MORBUS HANSEN
Pembimbing: dr. Zam Iwana
Disusun oleh:
Jakarta Selatan
2
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI PASIEN
Nama : tn. S
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : uli jami
MRS : 7 maret 2017
No. RM : 24-96-98
Nama RS : RS. Suyoto
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : bercak putih pada kulit
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh bercak putih pada kulit sejak 2 bulan yang lalu awalnya
terdapat bercak kemerahan kecil di daerah lengan kanan bawah semakin lama
semakin membesar dan meluas dan menyebar ke lengan atas, dada, perut,
punggung, wajah dan lutut.
Pasien tidak mengeluh gatal ataupun nyeri pada bercak-bercak tsb, pasien
mengeluh terasa tebal pada bercak-bercak tsb. Pasien merasakan tebal tapi tidak
terlalu jelas dengan daerah kulit normal yang dirasakan. Pasien mengatakan bila
terbentur sesuatu terasa lebih sakit dari pada sebelum pasien muncul bercak-bercak
ini. Pada malam hari pasien merasakan kulit seperti di tarik-tarik. Pasien
menyangkal adanya rontok bulu mata, alis, dan demam.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat asma, kencing manis,
darah tinggi di sangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal ada keluarga atau teman pasien yang mengalami keluhan
yang serupa. Riwayat alergi makanan dan obat pada keluarga di sangkal.
Riwayat Alergi
3
Pasien mengaku memiliki alergi makanan laut, apabila pasien makananan laut
maka akan timbul bintik-bintik yang gatal. Riwayat alergi obat, cuaca, debu,
disangkal.
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku meminum paracetamol pada saat pasien merasakan nyeri pada
kulitnya.
Riwayat Sosial
Pasien adalah petugas rumah sakit yang bertugas mengantar oksigen, pasien
mengaku pada saat bertugas di RS terdapat penderita yang mengalami gejala kulit
yang sama seperti pasien. Pasien tiap hari bertemu dengan penderita tersebut selama
2 minggu.
o Pemeriksaan anastesi terhadap rasa nyeri pada tempat lesi (+) dari pada
kulit normal.
o Pemeriksaan anastesi terhadap rasa raba pada tempat lesi (+) dari pada
kulit normal
o Pemeriksaan suhu panas dingin pada lesi, tidak bisa membedakan suhu
panas dingin pada tempat lesi.
V. DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen MultiBasiler reaksi kusta tipe 1
VII. PENATALAKSANAAN
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18
bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan
secara pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Rifampicin : 600 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan
Dapson : 100 mg/hari diminum di rumah
Lamprene : 300mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan dilanjutkan
dgn 50 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan reaksi kusta.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-
obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari,
dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
5
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban
Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India.[3] Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
[4]
memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.
Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu
dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia,
seperti India dan Vietnam.
Kusta berasal dari kata kustha di bahasa Sansekerta, yang berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penderita Kusta sebenarnya telah ditemukan sejak tahun 600
Sebelum Masehi. Namun, kuman penyebab penyakit Kusta, yakni Mycobacterium leprae,
ditemukan pertama kali oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873,
maka dari itu Kusta ini dikenal juga dengan nama Morbus Hansen, sesuai dengan penemu
kuman penyebab kusta tersebut.
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika dan Asia tengah dan kemudian tersebar melalui
perpindahan penduduk di beberapa belahan dunia, penyebaran penyakit tersebut umumnya
dibawa oleh para pedagang yang melintasi batas negara. Sedangkan Kusta masuk ke Indonesia
ini melalui para pedagang dan penyebar agama sekitar abad ke IV-V oleh orang India.
DEFINISI
6
Kusta/ Lepra/ Penyakit Morbus Hansen, Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit
infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.[1] Penyakit ini adalah tipe
penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada
kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.[2] Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat
progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.
ETIOLOGI
Kusta yang merupakan penyakit kronis ini disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae (M.leprae). Kuman ini adalah kuman aerob, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 ,
lebar 0,2 0,5 , sifatnya tahan asam sehingga tidak mudah untuk diwarnai. M.leprae biasanya
berkelompok dan ada pula yang tersebar satu-satu. Kuman ini hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.
Masa belah diri kuman kusta ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan
dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Sehingga masa tunas pun menjadi lama, yaitu sekitar 2
5 tahun.
Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang
kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan
juga testis, kecuali susunan saraf pusat. Kusta yang merupakan penyakit menahun ini dalam
jangka panjang dapat menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
Mikobakteriae merupakan kelompok bakteri berbentuk basil, bersifat aerob yang tidak
membentuk spora. Meskipun mereka tidak terwarnai dengan baik, segera setelah diwarnai
mereka mempertahankan dekolorisasi oleh asam atau alkohol, oleh karena itu dinamakan basil
cepat asam (Brooks, 453:2005). Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra.
Kuman ini berbentuk batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae atas dasar
morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik dengan mikobakterium lainnya
(Isselbacher, 808:1999).
Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh,
bentuk pecah pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan bentuk
clumps. Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan
7
panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah pecah, dimana dinding selnya
terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular,
dimana kelihatan seperti titik titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk
globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan atau
berkelompok kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 60 BTA
sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 300 BTA. Bentuk clumps,
dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau pulau tersendiri dan biasanya lebih dari
500 BTA (Wahyuni, 4-5:2009).
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah
pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan
jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak
116.663 dan dari data didapatkan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena
kusta terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara
dengan jumlah rata-rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan 9,64
per 10.000 jumlah penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah
penderita sebanyak 22.175 (WHO). Pada Poli Kulit dan Kelamin RSUD dr. SOEBANDI,
Jember dari tahun 1999 sampai tahun 2001 didapatkan jumlah pasien sebanyak 140 penderita,
dengan 74 pasien dengan tipe multibasiler dan 66 kasus dengan tipe pausibasiler (Erlan. J.S. et
all, 21:2003).
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena
faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi
lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik.
Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma
dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama:
kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau
India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak
menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu (Depkes RI, 8:2006).
Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta.
Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi,
8
maka kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada negara
tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan kasus
kusta impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial
ekonomi yang tinggi (Depkes RI, 8:2006).
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian besar negara
di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak
terserang dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan
kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit
menular lainnya, laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko akibat gaya hidupnya
(Depkes RI, 8:2006).
a. Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan
walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang
tidak mempunyai kelenjar thymus (Depkes RI, 9:2006).
Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung
dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10.
Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous merupakan
sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan (Depkes RI, 9:2006).
9
c. Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga
bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh
penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara
penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang
lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak
menjadi sumber penularan bagi orang lain (Depkes RI, 10:2006).
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat
dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan
melalui kontak kulit yang tidak utuh (Depkes RI, 10:2006).
e. Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini
disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem
kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas,
menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan
klinis penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik
mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI, 10:2009).
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat
ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang
dapat menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).
PATOGENESIS
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting
Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah
tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh
molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan
ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan
sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan
10
berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi
To menjadi Th1 (Wahyuni, 6:2009).
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan
pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni,
7:2009).
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum sum tulang dan
melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang
paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat tempat mikroba dan antigen
asing masuk tubuh serta organ organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam
hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh
adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator
CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan
yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu
satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2
TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein.
11
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang
dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe
reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering
disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type
Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan
berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler
yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana
terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya
terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah
lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi
(Wahyuni, 8:2009).
GAMBARAN KLINIS
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat
berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit
kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa
kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis.
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi
yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan
saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf
13
tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf
perifer yang menebal.
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan
jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi
dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu
lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar
ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi
yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian
tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched
out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.
Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga;
sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan
ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga
menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran
kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang
luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-
serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan
pengecilan otot tangan dan kaki.
Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling,
tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya berupa
makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di
bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula
hipostesia atau sedikit penebalan saraf.
Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang
terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya,
yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang tulang jari, dan wajah. Deformitas
sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya,
tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot
interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung
jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu
jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot
lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari
15
telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari jari atau pergelangan
tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum
pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah
anestesi telapak kaki, claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada
N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal,
mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan
mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva
mata.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum
sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan
kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama akan
menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous
dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi
granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan
adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga
berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive
atau relape resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena kuman yang
dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik dosis maupun
lama pemberiannya.
Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak begitu
tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin makulopapular
skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan
dan berat.
16
Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ
tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan
nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi
yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi
ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan
banyak basil M.leprae di endotel kapiler.
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan
meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu
tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.
PEMERIKSAAN PASIEN
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus
diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan
alat alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing
masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak.
Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N.
Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi
dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran
reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak
(Daili, 21:2003). Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh
sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal dan saraf
mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak (Daili, 21:2003).
17
N. Ulnaris. Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya
diletakkan di atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di
bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu
dibandingkan antara yang kanan dan yang kiri untuk melihat adanya perbeedaan atau tidak
(Daili, 22:2003).
Tes Sensoris. Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
Rasa Raba. Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan
rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada
waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa
disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung
dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka
ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain. Selain
18
diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit
harus diperiksa pada bagian tengahnya (Daili, 22:2003).
Rasa Nyeri. Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum
yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan
mana yang tajam dan mana yang tumpul (Daili, 22:2003).
Rasa Suhu. Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas
(sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup atau
menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit
yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut
pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut
terganggu (Daili, 22:2003).
Tes Otonom. Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit
kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.
Tes dengan pensil tinta. Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang
dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal.
Tes pilokarpin. Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan
pilokarpin subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat,
sedangkan daerah lesi tetap kering.
Cara memeriksa: Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:
Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari
telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari
kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari
kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu
menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya.
Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien mengangkat
ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya
19
lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari pada bagian
telapaknya.
Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna pergelangan tangan
ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan gerakan tersebut.
Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan gerakan fleksi pada
pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai
kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.
PEMERIKSAAN BAKTERIOSKOPIS
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang
paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga
tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada
cuping telinga didapati banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA
dalam 100 lapangan pandang (LP).
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan
non solid.
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak
perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai
10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGIS
Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak
dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
PEMERIKSAAN SEROLOGIS
PEMERIKSAAN LEPROMIN
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae.
O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian
dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi
Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi
21
terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada
tuberkolosis.
+ 1 Papul berdiameter 4 6 mm
+ 2Papul berdiameter 7 10 mm
DIAGNOSIS
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala yang
hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan
tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain, maka
akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan
rasa nyeri.
Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu:
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada bagian yang
aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda
kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka
kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan.
DIAGNOSIS BANDING
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis versikolor, Ptiriasis
alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi
plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris,
neurofibromatosis dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel
melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih
yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis
neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.
Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan
hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest maka
diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol.
Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit.
Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon transmitter
saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu
23
akan diubah menjadi dopaquinon. Produk produk dari DOPA bersifat toksik terhadap
melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung
tangan dan fenol pada detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling
sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata,
mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau
simetris. Mukosa jarang terkena, kadang kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu,
bibir dan ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi
tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo segmental
adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang
hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo
acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan
stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak
membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir
menyeluruh merupakan vitiligo total.
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) . Gejala
klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir,
daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak bercak
terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul papul yang mempunyai warna dan
konfigurasi yang khas. Papul papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku
siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat
gatal, umumnya membaik 1 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi
virus.
Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang
terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala
ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan
saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan jari jari
tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll.
Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin (
vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly
neuropathy dan demensia.
PENGOBATAN
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk
penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan
bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment. Kegunaan MDT untuk
mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita
dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.
Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum
obat.
Rifampicin Dapson
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18
bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment
yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB
selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka
dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw
toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan Prinsip
pengobatan Reaksi Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif,
pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat
penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari, dan MDT (obat
kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti
reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti
reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis
28
3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml
secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena
toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400 mg/hari
kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert
committe pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:
Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta atau
resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah:
Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu klofazimin
pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin
100 mg/hari selama 12 bulan.
Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan juga regimen
MDT-MB alternatis selama 24 bulan:
Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB maupun MB,
obat ini harus dihentikan.
Rifampisin Klofazimin
KOMPLIKASI
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi
kronik sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal.
Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien
lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah
vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder.
30
PROGNOSIS
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen dari
gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga
ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan
rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi
komplikasi