vertikal untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah
melalui sistim sewa memang terkesan mahal. Namun program rumah susun
memberikan dampak jangka panjang yang sangat menguntungkan. Hal
tersebut adalah atas beberapa pertimbangan. Pertama bila separasi ruang
menyempit atau gradasi kepadatan penduduk yang menurun tajam dari pusat
kota ke wilayah pinggiran maka penyediaan dan pemeli- haraan fasilitas
umum dapat dilakukan dengan lebih efektif karena lebih terkon- sentrasi.
Kedua, bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sistim sewa akan lebih efektif
dari pada sistim kepemilikan rumah terutama karena mereka tidak mampu
memiliki rumah. Selain itu, karena letak perumahan susun berada di dalam
kota, maka tambahan beban biaya transportasi bagai masyarakat
berpenghasilan rendah akan dapat dihindarkan, sehingga kelompok
masyarakat ini mempunyai peluang yang lebih besar untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Demikian juga, sudah waktunya pengendalian lebih serius
fenomena mutasi peng- gunaan tanah pertanian ke nonpertanian yang terjadi
akibat pemekaran kota. Hal ini penting mengingat lokasi tanah-tanah
persawahan sawah berkualitas tinggi justru berada di pinggiran kota-kota
besar. Apabila luas minimal tanaman padi untuk komsumsi beras di Indonesia
pada tahun 1990 adalah 10.25 juta hektar maka luas ini di tahun 2025 akan
meningkat menjadi 13, 170 juta hektar. Padahal, luas tanah sawah di
Indonesia justru menurun rata-rata 8.255 hektar per tahun dan lebih dari 80
persen mutasi ini justru terjadi di sekitar kota-kota di Pulau Jawa. Sulit diba-
yangkan dampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi Indonesia apabila
terjadi kelangkaan pangan terutama beras di masa mendatang. Alternatif
penciptaan sa- wah-sawah baru di luar Pulau Jawa bukanlah gampang, sama
tidak logisnya apa- bila mengalihkan pola konsumsi beras ke menu pangan
nonberas bagi masyarakat Indonesia.
7. 7. 7 5. Penutup Kebijakan pengelolaan kota-kota besar di Indonesia telah
berhasil memacu pertum- buhan perkotaan yang yang sangat pesat di bidang
fisik dan ekonomi perkotaan. Namun, belum memberikan penekanan yang
sepadan terhadap pertumbuhan sosial dan lingkungan. Di sejumlah kota besar,
seperti Jakarta, pertumbuhan fisik ini telah jauh merambat kewilayah
pinggiran. Ketimpangan antara pertumbuhan fisik dan ekonomi dengan sosial
dan lingkungan serta antara pertumbuhan pusat kota de- ngan wilayah
pinggiran telah memberi-kan dampak beban permasalahan yang kian hari kian
bertambah berat, sehingga memerlukan penanganan secara lebih serius.
Permasalahan perkotaan memer-lukan keterpaduan berbagai pendekatan
seperti pemerataan pembangunan wila-yah, pembangunan kota-kota
kecil/me-nengah, kordinaasi perencanaan tata ruang kota dan wilayah
pinggiran. Di sisi pembenahan internal kota, konsolidasi tanah dan
pembangunan rumah susun merupakan altenatif yang sangat stra-tegis namun
keberhasilannya memer-lukan partisipasi secara penuh dari pihak swasta dan
masyarakat.
8. 8. 8 2.Pendekatan Keterpaduan Sebagai Jawaban Terhadap Permasalahan
Penataan Ruang Perkotaan di Masa Mendatang Ir. Maurits M. Pasaribu, Msc
dan Ir. Eko Yuli Suprapto, Msc 1. Pendahuluan Masa mendatang yang
populer disebut dengan milenium ke tiga, bercirikan glo- balisasi kehidupan
sosial-ekonomi, hak azasi manusia, tuntutan desentralisasi dan peran serta
masyarakat dalam pembangunan termasuk pembangunan perkotaan.
Globalisasi kehidupan sosial-ekonomi yang didukung oleh teknologi
khususnya teknologi informasi, akan mengubah arti batas wilayah negara
menjadi lebih bebas dari yang terjadi sekarang, di mana kondisi demikian
akan membuat daya saing antarnegara semakin bergantung pada tingkat
efisiensi dan produktivitas wilayah perkotaannya. Dalam konteks ini,
kemampuan pengelolaan aspek-aspek kepen- dudukan, teknologi, modal,
barang dan jasa, dan informasi oleh suatu kota akan sa- ngat menentukan daya
saingnya. Kemampuan individu kota untuk bersaing dalam me-narik
investasi, menuntut kemandirian suatu kota yang sangat bergantung dari
kebijakan pengembang-an desentralisasi dan otonomi daerah yang mantap di
mana kemampuan pengelolaan kota (perencanaan, pelaksanaan dan
pengendalian) oleh stakeholders' kota (pemerintah, masyarakat dan swasta,
serta aso-siasi profesi pemerhati), sangat diperlukan. Kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah diharapkan mem-beri ruang gerak yang cukup luas bagi
peran serta masyarakat dan swasta dalam gagasan, pelaksanaan
pembangunan, maupun pengendaliannya. Peranan masyarakat dan swasta
yang dominan tersebut membutuhkan pola kemitraan yang tangguh dan saling
menguntungkan satu dengan lainnya, serta resiko ditanggung bersama.
Perkembangan kemampuan individu kota di satu sisi akan meningkatkan
efisiensi, namun di sisi lain secara makro dapat menimbulkan kocendenungan
terbentuknya polarisasi ke beberapa kota metro, sehingga kurang mendorong
pemerataan per- kembangan antarwilayah. Di samping itu hubungan antarkota
dan desa juga terpo- larisasi ke kota, di mana ekonomi kota dan desa kurang
saling menguatkan. De- ngan demikian, di samping optimasi kemampuan
individu kota, sinerjitas pengem- bangan sistem perkotaan termasuk
diantaranya sistem kota-desa perlu pula diting- katkan. Kondisi ekstemal yang
sangat berpengaruh pada sast ini adalah krisis ekonomi yang dimulai dari
krisis moneter. Daya tahan ekonomi nasional sangat dipengaruhi struktur
ekonomi nasional yang kurang kuat di mana resource base industri
manufaktur banyak tergantung bahan import, bukan dari bahan lokal seperti
hasil pertanian (agroindustri). Oleh karenanya, aktivitas ekonomi perkotaan
sangat terpukul karena tidak berbasis struktur yang kuat, termasuk dukungan
struktur fungsional kota-kota yang tangguh. Penataan ruang kawasan
perkotaan hendaknya mampu mendorong pemanfaatan ruang yang optimal
dan tidak kaku, tetapi tegas dalam pembentukan struktur
9. 9. 9 kawasan perkotaan, serta dinamika kegiatan pembangunan perkotaan
bersifat global yang berwawasan lingkungan baik dilaksanakan oleh
pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat secara menyeluruh, sehingga
dicapai kualitas ruang kehidupan perkotaan yang serasi, selaras, seimbang,
layak, berkeadilan serta menunjang pelestarian nilai-nilai sosial budaya.
Pembangunan Kawasan Perkotaan, diarahkan secara berencana dan terpadu
baik dilihat dari sistem perkotaan maupun secara individu. Sasaran yang harus
dicapai harus didorong oleh kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat
dengan pendayagunaan sumber daya alam yang optimal; dan didukung oleh
sumber daya manusia yang berkualitas, produktif dan profesional; iklim usaha
yang sehat; serta pengembangan sumber daya boatan dengan pemanfaatan
ilmu dan teknologi yang tepat guna, berhasil guna dan berdaya guna serta
terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup dan keserasiannya dengan sistem
sosial-budaya. Pemerintah telah memberlakukan peraturan perundangan
tentang Penataan Ruang, yaitu Undang-Undang No. 24/1992, demikian pula
upaya pemerintah dalam melak- sanakan perimbangan peran dan tanggung
jawab pembangunan wilayah di perkota- an, yang tertuang dalam Undang-
Undang No. 22 tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah dan Pusat. Hal ini
semua membutuhkan operasionalisasi di daerah dan antardaerah. Kiranya
masih dibutuhkan pembahasan-pembahasan bagaimana mempertajam hal
tersebut agar ruang kota dapat ditata sesuai jiwa otonomi, namun dapat
sekaligus mewujudkan sinerjitas perkembangan antarkota. 2. Tantangan ke
Depan Dalam Pembangunan Perkotaan Di masa yang akan datang, kita
mengharapkan terwujudnya perkembangan setiap kota di wilayah nasional
secara berkelaniutan, dan menjadi tempat permukiman dan usaha, di mana
seluruh penghuni merasa memiliki (citizenship city), sehingga dapat menjadi
kota yang memberikan keamanan, kenyamanan dan kesejahterean bagi
seluruh penghuninya. Memperhatikan pelaksanaan pembangunan perkotaan
yang ada saat ini dan harapan sebagaimana tersebut di atas, maka
pembangunan kota membutuhkan pendekatan-pendekatan yang dapat
menciptakan suatu lingkungan kerja dan hunian yang terpadu, berkeadilan
dan berkelanjutan, mempunyai daya saing serta adanya rasa kepemilikan
warga masyarakat yang tinggi. Untuk itu kota harus dilihat sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari wilayah sekitar dan mempunyai jaringan dengan
kota-kota yang lain. Pembangunannya dilaksana- kan secara demokratis dan
berkeadilan dari "masyarakat kota untuk masyarakat kota" di mana seluruh
pelaku pembangunan berperan saling menguatkan, mening- katkan kinerja
Kota. Pemanfaatan sumber daya perkotaan diharapkan dapat dilakukan secara
efisien dan bertanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas perkotaan
(urban productivity) dalam kerangka pengembangan ekonomi perkotaan,
sehingga tetap dapat memelihara keberlangsungan pembangunan perkotaan
secara berkelanjutan (sustainable urban development).
10.10. 10 Dari pengalaman perkembangan kota-kota dapat disimpulkan bahwa
hal-hal terse- but dapat diwujudkan apabila pembangunan kota bercirikan
prinsip-prinsip berikut : Pembangunan perkotaan dilakukan secara
demokratis oleh seluruh stakehold- ers kota; Pemanfaatan sumber daya
perkotaan secara lebih efisien yang akan menjamin keseimbangan lingkungan
perkotaan yang baik dan berkelanjutan (environ- mentally sustained);
Program pembangunan perkotaan yang bertumpu pada budaya lokal yang spe-
sifik untuk masing-masing individu kota, sehingga memiliki ketahanan dan
kota berkembang atas landasan budaya dan mempunyai jab diri yang mantap
(culturally vibrant) dan diharapkan tidak terombang-ambing dalam
menghadapi globalisasi; Pembangunan perkotaan dapat mencerminkan
keadilan (socially justice), yang terejawantahkan dalam mekanisme dan
kapasitas pelayanan perkotaan terhadap masyarakat kota di mana masyarakat
mempunyai akses yang sama pada seluruh fasilitas pelayanan perkotaan;
Program pembangunan perkotaan selalu didudukkan dalam kerangka pem-
bangunan nasional, sehingga pembangunan perkotaan akan meningkatkan
produkbvitas perkotaan dalam kerangka pengembangan ekonomi perkotaan
dan sekaligus ekonomi nasional; Hal ini semua membutuhkan manajemen
pembangunan perkotaan yang tertib dan efisien. Pemanfaatan sumber daya
perkotaan perlu dilaksanakan secara hati-hati, mengingat secara spasial
seluruh kegiatan sosial-ekonomi yang ada membutuhkan ruang, dan oleh
karenanya perlu dilakukan suatu pendekatan pembangunan untuk dapat
mengatur lokasi kegiatan-kegiatan tersebut dalam ruang, sedemikian rupa,
sehingga terdapat optimasi interaksi positif (saling mengisi atau sinerjik) dan
minimasi dampak negatif. Hal tersebut dilakukan dari mulai tahap
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Kegiatan ini harus dilakukan
secara holistik (terpadu) di dalam pendekatan pembangunan per- kotaan.
Pelaksanaan pengembangan kegiatan sosial-ekonomi kota dilakukan dengan
menjabarkan rencana tata ruang kota kedalam program-program
pengembangan SDM, produksi, prasarana dan lingkungan hidup, dengan
memperhatikan perkem- bangan ekonomi, kemampuan pendanaan pusat,
investasi swasta dan masyarakat. Kegiatan dilakukan secara bersama antara
seluruh stakeholder, sehingga penggu- naan investasi dan ruang kota dapat
terlaksana secara efisien. Pengendalian ruang kota didasarkan pada rencana
tata ruang dan didukung oleh suatu sistem monitoring yang transparan dan
sistem insentif dan disinsentif yang accountable. 3. Pembangunan Perkotaan
Terpadu di Masa Mendatang a. Manajemen Pembangunan Perkotaan
Pengelolaan (manajemen) pembangunan perkotaan merupakan upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan kota
melalui suatu pendekatan yang sistematis meliputi perencanaan, pelaksanaan
dan pengendalian secara terpadu kegiatan pembangunan di bidang SDM,
produk dan jasa, infrastruktur, fisik, kelembagaan dan pelestarian lingkungan.
Upaya ini melibatkan seluruh pelaku pembangunan (pemerintah dengan ber-
bagai tingkatan, serta masyarakat termasuk masyarakat dunia usaha/swasta)
11.11. 11 serta mobilisasi sumber daya (SDA, SDB maupun SDM) guna
mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial serta peningkatan fungsi dan
peran kota dalam pengembangan wilayah dan pembangunan nasional. Secara
umum manajemen pembangunan perkotaan bertujuan untuk membe- rikan
rambu-rambu agar program-program pembangunan : Dapat berjalan secara
berkelanjutan (sustainable development); Mempunyai nilai ekonomi yang
tangguh (economic viability); Merupakan hasil kemitraan dan konsensus;
Merupakan keputusan untuk investasi pembangunan; Mencerminkan
keadilan dan sebagai alat kontrol pembangunan. Manajemen pembangunan
perkotaan merupakan alat bagi manajer kota agar manajer kota dapat :
Mengambil langkah-langkah efisien; Bertindak efektif dan tepat sasaran;
Berfikir strategis dalam menetapkan prioritas; Berpandangan integraff
dalam mengakomodir kebijakan pembangunan perkotaan dengan para pelaku
pembangunan; Bersikap fleksibel dalam pelaksanasn program
pembangunan mengha- dapi perubahan yang terjadi; Berlaku demokratis
yang mampu menciptakan iklim yang dapat mendo- rong partisipasi
masyarakat. Memperhatkan lingkup, tujuan dan sasaran manajemen
pembangunan perko- taan tersebut di atas, maka terdapat tiga variabel utama
dalam manajemen pembangunan perkotaan, yaitu : Pelaku pembangunan
(subyek); dengan mengefektifkan keterlibatan pe- merintah, masyarakaat dan
swasta dalam pembangunan perkotaan, se- hingga pelayanan kota dan
sekaligus produktivitas perkotaan dapat di- tingkatkan yang akan mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi kota dan nasional secara menyeluruh.
Efektivitas keterlibatan pemerintah, masya- rakat dan swasta dalam
pembangunan perkotaan dilakukan melalui (Kenneth J Davey, 1993);
Redefinisi peran pemerintah, baik antara Pemerintah Pusat dengan pe-
merintah daerah maupun antara pemerintah dengan swasta dalam pem-
bangunan perkotaan; penguatan kapasitas pemerintah kota/daerah dalam
pembangunan perkotaan; khususnya dalam kemampuan manajerial,
pembiayaan, dan kemampuan pemeliharaan infrastruktur perkotaan; ke-
mitraan pemerintah-swasta-masyarakat (PPP) dalam pembangunan
perkotaan; Mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan
swasta/masyarakat harus bersifat demokratis serta bercirikan di mana
pemerintah sebagai enabler sementara masyarakat dan swasta sebagai
pelaksana. Sumber daya perkotaan (obyek); memanfaatkan sumber daya
yang ada di perkotaan yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia
maupun sumber daya buatan dan sumber daya lainnya seefisien mungkin
untuk mendapatkan hasil yang setinggi-tingginya, serta terjaminnya
sustainabilitas pembangunan perkotaan.
12.12. 12 Efisiensi sumber daya tersebut meliputi efisiensi pemanfaatan lahan
perkotaan, enerji, air tanah, tenaga kerja dan lain-lain, tanpa harus
mengeksploitasinya secara tidak bertanggung jawab (berlebihan);
Pemanfaatan sumber daya perkotaan harus bertumpu pada budaya spesifik
masing-masing daerah, sehingga memiliki ketahanan dan jati diri (city image)
yang kuat dalam menghadapi globalisasi; Pemanfaatan sumber daya
perkotaan harus berkeadilan (socially just), sehingga pelayanan perkotaan
dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat perkotaan secara
proporsional sesuai dengan kebutuhan; Efisiensi pemanfaatan sumber daya,
baik fisik, finansial maupun personil, dilakukan melalui sistem penganggaran
yang baik, project appraisal, personel management, dan program execution;
Metoda pengelolaan perkotaan; melalui penerapan manajemen pemba-
ngunan secara konsisten sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
perencanaan yang cermat, integratif dan komprehensif; pelaksanaan
pembangunan yang tepat melalui pengorganisasian yang mantap; serta
pengawasan melekat yang ketat untuk menjamin kualitas pembangunan
perkotaan atas dasar perencanaan yang telah disusun. b. Perencanaan
Pembangunan Perkotaan Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, pada
prinsipnya manajemen pemba- ngunan perkotaan ialah bagaimana mengelola
pembangunan perkotaan secara efektif dan efisien dalam rangka menciptakan
kota yang livable, visible, productive, efficient, sociality, culturally, dan
enviromentaly. Pembangunan perkotaan itu sendiri merupakan proses yang
berjalan secara siklus (de- velopment cycle) dan Undang-Undang No. 24
tahun 1992 tentang Penataan Ruang menyebutkan ada 3 (tiga) tahapan
manajemen, yaitu perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian. Ketiga tahap
ini berjalan secara siklus. Pembangunan dapat diawali dengan perencanaan
dengan melihat masukan yang didapat dari proses pengendalian pemanfaatan.
Kebutuhan akan peren- canaan akibat adanya suatu "keterkaitan"
(interconnectedness) dan komplek- sitas. Sepanjang masih dijumpai
keterkaitan yang erat antarunsur pemba- ngunan perkotaan dan terdapatnya
kompleksitas pembangunan perkotaan, maka diperlukan suatu perencanaan
yang matang (Lery, John M, 1991). Mengingat unsur-unsur pembangunan
yang meliputi kegiatan sosial, ekonomi, keberadaan sumber daya alam,
sumber daya buatan dan sumber daya manusia harus saling terkait satu sama
lain dan membutuhkan ruang sebagai wahana, maka pengaturan lokasi
kegiatan budidaya dan nonbudidaya akan dapat membantu efisiensi
pemanfaatan sumber daya untok pembangunan dan kelestarian lingkungan
alam. Oleh karena itu dalam rencana pembangunan perkotaan dilakukan
perenca- naan pembangunan sosial ekonomi kota secara bersamaan dengan
perenca- naan pemanfaatan ruang (Rencana Tata Ruang Kota). Penyusunan
rencana pembangunan kota memuat keterpaduan rencana pengembangan
kegiatan sosial, sumber daya manusia, ekonomi, infrastruktur, dan upaya-
upaya peles- tarian lingkungan hidup secara terpadu pada berbagai tingkatan
(Rencana umum untuk seluruh kota, Rencana detail untok bagian kota dan
Rencana teknik untuk beberapa bangunan). Dalam rencana kota tersebut telah
13.13. 13 diperkirakan perkembangan kebutuhan besarnya investasi, sumber-
sumber pembiayaan dan mekanisme perolehannya. c. Pelaksanaan
Pembangunan Sesuai dengan rencana pengembangan sosial ekonomi dan
rencana tata ruang disusun strategi pembangunan (pemanfaatan ruang),
program imple- mentasi pembangunan. Tahap proses pemograman sampai
pada pelaksa- naannya adalah sebagai berikut : 1- Penetapan Strategi
Pembangunan Dalam pelaksanean pembangunan kota, apabila
pengembangan blok- blok kota dibangun secara sporadis, maka menyebabkan
pembangunan infrastruktur kota yang bersifat city wide akan mengalami
kesulitan, dan akhirnya terjadi biaya ekonomi tinggi serta terjadi contra
productive terhadap perkembangan kota. Hal ini dialami banyak kota di
Indonesia di mana kawasan-kawasan yang dibangun, tidak diikuti
penunjangan jaringan jalan maupun jaringan utilitas ke kawasan tersebut,
sehingga terjadi kemacetan dan banjir. Dengan demikian diperlukan suatu
pendekatan pelaksanaan pemba- ngunan yang mensinkronkan kegiatan sosial,
ekonomi dan pembangun- an infrastruktur, sehingga perkembangan kota
dapat dimanfaatkan se- suai dengan rencana pengembangan kawasan
perkotaan. Hal ini mem- butuhkan suatu pengembangan Rencana Induk
Sistem (RIS). Rencana Induk Sistem ini berisi tahapan pengembangan
kawasan-kawasan/blok- blok/bagian-bagian kota (beserta besaran dan jenis
kegiatannya) dan rencana sistem jaringan secara keseluruhan (memuat
jaringan prasa- rana, besaran yang dibutuhkan, hirarki sistem, sumber-sumber
air, po- tensi pembuangan sampah, serta keterkaitannya dengan infrastruktur
regional). Penentuan strategi pelaksanaan pembangunan sangat perlu
didasarkan pada telaahan-telaahan : Kekuatan, kelemahan, peluang dan
tantangan di dalam pencapaian rencana tata ruang; Sistem nilai yang hendak
digunakan untuk pelaksanaan pem- bangunan sesuai dengan yang
direncanakan; Sasaran yang hendak dicapai. Ringkasnya, strategi
pembangunan perkotaan mencakup bagaimana melaksanakan pembangunan
perkotaan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. 2- Perumusan
Program dan Rencana Tindak Strategi pembangunan perkotaan dilengkapi
dengan program pem- bangunan perkotaan dan rencana tindaknya, sebagai
penjabaran dari strategi yang sudah ditetapkan agar program-program tersebut
dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang kota. Dalam perumusan
program ini perlu diperkirakan target pertumbuhan, investasi yang
dibutuhkan, sumber-sumber pembiayasn yang dibutuhkan, baik melalui
14.14. 14 Pemerintah Pusat, daerah, loan, swasta dan masyarakat. Untuk itu
rencana program pembangunan dan rencana tindak harus pula dilengkapi
dengan : Pembentukan sistem kelembagaannya; Persiapan legal
instrument; Sumber daya manusia; Aspek pembiayaan; dan
Kemungkinan pola kemitraan (public-private-partnership project scoping) 3-
Promosi dan Diseminasi Dengan rencana induk sistem prasarana perkotaan
dan rencana pro- gram pembangunan perkotaan, maka bagian-bagian kota
dapat ditawar- kan pengembangannya kepada swasta dan masyarakat.
Pembangunan infrastruktur dapat digunakan sebagai insentif pertumbuhan
kegiatan ekonomi serta alat pengontrol untuk kelestarian lingkungan dan
efisiensi transportasi. Rencana blok (misalnya kawasan industri dan
permukiman skala besar) disiapkan oleh swasta atau developer. Sedangkan
Peme- rintah hanya melakukan penilain-penilaian agar kesesuaian dan kesela-
rasan blok-blok pengembangan dengan bagian-bagian kota yang lain terjamin.
Strategi promosi dan diseminasi bagi pembangunan perkotaan menjadi sangat
penting, terutama bila dikaitkan dengan pencapaian sasaran pembangunan.
Beberapa hal yang diperlukan dalam perumusan strategi, antara lain :
Pengenalan target group; Pengenalan media promosi dan diseminasi; serta
Pengenalan terhadap materi promosi. Perikatan/kerjasama Keberhasilan
tahap promosi dan diseminasi akan melahirkan kesiapan masyarakat
(termasuk masyarakat dunia usaha), maupun pemerintah untuk melakukan
investasi pembangunan perkotaan secara langsung atau melalui
kerjasama/kemitraan antara pemerintah masyarakat-swas- ta (public-private-
community partnership). Adapun kegiatan yang ber- kaitan dengan proses
kemitraan/kerjasama tersebut, sekurang-kurang- nya mencakup : Kegiatan
pengajuan "LOI" (Letter of Intension); Kegiatan evaluasi terhadap investor;
Kegiatan negosiasi; Kegiatan persetujuan baik berupa "MOU" atau
kontrak kerja. Pelaksanaan Pembangunan Hal yang disampaikan pada huruf
(a) hing- ga (d) di atas adalah kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
pemanfaat- an ruang. Untuk pelaksanaannya harus dikaitkan dengan
komponen pembiayaan; engineering; sumber daya manusia serta metoda
pengem- bangannya. Dalam pemanfaatan ruang berbagai variasi metoda dapat
dilakukan, namun harus didasarkan pula pada musyawarah masyarakat
setempat. Metoda pengembangan yang mungkin dilaksanakan misalnya
15.15. 15 perbaikan tata letak bangunan dalam kawasan kota melalui manajemen
lahan perkotaan seperti Land Consolidation atau Land Readjusment atau
Guided Land Development agar penyediaan infrastruktur dapat lebih efisien.
Dapat pula dilakukan tokar tempat di mana penghuni pindah ke lokasi lain
dengan nilai tanah dan bangunan yang lebih baik. Keseluruhan ini
membutuhkan rencana blok yang rinci dan harus disepakati masyarakat secara
demokratis. Dengan demikian pembangunan kota dimulai de- ngan rencana
(ditetapkan dengan peran serta stakeholders) dan harus didukung manajemen
sumber daya (tanah, air, infrastruktur, manusia dan lain-lain) dan peran serta
masyarakat yang nyata. d. Pengendalian Pembangunan Pengendalian
pembangunan dilaksanakan dalam rangka pengawasan dan penertiban
pemanfaatan ruang, sehingga lahan perkotaan termanfaatkan secara efisien
dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap linkungan hi- dup perkotaan
oleh pelaku pembangunan. Rencana kota yang telah disusun oleh pemerintah
dengan melibatkan peran serta masyarakat sudah tentu berisikan kesepakatan-
kesepakatan terhadap muatan rencana pemanfaatan ruang kota di masa yang
akan datang. Dengan demikian rencana tata ruang kota (baca : Rencana
Umum, Rencana Rinci dan Rencana Detail) dapat dipergunakan sebagai alat
pengendali dan pengawasan dalam pelaksanaan pembangunan melalui
penerbitan ijin-ijin pembangunan. Dalam konteks makro, pengendalian
pelaksanaan pembangunan dilakukan melalui rencana umum tata ruang kota
sebagai alat pengendalian pengem- bangan kawasan-kawasan fungsional yang
akan membentuk struktur tata ruang kota di masa yang akan datang. Dengan
demikian kota-kota yang diren- canakan akan berkembang sinkron dan
seimbang dengan wilayah sekitamya serta sejalan dengan arahan strategi
nasional pembangunan perkotaan. Dalam konteks mikro (internal kota),
rencana tata ruang dapat dipergunakan sebagai alat pengendali dan
pengawasan terhadap pelaksanaan pembangun- an pada kawasan-kawasan
perkotaan sesuai dengan tingkatan rencana tata ruang serta sifat pembangunan
yang dilaksanakan pada kawasan perkotaan tersebut. Rencana umum tata
ruang pada dasarnya berperan sebagai pedoman untuk pengembangan
kawasan-kawasan fungsional perkotaan dan pengelolaan ka- wasan-kawasan
lindung (non budidaya) dalam rangka menjaga keseim- bangan dan
pelestarian lingkungan. Pengendalian dapat dilakukan melalui penerbitan ijin-
ijin lokasi pembangunan yang memanfaatkan ruang kota dalam skala besar.
Pengendalian juga dapat dilakukan dalam bentuk pemberian insentif dan
disinsentif pada kawasan-kawasan perkotaan yang direncanakan. Rencana
detail dipergunakan sebagai alat untuk mengendalikan pelaksanaan
pembangunan pada kawasan-kawasan perkotaan agar tercipta perwujudan
ruang yang mencerminkan keterkaitan dan keserasian fungsi kawasan dengan
wilayah kota. Bentuk pengendalian dapat dilakukan melalui pener- bitan
advice planning dan ijin pembangunan bangunan dan bukan bangunan.
16.16. 16 Rencana teknik, dipergunakan sebagai alat untuk mengendalikan
pemba- ngunan kawasan-kawasan perkotaan agar tercipta perwujudan
keterkaitan dan keserasian antarpemanfaatan ruang kota. Pengendalian
dilakukan melalui penerbitan ijin-ijin oleh dinas-dinas terkait secara
terkoordinasi, seperti; ijin mendirikan bangunan (IMB), ijin pemanfaatan
bangunan, dan lain- lain. Dalam hal rencana teknik dipergunakan sebagai alat
untuk mengenda- likan pelaksanaan pembangunan, maka muatan rencana
teknik telah meng- atur letak dan geometrik bangun-bangunan dan bukan
bangunan, sehingga keserasian dan keselarasan antarmassa bangunan maupun
terhadap utiltas pendukungnya dapat terwujud dengan baik. Rencana tata
ruang sebagai alat pengendali dalam pelaksana pembangunan pada kawasan
perkotaan dapat berfungsi dengan baik apabila beberapa hal dapat dipenuhi,
yaitu : pertama; apa bila rencana tersebut telah memiliki ke- kuatan hukum
(legal base and law enforcement), dengan demikian rencana tersebut harus
disahkan terlebih dahulu sesuai dengan peraturan dan perun- dangan yang
berlaku. Kedua, ada keterbukaan dan demokratisasi pada saat proses
penyusunan rencana maupun sosialisai produk rencana, bagi selunuh warga
masyarakat perkotaan dengan demikian pengendalian dan penga- wasan
terhadap pembangunan dapat terjadi dua arah, yaitu oleh masyarakat dan
pemerintah. Ketiga, koordinasi antarinstansi terkait dan stakeholders dalam
pelaksanaan pembangunan. Pengendalian pemanfaatan ruang juga akan dapat
efektif dilakukan apabila dalam proses pelaksanaan pemberian ijin-ijin tidak
dikaitkan dengan upaya peningkatan pendapatan daerah. Dengan pendekatan
ini, perijinan betul-betul ditempatkan dalam konstelasi pengaturan
pemanfaatan ruang. 4. Kesimpulan Pola pikir secara holistik (terpadu) dalam
penataan kota diperlukan, tidak saja dalam pengertian komprehensif terhadap
unsur-unsur pembangunan kota namun juga mengandunq pengertian terhadap
pendekatan sistem yang tak terpisahkan antara perencanaan, pemanfaatan den
pengendalian (development cycle) dalam setiap tahap penataan kota. Artinya
pada tahap perencanaan, kita harus berfikir tentang bagaimana mencapai
rencana yang kita susun (pemanfaatan), sekaligus bagaima- na kita dapat
konsisten terhadap rencana yang kita rumuskan (pengendalian). Sebaliknya
pada tahap pengendalian, kita harus melihat ijin pelaksanaan pembangunan
(pemanfaatan) dan sekaligus mengacu pada rencana yang telah dibuat. Hal
yang lebih penting, adalah bagaimana kita memandang mekanisme perijinan
sebagai unsur pengendalian dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan
pendapatan daerah. Penataan kota di masa mendatang adalah penataan kota
yang dapat mewujudkan suatu kota yang menjamin keseimbangan lingkungan
yang baik, mempunyai jati diri (budaya) yang mantap, berkeadilan, produktif
den efisien. Hal tersebut hanya dapat dicapai melalui penataan kota yang
demokratis (melibatkan stakeholders), sehingga seluruh masyarakat kota
merasa memiliki (citizenship city). Dengan demikian kita memandang
perencanaan bukan produknya, namun yang lebih penting adalah proses
bagaimana kita menghasilkan produk perencanaan tersebut, apakah melalui
proses yang demokratis atau top-down, dengan pendekatan holistik atau
parsial, serta melalui langkah-langkah strategis (strategic planning) atau
ekstrapolasi.
17.17. 17 5. Daftar Pustaka a. Departemen Pekerjaan Umum, (Draft) Pedoman
Umum Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perkotaan, Jakarta, 1999. b. John
M Bryson, Strategic Planning for Public and Non Profit Organizations,
Jossey-Bass Publishers, San Francisco-Oxford, 1991. c. Kenneth J Dawey,
Urban Management Programme : Elements of Urban Management, The
World Bank, Wasington DC, 1993. d. Pemerintah Republik Indonesia,
Undang-Undang No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Jakarta, 1992. e.
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, Jakarta, 1999. f. Pemerintah Republik Indonesia,
Undang-Undang No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemenntah Pusat dan Daerah, Jakarta, 1999. g. The World Bank, Urban
Policy and Economic Development : An Agenda for the 1990s, Washington
DC, 1991.
18.18. 18 3.Sistem Kota-Kota dan Penataan Ruang dalam Pengelolaan Fungsi
Kota Oleh : Prof. Dr. Herman Haeruman Js. 1. Pendahuluan Dewasa ini, laju
pertumbuhan penduduk kawasan perkotaan seluruh Indonesia mendekati 3
juta per tahun. Dengan tingkat perkembangan ini, pada akhir Era Reformasi,
diproyeksikan sekitar 60 % penduduk Indonesia akan berdomisili di kawasan
perkotaan. Dengan semakin pentingnya peranan kawasan perkotaan sebagai
pusat kegiatan ekonomi wilayah, pembangunan perkotaan seyogyanya
diarahkan untuk menunjang tercapainya tujuan nasional, yaitu stabilitas
ekonomi yang mantap, penurunan tingkat kemiskinan, peningkatan budaya
bangsa, pemerataan, dan peningkatan kualitas lingkungan. Tanpa pengaturan
pemerintah, pertumbuhan dan penyelenggaraan kegiatan ekonomi kawasan
perkotaan akan dipengaruhi oleh sistim ekonomi pasar yang produk
spasiaInya adalah pola perkembangan pita (ribbon development), aglomerasi
pertumbuhan pada kota-kota besar. Hal ini akan menyebabkan menurunnya
efektivitas fungsi dan peran kota sebagai katalisator pengembangan wilayah.
Pembahasan mengenai sistem kota-kota tidak dapat dilepaskan dari tata ruang
yang ada, karena kota/kawasan perkotaan merupakan salah satu unsur penting
dalam membentuk struktur tata ruang. Sementara itu penataan ruang sendiri
pada dasarnya mengarahkan sistem kota-kota/kawasan perkotaan.
Pembangunan kota merupakan bagian dari pembangunan nasional dan
wilayah maka dalam pembangunan sistem kota harus dihubungkan dengan
kawasan andalan. Dalam hal ini sistem kota-kota berfungsi sebagai kerangka
(skeleton) dari kawasan andalan, dan hubungan antarkawasan andalan
dipengaruhi oleh hubungan antara sistem kota-kota yang ada dalam kawasan
andalan tersebut dengan kota-kota di kawasan andalan lainnya.
Perkembangan kota atau kawasan perkotaan tentunya harus diarahkan
sedemikian rupa agar selaras dengan tujuan pembangunan Oleh karena itu, di
samping pengaturan distribusi sistem kota-kota sesuai dengan hirarki jumlah
penduduk dan potensi kegiatan ekonominya (strategi makro), juga diperlukan
suatu pengelolaan individual kota atau daerah perkotaan yang ditujukan untuk
meningkatkan produktivitas kegiatan ekonominya dalam rangka mendukung
fungsi kotanya di wilayah yang lebih luas (strategi mikro}. 2. Sistem Kota-
Kota dan Penataan Ruang Definisi fungsional mengenai kota atau daerah
perkotaan adalah "Pusat permuki-man dan kegiatan penduduk yang
mempunyai status pemerintahan sendiri dan karenanya telah mempunyai
batas wilayah administratif, maupun yang belum mempunyai status
pemerintahan tetapi memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan serta
belum memiliki batas administratif". Suatu daerah disebut sebagai kota atau
perkotaan karena pertimbangan aspek-aspek sebagai berikut :
19.19. 19 Tingkat kepadatan penduduk relatif tinggi. Kegiatan utama
masyarakatnya di sektor nonpertanian. Status sosial masyarakat
penghuninya heterogen, baik dari segi adat, budaya, dan agama. Dilihat dari
jumlah penduduknya, kota-kota atau daerah perkotaan tersebut ada yang
termasuk golongan kota metropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil
: Megapolitan, adalah kota dengan jumlah penduduk di atas 5 juta jiwa.
Kota raya/metropolitan adalah kota dengan jumlah penduduk antara 1 sampal
5 juta jiwa Kota besar adalah kota dengan jumlah penduduk antara 500.000
sampai 1 juta jiwa. Kota sedang adalah kota dengan jumlah penduduk antara
100.000 sampai 500.000 jiwa. Kota kecil adalah kota dengan jumlah
penduduk antara 20.000 sampai 100.000 jiwa. Kota atau daerah perkotaan,
direncanakan atau tidak, membentuk suatu sistem karena saling
keterkaitannya, baik secara fisik maupun secara sosial ekonomi. Dalam
Propeda VI kota atau daerah perkotaan dibagi atas 4 (empat) kelompok
berdasarkan fungsi dan pelayanannya dalam menunjang pertumbuhan
ekonomi nasional, yaitu : Kota atau daerah perkotaan yang berfungsi
sebagai pusat kegiatan nasionat (PKN). Yang dimaksud adalah kota atau
daerah perkotaan yang mempunyai wilayah pelayanan skala nasional, di
samping merupakan pintu gerbang bagi kefuar masuknya arus barang dan
jasa, juga merupakan simpul perdagangan interrnasional. Kota atau perkotaan
yang termasuk klasifikasi ini merupakan pu- sat pelayanan jasa, produksi, dan
distribusi serta merupakan simpul trans- portasi untuk pencapaian beberapa
pusat kawasan atau provinsi. Biasanya yang termasuk golongan
kota/perkotaan ini adalah kota-kota besar/metro- politan, disebabkan karena
kelengkapan sarana dan prasarana yang dimiliki- nya. Kota atau daerah
perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan wilayah (PKW). Daerah
perkotaan atau kota yang mempunyai wilayah pelayanan yang mencakup
beberapa kawasan atau kabupaten. Golongan ini biasanya merupakan kota
besar dan kota sedang. Kota atau daerah perkotaan yang berfungai sebagai
pusat kegiatan lokal (PKL). Kota atau perkotaan yang termasuk klasifikasi ini
adalah yang mempunyai wilayah pelayanan beberapa kawasan dalam lingkup
kabupaten dan umunya merupakan kota sedang. Kota atau daerah perkotaan
yang mempunyai fungsi khusus dalam menunjang sektor ekonomi tertentu.
Kota atau perkotaan yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah yang
mempunyai fungsi pelayanan khusus dalam menunjang sektor strategis,
menunjang pengembangan wilayah baru atau penyebaran kegiatan ekonomi
dan berfungsi pula sebagai daerah penyangga aglomerasi pertumbuhan pusat
kegiatan yang sudah ada. Pengelompokkan kota-kota ini ditujukan untuk
dapat merumuskan kebijakan yang lebih terarah dan sesuai dengan setiap
kelompok tersebut.
20.20. 20 Dari uraian sebelumnya, terlihat bahwa sistem kota-kota atau daerah
perkotaan tidak terlepas dari setiap aspek kegiatan penataan ruang karena
keduanya merupakan faktor yang saling terkait, yang mempengaruhi satu
sama lain. 3. Perkembangan dan Pengelolaan Fungsi Kota Pertumbuhan dan
perkembangan kota-kota sangat cepat seiring dengan pesatnya pembangunan
yang dilaksanakan. Dewasa ini jumlah penduduk perkotaan di Indo- nesia
semakin meningkat, sudah sekitar 35% penduduk Indonesia tinggal di
wilayah perkotaan. Diperkirakan jumlah ini akan meningkat pada akhir Era
Reformasi, yaitu sekitar 60% dari jumlah penduduk Indonesia akan tinggal di
perkotaan. Sementara itu distribusi penduduk perkotaan akan semakin
meningkat di setiap provinsi, hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan
pendapatan yang lebih tinggi yang disertai dengan tingginya diversifikasi
kegiatan ekonomi. Pada akhir Era Reformasi diperkirakan akan terdapat 23
kota yang berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa, 11 kota diantaranya berada di
luar jawa. Kontribusi yang diberikan oleh kawasan-kawasan perkotaan
terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial sangat berarti, diperkirakan lebih
dari 60% dari PDB nonmigas akan berasal dari kawasan-kawasan perkotaan
tersebut. Perkembangan kota dan perkotaan yang pesat menuntut pengelolaan
fungsi kota yang lebih baik karena semakin berkembang suatu kota dan
perkotaan maka unsur- unsur pembentuknya pun akan semakin kompleks
pula. Pada dasarnya pengelolaan kota dititikberatkan pada tinjauan terhadap
penataan ruang yang ada mulai dari penyiapan rencana induk kota sampai
dengan penyiapan rencana unsur kota, pengaturan pemanfaatannya,
pengelolaan pengendaliannya, dan kaitannya dengan aspek-aspek lain
terutama dengan aspek-aspek : Pembangunan ekonomi kota; Finansial
kota; Kelembagaan kota; Partisipasi swasta; dan Partisipasi
masyarakat. Berkaitan dengan pengelolaan kota dan perkotaan tersebut,
langkah-langkah yang ditempuh dalam kebijakan pengembangan kota adalah
sebagai berikut : Desentraliasasi pengembangan kota, dalam hal ini jelas
bahwa peran daerah harus ditingkalkan dalam pengembangan kota, dengan
demikian perlu diberikan kesempatan kepada daerah (Dati II) untuk
mengembangkan kota-kota itu sesuai dengan potensi/sumber daya yang ada,
hal ini tentunya sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang dicanangkan
pemerintah. Peningkatan partisipasi swasta dan masyarakat, sesuai dengan
amanat yang termaktub dalam UU No 24 Tahun 1992 Bab III yang
menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban sehubungan
dengan penataan ruang tersebut. Dalam pasal 4 ayat 2 UU No.24 Tahun 1992
dijeIaskan bahwa setiap orang berhak untuk berperan serta dalam penyusunan
rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Dengan demikian perlu diciptakan pola kemitraan antara pemerintah dan
swasta maupun masyarakat dalam kegiatan penataan ruang ini.
Meningkatkan akses kepada fasilitas fisik, sosial, ekonomi, dan budaya serta
pelayanan, juga menetapkan peraturan dan sistem hukum yang mendukung
pembangunan dan pengelolaan kota.
21.21. 21 Meningkatkan peranan kota-kota dalam meningkalkan
pembangunan nasional dan wilayah. Dalam kaitan ini perlu ditingkalkan
kerjasama antarpemerintahan kota dan antara kota dan daerah sekitarnya
dalam kawasan andalan. Sementara itu bagi penataan ruang kawasan tumbuh
cepat seperti metropolitan atau kota besar maka diperlukan adanya beberapa
strategi pembangunan, yaitu : Adanya rencana strategik yang
dikombinasikan dengan rencana anggaran (budget planning). Rencana
strategik ini lebih menitikberatkan pada program- program konkret di
dalamnya termasuk koordinasi lintas sektoral dalam pelaksanaan dan
pembiayaan perkotaan. Dalam hal ini unsur manajemen dalam pembangunan
perkotaan lebih diulamakan. Dalam hal ini baik partisipasi swasta maupun
masyarakat sudah teridentifikasi secara jelas. Karena rencana itu tidak hanya
mencakup kegiatan-kegiatan pemerintah kota saja tetapi mempertimbangkan
kegiatan-kegiatan aktor lain yang terlibat dalam pembangunan kota. Rencana
strategik harus mempunyai tujuan yang jelas dan sudah disepakati bersama
baik antarinstansi terkait, masyarakat maupun pihak swasta. Rencana yang
dibuat harus realistis, transparan dan dapat diukur tingkat pencapaiannya
untuk mempermudah evaluasi terhadap efektivitas dan efisiensi dari rencana
tersebut. Dengan demikian terlihat perbedaan antara rencana strategik dengan
rencana tradisional (comprehensive planning) atau masterplan. Rencana yang
diperlukan untuk penataan ruang kawasan tumbuh cepat adalah rencana yang
mempunyai daya antisipasi tinggi terhadap perkembangan, serta operasional.
Perlu diiakukan usaha peningkatan pendapatan daerah melalui pemungulan
pajak lokal yang ditargelkan untuk dapat mengganti biaya modal dalam
pengoperasiannya. Usaha yang dilakukan antara lain melalui penerapan tarif
yang didasarkan pada prinsip biaya penuh bagi pelayanan air minum,
pembuangan air limbah, dan sampah. Perlu peningkatan desentraliasasi
dalam penentuan dan pemungutan pajak bumi dan bangunan termasuk
peningkatan administrasi pengelolaannya. Peningkatan partisipasi sektor
swasta dalam pembangunan kota, peran pemerintah dalam hal ini sebagai
facilitator dan enabler dalam pengadaan fasilitas kota. Pengintegrasian
strategi transportasi perkotaan untuk mengurangi biaya yang disebabkan oleh
kemacetan akibat buruknya penanganan transportasi. Peningkatan
peraturan yang berkaitan dengan kontrof polusi air, udara,dan tanah serta
pengurangan kemacetan lalu-lintas. Antara lain melalui inspeksi kendaraan,
pemasangan alat kontrol emisi kendaraan, peningkatan pajak bahan bakar
untuk mengurangi polusi udara. Perlu peningkatan fungsi dan peran kota-
kota kecil yang berada di kawasan metropolitan, yang diharapkan berfungsi
sebagai kota penyangga (buffer cities) yang mandiri baik dalam penyediaan
lapangan kerja maupun dalam penyediaan fasilitas perkotaan bagi penduduk
di wilayahnya. Dari uraian tersebut maka dapat dilihat bahwa pembangunan
daerah dirasakan sangat penting untuk mendukung perkembangan dan
pengelolaan kota. Berkaitan dengan dengan hal tersebut, pengembangan
wilayah dilakukan harus selaras dengan pembangunan daerah, mengingat
pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional
yang terpadu dengan pembangunan nasional yang terpadu dengan
pembangunan nasional yang terpadu dengan pembangunan sektoral dalam
rangka mengupayakan pemerataan pembangunan antardaerah. Arah
kebijakan pembangunan daerah dalam Era Reformasi adalah sebagai berikut
:
22.22. 22 Memacu pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air,
daerah, dan kawasan yang kurang berkembang (seperti kawasan timur
Indonesia, daerah terpencil, dan daerah perbatasan) dan hasil-hasiInya dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Meningkatkan prakarsa dan
peran serta aktif masyarakat. Meningkatkan pendayagunaan potensi daerah
secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah, hal ini sesuai
dengan sasaran pembangunan daerah dalam Era Reformasi sebagaimana
diamanatkan dalam GBHN 1993 adaIah mantapnya otonomi daerah yang
nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, serta makin meratanya
pembangunan dan hasil-hasiInya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Sasaran pembangunan daerah dalam Repeiita VI adalah
berkembangnya otonomi daerah yang nyata, serasi, dan bertanggung jawab
dengan titik berat pada kabupaten/kota. 4. Permasalahan yang Dihadapi
Keberhasilan pembangunan yang diidentifikasi dari perkembangan perkotaan
yang terjadi dilringi oleh dampak-dampak negatif yang tidak dapat
dihindarkan lagi. Rusaknya lingkungan, yang diakibatkan oleh polutan-
polutan yang bahkan ada yang tidak diperhitungkan sama sekali, merupakan
salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan perkotaan
tersebut. Semakin besar kota atau perkotaan maka akan ditemui tingkat
kesenjangan sosial ekonomi yang semakin tinggi pula. Hal ini disebabkan
karena kota besar tersebut sebagai 'penarik' bagi penduduk sekitarnya,
umumnya sarana dan prasarana di kota-kota besar lebih baik dibandingkan
dengan kota-kota kecil karena fungsi kota besar tersebut sebagai pusat
pelayanan bagi wilayah sekitarnya, tentunya membutuhkan penyediaan
sarana dan prasarana yang memadai. Dengan ketersediaan sarana dan
prasarana yang memadai tersebut tentunya merangsang penduduk di wilayah
sekitarnya untuk datang ke tempat itu, hal ini tentunya akan menambah
jumlah penduduk yang mendiami kota. Sementara itu aparat daerah yang
seharusnya berperan besar dalam menangani kota-kota itu belum cukup
mampu menangani permasalahan yang ada, yang disebabkan karena
kurangnya sumber daya manusia, peralatan maupun modal yang dimiliki. Hal
ini tentunya menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks lagi.
Pembangunan suatu daerah tidak dapat dipisahkan dari daerah lainnya, karena
baik secara langsung maupun tidak langsung selalu akan terjalin hubungan
antardaerah untuk menutupi kekurangan masing-masing. Pembangunan di
suatu daerah harus terintegrasi dengan pembangunan di daerah lain, namun
pada kenyataanya, jangankan bekerja sama dengan pemerintah di daerah lain,
untuk menangani pembangunan di daerahnya pun masih sulit. Selain itu
kebijakan otonomi daerah masih belum sepenuhnya dilaksanakan, pemerintah
daerah belum cukup berani untuk mengambil keputusan mengenai kebijakan
yang dilaksanakan di daerahnya sendiri. Hal ini tentunya akan mengurangi
efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pembangunan. Peran serta masyarakat
dan swasta dalam kegiatan penataan ruang masih dirasakan kurang,
diantaranya disebabkan karena : Masyarakat dan swasta belum sepenuhnya
mengetahui dan menyadari sejauh mana kontribusi mereka dalam kegiatan
penataan ruang,
23.23. 23 Peluang yang diberikan bagi masyarakat maupun swasta dalam
kegiatan penataan ruang masih kurang, Kemampuan pengelolaan kota yang
mampu mengembangkan sinergi usaha masyarakat, dunia usaha dan
pemerintah dengan pemanfaatan teknologi yang tepat karena menumpuknya
orang, kegiatan dalam luasan yang sempit. 5. Kesimpulan Dalam rangka
menunjang keberhasilan penataan ruang terutama berkaitan dengan
perkembangan kota dan perkotaan maka aspek-aspek yang harus diperhatikah
adalah sebagai berikut : Meningkatkan partisipasi swasta dalam penataan
ruang, dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang memberi kemudahan bagi
mereka untuk mengembangkan usaha/meningkatkan invenstasi.
Meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan pemba-
ngunan, yang harus diperhatikan terutama dalam hal telcnologi dan
pendanaan, dalam hat ini pemerintah daerah harus mampu meningkatkan
penghasilan daerahnya baik melalui kebijakan pajak lokal atau hal lainnya
melalui pemanfaatan teknologi yang tepat dan pelayanan yang lebih baik.
Meningkatkan keria sama antarpemerintah kota untuk memberikan
kemudahan pihak swasta dalam mengembangkan investasinya.
Peningkatan kesadaran akan pentingnya penataan ruang melalui pencanangan
gerakan-gerakan/kebijakan-kebijakan atau penerapan sangsi-sangsi yang
mendukung konsistensi pelaksanaan peraturan tentang penataan ruang.
Memberikan kesempatan kepada masyarakat seluas-luasnya untuk turut serta
dalam kegiatan penataan ruang dengan memberikan kemudahan kemudahan
bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha/aktivitasnya dengan tanpa
dilakukan penyimpangan terhadap peraturan penataan ruang yang telah
ditetapkan. Pemerintah daerah hendaknya memberikan arahan yang jelas
mengenai kegiatan penataan ruang kepada seluruh lapisan masyarakat
(transparansi kegiatan perencanaan) agar penyimpangan yang terjadi dapat
dideteksi sedini mungkin. Peningkatan peran kota-kota kecil sebagai
penyangga perkembangan kota yang lebih besar dan mempertegas fungsi
kota-kota dalam pembangunan daerah yang diimbangi oleh sistem
administrasi yang integratif.
24.24. 24 4.Manajemen Pembangunan Kota Masa Depan Oleh : BS Kusbiantoro
1. Pendahuluan Pembangunan kota masa depan meliputi pembangunan
berkelanjutan tidak saja untuk kesejahteraan publik/masyarakat kota secara
keseluruhan, tetapi juga untuk kesejahteraan masing-masing elemen
masyarakat kita dan juga masyarakat kota generasi mendatang. Manajer
pembangunan kota masa depan dengan demikian diharapkan tidak saja
mampu melaksanakan pengelolaan pembangunan kota yang ditugaskan (to do
the thing right), tetapi juga dituntut untuk mampu mengelolanya dalam suatu
lingkup yang lebih menyeluruh (to do the right thing). Untuk melakukan
pengelolaan barang publik ini secara benar, manajemen publik juga dituntut
untuk mengikutsertakan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder).
Catatan singkat ini mencoba untuk membahas pembangunan kota masa depan
terkait dengan kesejahteraan berbagai masyarakat kota tersebut, serta
bagaimana hal ini dikelola. 2. Pembangunan Kota Masa Depan Pembangunan
untuk kesejahteraan masyarakat kota menuntut keberlanjutan dalam bidang
ekonomi dari kota yang bersangkutan (sustainable economically). Output
(fasilitas/jasa pelayanan kota) dari pembangunan harus lebih besar dari input
yang digunakan. Output tersebut juga harus sedemikian hingga tidak sekedar
output yang menumpuk, tetapi output yang terjual. Pembangunan yang
berkelanjutan dalam bidang ekonomi pada era globalisasi menuntut :
Pemanfaatan secara efisien sumberdaya setempat, Pertimbangan pasar
global secara menyeluruh, Tercapainya tingkat daya saing/kompetisi dari
output/produk/fasiltas-jasa pela- yanan kota tersebut. Tingkat kompetitif ini
takait dengan dengan fungsi kota yang bersangkutan (pusat kegiatan
lokal/wilayah/nasional/global). Dengan tingginya dinamika globalisasi
ekonomi, maka keunggutan komparatif (comparative advantages) yang ada
pada kota harus diupayakan menjadi keunggulan kompetitif (competitive
advantages); yakni bagaimana memanfaatkan sumberdaya yang ada menjadi
produk (fasilitas/jasa pelayanan) yang tidak saja "lebih baik" tapi terutama
"unik/berbeda" hingga mempunyai nilai daya saing yang tinggi - bila
memungkinan menjadi competitive globally. Berdasar penetapan basis
ekonomi kota yang memungkinkan terwujudnya keung- gulan kompetitif
tersebut - misalnya pusat fasilitas/pelayanan jasa keuangan di Asia - maka
dapat ditentukan prasarana-sarana pendukung yang dibutuhkan serta penataan
ruangnya. Penentuan sistim hirarki pusat kegiatan beserta prasarana- sarana
penunjangnya menyangkut aspek fungsi dan spatial, dalam arti kota yang
bersangkutan mungkin merupakan orde yang lebih rendah dari kota lain,
tetapi kota
25.25. 25 tersebut juga merupakan orde yang lebih tinggi dari wilayah
belakangnya - desa atau kota lebih kecil lainnya Dalam era globalisasi
termasuk cepatnya perkembangan teknologi informasi, pada satu sisi
keknatan global (global forces) menuntut kota untuk memperhatikan pasar
global/nasional/regional/lokal agar output/produk/fasilitas/jasa pelayanan
kota kom- petitif. Pada sisi lain, tekanan lokal (local pressures) juga makin
besar, dengan kemudahan informasi maka kesenjangan antara satu wilayah
dengan wilayah lain langsung terasa darnpaknya. Dengan tingginya
keanekaragaman satu wilayah dengan wilayah lainnya di Indonesia, maka
dituntut kepekaan terhadap kondisi lokal dari berbagai wilayah/kota terkait.
Pembangunan kota ditujukan tidak hanya untuk kesejahteraan masyarakat
kota secara keseluruhan, tetapi juga untuk elemen-elemen dari masyarakat
kota. Untuk ini dituntut pembangunan yang berkelanjutan dalam bidang
sosial-budaya-politik (sustainable socially-culturally-politically).
Pembangunan ini memungkinkan kota menjadi tidak saja lokasi yang ideal
untuk bekerja, tempat tinggal, berekreasi, bela- jar, dan seterusnya; tapi
fasilitas dan pelayanan yang tersedia tersebut terutama harus terjangkau serta
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan berbagai latar belakang sosial
ekonomi - seperti kaya - miskin, tua - muda, laki - perempuan, pendatang -
lokal, berbagai etnik dan sebagainya (city for all). Pusat-pusat permu- kiman
yang mencerminkan budaya suatu etnik tertentu harus dimungkinkan untuk
memperkaya terwujudnya "kota untuk semua" tersebut. Untuk tercapainya
prinsip kota untuk semua lapisan masyarakat tersebut, maka konsep
kemajemukan serta keterpaduan seperti penerapan pola "1 : 3 : 6" tidak saja
diterapkan untuk perumahan, tapi juga untuk berbagai fasilitas-pelayanan
pendukungnya (ruang usaha untuk sektor formal dan informal, transportasi
untuk berbagai pengguna, keamanan untuk semua, kesehatan, pendidikan, dan
seterusnya); demikian juga dibutuhkan berbagai ragam serta penyebaran
ruang publik sebagai perekat masyarakat dengan berbagai latar belakang
sosial-ekonomi tersebut - misal lapangan olah raga serta ruang publik lain
yang memungkinkan berbagai lapisan masyarakat bertemu dan berhubungan
(misalnya hilangnya ruang publik merupakan salah satu faktor penyebab
maraknya tawuran pelajar) Akhirnya, pembangunan kota yang berkelanjutan
di atas tidak saja untuk kesejah- teraan generasi yang ada, tetapi juga harus
mampu menjamin kesejahteraan generasi mendatang. Daya dukung
lingkungan merupakan pertimbangan utama dalam pengelolaan
pembangunan kota, hingga lingkungan/fisik terkelola dengan baik untuk
kesejahteraan generasi mendatang (sustainable environmentally). Daya
dukung lingkungan/fisik ini tidak saja harus ditelaah dari segi makro
(misalnya lewat Amdal Regional) tetapi juga memperhatikan segi mikro,
misal iklim mikro dan kestabilan air tanah yang tercipta oleh adanya hutan
kota beserta kolam-kolamnya. Dampak lingkungan makro dapat meliputi
skala regional atau nasional serta untuk beberapa kasus bahkan dampak
terhadap negara tetangga dalam skala global. Pembangunan berkelanjutan
dalam bidang lins!kungan/fisik juga menyangkut upaya pengurangan polusi
serta penghematan energi, misal dalam bentuk pembangunan kota "bebas"
transportasi, dalam arti pusat-pusat kegiatan dibangun dengan kepadatan
tinggi untuk berbagai guna lahan - hingga masyarakat dapat memenuhi
hampir semua kebutuhan di tempat tanpa harus melakukan perjalanan ke
lokasi lain, demikian pula sistim transportasi kota dibangun berbasis angkutan
umum. Perlu dicatat bahwa sejarah kota juga harus dilestarikan untuk generasi
mendatang,
26.26. 26 misal dalam bentuk perlakuan khusus terhadap bangunan serta
kawasan yang mempunysi nilai budaya/sejarah Selanjutnya terwujudnya
aspek kesejahteraan ekonomi, keadilan, keamanan, keten- teraman,
kenyamanan dan sebagainya - tidak saja untuk kota yang bersangkutan - tapi
juga harus tercermin dalam hubungan yang saling menguntungkan antara kota
yang bersangkutan dengan kota atau wilayah sekitarnya dalam tingkat
nasional keharmonisan/sinergi hubungan antarkota/wilayah tersebut
merupakan perekat kesatuan dan persatuan bangsa. Dalam tingkat global,
hubungan tersebut menjadikan kota kompetitif secara global. Untuk
mewujudkan pembangunan kota berkelanjutan dalam bidang ekonomi sosial
budaya-politik, dan lingkungan tersebut, manajemen kota masa depan
melibatkan berbagai proses yang tidak saja melibatkan manajer profesional
tetapi juga para pengambil keputusan lainnya. 3. Manajeman Pembangunan
Kota Masa Depan Secara umum manajemen merupakan suatu proses yang
dapat dibedakan atas tahap : Perencanaan, Pelaksanaan, Pengendalian,
Umpan balik. Proses ini melibatkan manaier profesional dengan latar
belakang berbagai disiplin ilmu. Dibutuhkan kerjasama/komunikasi multi
disiplin yang terpadu baik intra tahap (komunikasi horizontal) maupun
antartahap (komunikasi vertikal). Manajemen pembangunan kota merupakan
pengelolaan barang publik yang tidak saja melibatkan para manajer
profesional, tetapi terutama para pengambil keputusan publik yang
melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan seperti pihak pemerintah,
dunia usaha, dan masyarakat. Keterlibatan pengambil keputusan ini juga dapat
dibedakan atas tahap : Perencanaan, Pelaksanaan, Pengendalian, dan
Umpan balik. Proses komunikasi berbagai pihak terkait ini juga melibatkan
keterpaduan intra tahap maupun antartahap. Selanjutnya dibutuhkan proses
komunikasi antara pihak manajer profesional dengan pihak pengambil
keputusan. Dibutuhkan proses komunikasi intra tahap antara kedua proses ini,
yakni keterpaduan tahap perencanaan antara pihak manajer profesional
dengan pihak pengambil keputusan, demikian pula untuk tahap pelaksanaan,
pengendalian, dan umpan balik Sebagaimana dinyatakan sebelumnya,
pembangunan kota mencakup aspek spasial yang mungkin melibatkan lebih
dari satu daerah otonom - Pemerintah Daerah kota dengan Pemerintah Daerah
kota/kabupaten/provinsi atau Pemerintah Pusat. Dibu- tuhkan proses
komunikasi antardaerah otonom maupun dengan pusat (horizontal, top-down,
bottom-up). Makin besar suatu kota, makin kompleks pula permasalahan
27.27. 27 serta makin beraneka-ragam pula stakeholder yang terlibat, baik dari
sektor pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat
lokal/regional/nasional/global. Dibutuhkan proses komunikasi kemitraan
antarberbagai pelaku ini. Berbagai proses komunikasi di atas merupakan hal
yang kritis, tautama dengan ma- sih sangat lemahnya sistim kelembagaan
yang ada. Misal belum tersedianya pe- rangkat legal yang menyeluruh (mulai
dari hukum adat sampai hukum inter- nasional), belum siapnya lembaga
dengan sumberdaya manusianya, serta masalah pendanaan dengan
sumberdaya yang terbatas. Untuk ini dibutuhkan penyiapan suatu prakondisi
dalam manajemen pembangunan kota masa depan tersebut. Prakondisi yang
dibutuhkan meliputi tiga hal : a. Adanya dukungan politik dan komitmen dari
pelaku terkait, b. Dukungan sumberdaya (legal, organisasi/SDM, dana), c.
Kepemimpinan/leadership). Butir (a) dapat dipenuhi melalui berbagai proses
komunikasi sebagaimana diuraikan di atas. Pemenuhan keseluruhan
prakondisi ini diharapkan dapat menuju terwu- judnya kepemerintahan yang
baik (good governance participation, transparency, accountability, equity,
responsiveness, dan lain-lain.) 4. Penutup Kondisi sosial-ekonomi-budaya-
fisik serta kelembagaan kota-kota di Indonesia sangat beraneka ragam.
Demikian pula dengan permasalahan serta tantangan dan kesempatan yang
dihadapi kota-kota pada masa mendatang. Di satu sisi dibutuhkan kepekaan
terhadap tekanan lokal (local pressures), di lain sisi diperlukan untuk
memperhatikan kekuatan global (global-forces) agar kota menjadi kompetitif.
Pembangunan kota tidak saja ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masya- rakat kota secara keseluruhan, tetapi juga untuk berbagai elemen dari
masyarakat dengan latar belakang yang berbeda, dan juga untuk masyarakat
generasi mendatang. Untuk ini pembangunan kota harus berkelanjutan dalarn
aspek ekonomi, sosial-budaya-politik, dan lingkungan. Kota juga tidak berdiri
sendiri tetapi terkait dengan wilayah sekitar, untuk ini dibutuhkan
keterpaduan pembangunan secara spasial. Selanjutnya pembangunan ini
mungkin juga menyangkut beberapa daerah dengan wewenang otonomi yang
berbeda. Dibutuhkan keterpaduan antarberbagai wewenang terkait, misal
Pemerintah Daerah kota dengan Pemerintah Daerah kota lain/kabupaten
provinsi ataupun Pemerintah Pusat. Akhirnya manajemen pembangunan kota
masa depan juga harus memadukan ber- bagai proses komunikasi baik intra
maupun antartahap (perencanaan - pelaksanaan pengendalian - umpan balik)
yang menyangkut proses komunikasi antarmanajer profesional, para
pengambil keputusan, maupun antara pihak profesional dengan pengambil
keputusan. Dengan kelemahan sistim kelembagaan yang ada, dibu- tuhkan
persiapan prakondisi seperti : a. Dukungan politik dan komitmen dari berbagai
pihak terkait, b. Dukungan sumberdaya (legal, organisasi/SDM/dana), c.
Kepemimpinan.
28.28. 28 Kesemuanya diharapkan akan menciptakan sistim kepemerintahan
yang baik (good governance) dalam manajemen pembangunan kota masa
depan. 5. Kepustakaan Terbatas a. Kusbiantoro, BS (1993), "Manajemen
Perkotaan Indonesia", Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Edisi Khusus,
Februari b. Kusbiantoro, BS (1995a), "Manajemen Strategis Perkotaan",
Jurnal Perencanaan Wilayah dan kota, No. 10, Juni c. Kusbiantoro, BS
(1995b), "The Role of Local Government in Achieving Sustainable
Development In the New era of APEC", paper presented at international
Conference on the Role of Local Government in Implementing APEC
Declaration, IULA Asia Pacific, Jakarta, 25-28 September d. Kusbiantoro, BS
(1996a), "Urban Mass Transit Planning and Management : some basic
concepts", paper presented as expert from the 3rd world country at Seminar
on Urban Mass transit, J1CA FACTS University of the Philippines, Manila,
18-22 March e. Kusbiantoro, BS (1996b), "Transportation Problem in Rapidly
New Town Development Area", paper presented at the 4th PRSCO Summer
Institute of RSAI, Tsukuba, 7-8 May f. Kusblantoro, BS (Marc), "Urban
Development issues : Indonesia", paper prepared for UMP-Asia Regional
Network of Expert Meeting, UMP-AsiaJAIM, Manila, 25-26 November g.
Kusbiantoro, BS (1997a), "Some Notes on Urban Management and Edu-
cation : a case of Indonesia", paper presented at APEC/JNU Conference on
Academic Cooperation in the Asia-Pacific, Monbusho/APEC-JC/UNU-IAS,
Tokyo, 24-25 March h. Kusbiantoro, BS (1997b), "Mengelola Kota Masa
Depan : Tantangan den Alternatif Pemecahannya", makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Membangun Wajah Perkotaan Abad XXI, PWI,
Magelang, 1 Nopember i. Kusbiantoro, BS (1998a), "Evaluasi Kebijakan Tata
Ruang : beberapa catatan", makalah disampaikan dalam Diskusi Panel
Evaluasi Kebijakan Tata Ruang dan Lingkungan", Universitas Trisakti,
Jakarta, 8 Agustus j. Kusbiantoro, BS (l 998b), "Transportation Problems in
Jabotabek" , in R Cervero and J. Mason eds., Transportation in Developing
Countries Conference Proceedings, Institute of Urban and Regional
Development, University of California at Berkeley, Working Paper 98-07,
September k. Kusbiantoro, BS (lgg8c), Mendorong Partisipasi Masyarakat
dan Pemanfaatan Bantuan Luar Negeri dalam Pembangunan Perkotaan",
makalah disampaikan dalam Lokakarya Kerjasama Kota Kembar dan
Program Kota-Kota Asia., Deplu, Bandung, 19-20 Oktober l. Kusbiantoro, BS
(1999a), "Perencanaan den Perijinan Pembangunan dalam Rangka
Peremajaan Kota : Aspek Prasarana dan Sarana", makalah disam- paikan
dalam Lokakarya Pengembangan Konsepsi Dasar Metodologi/Pro- sedur
Perencanaan dan Perijinan Pembangunan dalam Rangka Peremajaan Kota,
DTK DKI Jakarta, Jakarta, 4 Maret m. Kusbiantoro, BS (1999b), "Konsep
Ideal Perencanaan Tata Ruang Kasus Indonesia", UNISBA, Bandung, 7
September n. Oetomo, A. and BS Kusbiantoro (1998), "Improving Urban
Land Management in Indonesia", in J.H. Ansari and N.V. Einsidel Eds, Urban
Land Management, Oxford dan IBH Publishing Co. PVT. LTD
29.29. 29 o. Soegijoko, B.T.S. and BS Kusbiantoro (1993), "Capacity Building
for Urban Management : case study in Indonesia", paper presented at
Workshop on Ca- pacity Building for Urban Management, UMP-Asia,
KualaLumpur, 3-8 October p. Soegijoko, B.T.S. and BS Kusbiantoro (1996),
"Globalization and Megacity Development in Pacific Asia : the case of
Jabotabek, Indonesia", paper presented at Workshop on Mega-city, Hong
Kong and Tokyo, 13-25 October q. Soegijoko, B.T.S. den BS Kusbiantoro
eds. (1997), Bunga Rampai Peren- canaan Pembangunan di Indonesia, PT
Grarnedia Widasarana Indonesia r. Soegijoko, B.T.S. and BS Kusbiantoro
(1998), "Globalization and the Sustainability of Jabotabek-Indonesia-, paper
presented at Conference on Globalization and the Sustainability of Cities in
the Asian Pacific Region, UNU- IAS/UBC, Vancouver, 24-26 June
30.30. 30 5.Kebijakan Nasional Perkotaan Dalam Memasuki Milenium Ketiga
Oleh : Budhy Tjahjati S. Soegijoko 1. Pendahuluan Memasuki milenium
ketiga, dengan ikut sertanya Indonesia ke dalam berbagai kesepakatan global
maka kota-kota di Indonesia dituntut untuk mempersiapkan diri dalam
menangkap peluang dan mampu mengantisipasi tantangan yang akan
dihadapi. Globalisasi meningkatkan peluang investasi, inovasi, dan
implementasi teknologi tetapi di lain pihak menuntut ketersediaan prasarana,
sarana, dan fasilitas pelayanan, serta sumber daya manusia yang terampil dan
berkeahlian, sesuai dengan standar global; ketersediaan perangkat peraturan
yang konsisten, yang didukung oleh kepemerintahan yang handal (good
governance). Selain itu, berkembangnya 'global com-mons', yaitu
meningkatnya kepedulian akan lingkungan menuntut agar kota dapat
melaksanakan pembangunan secara berwawasan lingkungan. Kota-kota
dituntut un-tuk mampu bersaing secara kompetitif dengan negara-negara lain
di dunia, baik sebagai tempat investasi maupun sebagai kota yang layak huni
(livable) bagi warga masyarakatnya. Situasi perekonomian dunia telah
mengalami perubah-an diiringi dengan kemajuan teknologi di bidang
informasi, komunikasi, dan trans-portasi telah memungkinkan arus barang,
jasa serta modal bergerak dengan cepat dan dengan biaya yang murah. Hal ini
semakin mendekatkan 'jarak' antara kota-kota di dunia, sehingga batasan
ruang secara fisik dalam suatu negara menjadi kurang berarti bagi proses
produksi. Dalam proses globalisasi ekonomi, kota-kota merupakan lokasi atau
tempat ber- langsungnya proses tersebut. Kota-kota utama memiliki peranan
strategis sebagai pusat 'perintah' dan 'kontrol' dari kegiatan-kegiatan ekonomi,
khususnya leading industries, seperti perdagangan, perbankan, jasa dan
berbagai inovasi produksi lainnya. Saat ini kota-kota di Asia-Pasifik sedang
berkompetisi untuk dapat menarik investasi dari perusahaan multinasional
yang berasal dari negara-negara maju, sehingga kota-kota semakin memiliki
dimensi yang luas, tidak saja dipandang sebagai lokasi dari kegiatan-kegiatan
sosial ekonomi dan pelayanan, namun juga merupakan bagian dari kegiatan
produksi dan jaringan konsumsi yang lebih luas atau global production
network. Selain telah terjadi perkembangan teknologi yang semakin
mendekatkan 'jarak' antarkota-kota di dunia, ternyata kota-kota masih terus
akan mengalami proses urbanisasi yang terus meningkat. Berdasarkan
Statistik Kependudukan (UN, 1990) menunjukkan bahwa rasio penduduk
perkotaan di dunia pada tahun 1990 mengalami kenaikan dari 29,1 % pada
tahun 1950, meningkat menjadi sekitar 51,1% pada tahun 2000, dan 64,6%
pada tahun 2025. Artinya lebih dari separuh penduduk dunia akan tinggal di
perkotaan pada awal abad ke-21. Tingkat urbanisasi tersebut berbeda-beda,
yaitu untuk negara maju sekitar 72,7% sedangkan untuk negara berkembang
sebesar
31.31. 31 37,1%. Dari sini dapat dilihat bahwa fenomena perkembangan
penduduk di wilayah perkotaan merupakan suatu isu yang masih dihadapi
oleh semua negara di dunia. Pesatnya perkembangan kota terjadi di negara-
negara Asia, yakni dengan munculnya beberapa 'mega-cities' yang
berkembang cepat sebagai pusat perdagangan dan jasa serta tumbuhnya
bangunan berlantai banyak. Diperkirakan pada tahun 2010, sebanyak 30 kota
di Asia akan memiliki jumiah penduduk lebih di atas 5 juta jiwa, bandingkan
dengan Amerika Serikat hanya 2 kota serta Eropa hanya terdapat 6 kota. Kota
Shanghai dan Bombay akan memiliki jumlah penduduk 20 juta jiwa lebih,
sedangkan Kota Bei-jing, Dhaka, Jakarta, Manila, Tianjin, Calcutta, dan New
Delhi akan memiliki jumlah penduduk lebih dari 15 juta jiwa (Badhsah,
1996). Selain memberikan keuntungan positif, perkembangan kota-kota di
dunia juga mem- berikan tantangan dan permasalahan yang lebih berat di
masa depan, antara lain : Proses globalisasi menyebabkan terjadinya
perubahan dalam pola spasial kota, di mana tumbuh dan berkembangnya
kawasan industri, perumahan, perdagangan yang memanfaatkan lahan,
sehingga terjadi konversi dari lahan pertanian ke lahan nonpertanian.
Pembangunan yang terjadi seringkali tidak dilkuti dengan kesiapan dan
dukungan infrastruktur yang memadai, sehingga pada akhirnya dapat
menurunkan kualitas lingkungan yang ada. Proses urbanisasi menyebabkan
ketidaksiapan kota untuk menampung arus perpindahan penduduk, sehingga
sarana dan prasarana sosial ekonomi yang ada tidak cukup memadai.
Akibatnya muncul permasalahan lain di kota-kota seperti kemiskinan dan
kekumuhan, yang berpotensi menimbulkan gangguan sosial dan
ketidakstabilan politik. Seringkali kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan tanpa memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Tentunya baberapa butir permasalahan di atas, hanyalah sebagian dari perma-
salahan yang dihadapi kota-kota di milenium ketiga nanti. 2. Kondisi
Perkotaan di Indonesia Perkembangan perkotaan Indonesia yang terjadi
dalam era globalisasi ini adalah akibat dari terjadinya transformasi struktural
yang meliputi transformasi demografi dan sosial ekonomi masyarakat
Indonesia yang mengarah pada kehidupan perkotaan. Pada dasarnya wilayah
perkotaan dipandang sebagai lokasi yang paling efisien dan efektif untuk
kegiatan-kegiatan produktif sehubungan dengan ketersediaan sarana dan
prasarana, tenaga kerja terampil, tersedianya dana sebagai modal, dan
sebagainya. Bila usaha diversifikasi ekonomi kota semakin dipacu, peranan
kota akan semakin meningkat pula dan urbanisasi merupakan suatu
konsekuensi yang perlu dihadapi. Di satu pihak, kota akan semakin dituntut
agar dapat berfungsi secara lebih efisien, namun di lain pihak, jumiah
penduduk yang semakin meningkat serta mun-culnya permasalahan-
permasalahan perkotaan lainnya yang semakin rumit dan kompleks, tidak
dapat dihindari. Daerah perkotaan di Indonesia telah berkembang sangat pesat
dalam dekade terakhir. Jumiah penduduk perkotaan meningkat dengan laju
5,5% per tahun dalam kurun waktu 1980-1990, jauh lebih tinggi dari rata-rata
pertumbuhan penduduk nasional yang hanya 1,97% per tahun. Kondisi
tersebut telah mengakibatkan
32.32. 32 semakin meningkatnya proporsi penduduk yang tinggal di daerah
perkotaan, yaitu dari 32,8 juta jiwa atau 22% dari total penduduk pada tahun
1980 menjadi sekitar 65 juta jiwa atau 35% pada tahun 1993. Diperkirakan
jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2018 (akhir Era Reformasi) akan
mencapai sekitar 260 juta orang dengan asumsi bahwa kita berhasil
menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari 1,7% pada tahun 1992 menjadi
kurang dari 0,9% pada tahun 2018 (akhir Era Reformasi), di mana penduduk
perkotaan akan berjumlah sekitar 155 juta atau hampir 60% dari jumiah
penduduk. Dilihat dari besaran kota, kota-kota metropolitan dan kota-kota
besar akan menjadi tempat tinggal bagi sebagian besar penduduk perkotaan.
Perkiraan pada tahun 2018 penduduk perkotaan akan terdistribusi sekitar 38%
di kota metropolitan, 13% di kota-kota besar, 20% di kota-kota sedang, dan
28% di kota-kota kecil. Melihat hal tersebut maka perhatian perlu diberikan
tidak hanya pada kota-kota metropolitan dan besar, tetapi juga sedang dan
kecil agar tercapai perkembangan perkotaan yang seimbang. Berkembangnya
kota-kota di Indonesia sebagai bagian dari kota-kota global telah rnemacu
peningkatan kegiatan pembangunan kota dalam bentuk-bentuk pemba-
ngunan baru yang berskala besar seperti pembangunan gedung-gedung
multifungsi, superblok yang menggabungkan tempat untuk perkantoran, pusat
perdagangan, dan apartemen beserta berbagai fasilitas penunjang lainnya. Hal
ini merupakan tantangan untuk menyesuaikan perkembangan tersebut dengan
potensi sumberdaya dan daya dukung lingkungannya. Selain itu juga perlu
diwaspadai agar jangan sampai kehadiran gedung-gedung tersebut
menyebabkan semakin sengsaranya rakyat kecil yang kondisinya serba
marjinal dan menimbulkan degradasi lingkungan, sehingga kota-kota
berkurang kenyamanannya. Dalam lingkup yang lebih luas, perkembangan
wilayah perkotaan (umumnya kota besar) ditandai dengan tumbuh dan
berkembangnya daerah pinggiran kota dalam bentak kawasan perumahan
skala besar, kawasan industri, kawasan rekreasi dan lainnya. Pertumbuhan ini
seringkali tidak terkendali, sehingga berdampak pada terjadinya alih fungsi
lahan pertanian ke lahan nonpertanian dalam skala yang besar. Selain itu,
perkembangan kota-kota besar juga ditandai oleh berlangsungnya perge-
seran fungsi kota inti, dari pusat kegiatan manufaktur menjadi Pusat kegiatan
jasa- jasa dan keuangan. Sementara kegiatan industri manufaktur bergeser ke
daerah pinggiran kota. Kawasan pusat kota mengalami perubahan
penggunaan lahan yang sangat cepat, terutama pada kawasan perumahan yang
seringkali berubah menjadi fungsi lain. Perkembangan kota-kota besar di
Indonesia pada umumnya memiliki pola perkembangan yang melebar
membentuk urban sprawl, sehingga sangat sulit untuk dilayani oleh sistem
transportasi massal yang efisien. Tingkat ketergantungan kepada kendaraaan
pribadi masih tinggi. Di lain pihak, kota-kota di Indonesia masih dihadapkan
pada berbagai permasa- lahan yang secara langsung berpengaruh pada upaya
perwujudan kota sebagai- mana yang diharapkan dalam milenium ketiga
nantinya. Dalam lingkup internal, kota dihadapkan pada permasalahan
urbanisasi, penyediaan lapangan kerja, konflik pemanfaatan ruang,
permukiman kumuh, dan sebagainya. Sedangkan dalam lingkup eksternal
terdapat permasalahan seperti kesenjangan antara desa dengan kota,
antarkota, dan antargolongan di dalam kota.
33.33. 33 Permasalahan di daerah perkotaan tersebut semakin berat, terutama
dengan terjadinya krisis ekonomi yang telah berlangsung sejak pertengahan
tahun 1997, di antaranya adalah : Berkurangnya kesempatan kerja secara
drastis yang berakhir pada mening- katnya angka pengangguran,
Berkurangnya ketersediaan dana pemerintah untuk membangun/memelihara
prasarana dan sarana perkotaan, Berkurangnya daya beli masyarakat,
Meningkatnya jumlah masyarakat miskin di perkotaan, serta Semakin
menurunnya kualitas lingkungan di perkotaan. Tantangan lain yang akan
dihadapi oleh kota-kota di masa depan adalah dengan di- berlakukannya
kebijakan desentralisasi pembangunan pada pemerintah kabupa- ten/kota,
sesuai dengan Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerin- tahan
Daerah. Pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan yang penuh dalam
melaksanakan dan mengelola pembangunan di daerah. Pengelolaan
pembangunan di kota-kota menjadi tanggung jawab dari pemerintah daerah,
dari perencanaan sampai dengan pengendalian pembangunannya. Demikian
juga sumber pendana- annya, merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.
3. Harapan bagi Kota-Kota dalam Memasuki Milenium Ketiga Seperti telah
disebutkan di atas bahwa kota sebagai pusat kegiatan ekonomi mau- pun
sosial budaya masyarakat harus dapat menampung tumbuhnya kegiatan pere-
konomian. Di sisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
pesat, memberikan tantangan dan permasalahan bagi kota-kota, di mana selain
harus bisa berkompetisi dalam tingkat internasional kota-kota tersebut harus
tetap mampu menjaga sebagai tempat tinggal yang layak bagi warga kotanya,
sekaligus mewujudkan upaya pembangunan kota yang berkelanjutan. Di
samping itu, perlu diperhatikan bahwa suatu kota juga harus memiliki peranan
bagi wilayah sekitarnya (regional), nasional, dan internasional, sejalan dengan
makin menguatnya keterkaitan kota-kota di dunia. Oleh karena itu,
pengelolaan perkotaan hendaknya tidak saja mempertimbangkan fungsi
internal, melainkan juga memperhatikan fungsi eksternal dari kota tersebut.
Suatu kota mempunyai fungsi sosial ekonomi untuk melayani kegiatan sosial
dan kegiatan ekonomi di dalam kota maupun untuk wilayah sekitarnya. Oleh
sebab itu, kota dapat berfungsi sebagai tempat : Jasa ekonomi, yaitu sebagai
pusat pelayanan kegiatan keuangan; pusat pe- ngolahan/pengumpul barang
dan pusat simpul transportasi; Jasa pemerintahan, yaitu sebagai pusat jasa
pelayanan pemerintahan; dan Jasa sosial, yaitu sebagai pusat pendidikan,
pusat pelayanan kesehatan, pusat budaya, dan sebagainya. Pengelolaan
pembangunan perkotaan berperan dalam mengoptimalkan kegiatan dan
tingkat pelayanan sesuai dengan fungsi-fungsi tersebut. Semakin optimalnya
kegiatan dan tingkat pelayanan akan semakin memantapkan fungsi kota, yang
selanjutnya akan memantapkan sistem kota. Hal ini perlu didukung pula oleh
pemerintahan yang dapat mewujudkan fungsi dan pelayanan kota.
34.34. 34 Dalam kaitannya dengan kebijakan desentralisasi, maka kota-kota di
Indonesia sebaiknya mengembangkan potensi yang dimiliki dan menjaga
karakateristik atau ciri dari kota-kota tersebut. Pengembangan potensi daerah
sesuai dengan sumber daya yang dimiliki serta memanfaatkan kemampuan
lokal dalam mengolahnya. Begitu juga dalam keterkaitan global (global
linkages), kota-kota di Indonesia harus siap untuk dapat bersaing dengan kota-
kota di seluruh dunia. Keunggulan komparatif yang dulu kita manfaatkan
harus dirubah dengan mengedepankan keunggulan kompetitif (competitive
advantages). Dalam memasuki milenium ketiga, kota-kota akan memiliki
peran dan fungsi yang strategis, tidak hanya dalam tingkat nasional bahkan
dalam tingkat kota-kota di dunia. Kota-kota di satu pihak akan tetap menjadi
Pusat-pusat kegiatan atau pusat- pusat pelayanan, karena pertimbangan skala
ekonomi. Di lain pihak diharapkan kawasan perkotaan dapat memberikan
kehidupan yang layak bagi para penghuni kota. Dengan demikian dalam
memasuki milenium ketiga diharapkan kota-kota di Indonesia dapat : a.
Pertama, menjamin kesejahteraan (welfare) bagi para penduduknya, sehingga
dapat tinggal dan memenuhi kebutuhan hidupnya di dalam kota tersebut.
Untuk itu dibutuhkan penciptaan lapangan kerja untuk memberikan
kesejahteraan secara ekonomi bagi penduduk, penyediaan prasana dan sarana
yang memadai, serta memberikan perlindungan dan rasa aman. b. Kedua,
mengarahkan terwujudnya kota yang tumbuh sehat dan berkelanjutan, yang
menggalakkan kegiatan ekonomi dan memperluas lapangan kerja namun tetap
menjamin keseimbangan ekologis, serta mengupayakan pemerataan akses
terhadap sumberdaya perkotaan. c. Ketiga, menjamin kota berfungsi secara
efisien dan efektif, didukung dengan kertesediaan sarana dan prasarana yang
memadai. Diharapkan telah tersedia rencana tata ruang kota yang jelas,
dinamis dan transparan yang dijadikan sebagai acuan program pembangunan
serta diukung oleh sistem informasi yang mudah diakses masyarakat. Di
samping itu dibutuhkan kelembagaan yang mantap yang dapat citizen
friendly, yaitu accesible dan dapat mengejawan-tahkan aspirasi masyarakat
kota. Pendekatan pemba-ngunan tidak dapat lagi dilaksanakan secara sektoral
tetapi seyogyanya dilaksanakan secara simultan dengan pendekatan
multisektoral. d. Keempat, menjamin kelestarian lingkungan dan kenyamanan
(livability) kota bagi para penghuninya. Kota dituntut untuk dapat
melaksanakan kegiatan pembangunan berwawasan lingkungan yang
mengarah pada terwujudnya kota yang livable, yaitu kota yang benar-benar
layak huni bagi warganya sekaligus berdaya saing tinggi secara global.
Dengan masuknya kota-kota di Indonesia dalam sistem kota-kota dunia maka
berarti kota-kota di Indonesia harus mampu bersaing dengan negara lain, baik
dari segi efisiensinya mau- pun sebagai lingkungan tempat tinggal yang aman,
nyaman, dan berbudaya. Dalam rangka membuat kota-kota tersebut menjadi
livable perlu diingat hal berikut ini "religion makes life tranquil, science
makes life easy, and art makes life beautiful." e. Kelima, mewujudkan kohesi
sosial (social cohesion) serta rasa cinta dan ke- bersamaan memiliki kota oleh
semua lapisan masyarakat. Untuk itu se-
35.35. 35 yogyanya mulai dikembangkan penataan ruang kota yang dapat
menga- komodasikan kegiatan dan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat.
Kemudian menciptakan ruang kota yang memungkinkan interaksi bersama
antarlapisan masyarakat. Kohesi sosial ini antara lain juga dapat dicapai
dengan menyediakan pelayanan kota (urban services) yang sesuai dan
terjangkau seluruh lapisan masyarakat di kota itu. f. Keenam, melaksanakan
fungsi-fungsi untuk kepentingan nasional. Di masa mendatang, pada waktu
pembangunan perkotaan telah sepenuhnya menjadi tanggung jawab
pemerintahan daerah, perlu diingat bahwa kota-kota tersebut tetap
mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk kepentingan nasional. Pe-
merintah daerah perlu menyadari ini. Dengan semakin terbukanya hubungan
kota-kota di dunia diharapkan kota-kota di Indonesia dapat berfungsi sebagai
pusat produksi dan kegiatan perekonomian nasional; sebagai pusat komuni-
kasi dan transportasi nasional dan internasional; dan sebagai pusat perda-
gangan internasional/nasional. Untuk itu dibutuhkan dukungan sarana dan
prasarana untuk menunjang kegiatan tersebut dan pendanaan bagi pemba-
ngunannya, di samping pengelolaannya secara efektif dan efisien. Ini perlu
kemitraan dan pembagian peranan serta tanggung jawab (role sharing) antara
para stakeholder. Di masa datang dalam menghadapi milenium Ketiga, selain
kota-kota harus dapat berkompetisi dalam skala nasional dan internasional,
tetapi harus tetap membenahi diri agar lebih nyaman (llivable) dan layak
sebagai tempat tinggal bagi warganya serta menjaga kelestarian
lingkungannya. Hal ini merupakan tugas dari para penge- lola kota (urban
manager), agar kota dapat berfungsi dengan baik, berkembang
perekonomiannya, sehingga terwujud pembangunan kota yang berkelanjutan
(sustainable development). 4. Kebijakan Nasional Perkotaan dalam
Memasuki Milenium Ketiga Dengan memperhatikan pokok-pokok
permasalahan, tantangan, dan permasalahan yang dihadapi, serta harapan
yang diharapkan sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dengan demikian
kebijakan nasional perkotaan dalam memasuki milenium ketiga hendaknya
mencakup aspek-aspek sebagai berikut : a. Desentralisasi dan Otonomi
Daerah Dalam rangka mendukung pelaksanaan desentralisasi dalam
pembangunan perkotaan dengan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab,
maka kebijakan pembangunan perkotaan yang diterapkan dapat :
Meningkatkan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam
menyusun, melaksanakan dan mengendalikan kegiatan perkotaan,
Meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola pemba-
ngunan perkotaan. Selain itu, peran pemerintah daerah dalam pengelolaan
perkotaan akan lebih berat menghadapi tantangan globalisasi. Untuk
menghadapi persaingan antarkota di tingkat nasional dan internasional, maka
kebijaksanaan nasional perkotaan hendaknya diarahkan agar kota-kota di
Indonesia dapat mengem- bangkan segala potensi dan sumberdaya yang
dimiliki, sesuai dengan karak-
36.36. 36 teristik yang dimilikinya dalam skala lokal, regional, nasional dan
memper- hatikan keterkaitannya dalam sistem perkotaan global. b. Peran
Serta Masyarakat dan Dunia Usaha Dengan semakin meningkatnya peran
serta masyarakat dalarn pembangun- an, maka kebijakan perkotaan perlu
ditekankan pada upaya untuk membina, meningkatkan, dan memantapkan
peran pemerintah sebagai pemberdaya (enabler) untuk mendorong peran serta
masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan; menciptakan
iklim yang kondusif bagi peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam
pembangunan, serta meningkatkan kemitraan antara pemerintah, masyarakat,
dan dunia usaha. Berdasarkan arahan tersebut, maka kebijakan perkotaan
diharapkan dapat : Terkoordinasinya pengembangan peran serta masyarakat
dan dunia usaha dalam perencanaan, peraturan, prosedur dan mekanisme kerja
instansi Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; Terwujudnya
mekanisme dan kelembagaan secara berkelanjutan yang dapat
mengakomodasikan dan menggali potensi serta kebutuhan masyarakat dan
dunia usaha; dan Terciptanya pola-pola kerjasama antara pemerintah,
masyarakat, dan du- nia usaha dalam kegiatan ekonomi, penyediaan dan
pengelolaan peru- mahan, prasarana, sarana kota, serta pengelolaan tanah dan
lingkungan. c. Peningkatan Pelayanan Kebutuhan Fisik, Sosial, Ekonomi
Untuk meningkatkan kemampuan dan produktivitas kota perlu dilakukan
peningkatan pembangunan prasarana dan sarana, baik prasarana fisik, sosial,
maupun ekonomi. Selain itu pembangunan prasarana dan sarana kota perlu
dilakukan secara terpadu sesuai dengan rencana tata ruang kota. Beberapa
arahan kebijakan yang diperlukan adalah sebagai berikut : Meningkatkan
kualitas lingkungan hidup yang meliputi fisik, sosial dan budaya masyarakat
perkotaan; Meningkatkan akses masyarakat perkotaan terhadap kebutuhan
prasa- rana dan sarana fisik, sosial, dan ekonomi terutama bagi masyarakat
berpendapatan rendah; dan Meningkatkan peluang dan lapangan kerja bagi
seluruh lapisan masyara- kat terutama dalam rangka pemerataan dan
pengentasan masyarakat dari kemiskinan. d. Pembangunan Perkotaan yang
Semakin Efisien dan Berwawasan Lingkungan Dalam lingkup kota,
seyogyanya kebijakan nasional perkotaan dapat menja- min kesejahteraan
bagi warganya dan menjaga keserasian lingkungan serta kenyamanan
(livability) bagi penduduknya melalui pembangunan perkotaan yang semakin
efisien dan berwawasan lingkungan. Penataan aspek fisik dilakukan melalui
penataan aspek hukum guna men- jamin keberlanjutan pembangunan, yang
meliputi :
37.37. 37 Meningkatkan efisiensi pemanfaatan tanah, air, dan energi yang
tidak merusak lingkungan; Menetapkan dan menerapkan baku mutu
lingkungan; Menetapkan dan memasyarakatkan peraturan pengendalian
pencemaran; Melembagakan pembangunan perkotaan yang mengacu pada
rencana tata ruang kota yang berkualitas dan operasional; serta
Mengendalikan peruntukan tanah sesuai dengan daya dukung lingkungan
rnelalui tertib adrninistrasi pertanahan. e. Pelembagaan Pengelolaan
Pembangunan Perkotaan Terencana dan Terpadu Pembangunan perkotaan
perlu dilakukan secara terencana dan terpadu dengan mempertimbangkan
aspek keterpaduan tata ruang, keterpaduan an- tarsektor, keterpaduan
antaraktor, maupun keterpaduan antarsumber-sumber pembiayaannya.
Usaha-usaha untuk memadu-kan pembangunan perkotaan antara lain telah
dilakukan melalui pendekatan pembangunan prasarana kota terpadu. f.
Pengembangan Konsep "City Marketing" Sebagai Pendekatan Pembangunan
Kota di Masa Datang Dalam memasuki milenium ketiga di mana per-saingan
antarkota semakin terbuka serta adanya peningkatan peran serta masyarakat,
maka sa-lah satu pendekatan yang dapat dikembangkan pada kawasan
perkotaan adalah konsep city marketing'. Pendekatan tersebut berkembang
dengan adanya perubahan peran pemerintah dalam pembangunan (enabler),
serta meningkatnya peran serta masyarakat, termasuk dalam kegiatan
investasi pembangunan. Pendekatan perencanaan kota yang berorientasi pasar
(market-oriented urban planning) menekankan pada pendekatan perencanaan
yang bero- rientasi pada sisi permintaan (demand-side), yakni menekankan
pada ke- butuhan dan keinginan dari pengguna langsung (potential and actual
users). Berbagai kegiatan perkotaan, misalnya dalam bidang perumahan,
daerah komersial, ketenagakerjaan, rekreasi, dan lain-lain, dapat
dikembangkan berdasarkan pendekatan kebutuhan pasar yang ada.
Pendekatan market-oriented-planning merupakan reaksi terhadap pendekatan
perencanaan yang bersifat blue-print-oriented, terutama berkaitan dengan
proses pengambilan keputusan dalam pembangunan. Satu hal yang menarik
dari pendekatan marketing-oriented, yaitu tidak diarahkan untuk secara lang-
sung dapat diimplementasikan, tetapi lebih diarahkan untuk dapat merang-
sang keterlibatan berbagai kelompok sosial dalam proses perencanaan
pembangunan. Perencanaan yang dihasilkan lebih berorientasi pada tindakan
(action-oriented), tidak hanya mengorganisasikan dan menyusun strategi
penataan ruang, tetapi juga menghasilkan strategi dalam mernpromosikan
kota tersebut. Kemitraan antarpemerintah, swasta, dan masyarakat dapat
diwujudkan dalam pendekatan ini. Untuk mengembangkan pendekatan yang
berorientasi pasar tersebut, kebijakan perkotaan dapat diarahkan sebagai
berikut :
38.38. 38 Penyediaan sistem informasi yang lengkap berkaitan dengan kondisi
dan prospek pengembangan kawasan kota/wilayah, sehingga memberikan
image yang kuat bagi calon investor. Penyediaan stimulus-stimulus melalui
pembangunan dan peningkatan komponen-komponen yang dibutuhkan dalam
pengembangan kegiatan ekonomi dan pembangunan infrastruktur
lingkungan. Pengaturan dan kontrol pembangunan untuk mencegah
rusaknya fungsi- fungsi perkotaan dalam jangka panjang, akibat dari
penggunaan sumber- daya penting yang salah dalam jangka pendek.
Pengaturan sistem dalam kota berdasarkan kepentingan kelompok- kelompok
sosial, baik yang memiliki posisi yang kuat dalam pasar ekonomi maupun
kelompok yang sangat lemah dalam pasar ekonomi. Pengaturan
pembangunan dalam suatu tujuan jangka panjang, yang juga termasuk dalam
proses pasar.
Recommended

Anda mungkin juga menyukai