PAPER
ENDOPTHALMITIS
Disusun oleh:
TACHNA SHANMUGAM
120100496
Supervisor:
dr. Marina Yusnita Albar, M.Ked (oph), Sp.M
BAB 1
PENDAHULUAN
Apabila diagnosis dan terapi yang tepat, hasil nya cukup memuaskan, ditandai dengan tajam
penglihatan dan visus yang meningkat. 3,4
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar1. Anatomi Mata. Dikutip dari Vaughan & Asburys General Opthalmology. Anatomy
and Embryology of the Eye. P 16
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
2.1.2. Iris
Iris merupakan perpanjangan badan siliar ke anterior mempunyai permukaan yang relatif
datar dengan celah yang berbentuk bulat di tengahnya, yang disebut pupil. Otot-otot iris
bersifat involunter dan terdiri dari serabut radial dan sirkuler yang berfungsi sebagai dilator
dan sfingter pupil secara berturut-turut.6
2.1.3. Lensa
Merupakan struktur transparan, bikonveks yang terbungkus dalam membran transparan.
Lensa dihubungan dengan korpus siliar oleh prosesus siliaris melalui ligamentum
suspensorium yang dikenal sebagai zonulla zinnia. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9
mm. Di sebelah anterior lensa terdapat aqueous humor, di posteriornya terdapat vitreous
humor. Lensa terdiri dari 65% air dan 35% protei. Kandungan air dalam lensa berkurang
seiring dengan bertambahnya usia dan lensa juga menjadi kurang elastisitas.5,6
Lensa memiliki indeks refraksi sebesar 1,4 pada bagian sentral dan 1,36 pada bagian
perifer. Pada keadaan nonakomodasi, daya bias lensa adalah sekitar15 - 20 dioptri dan pada
saat berakomodasi dapat mencapai 60 dioptri. Lensa mengalami perubahan bentuk dan
ukuran sepanjang kehidupan dimana lensa menjadi semakin tebal pada bagian korteks dan
semakin melengkung, sehingga mata menjadi semakin hiperopia. Namun, seiring masa
penuaan, lensa juga mengalami penurunan indeks bias karena terdeposisi oleh partikel
insoluble.9,10
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
2.1.5. Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sclera. Koroid tersusun atas tiga
lapis pembuluh darah koroid ; besar, sedang dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di
dalam koroid, semakin lebar lumenya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai
koroid dikenal koriokapilaris. Darah dari pembuluh darah dilarikan melalui empat vena
vorticosa, satu di tiap kuadran posterior. Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membrane
Brunh dan di sebelah luar sclera. Kumpulan pembuluh darah koroid mendarahi bagian luar
retian yang menyokongnya.6
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
2.2. Endophthalmitis
2.1.1. Definisi
Endophthalmitis merupakan inflamasi struktur intraokuler yang melibatkan anterior &
posterior chamber yang disebabkan oleh infeksi dari mikroorganisme (bakteri atau jamur).
Endophthalmitis juga termasuk dalam kelompok besar uveitis karena mengenai struktur
anatomis dari traktus uveal.1,2
2.2.2 Epidemiologi
Angka kejadian dari endophthalmitis beragam, dilaporkan terjadi secara akut (dalam 1 - 7
hari) pasca operasi mata, biasanya operasi katarak pada 1-3 % populasi, sedangkan
endophthalmitis postoperatif kronis bervariasi antara 0,07-0,1 %. Endophthalmitis
endogenous jarang ditemukan, terjadi 2 15 % dari seluruh kasus endophthalmitis. Insiden
rata-rata pertahun adalah 5 dari 10.000 pasien yang dirawat. Biasanyamata kanan lebih sering
terkena daripada mata kiri karena terletak lebih proximal atau lebih dekat denagn peredaran
darah arteri Inominata kanan yang juga menuju arteri karotis kanan.Sejak tahun 1980, terjadi
peningkatan infeksi candida pada pengobatan dengan yang dilakukan secara IV.12
Pada saat ini peningkatan resiko terjadinya infeksi disebabkan antara lain oleh penyakit
AIDS, peningkatan penggunaaan obat-obat imunosupresan dan prosedur operasi yanginvasif
(seperti transplantasi sumsum tulang).Sekitar 60 % kasus Exogenous endophthalmitis terjadi
setelah intraocular surgery. Pada 3 tahun terakhir ini di Amerika terjadi peningkatan
komplikasi postcataract endophthlamits.Posttraumatic endophthalimitis terjadi pada 4 13 %
dari seluruh kasus trauma tajam mata.Gangguan atau perlambatan penyembuhan pada trauma
tajam mata meningkatan resikoterjadinya endophthlamitis. Insiden endophthalmitis karena
adanya intraocular foreign body adalah 7 31 %.1,11
2.2.3 Etiologi
Endophthalmitis secara garis besar disebabkan oleh bakteri dan jamur. Bakteri yang
sering menyebabkan endophthalmitis adalah Staphylococcus, Pseudomonas, Pneumococcus,
Streptococcus, E. coli, dan lain-lain. Sedangkan jamur yang sering menjadi penyebab adalah
Aspergillus fumigatus, Candida albicans, Nocardia asteroides, Fusarium, dan lain lain.
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Mikroba ini dapat diperoleh melalui paparan langsung atau penyebaran secara hematogen.1,2
Penyebab endophthalmitis postoperatif kronik dari etiologi jamur, paling sering
disebabkan oleh spesies Candida dan Aspergillus. Sedangkan dari etiologi bakteri, yang
paling sering menimbulkan endophthalmitis adalah Propionibacterium acnes (bakteri gram
positif, anaerob, komensal dan berbentuk pleomorphic rod, merupakan flora normal pada
kulit kelopak mata atau konjungtiva), Staphylococcus epidermidis dan Corynebacterium.
Disebutkan bahwa Propionibacterium acnes mengisolasikan dirinya, tumbuh dan membentuk
koloni diantara implan lensa intraokular dan kapsul posterior, dimana lingkungan ini relatif
anaerob.1,2
Pada kasus endophthalmitis endogen, biasanya pasien memiliki faktor predisposisi berupa usia < 6 bulan, diabetes mellitus, malignansi sistemik, sickle cell
anemia, systemic lupus erythematosus, infeksi HIV, pembedahan gastrointestinal progresif, endoskopi , prosedur dental, terapi imunomodulator sistemik dan
kemoterapi. Selain itu, perlu dipertimbangkan pneumonia, infeksi saluran kemih, meningitis bakterial atau abses liver sebagai penyebab infeksi. Penyebab
Endopthalmitis Endogen;1,11
Sporothrix schenkii
Blastomyces dermatidis
2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi dari penyakit ini dapat didasarkan dari etiologi dan atau kejadian
penyebabnya, yakni :1
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Endophthalmitis Endogen
Endophthalmitis Endogen Bakterial
Gejala klinis yang menggambarkan masalah ini adalah nyeri akut,
fotofobia, dan penglihatan kabur.
Endophthalmitis Endogen Fungal
Pada endophthalmitis endogen fungal, gejala klinisnya sesuai dengan
spesies yang menjadi etiologinya.
i. Endophthalmitis Candida
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Secara tipikal, lesi endophthalmitis candida bilateral, multipel, berwarna putih, berbatas
tegas, berukuran < 1 mm, terdistribusi pada fundus postequatorial, disertai dengan inflamasi
selular vitreous yang berdekatan. Lesi endophthalmitis aspergillus dapat dilihat berupa
makula, yang dimulai pada koroid dan spatium subretinal. Perdarahan retinal, oklusi
pembuluh darah retinal dan nekrosis retinal dapat ditemukan. Infeksi dapat menyebar ke
vitreous dan dapat menyebabkan sel-sel inflamatori, flare dan hipopion pada anterior
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
chamber. Aspergillus lebih sering menyebabkan perdarahan daripada jenis jamur yang lain
karena sering menginvasi pembuluh darah retina dan koroid.
Lesi paling sering dari cryptococcosis adalah korioretinitis multifokal, yang timbul
sebagai lesi kuning-keputihan tunggal atau multifokal tersebar. Dapat juga dijumpai adanya
vitritis, penebalan vaskular, exudative retinal detachment, papiledema dan inflamasi seluler
granulomatous anterior.
Coccidioidomycosis okular sangatlah jarang terjadi meskipun sudah melibatkan
sistemik. Tampilan klinisnya sering berupa blepharitis, episkleritis, skleritis dan kelemahan
nervus yang mempersarafi otot ekstraokular serta infeksi orbita. Segmen anterior dan
posterior mata sering terlibat. Manifestasi intraokulernya berupa iridocyclitis, granuloma iris
dan multifokal chorioretinitis yang dikarakteristikkan dengan lesi kuning-keputihan dengan
diameter < 1 diskus yang terletak pada fundus postequatorial.
paracentesis anterior chamber dan virektomi dengan kultur aqueous dan vitreous serta
pewarnaan Gram dan Giemsa. Polymerase chain reaction (PCR) daripada cairan okular dan
darah dapat dilakukan.
Diagnosis kandidiasis okular ditegakkan dengan adanya korioretinitis atau
endophthalmitis dan dikonfirmasi dengan hasil positif pada kultur darah atau vitreous.
Vitrektomi terapeutik dan diagnostik diindikasikan bila adanya snowballs vitreous &
endophthalmitis. Pada keadaan ini, diperlukan pewarnaan giemsa, Polymerase chain reaction
(PCR), kultur jamur dengan bahan cairan vitreous.
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
BAB III
KESIMPULAN
Endophthalmitis merupakan radang pada bagian interior bola mata, yang disebabkan oleh
bakteri dan atau jamur. Mekanisme terjadinya endophthalmitis ini berupa penyebaran secara
langsung atau penyebaran secara hematogen.
Gejala klinis endophthalmitis beragam, tergantung dari etiologinya. Umumnya pasien
datang dengan keluhan nyeri yang tiba-tiba atau kehilangan penglihatannya. Prosedur
diagnostik yang dilakukan hampir serupa, diawali dari anamnesis, pemeriksaan fisik berupa
inspeksi bagian anterior dan posterior bola mata, pewarnaan gram dan giemsa serta kultur
bahkan polymerase chain reaction (PCR) dari cairan vitreous dan aqueous. Pemberian
kortikosteroid juga dapat membedakan antar etiologi. Apabila penyebabnya adalah jamur,
maka pemberian kortikosteroid tidak akan memberikan manfaat. Namun, jika penyebabnya
adalah bakteri, inflamasi akan menurun. Vitrektomi dilakukan pada beberapa kasus, dapat
bersifat diagnostik atau terapeutik.
Pengobatannya berupa pemberian antibiotik dan atau antifungal oral atau intravena atau
diberikan secara injeksi intravitreal. Antifungal yang seing diberikan adalah amphotericin B,
voriconazole, itraconazole, miconazole, fluconazole dan ketoconazole yang dapat diberikan
berupa injeksi intravitreal atau pemberian sistemik (baik injeksi maupun per oral). Lamanya
pemberian pada antifungal sistemik adalah 6 minggu. Sekarang sudah diketahui juga kelas
antifungal golongan echinocandin (contoh : micafungin), memberikan pilihan terapi. Injeksi
vitreal biasanya diberikan bila sudah terlibat vitreous humor.
Prognosis pasien endophthalmitis juga biasanya baik, bila diukur dari penglihatan yang
kembali seperti semula dan ketajaman penglihatan pasca pengobatan, bila diagnostik dan
pemberian obat dilakukan secara tepat.
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
DAFTAR PUSTAKA
1
PAPER NAMA : TACHNA SHANMUGAM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 120100496
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
http://emedicine.medscape.com/article/799431-overview#a4. Accessed on
3rd June 2017
13. Fadi Maulaf. Marwan. Chronic Postoperative Endophthalmitis. A review of Clinial
Charescteristics Microbiology,Treatment Startegies and Outcome. 2015. p. 1-6
15. Ahmad, N., Drew W. L., Lagunoff, M., Pottinger P., Reller L. B., Sterling, C. R.,
Candida, Aspergillus, Pneumocystis, and Other Opportunistic Fungi. In: Ryan, K. J.,
Ray, C. G., editor. Sherris Medical Microbiology 6th Ed. USA: McGraw Hill; 2014. P
729-742.