PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apabila salah satu atau kedua anggota gerak bawah mengalami gangguan
hingga mengalami amputasi, maka hal tersebut dapat mengganggu aktifitas
atau kegiatan sehari-hari. Ketiadaan alat gerak bawah atau tungkai kaki masih
dibagi menjadi enam bagian meliputi ketiadaan tungkai kaki tepat panggul
(hip disarticulation amputation), ketiadaan tungkai atas lutut (above-knee
amputation), ketiadaan tungkai tepat lutut (knee disarticulation amputation),
ketiadaan tungkai bawah lutut (below-knee amputation), ketiadaan tungkai
tepat ankle (ankle disarticulation amputation), dan ketiadaan foot (syme
amputation) (Handicap International, 2006).
Penyebab amputasi ada berbagai macam, hal ini tergantung pada bagian
tubuh yang diamputasi. Cedera parah atau penyakit terkadang dapat merusak
bagian-bagian tubuh yang tidak dapat melakukan regenerasi atau pemulihan.
Ketika jaringan tubuh mati, infeksi akan masuk ke dalam dan menyebar ke
bagian tubuh lain. Penyebab utama dari kematian jaringan yang mengarah ke
infeksi adalah kurangnya aliran darah. Darah membawa nutrisi penting dan
oksigen ke sel-sel individual yang membentuk jaringan tubuh Anda. Ketika
penyakit atau cedera merusak pembuluh darah di luar perbaikan, jaringan yang
dipasok oleh pembuluh darah akan mati, dan infeksi berbahaya dapat masuk
ke dalam. Ketika tidak ada harapan bahwa jaringan rusak atau terinfeksi dapat
dikembalikan dalam keadaan sehat, amputasi dilakukan untuk melindungi sisa
tubuh dari penyebaran infeksi (Rudystina, 2017)
Penggunaan prosthetic kaki bawah lutut adalah untuk menyeimbangkan
tubuh amputee saat berjalan. Pengguna prosthetic pada umumnya tidak dapat
berjalan normal, sehingga aspek biomekanika sangat berperan dalam mengkaji
apakah pola berjalan pasien telah menyerupai pola berjalan normalnya
(Radcliffe and Foort, 1961).
Dua macam prosthesis kaki yang ada saat ini adalah prosthetic
eksoskeletal dan endoskeletal. Prosthetic eksoskeletal, umumnya dikonstruksi
dari alumunium rigid yang kemudian dilapisi GRP (glass reinforce plastic)
atau resin sehingga menyerupai bentuk kaki aslinya. Bagian foot dari
prosthetic eksoskeletal terbuat dari kayu yang ditempelkan pada material
karet. Prosthetic eksoskeletal memiliki strap untuk mengaitkan prosthetic
dengan bagian stump (bagian segmen tubuh sisa dari amputasi), tetapi tidak
terdapat komponen pengganti pergelangan kaki (ankle joint) sehingga pada
saat pengguna berjalan, kaki prosthetic tidak fleksibel. Sedangkan konstruksi
prosthetic endoskeletal umumnya menggunakan iv metal pylon yang ringan
untuk menghubungkan foot (kaki) ke socket. Sehingga prosthetic endoskeletal
memiliki kemampuan menopang beban tubuh lebih besar dan lebih kuat
dibanding prosthetic eksoskeletal (Wibowo, 2010).
Pada dasarnya, satu siklus berjalan terdiri dari dua kelompok yaitu fase
berdiri (stance phase) dimana 60% dari siklus kaki kontak dengan tanah dan
fase berayun (swing phase) dimana 40% kaki berayun di udara (Franken,
2005). Dua kelompok pada satu siklus berjalan terbagi menjadi delapan fase,
fase berdiri terdiri dari initial contact, loading response, mid-stance, dan
terminal stance, sedangkan fase berayun terdiri dari fase pre-swing, initial
swing, mid-swing, dan terminal swing (Whittel, 2007). Ketika berjalan, energi
disimpan saat stance phase dan dilepaskan pada posisi swing phase.
Kemampuan menyimpan energi penting untuk menyediakan gaya yang cukup
bagi keseluruhan kaki untuk bergerak secara keseluruhan (May, 2002).
Menurut data Rumah Sakit Orthopedi Prof. Dr. Soeharso Surakarta
tahun 2007, Kasus ketiadaan alat gerak bawah yang paling sering terjadi di
Indonesia adalah kasus ketiadaan tungkai kaki bawah lutut dengan persentase
sebesar 55% dari keseluruhan kasus ketiadaan alat gerak bawah. Berdasarkan
uraian tersebut di atas, penulis tertarik dengan hubungan prosthesis dengan
kecepatan berjalan. Maka dari itu penulis akan mengangkat topik di atas
dalam bentuk penelitian dan memaparkanya dalam bentuk skripsi dengan
judul pengaruh berat prosthesis terhadap kecepatan berjalan pada pasien
transtibial amputasi.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut : Adakah pengaruh berat prosthesis terhadap
kecepatan berjalan pada pasien transtibial amputasi di Rumah Sakit Orthopedi
Prof. Dr. Soeharso?
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini yakni mengetahui pengaruh berat prosthesis terhadap
kecepatan berjalan pada pasien transtibial amputasi dan menambah wawasan.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Manfaat dari penelitian ini bagi peneliti antara lain :
a. menambah khasanah ilmu pengtahuan dan wawasan khususnya dalam
membuat suatu penelitian dan analisa kasus.
b. Memberi pengetahuan dan penjelasan tentang pengaruh berat
prosthesis terhadap kecepatan berjalan pada pasien transtibial
amputasi.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi ilmiah
yang dapat menambah pengertian kepada mahasiswa dan praktisi ortotik
prostetik tentang manfaat mengetahui pengaruh berat prosthesis terhadap
kecepatan berjalan pada pasien transtibial amputasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Transtibial Prosthesis
a. Pengertian
Prosthetic adalah alat ganti anggota gerak tubuh yang tidak ada.
Anggota gerak tubuh terdiri dari anggota gerak atas yaitu lengan dan
tangan serta anggota gerak bawah yaitu kaki. Ketiadaan alat gerak
dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu amputasi dan defisiensi bawaan.
Amputasi adalah pemotongan bagian tubuh karena masalah tertentu
seperti misalnya penyakit, trauma atau kecelakaan dan tumor.
Defisiensi bawaan adalah ketiadaan bagian tubuh sejak lahir.
Sedangkan transtibial adalah amputasi pada tungkai bawah /
bawah lutut yaitu pada tulang tibia dan fibula. Jadi Transtibial
prosthesis adalah alat ganti anggota gerak tubuh tepatnya pada
tungkai bawah atau bawah lutut.
b. Komponen pada transtibial prosthesis
1) Foot Ankle
Kaki prosthetic harus terlihat baik dan dapat bergerak semirip
mungkin seperti kaki sesungguhnya. Ada banyak desain
kaki, ada yang sederhana dan ada pula yang kompleks.
Komponen telapak kaki prosthetic mempunyai beberapa tipe,
antara lain adalah sebagai berikut:
a) SACH (Solid Ankle Cushioned Heel) Foot
SACH adalah kaki yang paling banyak digunakan di
dunia. Kaki ini berfungsi baik, ringan dan sangat kuat.
Bagian-bagiannya tidak ada yang bergerak dan awet. Kaki
yang dipakai oleh Handicap International di Kamboja
adalah SACH foot. Kaki seperti ini cukup baik
kualitasnya, murah dan dapat dibuat dari karet pada negara-
negara berkembang.
b) Single axis foot
Desain lama single axis foot kini jarang digunakan.
Sendi pergelangan kaki terbuat dari logam, meniru gerak
pergelangan kaki sesunggunhnya, meski tidak dapat
melakukan gerak inversion/eversion. Plantarflexion bumper
meredam goncangan akibat gerak tumit. Jari-jari elastis
memungkinkan gerakan mendorong. Gerak pergelangan
kaki memungkinkan perputaran/roll over menjadi semakin
mudah.
c) Multi-axis foot
Seperti namanya, multi-axis foot dapat digerakkan
secara bebas. Multi-axis foot dapat bergerak dengan mudah
secara plantar flexion. Gerak kaki ini dikendalikan oleh
ring karet / rubber ring di sekitar sendi bola / ball joint.
Saat kaki bergerak, ring ditekan. Resistensi kaki untuk
bergerak juga dapat disesuaikan dengan kondisi pasien
dengan kelenturan bumper karet yang sesuai. Kaki ini
banyak digunakan pada kaki endoskeletal. Kaki ini bergerak
seperti kaki asli, tapi tidak stabil pada posisi berdiri.
Kelemahan lainnya adalah bahwa kaki ini berat.Bufferring
dari karet dapat rusak dengan cepat, sehingga kaki ini
kurang cocok untuk kondisi basah maupun kering dan
berdebu.
d) Energy recovery foot
Kaki jenis ini lebih tepat untuk pasien amputasi yang
mampu berjalan/berlari sangat cepat.Beban pada kaki
bertambah tiga kali lipat ketika berlari. Kaki memiliki tumit
elastis yang kuat untuk meredam beban waktu berlari dan jari
elastis yang kuat yang memberi energi dorong yang
dibutuhkan untuk berlari. Pada tipe ini, energi yang diserap
dari tekanan tumit dilepaskan melalui gerak jari kaki, untuk
menciptakan energi dorong.
2) Shank
Shank memiliki fungsi menjaga kaki. Socket pada posisi
seharusnyamentransfer berat badan pasien dari socket ke kaki,
membuat kaki terlihat lebih baik (cosmetik).Komponen betis
(body shank) dapat terbuat dari berbagai bahan, tergantung dari
metode yang digunakan dalam pembuatan suatu prosthetic,
apakah menggunakan metode endoskeletal atau metode
eksoskeletal.
Apabila pembuatan prosthetic tersebut menggunakan metode
eksoskeletal maka bahan yang digunakan adalah kayu dan
aluminium, sedangkan metode endoskeletal maka bahan yang
dapat digunakan adalah pylon tube.
3) Socket
Socket merupakan bagian dari prostheticberfungsi
menahan stumppengguna.Socket didesain untuk mentransfer
berat badan pasien melalui prosthetic ke tanah dengan nyaman.
Socket transtibial memiliki beberapa tipe. Beberapa di antaranya
memiliki nama yang berbeda meski mempunyai arti yang
sama,seperti beberapa contoh sebagai berikut :
a) Socket patellar tendon-bearing disebut sebagai socket PTB.
b) Socket supracondylar disebut socket PTB-SC. Juga, disebut
singkatan bahasa Jermannya yaitu socket KBM (Kondylen-
Bettung Munster).
c) Socket supracondylar suprapatellar disebut sebagai PTB-SCSP
socket. Sering disebut dalam singkatan bahasa Prancisnya yaitu
socket PTS (Prostesis Tibiale Supracondylienen).
a. Link lengan bawah yang dibatasi oleh joint telapak tangan dan siku.
b. Link lengan atas yang dibatasi oleh joint siku dan bahu.
c. Link punggung yang dibatasi oleh joint bahu dan pinggul.
d. Link paha yang dibatasi oleh joint pinggul dan lutut.
e. Link betis yang dibatasi oleh joint lutut dan mata kaki.
f. Link kaki yang dibatasi oleh joint mata kaki dan telapak kaki.
Fase-fase berjalan :
1) Tahap heel strike
Dapat dicatat bahwa gerakan sendi lutut mencapai
extensi maksimal ketika sebelum kontak tumit dan periode dari
fleksibilitas lutut yang telah terjadi dimana berlanjut menjadi
tahap cara berdiri. Penurunan pada tingkat extensi lutut ini di
akhir tahap mengayun, persiapan pada kaki sebelum membuat
kontak dengan lantai, tergantung pada gerakan dari kelompok
otot-otot hamstring seperti yang terlihat pada kurva aktivitas
otot. Kelompok otot hamstring mengikat sampai panggul
bagian belakang pada persendian dan sampai tibia dan fibula
di bawah sendi lutut. Tensi atau tekanan dalam kelompok
hamstring dapat menyebabkan ekstensi pangkal paha,
fleksibilitas lutut atau keduanya secara berurutan.
2) Tahap pendek setelah heel strike
Ketika tumit membuat kontak, gerakan otot
hamstring cenderung memberikan kekuatan ke belakang
sehingga terjadi kontak dengan lantai. Lutut bergerak dengan
cepat selama tahap ini. Aktivitas dalam kelompok otot hamstring
ini terus berlanjut tetapi dengan besaran yang terus menurun
sedangkan gerakan otot quadriceps mulai terjadi dengan cepat.
Kelompok otot quadriceps bergerak ke depan sendi otot dan
kelompok otot pretibial bergerak sekitar persendian,
menjalankan fungsi interaksi lutut dan menjadi efek dari gerakan
lembut dari kaki depan ke lantai. Fungsi utama dari lutut dan
sendi selama kontak tumit adalah penyerapan goncangan
kontak tumit dan menjaga langkah lembut dari pusat
gravitasi dari keseluruhan tubuh. Studi energi menunjukkan
bahwa lutut dan sendi memberikan kontribuisi yang sama dalam
fungsi kontak tumit. Fungsi dari lutut sama dengan penyerapan
goncangan yang seringkali diabaikan.
3) Tahap mid-stance
Gerakan fleksibel lutut yang terkendali dari tahap kontak
tumit menjadi tahap midstance (antara kaki datar dan tumit
lepas). Sudut maksimal dari flexi lutut sekitar 20 derajat dan
muncul dalam bagian pertama tahap midstance. Ketika tubuh
bergerak melewati lutut yang stabil, bagian atas daya tolak dari
reaksi lantai bergerak ke depan pada sol dari kaki,
kemudian meningkat ke gerakan dorsifleksion pergelangan
kaki dan menyebabkan lutut memulai periode gerak extensi.
Pada periode ini, kendali pada kaki dilakukan melalui
interaksi sendi lutut, dengan aktivitas otot minimal dalam
kelompok yang berfungsi pada pangkal paha dan lutut.
Lutut mencapai posisi gerak extensi maksimalnya ketika
tumit meninggalkan tanah, dengan kelompok otot calf yang
memberikan ketahanan pada ekstensi lutut dan gerakan
dorsifleksi sendi. Ketika tumit menginggalkan tanah, lutut
memulai kembali periode flexinya, menghasilkan gerakan otot
utama dari sendi pangkal paha atau panggul. Urutsan dari kendali
gerakan fleksibel pada kontak tumit, menghasilkan perluasan
sedikit demi sedikit dalam tahap midstance dan gerakan flexi
yang terkendali sebagai persiapan untuk mengayun dalam
menyelesaikan gerakan lutut atau cara berjalan yang
menghemat energi pada orang normal.
4) Tahap push-off
Selama tahap push-off, lutut terbawa ke depan oleh gerakan
sendi panggul dan keseimbangan sensitif sehingga harus dijaga
agar terjadi interaksi pangkal paha, lutut, dan sendi pergelangan
kaki. Kombinasi gerak ini memiliki dua tujuan yaitu menjaga
gerakan halus ke depan dari tubuh secara keseluruhan dan
mengawali gerakan angular dalam mengayun.
Ketika lutut memulai gerak flexi, (sesaat sebelum tumit
meninggalkan tanah), otot lutut pertama harus menahan efek
eksternal dari kekuatan bola kaki yang melewati ruang di bagian
sendi lutut. Jadi, ketika lutut digerakkan ke depan oleh gerakan
sendi pangkal paha, lutut harus membalik tiap gerakan
untuk meberikan ketahanan yang terkendali pada fleksibilitas
dengan meningkatkan aktivitas otot quadriceps. Beberapa hal
yang bersifat tidak tetap pada aktivitas otot hamstring dicatat
sebagai antagonistik. Kelompok otot calf berlanjut
memberikan plantarlexion aktif selama tahap push-off. Pada
waktu jari kaki meninggalkan lantai, lutut telah bergerak
secara flexi dengan sudut 40 sampai 45 pada maksimum
65 yang mana tercapai pada tahap ayunan.
Perbaikan kaki prosthetic ke dalam fungsi yang normal
pada fase push-off sangat sulit dilakukan. Posisi lutut sangat
penting, sama seperti sumber aktif dari energi pergelangan kaki.
Karena kurangnya sumber aktif dari energi pergelangan kaki,
awalan dari gerak fleksi pada lutut pasien amputasi yang
memakai prosthetic harus berasal dari gerakan flexi pangkal
paha.
5) Tahap Aceleratioon (awal mengayun)
Tujuan keseluruhan dari fase mengayun adalah
mendapatkan kaki dari satu posisi ke posisi berikutnya dengan
gerakan yang lembut. Pada awal tahap ayunan, kaki harus
menyelesaikan periode peningkatan kecepatan dalam energi
geraknya yang disebabkan oleh gerakan ekstensi aktif dari
pergelangan kaki dan flexi dari pangkal paha selama tahap
push-off.
Lutut melakukan gerakan flexi dan berlanjut menjadi
menegang setelah jari kaki lepas dari pijakan. Selama
melakukan jalan cepat, dihasilkan gerakan flexi lutut yang
berlebih dan tumit meningkat tetapi hal ini tidak berlaku untuk
gerakan kelompok otot quadriceps dalam membatasi sudut flexi
lutut sekitar 65dan kemudian memulai gerakan extensi
lutut. Gerakan extensi lutut berlanjut sebagai hasil dari
kombinasi efek pendulum, dimana kecenderungan gerak
terdapat pada bagian shank, kaki dan otot. Gerakan kecil otot
quadricepsperlu karena faktor-faktor lainnya juga sama
pentingnya. Otot iliopsoa memberikan kontribusi dalam
mengembangkanflexi pangkal paha secara aktif yang mana
mendorong akselerasi lutut ke depan dan ke belakang.
6) Tahap mid-swing
Selama midswing, terdapat periode dimana aktivitas otot
minimal dan akselerasi kaki ke belakang dan ke depan
seperti pendulum dengan kekuatan gerakan yang disebut pivot
point
.
7) Tahap deceleration (akhir ayunan)
Pada akhir ayunan, tingkat dari extensi gerakan lutut
harus dikurangi dalam rangka untuk menurunkan kaki pada
awal kontak tumit. Penurunan akselerasi terminal ini pada
kaki normal untuk menahan gerakan extensi dari kelompok
otot hamstring.
Karakteristik jalan yang normal :
1) Vertical displacement of the COG = 5cm (diamati dari lateral)
2) Lateral displacement of the COG = 5cm (diamati dari A-P)
3) Pelvic deep = 5 (diamati dari A-P)
4) Pelvic rotation = 5 (diamati dari Proksimal)
5) Double Support = 10% (kedua kaki menumpu)
6) Timing = stance phase 60% swing phase 40%
7) Center of Gravity = pada saat berdiri letaknya 5cm di anterior
vertebra sacral kedua (pada pusar/Umbilicus)
8) Normal Cadence (irama normal) = antara 70-120 langkah per menit
1. Kerangka Teori
TRANSTIBIAL
PROSTHESIS
2. Kerangka Konsep
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Dan Design Penelitian
Pada Penelitian pengaruh berat prosthesis terhadap kecepatan berjalan
pada pasien transtibial amputasi ini peneliti menggunakan desain Cross
sectional yaitu pengambilan data pada waktu yang bersamaan. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari adanya pengaruh berat prosthesis terhadap
kecepatan berjalan pada pasien transtibial amputasi dengan cara mengamati
kecepatan jalan dalam jarak tertentu.
X 0 Y
Keterangan :
X = Pasien amputasi transtibial menggunakan prosthesis transtibial
0 = Perlakuan berupa menghitung berat prosthesis dan menghitung
kecepatan berjalan
Y = Hasil berat prosthesis dan kecepatan berjalan yang diperoleh
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi (sugiyono,2011). Peneliti mengambil sampel pasien
transtibial amputasi yang menggunakan prosthesis transtibial di RS
Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso yang bertempat tinggal di Solo. dengan
besar sampel ditentukan dengan simple random sampling yaitu sebanyak
20 orang.
D. Instrumen Penelitian
Untuk Instrumen atau alat yang digunakan untuk mengukur keceptan
berjalan adalah stopwatch dan meteran, sedangakn untuk mengukur berat
prosthesis menggunakan timbangan.
F. Prosedur Penelitian
1. Tahap persiapan
Pada tahap ini dialkukan (1) pengurusan ijin kepada pengelola RS
Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta.(2) Setelah mendapatkan ijin
dari pengelola peneliti mencari data tentang subyek yang akan dijadikan
sampel penelitian (3) Selanjutnya peneliti menghubungi setiap subyek
penelitian untuk diminta persetujuan nya dan menjelaskan secara singkat
maksud dan tujuan dari penelitian tersebut serta menentukan waktu
pengambialn data subyek penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan, setiap subyek yang sesuai dengan kriteria
inklusi dilakukan pengukuran kecepatan jalan sesuai dengan metode
pengukuran. Sebelum melakukan tes kecepatan berjalan subyek diukur
dulu berat prosthesis transtibial yang digunakan. Alat yang digunakan
untuk mengukur kecepatan berjalan antara lain : Stopwatch dan
meteran/papan ukur. Sedangkan untuk menukur berat prosthesis
digunakan alat ukur timbangan. Untuk prosedur test dijelaskan sebagai
berikut, awalnya subyek berdiri dititik A. Kemudian peneliti memberi
aba-aba untuk subyek berjalan lurus dari titik A menuju titik B dengan
jarak 6 meter.
Pengambilan sampel berdasarkan kriteria inklusi , diperoleh
sejumlah calon subyek penelitian yang mememnuhi syarat. Kepada
subyek penelitian ini diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan
penelitian ini. Semua calon subyek penelitian bersedia dengan suka rela
untuk menjadi subyek penalitian dengan cara mengisi lembar informed
consent.
3. Tahap pengolahan data
Setelah data penelitia terkumpul ,selanjutnya dilakukan edit dan
entry data. Pengelolaan data menggunakan fasilitas computer dengan
program SPSS.