Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apabila salah satu atau kedua anggota gerak bawah mengalami gangguan
hingga mengalami amputasi, maka hal tersebut dapat mengganggu aktifitas
atau kegiatan sehari-hari. Ketiadaan alat gerak bawah atau tungkai kaki masih
dibagi menjadi enam bagian meliputi ketiadaan tungkai kaki tepat panggul
(hip disarticulation amputation), ketiadaan tungkai atas lutut (above-knee
amputation), ketiadaan tungkai tepat lutut (knee disarticulation amputation),
ketiadaan tungkai bawah lutut (below-knee amputation), ketiadaan tungkai
tepat ankle (ankle disarticulation amputation), dan ketiadaan foot (syme
amputation) (Handicap International, 2006).
Penyebab amputasi ada berbagai macam, hal ini tergantung pada bagian
tubuh yang diamputasi. Cedera parah atau penyakit terkadang dapat merusak
bagian-bagian tubuh yang tidak dapat melakukan regenerasi atau pemulihan.
Ketika jaringan tubuh mati, infeksi akan masuk ke dalam dan menyebar ke
bagian tubuh lain. Penyebab utama dari kematian jaringan yang mengarah ke
infeksi adalah kurangnya aliran darah. Darah membawa nutrisi penting dan
oksigen ke sel-sel individual yang membentuk jaringan tubuh Anda. Ketika
penyakit atau cedera merusak pembuluh darah di luar perbaikan, jaringan yang
dipasok oleh pembuluh darah akan mati, dan infeksi berbahaya dapat masuk
ke dalam. Ketika tidak ada harapan bahwa jaringan rusak atau terinfeksi dapat
dikembalikan dalam keadaan sehat, amputasi dilakukan untuk melindungi sisa
tubuh dari penyebaran infeksi (Rudystina, 2017)
Penggunaan prosthetic kaki bawah lutut adalah untuk menyeimbangkan
tubuh amputee saat berjalan. Pengguna prosthetic pada umumnya tidak dapat
berjalan normal, sehingga aspek biomekanika sangat berperan dalam mengkaji
apakah pola berjalan pasien telah menyerupai pola berjalan normalnya
(Radcliffe and Foort, 1961).
Dua macam prosthesis kaki yang ada saat ini adalah prosthetic
eksoskeletal dan endoskeletal. Prosthetic eksoskeletal, umumnya dikonstruksi
dari alumunium rigid yang kemudian dilapisi GRP (glass reinforce plastic)
atau resin sehingga menyerupai bentuk kaki aslinya. Bagian foot dari
prosthetic eksoskeletal terbuat dari kayu yang ditempelkan pada material
karet. Prosthetic eksoskeletal memiliki strap untuk mengaitkan prosthetic
dengan bagian stump (bagian segmen tubuh sisa dari amputasi), tetapi tidak
terdapat komponen pengganti pergelangan kaki (ankle joint) sehingga pada
saat pengguna berjalan, kaki prosthetic tidak fleksibel. Sedangkan konstruksi
prosthetic endoskeletal umumnya menggunakan iv metal pylon yang ringan
untuk menghubungkan foot (kaki) ke socket. Sehingga prosthetic endoskeletal
memiliki kemampuan menopang beban tubuh lebih besar dan lebih kuat
dibanding prosthetic eksoskeletal (Wibowo, 2010).
Pada dasarnya, satu siklus berjalan terdiri dari dua kelompok yaitu fase
berdiri (stance phase) dimana 60% dari siklus kaki kontak dengan tanah dan
fase berayun (swing phase) dimana 40% kaki berayun di udara (Franken,
2005). Dua kelompok pada satu siklus berjalan terbagi menjadi delapan fase,
fase berdiri terdiri dari initial contact, loading response, mid-stance, dan
terminal stance, sedangkan fase berayun terdiri dari fase pre-swing, initial
swing, mid-swing, dan terminal swing (Whittel, 2007). Ketika berjalan, energi
disimpan saat stance phase dan dilepaskan pada posisi swing phase.
Kemampuan menyimpan energi penting untuk menyediakan gaya yang cukup
bagi keseluruhan kaki untuk bergerak secara keseluruhan (May, 2002).
Menurut data Rumah Sakit Orthopedi Prof. Dr. Soeharso Surakarta
tahun 2007, Kasus ketiadaan alat gerak bawah yang paling sering terjadi di
Indonesia adalah kasus ketiadaan tungkai kaki bawah lutut dengan persentase
sebesar 55% dari keseluruhan kasus ketiadaan alat gerak bawah. Berdasarkan
uraian tersebut di atas, penulis tertarik dengan hubungan prosthesis dengan
kecepatan berjalan. Maka dari itu penulis akan mengangkat topik di atas
dalam bentuk penelitian dan memaparkanya dalam bentuk skripsi dengan
judul pengaruh berat prosthesis terhadap kecepatan berjalan pada pasien
transtibial amputasi.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut : Adakah pengaruh berat prosthesis terhadap
kecepatan berjalan pada pasien transtibial amputasi di Rumah Sakit Orthopedi
Prof. Dr. Soeharso?

C. Tujuan
Tujuan penelitian ini yakni mengetahui pengaruh berat prosthesis terhadap
kecepatan berjalan pada pasien transtibial amputasi dan menambah wawasan.

D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Manfaat dari penelitian ini bagi peneliti antara lain :
a. menambah khasanah ilmu pengtahuan dan wawasan khususnya dalam
membuat suatu penelitian dan analisa kasus.
b. Memberi pengetahuan dan penjelasan tentang pengaruh berat
prosthesis terhadap kecepatan berjalan pada pasien transtibial
amputasi.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi ilmiah
yang dapat menambah pengertian kepada mahasiswa dan praktisi ortotik
prostetik tentang manfaat mengetahui pengaruh berat prosthesis terhadap
kecepatan berjalan pada pasien transtibial amputasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Transtibial Prosthesis
a. Pengertian
Prosthetic adalah alat ganti anggota gerak tubuh yang tidak ada.
Anggota gerak tubuh terdiri dari anggota gerak atas yaitu lengan dan
tangan serta anggota gerak bawah yaitu kaki. Ketiadaan alat gerak
dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu amputasi dan defisiensi bawaan.
Amputasi adalah pemotongan bagian tubuh karena masalah tertentu
seperti misalnya penyakit, trauma atau kecelakaan dan tumor.
Defisiensi bawaan adalah ketiadaan bagian tubuh sejak lahir.
Sedangkan transtibial adalah amputasi pada tungkai bawah /
bawah lutut yaitu pada tulang tibia dan fibula. Jadi Transtibial
prosthesis adalah alat ganti anggota gerak tubuh tepatnya pada
tungkai bawah atau bawah lutut.
b. Komponen pada transtibial prosthesis
1) Foot Ankle
Kaki prosthetic harus terlihat baik dan dapat bergerak semirip
mungkin seperti kaki sesungguhnya. Ada banyak desain
kaki, ada yang sederhana dan ada pula yang kompleks.
Komponen telapak kaki prosthetic mempunyai beberapa tipe,
antara lain adalah sebagai berikut:
a) SACH (Solid Ankle Cushioned Heel) Foot
SACH adalah kaki yang paling banyak digunakan di
dunia. Kaki ini berfungsi baik, ringan dan sangat kuat.
Bagian-bagiannya tidak ada yang bergerak dan awet. Kaki
yang dipakai oleh Handicap International di Kamboja
adalah SACH foot. Kaki seperti ini cukup baik
kualitasnya, murah dan dapat dibuat dari karet pada negara-
negara berkembang.
b) Single axis foot
Desain lama single axis foot kini jarang digunakan.
Sendi pergelangan kaki terbuat dari logam, meniru gerak
pergelangan kaki sesunggunhnya, meski tidak dapat
melakukan gerak inversion/eversion. Plantarflexion bumper
meredam goncangan akibat gerak tumit. Jari-jari elastis
memungkinkan gerakan mendorong. Gerak pergelangan
kaki memungkinkan perputaran/roll over menjadi semakin
mudah.
c) Multi-axis foot
Seperti namanya, multi-axis foot dapat digerakkan
secara bebas. Multi-axis foot dapat bergerak dengan mudah
secara plantar flexion. Gerak kaki ini dikendalikan oleh
ring karet / rubber ring di sekitar sendi bola / ball joint.
Saat kaki bergerak, ring ditekan. Resistensi kaki untuk
bergerak juga dapat disesuaikan dengan kondisi pasien
dengan kelenturan bumper karet yang sesuai. Kaki ini
banyak digunakan pada kaki endoskeletal. Kaki ini bergerak
seperti kaki asli, tapi tidak stabil pada posisi berdiri.
Kelemahan lainnya adalah bahwa kaki ini berat.Bufferring
dari karet dapat rusak dengan cepat, sehingga kaki ini
kurang cocok untuk kondisi basah maupun kering dan
berdebu.
d) Energy recovery foot
Kaki jenis ini lebih tepat untuk pasien amputasi yang
mampu berjalan/berlari sangat cepat.Beban pada kaki
bertambah tiga kali lipat ketika berlari. Kaki memiliki tumit
elastis yang kuat untuk meredam beban waktu berlari dan jari
elastis yang kuat yang memberi energi dorong yang
dibutuhkan untuk berlari. Pada tipe ini, energi yang diserap
dari tekanan tumit dilepaskan melalui gerak jari kaki, untuk
menciptakan energi dorong.
2) Shank
Shank memiliki fungsi menjaga kaki. Socket pada posisi
seharusnyamentransfer berat badan pasien dari socket ke kaki,
membuat kaki terlihat lebih baik (cosmetik).Komponen betis
(body shank) dapat terbuat dari berbagai bahan, tergantung dari
metode yang digunakan dalam pembuatan suatu prosthetic,
apakah menggunakan metode endoskeletal atau metode
eksoskeletal.
Apabila pembuatan prosthetic tersebut menggunakan metode
eksoskeletal maka bahan yang digunakan adalah kayu dan
aluminium, sedangkan metode endoskeletal maka bahan yang
dapat digunakan adalah pylon tube.
3) Socket
Socket merupakan bagian dari prostheticberfungsi
menahan stumppengguna.Socket didesain untuk mentransfer
berat badan pasien melalui prosthetic ke tanah dengan nyaman.
Socket transtibial memiliki beberapa tipe. Beberapa di antaranya
memiliki nama yang berbeda meski mempunyai arti yang
sama,seperti beberapa contoh sebagai berikut :
a) Socket patellar tendon-bearing disebut sebagai socket PTB.
b) Socket supracondylar disebut socket PTB-SC. Juga, disebut
singkatan bahasa Jermannya yaitu socket KBM (Kondylen-
Bettung Munster).
c) Socket supracondylar suprapatellar disebut sebagai PTB-SCSP
socket. Sering disebut dalam singkatan bahasa Prancisnya yaitu
socket PTS (Prostesis Tibiale Supracondylienen).

2. Anthropometri Data Biomekanika


Menurut Frankel dan Nordin (1980), biomekanika secara
umum didefinisikan sebagai ilmu yang menggunakan konsep fisika
dan teknik untuk menjelaskan gerakan pada tubuh manusia dan gaya
yang bekerja pada bagian tubuh tersebut pada aktivitas sehari-hari.
Anatomi tubuh manusia terdiri dari segmen tubuh yang
dihubungkan oleh persendian. Analisis biomekanika digunakan untuk
memodelkan manusia dalam suatu sistem benda jamak yang
tersusun dari link (penghubung) dan joint(sambungan). Link
mewakili segmen tubuh dan joint menggambarkan sendi sebagai
penghubung tiap segmen tubuh. Menurut Chaffin dkk. (1999), tubuh
manusia terdiri dari enam link, sebagai berikut:

a. Link lengan bawah yang dibatasi oleh joint telapak tangan dan siku.
b. Link lengan atas yang dibatasi oleh joint siku dan bahu.
c. Link punggung yang dibatasi oleh joint bahu dan pinggul.
d. Link paha yang dibatasi oleh joint pinggul dan lutut.
e. Link betis yang dibatasi oleh joint lutut dan mata kaki.
f. Link kaki yang dibatasi oleh joint mata kaki dan telapak kaki.

Menurut Chaffin et al. (1999), anthropometri merupakan


ilmu yang berhubungan dengan pengukuran massa, bentuk, ukuran
dan inersial tubuh manusia. Hasil dari pengukuran ini berupa data
statistik yang menggambarkan ukuran, massa dan bentuk tubuh
manusia. Data anthropometri merupakan fundamen dasar
biomekanika yang digunakan untuk membangun model
biomekanika yang mengkaji kekuatan dan gaya pada tubuh manusia.
Pengukuran anthropometri segmen tubuh manusia disetarakan
dengan model benda jamak. Panjang setiap link diukur berdasarkan
persentase tertentu dari tinggi badan, sedangkan beratnya diukur
berdasarkan persentase dari berat badan. Penentuan center of mass tiap
link didasarkan pada persentase standar yang diadaptasi dari penelitian
Dempster (1955) seperti digambarkan pada gambar 2.11. Panjang
link tiap segmen berotasi di sekitar sambungan dan mekanika terjadi
mengikuti hukum Newton. Prinsip-prinsip ini digunakan untuk
menyatakan gaya mekanik pada tubuh dan gaya otot yang diperlukan
untuk mengimbangi gaya-gaya yang terjadi.
Gambar 2.1 Permodelan titik-titik pusat massa dempster
Sumber: Chaffin DB, et al, 1999

Pada penetuan massa tiap segmen, tubuh manusia digambarkan


sebagai stick diagram seperti pada pemodelan Dempters (1955).
Persentase massa segmen tubuh ditentukan berdasarkan pemodelan
distribusi berat tubuh (Webb Associaties, 1978).

Tabel 2.1 Pemodelan distribusi berat badan


3. Kecepatan Berjalan
a. Definisi
Berjalan adalah bentuk gerak dimana pusat grafitasi tubuh
bergerak secara bergantian pada sisi kanan dan kiri pada setiap waktu
setidaknya satu kaki bersentuhan dengan lantai (stance phase) dan fase
mengayun (sswing phase) (Boulic, 2012).
Kecepatan berjalan adalah alat ukur untuk klinisi yang dapat
memprediksi status kesehatan di masa depan dalam berbagai populasi.
Kecepatan jalan juga dapat membantu terapis dan dokter untuk
memprediksi hasil rehabilitasi (Goldie, 1996).
Suatu cara sederhana untuk mengukur kecepatan rata-rata,
panjang langkah dan untuk menghitung banyaknya langkah yang
dilakukan pada waktu subjek berjalan keseberang suatu jarak yang
diukur paling sedikit 15 meter (Lehmkuhl, 1996).
Kecepatan berjalan adalah tes praktis yang hanya membutuhkan
waktu beberapa menit untuk menyelesaikan dan menggunakan
peralatan seperti stopwatch dan lintasan jalan. siklus berjalan terdiri
dari dua kelompok yaitu fase berdiri (stance phase) dimana 60% dari
siklus kaki kontak dengan tanah dan fase berayun (swing phase)
dimana 40% kaki berayun di udara (Franken, 2005). Dua kelompok
pada satu siklus berjalan terbagi menjadi delapan fase, fase berdiri
terdiri dari initial contact, loading response, mid-stance, dan terminal
stance, sedangkan fase berayun terdiri dari fase pre-swing, initial
swing, mid-swing, dan terminal swing (Whittel, 2007).

b. Pola jalan normal


terdiri dari dua kelompok yaitu fase berdiri (stance phase) dimana 60%
dari siklus kaki kontak dengan tanah dan fase berayun (swing phase)
dimana 40% kaki berayun di udara.

Gambar 2.2 Fase berdiri dan berayun


Sumber: Staff Prosthetics and Orthotics, 1990

Fase-fase berjalan :
1) Tahap heel strike
Dapat dicatat bahwa gerakan sendi lutut mencapai
extensi maksimal ketika sebelum kontak tumit dan periode dari
fleksibilitas lutut yang telah terjadi dimana berlanjut menjadi
tahap cara berdiri. Penurunan pada tingkat extensi lutut ini di
akhir tahap mengayun, persiapan pada kaki sebelum membuat
kontak dengan lantai, tergantung pada gerakan dari kelompok
otot-otot hamstring seperti yang terlihat pada kurva aktivitas
otot. Kelompok otot hamstring mengikat sampai panggul
bagian belakang pada persendian dan sampai tibia dan fibula
di bawah sendi lutut. Tensi atau tekanan dalam kelompok
hamstring dapat menyebabkan ekstensi pangkal paha,
fleksibilitas lutut atau keduanya secara berurutan.
2) Tahap pendek setelah heel strike
Ketika tumit membuat kontak, gerakan otot
hamstring cenderung memberikan kekuatan ke belakang
sehingga terjadi kontak dengan lantai. Lutut bergerak dengan
cepat selama tahap ini. Aktivitas dalam kelompok otot hamstring
ini terus berlanjut tetapi dengan besaran yang terus menurun
sedangkan gerakan otot quadriceps mulai terjadi dengan cepat.
Kelompok otot quadriceps bergerak ke depan sendi otot dan
kelompok otot pretibial bergerak sekitar persendian,
menjalankan fungsi interaksi lutut dan menjadi efek dari gerakan
lembut dari kaki depan ke lantai. Fungsi utama dari lutut dan
sendi selama kontak tumit adalah penyerapan goncangan
kontak tumit dan menjaga langkah lembut dari pusat
gravitasi dari keseluruhan tubuh. Studi energi menunjukkan
bahwa lutut dan sendi memberikan kontribuisi yang sama dalam
fungsi kontak tumit. Fungsi dari lutut sama dengan penyerapan
goncangan yang seringkali diabaikan.
3) Tahap mid-stance
Gerakan fleksibel lutut yang terkendali dari tahap kontak
tumit menjadi tahap midstance (antara kaki datar dan tumit
lepas). Sudut maksimal dari flexi lutut sekitar 20 derajat dan
muncul dalam bagian pertama tahap midstance. Ketika tubuh
bergerak melewati lutut yang stabil, bagian atas daya tolak dari
reaksi lantai bergerak ke depan pada sol dari kaki,
kemudian meningkat ke gerakan dorsifleksion pergelangan
kaki dan menyebabkan lutut memulai periode gerak extensi.
Pada periode ini, kendali pada kaki dilakukan melalui
interaksi sendi lutut, dengan aktivitas otot minimal dalam
kelompok yang berfungsi pada pangkal paha dan lutut.
Lutut mencapai posisi gerak extensi maksimalnya ketika
tumit meninggalkan tanah, dengan kelompok otot calf yang
memberikan ketahanan pada ekstensi lutut dan gerakan
dorsifleksi sendi. Ketika tumit menginggalkan tanah, lutut
memulai kembali periode flexinya, menghasilkan gerakan otot
utama dari sendi pangkal paha atau panggul. Urutsan dari kendali
gerakan fleksibel pada kontak tumit, menghasilkan perluasan
sedikit demi sedikit dalam tahap midstance dan gerakan flexi
yang terkendali sebagai persiapan untuk mengayun dalam
menyelesaikan gerakan lutut atau cara berjalan yang
menghemat energi pada orang normal.
4) Tahap push-off
Selama tahap push-off, lutut terbawa ke depan oleh gerakan
sendi panggul dan keseimbangan sensitif sehingga harus dijaga
agar terjadi interaksi pangkal paha, lutut, dan sendi pergelangan
kaki. Kombinasi gerak ini memiliki dua tujuan yaitu menjaga
gerakan halus ke depan dari tubuh secara keseluruhan dan
mengawali gerakan angular dalam mengayun.
Ketika lutut memulai gerak flexi, (sesaat sebelum tumit
meninggalkan tanah), otot lutut pertama harus menahan efek
eksternal dari kekuatan bola kaki yang melewati ruang di bagian
sendi lutut. Jadi, ketika lutut digerakkan ke depan oleh gerakan
sendi pangkal paha, lutut harus membalik tiap gerakan
untuk meberikan ketahanan yang terkendali pada fleksibilitas
dengan meningkatkan aktivitas otot quadriceps. Beberapa hal
yang bersifat tidak tetap pada aktivitas otot hamstring dicatat
sebagai antagonistik. Kelompok otot calf berlanjut
memberikan plantarlexion aktif selama tahap push-off. Pada
waktu jari kaki meninggalkan lantai, lutut telah bergerak
secara flexi dengan sudut 40 sampai 45 pada maksimum
65 yang mana tercapai pada tahap ayunan.
Perbaikan kaki prosthetic ke dalam fungsi yang normal
pada fase push-off sangat sulit dilakukan. Posisi lutut sangat
penting, sama seperti sumber aktif dari energi pergelangan kaki.
Karena kurangnya sumber aktif dari energi pergelangan kaki,
awalan dari gerak fleksi pada lutut pasien amputasi yang
memakai prosthetic harus berasal dari gerakan flexi pangkal
paha.
5) Tahap Aceleratioon (awal mengayun)
Tujuan keseluruhan dari fase mengayun adalah
mendapatkan kaki dari satu posisi ke posisi berikutnya dengan
gerakan yang lembut. Pada awal tahap ayunan, kaki harus
menyelesaikan periode peningkatan kecepatan dalam energi
geraknya yang disebabkan oleh gerakan ekstensi aktif dari
pergelangan kaki dan flexi dari pangkal paha selama tahap
push-off.
Lutut melakukan gerakan flexi dan berlanjut menjadi
menegang setelah jari kaki lepas dari pijakan. Selama
melakukan jalan cepat, dihasilkan gerakan flexi lutut yang
berlebih dan tumit meningkat tetapi hal ini tidak berlaku untuk
gerakan kelompok otot quadriceps dalam membatasi sudut flexi
lutut sekitar 65dan kemudian memulai gerakan extensi
lutut. Gerakan extensi lutut berlanjut sebagai hasil dari
kombinasi efek pendulum, dimana kecenderungan gerak
terdapat pada bagian shank, kaki dan otot. Gerakan kecil otot
quadricepsperlu karena faktor-faktor lainnya juga sama
pentingnya. Otot iliopsoa memberikan kontribusi dalam
mengembangkanflexi pangkal paha secara aktif yang mana
mendorong akselerasi lutut ke depan dan ke belakang.
6) Tahap mid-swing
Selama midswing, terdapat periode dimana aktivitas otot
minimal dan akselerasi kaki ke belakang dan ke depan
seperti pendulum dengan kekuatan gerakan yang disebut pivot
point
.
7) Tahap deceleration (akhir ayunan)
Pada akhir ayunan, tingkat dari extensi gerakan lutut
harus dikurangi dalam rangka untuk menurunkan kaki pada
awal kontak tumit. Penurunan akselerasi terminal ini pada
kaki normal untuk menahan gerakan extensi dari kelompok
otot hamstring.
Karakteristik jalan yang normal :
1) Vertical displacement of the COG = 5cm (diamati dari lateral)
2) Lateral displacement of the COG = 5cm (diamati dari A-P)
3) Pelvic deep = 5 (diamati dari A-P)
4) Pelvic rotation = 5 (diamati dari Proksimal)
5) Double Support = 10% (kedua kaki menumpu)
6) Timing = stance phase 60% swing phase 40%
7) Center of Gravity = pada saat berdiri letaknya 5cm di anterior
vertebra sacral kedua (pada pusar/Umbilicus)
8) Normal Cadence (irama normal) = antara 70-120 langkah per menit

c. Transtibial Amputee Gait


Menurut Oliveira et al. (2009), secara umum cara amputee
berjalan tidak efisien, hanya memanfaatkan 35% energi yang diambil
dan 65% energi hilang untuk menggerakkan otot yang tidak perlu.
Efisiensi gait berpengaruh pada kontraksi otot pada saat perpindahan
berat tubuh secara dinamis yang bersifat ritmik.
1) Prosthesis stance phase
Pasien memposisikan langkah dengan alat gerak yang
normal dibagian posterior untuk menahan berat badan. Pasien lalu
melakukan kombinasi pergerakan secara simultan,dimulai dengan
heel dan toe off dengan ekstensi pada panggul. Pergerakan ini
akan membantu mendorong tubuh kedepan dan pergeseran beban
ke prosthesis. Ekstensi panggul pada stump kemudian akan
mengontrol stabilitas prosthesis stance sehingga fleksi panggul
dapat mengakselarasi alat gerak yang tersisa kedalam swing
phase.
Pada tahap ini, beban ditanggung seluruhnya oleh
prosthesis, dan untuk mempertahankan stabilitas lutut hingga alat
gerak yang normal mencapai heel contact dan foot flat ( siap
untuk menerima beban), stump harus tetap mempertahankan
ekstensi panggul. Selama proses berjalan yang normal, otot-otot
ekstensor panggul bekerja paling aktif di permulaan dan di akhir
stance phase dan sedikit pada mid stance. Selama prosthesis gait ,
otot tersebut harus tetap aktif.
Setelah pasien mampu melakukan prosthesis swing dan
stance phase, latihan berjalan dapat dimulai dan latihan tahapan
individual diatas dihentikan. Latihan prosthesis gait pasien lalu
ditingkatkan dari parallel bars ke latihan berjalan dengan crutches
dan serta kemudian tanpa alat bantu sama sekali.

2) Prosthesis swing phase


Pasien harus memposisikan langkah pertama dengan
meletakkan prosthesis di posterior, menyokong berat badan.
Pasien lalu mencoba melakukan sejumlah pergerakan secara
simultan, dimulai dengan ekstensi panggul dari alat gerak yang
diamputasi.
Pergerakan ini akan menginisisasi prosthesis heel dan toe
off, akselerasi tubuh ke depan dan pergeseran berat kedepan ke
alat gerak normal. Hal ini akan menyebabkan fleksi panggul pada
stump hingga mengakselarasi prosthesis kedalam swing phase.
Fase swing akan berlanjut hingga prosthesis mencapai heel
contact dan foot flat. Prosthesis weight bearing lalu terjadi,
dengan ekstensi panggul pada stump akan menstabilkan
prosthesis.
d. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Berjalan
Factor-faktor yang mempengaruhi kecepatan berjalan menurut
Miler (2007) adalah usia, jenis kelamin, tinggi badan, dan berat
badan. Semakinbertambahnya usia seseorang, akan mempengaruhi
keseimbangan juga. Keseimbangan berjalan pada usia muda lebih
baik daripada usia tua. Dalam kecepatan berjalan perempuan lebih
lambat dari laki-laki. Pada orang-orang yang memiliki tubuh yang
pendek jangkauan dalam melangkah akan lebih pendek
dibandingkan dengan yang memiliki tubuh yang tinggi. Bagi orang-
orang yang memiliki kelebihan berat badan akan mempengaruhi
kecepatan berjalan dibandingkan dengan orang yang bertubuh
kurus.
Menurut Doewes (2002) kecepatan berjalan normal juga
dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain : (1) panjang tungkai,
orang yang memiliki tungkai panjang akan lebih jauh jangkauannya
dibandingkan dengan yang tungkainya lebih pendek. (2)
keseimbangan, apabila mengalami ganguan keseimbangan maka
akan berpengaruh terhadap kecepatan berjalan. (3) kekuatan otot,
orang yang mengalami penurunan kekuatan otot akan mengalami
penurunan dalam kecepatan berjalan, otot-otot tungkai yang
berperan besar dalam berjalan yaitu otot plantar fleksor
pergelangan kaki yang bekerja untuk mendorong kaki sehingga
menimbulkan gaya dorong ke depan sedangkan otot-otot pada
ekstensor lutut berperan sebagai stabilisasi pada saat menumpu.
Factor biomekanik berfungsi untuk stabilisasi pergerakan sendi
dalam kecepatan berjalan. Stabilisasi mempengaruhi dalam
kecepatan berjalan, persendian dan biomekanik pada otot memiliki
efek langsung terhadap kecepatan berjalan.

B. Penelitian Yang Relevan


1. Sorongan,Dkk. (2014) berjudul Hubungan Panjang Tungkai Dengan Kecepatan
Berjalan Pada Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Manado. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai bulan Desember 2012 di SMA
Negeri 6 Manado. Dengan desain cross sectional study. Populasi yang diambil
semua siswa SMA Negeri 6 Manado kelas 3 dengan jumlah Sampel 40 orang,
penentuan sampel dengan teknik random sampling dengan cara undian. Data
diperoleh dari hasil pengukuran panjang tungkai dan kecepatan berjalan yang
dilakukan oleh peneliti sendiri. Diperoleh panjang tungkai dengan nilai rata-rata
98 cm, standar deviasi 3,79608 cm, nilai minimum 90 cm dan maksimum 105 cm
sedangkan kecepatan berjalan diperoleh nilai rata-rata 1,2983 m/s, standar deviasi
0,14007 m/s, nilai minimum 1,06 m/s dan maksimum 1,93 m/s.
Kesimpulan,terdapat hubungan yang signifikan antara panjang tungkai dan
kecepatan berjalan dengan nilai analisis koefisien korelasi Pearson diperoleh
nilai r = 0,262 dengan p = 0,051 dengan arah korelasi positif.
2. Eshraghi, Dkk (2014) berjudul Gait Biomechanics of Individuals with
Transtibial Amputation: Effect of Suspension System. Menggunakan
design kasus control. Sampel yang diambil 15 Orang pengguna prosthesis
dengan teknik systematic sampling. Diperoleh data Gait biomekanik
secara signifikan dipengaruhi oleh suspensi. Perbedaan utama antara
sistem suspensi yang jelas dalam GRF (vertikal dan depan-belakang), lutut
dan pergelangan sudut kaki. Namun, tidak semua dari mereka yang
dianggap relevan secara klinis. Paling khusus, sudut pergelangan kaki
terutama dipengaruhi oleh jenis kaki palsu, bukan sistem suspensi. The
MPSS dapat mengurangi loading lebih sendi ekstremitas proksimal
dibandingkan dengan pin /sistem kunci. Pistoning juga secara signifikan
diubah oleh jenis sistem suspensi. The Seal-In kapal adalah yang paling
efektif Sistem suspensi dalam mengurangi gerakan vertikal selama tingkat
berjalan.
3. Primawati (2010) berjudul Kajian Fisiologi Tiga Desain Prosthetic Kaki
Bagian Bawah Lutut Pada Amputee Dibanding Orang Normal Dengan
Mempertimbangkan Nilai Basal Metabolic Rate. Dengan design case
control. Sampel yang diambil berjumlah 11 orang dengan 1 orang
amputasi dan 10 orang normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
desain prosthetic endoskeletal tipe Pengembangan memberikan hasil
%CVL sebesar 3.210.09% yang lebih rendah dibanding dua desain
prosthetic lainnya, sedangkan %CVL responden normal yaitu 3.140.57%.
Hasil pengukuran energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi
oksigen menunjukkan kestabilan garis yang mirip dengan responden
normal. Dimana nilai BMR amputee yaitu 1372 Kkal/hari, sedangkan nilai
BMR responden normal berkisar 14728.48 Kkal/hari dan keduanya
masuk dalam kategori BMI (Body Mass Index) yaitu langsing. Hal
tersebut menunjukkan bahwa desain prosthetic kaki bagian bawah lutut
terbaik dalam mengakomodasi aktivitas berjalan yaitu desain prosthetic
endoskeletal tipe pengembangan karena memberikan nilai pengukuran
fisiologi yang paling mendekati responden normal.

1. Kerangka Teori

AMPUTASI BAWAH LUTUT /


AMPUTASI TRANSTIBIAL

TRANSTIBIAL
PROSTHESIS

KOMPONEN YANG DIGUNAKAN :

FOOT : Shank : Socket :


1. Sach foot 1. Endoskeletal 1. PTB
2. Single axis 2. Exoskeletal 2. PTB-SC
foot
3. PTB-SCSP
3. Multi axis foot
4. Energi
recovery foot
FUNGSIONAL MOBILITAS
(KECEPATAN BERJALAN)

Faktor yang mempengaruhi


kecepatan berjalan :
Berjalan normal Berjalan cepat
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Tinggi badan
4. Berat badan Gambar 2.3 Kerangka teori

2. Kerangka Konsep

BERAT PROSTHESIS KECEPATAN BERJALAN

Faktor yang Faktor lain yang


mempengaruhi berat mempengaruhi kecepatan
prostesis : berdasarkan berjalan :
1. berat badan
komponen yang
2. tinggi badan
digunakan Gambar 2.4 Kerangka konsep
3. keseimbangan
3. Hipotesis
Ada pengaruh berat prosthesis terhadap kecepatan berjalan pada pasien
transtibial amputation.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Dan Design Penelitian
Pada Penelitian pengaruh berat prosthesis terhadap kecepatan berjalan
pada pasien transtibial amputasi ini peneliti menggunakan desain Cross
sectional yaitu pengambilan data pada waktu yang bersamaan. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari adanya pengaruh berat prosthesis terhadap
kecepatan berjalan pada pasien transtibial amputasi dengan cara mengamati
kecepatan jalan dalam jarak tertentu.

X 0 Y

Keterangan :
X = Pasien amputasi transtibial menggunakan prosthesis transtibial
0 = Perlakuan berupa menghitung berat prosthesis dan menghitung
kecepatan berjalan
Y = Hasil berat prosthesis dan kecepatan berjalan yang diperoleh

B. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di RS Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta
yang beralamatkan di Jl. Jend. Ahmad Yani, Pabelan, Kartasura, Kota
Surakarta, Jawa Tengah. Pada waktu bulan Mei 2017.

C. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau
subjek yang mempunyai kualitas dan karasteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulanya
( sugiyono, 2011). Populasi yang diambil peneliti adalah semua pasien
transtibial amputasi yang menggunakan prosthesis transtibial di RS
Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso yang bertempat tinggal di Solo.

2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi (sugiyono,2011). Peneliti mengambil sampel pasien
transtibial amputasi yang menggunakan prosthesis transtibial di RS
Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso yang bertempat tinggal di Solo. dengan
besar sampel ditentukan dengan simple random sampling yaitu sebanyak
20 orang.

D. Instrumen Penelitian
Untuk Instrumen atau alat yang digunakan untuk mengukur keceptan
berjalan adalah stopwatch dan meteran, sedangakn untuk mengukur berat
prosthesis menggunakan timbangan.

E. Variabel dan Definisi Operasional Variabel


1. Variabel Penelitian
a. Variabel Bebas / Independen
Yang termasuk variable bebas atau independen dalam penelitian ini
adalah berat prosthesis.
b. Variabel Terikat / Dependen
Yang termasuk variable terikat atau dependen dalam penelitian ini
adalah kecepatan berjalan.
2. Definisi Operasional Variabel
No Definisi variabel Skala data Alat ukur
1 Berat prosthesis : Ratio Timbangan
Merupakan keadaan /
kondisi gaya pada prosthesis
yang disebabkan oleh
grafitasi berkaitan dengan
masa benda tersebut.
2 Kecepatan berjalan : Ratio Stopwatch dan
Merupakan jarak yang meteran
ditempuh per-satuan waktu.

F. Prosedur Penelitian
1. Tahap persiapan
Pada tahap ini dialkukan (1) pengurusan ijin kepada pengelola RS
Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta.(2) Setelah mendapatkan ijin
dari pengelola peneliti mencari data tentang subyek yang akan dijadikan
sampel penelitian (3) Selanjutnya peneliti menghubungi setiap subyek
penelitian untuk diminta persetujuan nya dan menjelaskan secara singkat
maksud dan tujuan dari penelitian tersebut serta menentukan waktu
pengambialn data subyek penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan, setiap subyek yang sesuai dengan kriteria
inklusi dilakukan pengukuran kecepatan jalan sesuai dengan metode
pengukuran. Sebelum melakukan tes kecepatan berjalan subyek diukur
dulu berat prosthesis transtibial yang digunakan. Alat yang digunakan
untuk mengukur kecepatan berjalan antara lain : Stopwatch dan
meteran/papan ukur. Sedangkan untuk menukur berat prosthesis
digunakan alat ukur timbangan. Untuk prosedur test dijelaskan sebagai
berikut, awalnya subyek berdiri dititik A. Kemudian peneliti memberi
aba-aba untuk subyek berjalan lurus dari titik A menuju titik B dengan
jarak 6 meter.
Pengambilan sampel berdasarkan kriteria inklusi , diperoleh
sejumlah calon subyek penelitian yang mememnuhi syarat. Kepada
subyek penelitian ini diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan
penelitian ini. Semua calon subyek penelitian bersedia dengan suka rela
untuk menjadi subyek penalitian dengan cara mengisi lembar informed
consent.
3. Tahap pengolahan data
Setelah data penelitia terkumpul ,selanjutnya dilakukan edit dan
entry data. Pengelolaan data menggunakan fasilitas computer dengan
program SPSS.

G. Teknik Analisa Data


Data yang telah dikumpulkan dilakukan rekapitulasi, kemudian
dilakukan pengolahan data yang meliputi editing, koding, dan tabulating.
Sedangkan program yang dipakai dalam pengolahan dan analisis data adalah
software SPSS.
1. Analisis univarian
Merupakan analisis yang dilakukan menganalisis tiap variable
dari hasil penelitian. Digunakan untuk mengetahui karakteristik
responden, misalnya jenis kelamin, umur, pekerjaan, dll. Data
dianalisa menggunakan sttistik deskriptif. Juga untuk mencari mean,
maximum, minimum, dan standart deviasi.
2. Analisis bivarian
Digunakan untuk menguji hipotesis. Uji hipotesis digunakan
untuk mengetahui hipotesis diterima atau tidak. Jika data berdistribusi
normal maka menggunakan uji hipotesis Pearson Product Moment.
Penentuan menolak atau menerima hipotesa, didasarkan pada p value
yang Nampak pada ouput uji tersebut. Apabila p value < 0,05 maka
hipotesa diterima, atau sebaliknya. Apabila p value >0,05 maka
hipotesa ditolak.

Anda mungkin juga menyukai