Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan

kecacatan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian

akibat trauma.1 Homer mencatat pada 700 SM hampir 100% prajurit perang yang

mengalami cedera kepala akan meninggal dunia. Trepanasi pada tulang tengkorak

telah dilakukan oleh beberapa kebudayaan kuno, tapi prosedur itu dilakukan pada

orang sehat bukan sebagai operasi dekompresi untuk menurunkan tekanan

intrakranial. Pada abad ke 20, pasien dengan cedera kepala dapat diselamatkan,

karena adanya perkembangan trepanasi dan prosedur lain, serta penemuan

antibiotik.2

Di Amerika Serikat cedera kepala menyebabkan 290.000 orang dirawat di

rumah sakit, 51.000 kematian dan 80.000 pasien dengan cacat, gangguan kognitif

dan perilaku. Di Inggris, insiden cedera kepala yang dilaporkan sekitar 400 per

100.000 orang tiap tahunnya. Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian

pada dewasa kurang dari 45 tahun dan pada anak-anak (1-15 tahun). Cedera

kepala umumnya diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS).

Kebanyakan cedera kepala yang terjadi diklasifikasikan sebagai cedera kepala

ringan, dan sekitar 8-10% diklasifikasikan sebagai cedera kepala sedang dan

berat. Meskipun banyak pasien kembali bekerja setelah menderita cedera kepala

ringan, sekitar 50% pasien menderita kelumpuhan sedang atau berat dinilai

dengan Glasgow Outcome Scale (GOS). Untuk pasien dengan cedera kepala berat

1
prognosisnya lebih buruk. Sekitar 30% pasien dengan skor GCS kurang dari 13

akan meninggal. Mortalitas untuk pasien dengan GCS kurang dari 8 setelah

resusitasi adalah sekitar 50%. Sedangkan pasien dengan skor GCS kurang dari 12,

sekitar 8% akan meninggal dalam 6 jam pertama, 2% dalam 1 jam pertama.

Akibat jangka panjang pada pasien dengan cedera kepala berat lebih buruk

dibandingkan cedera kepala ringan, hanya 20% yang sembuh sempurna.3

Frenchay Hospital di Bristol, Inggris, mencatat pada 1997-2000, terdapat 452

pasien dengan cedera kepala. Pasien dengan GCS kurang dari 8 sebanyak 353

pasien (78%), umur rata-rata pasien 35,1 tahun, dan 215 pasien (47,6%) menjalani

prosedur operasi. Sekitar 20% pasien mendapat perawatan di ICU dan sisanya di

ruang perawatan rumah sakit. Sekitar 94 pasien (20,8%) meninggal saat mendapat

perawatan di ruang perawatan. Di ICU setelah mendapat perawatan, 61 pasien

(13,5%) meninggal dan 33 pasien (7,3%) meninggal setelah keluar dari ICU.

Rata-rata lama perawatan pasien di ruang perawatan adalah 10 hari, di ICU adalah

3 hari.4

Data di Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan cedera dan luka berada di

urutan 6 dari total kasus yang masuk rumah sakit di seluruh Indonesia dengan

jumlah mencapai 340.000 kasus, namun belum ada data pasti mengenai porsi

cedera kepala. Data rekam medik RSU Cipto Mangunkusumo, Jakarta tahun

2003-2007. Jumlah sampel yang dianalisis adalah 577 kasus cedera. Proporsi

kasus cedera kepala yang meninggal sebesar 7,3%. Proporsi kasus tertinggi pada

laki-laki 86,3%, berusia 17-39 tahun. Hal ini dikarenakan usia dewasa muda dan

laki-laki cenderung lebih mobile atau lebih banyak menggunakan kendaraan.

Cedera yang paling banyak pada kasus adalah cedera fraktur multiple dengan

2
cedera otot dan tendon sebesar 53%, sedangkan 40,6% lokasi cedera terletak pada

kepala. 5

Banyaknya kasus cedera kepala dan belum adanya data profil tentang

pasien cedera kepala yang dirawat di ICU menjadi dasar penulis membuat

penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana profil pasien cedera kepala di ICU RSUP Prof. Dr. R. D.

Kandou Manado, mulai Juni 2009 Juni 2011?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum :

Untuk mendapatkan profil pasien cedera kepala di ICU RSUP Prof. Dr. R.

D. Kandou Manado mulai Juni 2009 Juni 2011.

Tujuan Khusus :

Untuk mengetahui jumlah kasus cedera kepala yang dirawat di ICU RSUP

Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juni 2009 Juni 2011 menurut

umur, tingkat kesadaran, diagnosa, trauma penyerta, terapi, lama

perawatan, komplikasi, dan angka kejadian kematian.

D. Manfaat Penelitian

Dapat memperoleh data/profil pasien cedera kepala di ICU RSUP Prof.

Dr. R. D. Kandou Manado periode Juni 2009 Juni 2011.

Sebagai informasi untuk kepentingan ilmiah dan bahan acuan untuk

penelitian selanjutnya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak

langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang

tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta

mengakibatkan gangguan neurologis. 2

B. Etiologi

Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan

yaitu jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam. Benda tumpul biasanya

berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah),

jatuh, dan pukulan benda tumpul, sedangkan benda tajam berkaitan dengan benda

tajam (bacok) dan tembakan.2,6

C. Patofisiologi

1. Tekanan intrakranial (intracranial pressure = ICP)

Perubahan ICP mencerminkan perubahan dalam volume isi intrakranial

dalam tengkorak. Volume intrakranial selalu konstan, karena pada dasarnya

rongga kranium tidak mungkin membesar. Pada orang dewasa volume intrakranial

adalah sekitar 1500 ml di mana parenkim otak 1200-1600 ml, darah 100-150 ml,

cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid = CSF) 100-150 ml. Mekanisme

kompensasi awalnya mengurangi efek dari lesi intrakranial menempati

4
ruang. Mekanisme ini melibatkan perpindahan dari CSF ke dalam ruang

subaraknoid tulang belakang, peningkatan penyerapan CSF, dan penurunan

volume darah intrakranial. Akhirnya mekanisme ini tidak mampu lagi

mengkompensasi, akibatnya bila terjadi peningkatan kecil pada volume

intrakranial menyebabkan kenaikan tajam pada tekanan intrakranial. Jika lesi

berkembang perlahan-lahan, mungkin akan mencapai volume yang relatif besar

sebelum menyebabkan kenaikan yang signifikan dalam ICP. Sebuah lesi kecil

yang tampak pada CT scan mungkin dapat berkembang cepat, sehingga hanya

sedikit waktu untuk kompensasi. 1,7

2. Tekanan perfusi serebral (Cerebral Perfusion Pressure = CPP)

CPP adalah tekanan efektif yang menghasilkan aliran darah ke otak. CPP

didefinisikan sebagai perbedaan antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial

pressure/MAP) dan ICP.

CPP = MAP ICP

CPP berkolerasi dengan MAP pasien individu, tetapi aliran darah serebral

dipertahankan konstan oleh autoregulasi.7,8

3. Aliran darah otak (Cerebral Blood Flow = CBF)

Pada individu non-trauma, aliran darah otak adalah konstan di kisaran 50-

150 mmHg. Hal ini disebabkan oleh autoregulasi arteriol, yang akan menyempit

atau melebar dalam rentang tekanan darah tertentu untuk mempertahankan jumlah

konstan aliran darah ke otak. CBF dipengaruhi oleh metabolisme, tekanan parsial

karbon dioksida (carbon dioxide partial pressure/PaCO2), dan suhu. CBF

5
terutama ditentukan oleh tuntutan metabolisme otak. Ini meningkat selama

serangan epilepsi dan rasa sakit/kecemasan. Hal ini berkurang dalam keadaan

koma, hipotermia, dan setelah pemberian substrat/obat anestesi. Hipokapnia

menghasilkan vasokonstriksi serebral dan penurunan CBF. Efek terbesar adalah

saat PaCO2 normal, di mana perubahan 7,5 mmHg menyebabkan perubahan 30%

pada dalam aliran darah. Hipotermia mengurangi metabolisme otak sekitar 5%

untuk setiap derajat celcius, sehingga mengurangi CBF. 1,8

Ketika MAP kurang dari 50 mmHg maka aliran darah otak akan menurun

dengan tajam dan otak berisiko iskemia akibat aliran darah tidak mencukupi, bila

lebih besar dari 150 mmHg maka terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan

aliran darah otak meningkat yang dapat mengakibatkan peningkatan ICP. Pada

kedua kondisi tersebut arteriol tidak dapat mempertahankan mekanisme

autoregulasi dan aliran darah menjadi sepenuhnya tergantung pada tekanan darah.

Pada pasien cedera kepala mekanisme autoregulasi ini sering mengalami

gangguan sehingga pasien tersebut rentan terhadap cedera otak sekunder akibat

iskemi yang timbul karena hipotensi. 8,9

Cedera kepala dapat dibagi menjadi 2 kategori, cedera otak primer dan

cedera otak sekunder. Cedera otak primer didefinisikan sebagai cedera awal ke

otak sebagai akibat langsung dari trauma. Ini merupakan cedera struktural yang

disebabkan oleh trauma pada otak, cedera primer dapat bermanifestasi sebagai

cedera fokal atau dapat menyebar. Cedera otak sekunder didefinisikan sebagai

cedera berikutnya ke otak yang terjadi setelah cedera awal/primer. Cedera otak

sekunder dapat terjadi akibat hipotensi sistemik, hipoksia, peningkatan ICP, atau

sebagai hasil serangkaian perubahan fisiologis yang disebabkan oleh cedera

6
primer. Perawatan dari cedera kepala bertujuan untuk mencegah atau

meminimalkan cedera otak sekunder.10,11

D. Klasifikasi

Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,

keparahan/beratnya dan morfologi cedera.

1. Mekanisme

Cedera kepala dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera

tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau

pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun

tusukan. 13

2. Keparahan

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi

beratnya penderita cedera otak. Glasgow Coma Scale yaitu suatu skala untuk

menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis

yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening),

reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).

Berdasarkan nilai GCS maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 14-15

dikategorikan penderita cedera otak ringan, nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai

cedera otak sedang, nilai GCS 3-8 dikategorikan cedera otak berat. 13

7
Tabel I

Glasgow Coma Scale

Jenis pemeriksaan Nilai

Respon buka mata (Eye opening, E)

Spontan 4

Terhadap suara 3

Terhadap nyeri 2

Tidak ada 1

Respon motorik terbaik (M)

Ikut perintah 6

Melokalisir nyeri 5

Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4

Fleksi abnormal (dekortikasi) 3

Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2

Tidak ada 1

Respon verbal (V)

Berorientasi baik 5

Berbicara mengacau (bingung) 4

Kata-kata tidak teratur 3

Suara tidak jelas 2

Tidak ada 1

Nilai GCS = (E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3


Sumber: Moppett IK. Traumatic brain injury: assessment, resuscitation and early management. British Journal of
Anaesthesia; 2007. 99. h. 1831.

8
3. Morfologi

a. Kerusakan menyeluruh (Diffuse Injury). Merupakan tipe cidera yang

paling sering ditemukan. Diartikan sebagai suatu keadaan patologis

penderita koma (penderita yang tidak sadar sejak benturan pada kepala dan

tidak mengalami suatu lucid interval) tanpa gambaran space occupying

lesion (SOL) pada CT scan. 13

Terdiri dari tiga tipe yaitu :

Konkusi ringan, di mana penderita tetap sadar, tetapi dapat terjadi

kehilangan fungsi neurologis sesaat. Cedera inilah yang paling umum,

tetapi karena derajatnya ringan, sering tidak dilaporkan. Bentuk dari

konkusi berupa kebingungan dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini

sembuh sempurna dan tidak berhubungan dengan gejala sisa yang berat.

Bentuk konkusi yang lebih berat dapat menyebabkan kebingungan disertai

amnesia baik retrograd maupun antegrad.5

Konkusi klasik, adalah cidera di mana penderita dapat kehilangan

kesadarannya. Pada kondisi ini selalu disertai dengan amnesia

pascatrauma, dan lamanya amnesia merupakan ukuran yang baik untuk

menentukan beratnya cidera. Kehilangan kesadaran bersifat sementara dan

reversibel. Penderita kembali sadar sepenuhnya dalam 6 jam, namun

beberapa penderita dapat sadar lebih awal. Banyak penderita dengan

konkusi klasik tidak menderita sekuele selain amnesia yang berhubungan

dengan trauma, tetapi penderita lainnya mungkin dapat mengalami defisit

neurologis untuk waktu yang lama. Termasuk kesulitan mengingat, pusing,

9
mual, anosmia dan depresi. Ini dikenal sebagai post-concussion syndrome

dan merupakan suatu gangguan yang bermakna.5

Diffuse Axonal Injury (DAI), ditemukan pada setengah dari semua kasus

cedera kepala berat, juga bisa terjadi pada cedera kepala sedang dan

ringan. DAI merupakan salah satu penyebab utama pasien kehilangan

kesadaran pascatrauma dalam jangka waktu lama yang tidak berhubungan

dengan lesi massa atau iskemia. DAI bukanlah hasil dari sebuah trauma

langsung ke kepala, tapi merupakan hasil dari perenggangan akson-akson

saraf otak (akibat mekanisme akselerasi dan deselerasi) yang melebihi

level ketahanan akson sehingga terjadi sobekan dan kerusakan susunan

akson. Ketika terjadi akselerasi dan deselerasi yang menyebabkan otak

bergerak di dalam rongga tengkorak, akson, bagian-bagian sel saraf yang

memungkinkan neuron untuk mengirim pesan antar neuron, menjadi

terganggu. DAI menyebabkan kematian sel otak dan edema. Akibat dari

edema, terjadi penurunan aliran darah ke otak, serta memicu cedera

sekunder. Gejalanya adalah penurunan kesadaran, yang dapat bertahan

hingga enam jam atau lebih. Seseorang dengan DAI ringan atau sedang

dapat menunjukkan tanda-tanda lain dari kerusakan otak, tergantung pada

daerah mana otak yang paling terpengaruh. Pada CT scan tidak ditemukan

gambaran space occupying lesion (SOL). 5,13

b. Fraktur kranium. Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar

tengkorak. Tanda-tanda klinisnya antara lain ekimosis periorbital (raccoon

eyes), ekimosis retro aurikuler (battles sign), paresis nervus fasialis,

10
rhinorrhea dan otorrhea.6 Fraktur kranium dapat dibagi menjadi fraktur

liniear dan fraktur depresi. Fraktur liniear yaitu fraktur garis tunggal pada

tengkorak yang meliputi seluruh ketebalan tulang. Disebabkan karena

suatu energi yang rendah, yang mengenai area permukaan yang luas pada

tengkorak kepala. Pada pemeriksaan neurologis akan terlihat sebagai garis

radiolusen. Fraktur depresi adalah fraktur dengan satu atau lebih tepi

fraktur terletak di bawah level anatomik normal dari tulang tengkorak

sekitarnya yang masih utuh. Jenis fraktur ini terjadi jika energi benturan

relatif besar terhadap area benturan yang relatif kecil. 13

c. Hematoma epidural (Epidural Hematoma = EDH). Hematoma epidural

merupakan pengumpulan darah di antara tengkorak dengan duramater.

Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteri akibat adanya

fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-

arteri meningens (a.meningea media). Gejala klinis hematom epidural

yaitu lucid interval, hemiparesis dan dilatasi pupil ipsilateral.13

d. Hematoma Subdural (Subdural Hematoma = SDH). Hematoma subdural

ialah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan araknoid.

Perdarahan subdural dapat berasal dari ruptur bridging vein atau robekan

pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid. Gejala klinisnya

antara lain: sakit kepala, penurunan kesadaran dan gejala yang timbul tidak

khas, yang merupakan manisfestasi dari peningkatan tekanan intrakranial

11
seperti: mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan

nervus III, epilepsi, pupil anisokor, dan defisit neurologis lainnya.13

e. Hematoma subaraknoid (Subarachnoid Hematoma = SAH). Perdarahan

ini paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi

lain. Perdarahan terletak di antara arakhnoid dan piamater, mengisi ruang

subarakhnoid. Adanya darah dalam ruang subarakhnoid ini dapat

menyebabkan hidrosefalus.13

f. Hematoma intraserebral (Intracerebral Hematoma = ICH). Hematoma

intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak.

Hematoma intraserebral pasca traumatik merupakan pengumpulan darah

fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional

pada pembuluh-pembuluh darah intraparenkimal otak. Gejala dan tanda

ditentukan oleh ukuran dan lokasi hematoma. Gejala klinisnya adalah

nyeri kepala akut, penurunan kesadaran, ataksia, tanda-tanda peninggian

tekanan intrakranial, hemiparesis/hemiplegi, hemisensorik dan parese

nervus III.13

g. Kontusio serebri. Kontusio serebri adalah gangguan fungsi otak akibat

adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara

makroskopis tidak mengganggu jaringan. Kerusakan tersebut berupa

12
gabungan antara daerah perdarahan (kerusakan pembuluh darah kapiler,

arteri, dan vena), nekrosis otak, dan infark. Kontusio biasanya

menimbulkan defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau

sensorik otak. Secara klinis penderita pernah atau sedang tidak sadar

selama lebih dari 15 menit atau diperoleh adanya kelainan neurologis

akibat kerusakan jaringan otak. Diagnosa kontusio serebri meningkat

sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan

cedera kepala. Kontusio serebri sering terjadi di frontal dan temporal,

walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak

dan serebelum. Manifestasi kontusio bergantung pada lokasi dan luasnya

kerusakan otak. Akan terjadi penurunan kesadaran. Pada pemerikasaan CT

Scan diperoleh gambaran daerah hiperdens di jaringan otak13

E. Pemeriksaan Penunjang

Foto polos kepala untuk triage penderita cedera kepala, mendeteksi

perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema),

fragmen tulang. Foto servikal untuk menilai apakah ada terdapat fraktur, dislokasi,

sublikasi, atau pelebaran ruang di antara processus spinosus. Indikasi pemeriksaan

foto servikal yaitu jejas di leher, nyeri di leher, gejala neurologis kelainan spinal

dan pasien tidak sadar.11

CT scan untuk mengidentifikasi luasnya lesi perdarahan, determinan

ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Indikasi pemeriksaan CT scan yaitu

pasien dengan koma setelah resusitasi, GCS kurang dari 15 atau terdapat

penurunan kesadaran, pasien cedera kepala yang disertai dengan fraktur

13
tengkorak, adanya tanda klinis fraktur basis crania, pasien disertai dangan kejang,

kebingungan dan adanya tanda neurologis fokal, sakit kepala berat yang menetap,

mual dan muntah1,10

F. Penatalaksanaan

Pengelolaan awal terhadap pasien trauma yaitu survei primer (ABCDE),

resusitasi, survei sekunder dan perawatan definitif. Tujuan dari survei primer

adalah untuk segera mencari cedera mengancam kehidupan pasien.8,10

Pemeriksaan jalan napas (airway), yaitu membersihkan jalan napas dengan

memperhatikan kontrol servikal. Pada setiap penderita multitrauma, bila ada

penurunan kesadaran atau jejas di atas dari klavikula, segera pasang cervical

collar untuk immobilisasi servikal. Bersihkan jalan napas dari segala sumbatan,

benda asing, darah dari maksiofasial, gigi yang patah. Lakukan intubasi jika

pasien apnea, GCS kurang dari 8 atau ada bahaya aspirasi akibat perdarahan

fraktur maksilofasial. 9

Pemeriksaan pernafasan (breathing), tentukan apakah pasien bernapas

spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien

bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat. 9

Pemeriksaan sirkulasi (circulation) yaitu menilai sirkulasi. Hentikan

semua perdarahan dengan menekan arterinya. Ukur dan catat frekuensi denyut

jantung dan tekanan darah, pasang EKG bila tersedia. Pasang jalur inravena yang

besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum,

elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Keadaan syok harus segera

diatasi, dengan pemberian cairan kristaloid melalui jalur intravena.

14
Survei sekunder atau pemeriksaan dari kepala sampai kaki pasien, tidak

dimulai sampai tanda vital pasien stabil kembali. 9

1. Prinsip-prinsip Umum Anestesi pada Manajemen Peningkatan ICP

Gejala dan tanda-tanda untuk mengidentifikasi pasien dengan peningkatan

ICP sebelum operasi: sakit kepala, muntah, kejang, neurologi fokal, papilledema,

tekanan darah meningkat dan bradikardi, agitasi, mengantuk, koma, pernapasan

cheyne stokes, apnea, dilatasi pupil ipsilateral. Investigasi dengan mengevaluasi

CT scan menilai adanya edema, pergeseran garis tengah, lokasi / ukuran

hematoma1,12

Tujuan manajemen cedera kepala yaitu mencegah peningkatan ICP.

Tindakan manajemen seperti menghindari meningkatkan aliran darah serebral

dengan mencegah hiperkarbia, hipoksia, hipertensi, dan hipertermia; hindari

peningkatan tekanan vena; hindari batuk dan kecemasan, posisi kepala di bawah

guna mencegah edema serebral bertambah berat.12 Walaupun cairan dibatasi,

sangatlah penting untuk mempertahankan volume intravaskular dan CPP. Kontrol

tekanan darah dengan menggunakan cairan dan vasopressor bila perlu.

Pertahankan CPP lebih besar dari 70 mmHg, hindari substrat/obat anestesi yang

meningkatkan ICP. 14

2. Penatalaksanaan Pembedahan

Kriteria pasien rujukan ke Unit Bedah Saraf yaitu semua pasien dengan

massa intrakranial, cedera otak primer yang memerlukan ventilasi, fraktur depresi

15
tulang tengkorak, kebocoran CSF persisten, cedera tembus tengkorak, perburukan

progresif dengan tanda-tanda lesi massa intrakranial10

Untuk persiapan prabedah dilakukan: evaluasi status generalis, periksa

darah rutin, elektrolit dan cross match, pasang kateter dan pasang infus 2 jalur;

usaha menurunkan ICP: hiperventilasi (PaCO2 30-35 mm Hg); atasi kejang:

diazepam atau penthothal secara intravena; terapi oksigen; koreksi segala keadaan

patologis ekstrakranial yang mengancam; pemberian antibiotik profilaksis

sebelum operasi dimulai. 15,16

Pilihan obat anestesi yang digunakan yaitu thiopental atau propofol

dikombinasikan dengan remifentanil, fentanil atau sufentanil dosis disesuaikan.

Pilihan obat pelumpuh otot non depolarisasi adalah vekuronium atau

atracurium.1,16

Pemantauan yang dilakukan selama anesthesia yaitu pemantauan respirasi

meliputi parameter volume tidal, frekuensi napas, dan tahanan jalan napas,

PaCO2: 35 40 mmHg dan PaO2 lebih besar dari 100 mmHg, kardiovaskular:

EKG, tekanan darah, tekanan vena sentral, fungsi ginjal: produksi urin ditampung

dan diukur, keseimbangan elektrolit, suhu tubuh (secara kontinyu), tekanan

intrakranial (oleh dokter bedah saraf).16

G. Perawatan di ICU

Kriteria pasien cedera kepala yang harus mendapat perawatan di ICU

adalah pasien cedera kepala berat dengan GCS kurang dari 8, cedera kepala

dengan status neurologis yang menurun progresif disertai gagal napas atau gagal

jantung-sirkulasi, pasien dengan kejang, gangguan keseimbangan elektrolit berat

16
disertai gangguan metabolik berat yang bisa berefek pada sistem saraf pusat, serta

untuk monitoring pasca operasi (kateter arteri dan vena pusat, monitor ICP). 17

Perawatan neurologis di ICU atau Ne-ICU (Neurological Intensive Care)

meliputi monitor tanda vital dan neurologis yang ketat, monitor tekanan

intrakranial, monitor keseimbangan cairan, pemberian nutrisi enteral dan

parenteral, resusitasi jantung paru, ventilator, tenaga intensif. 18,19

Strategi untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial, antara lain:

Menghindari terjadinya hiperkapnia. Hiperkapnia dapat menyebabkan

peningkatan aliaran darah ke otak sehingga terjadi peningkatan tekanan

intrakranial. Untuk menurunkan tekanan intrakranial dapat dilakukan

hiperventilasi ringan, tetapi sebaiknya selalu diikuti dengan analisa gas darah

untuk menghindarkan terjadinya iskemi pada otak. 8

Hindarkan pemberian cairan yang berlebihan, untuk mempertahankan tekanan

darah agar stabil, harus diberikan cairan kristaloid atau darah untuk menggantikan

kehilangan darah yang terjadi pada trauma. Keseimbangan cairan harus

diperhatikan untuk menghindarkan terjadinya pemberian cairan berlebihan

(overloading). Diuretika dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial

pada cedera kepala akut. Diuretika yang banyak digunakan dalam hal ini adalah

manitol.8

Elevasi kepala 30-45, sebab pada posisi kepala yang dielevasi 30-45 akan

mengoptimalkan aliran balik vena dari kepala, sehingga akan membantu

mengurangi tekanan intrakranial. Posisi diatur sedemikian rupa, supaya tidak

terjadi penekanan terhadap salah satu vena jugularis interna. Berikan sedasi jika

penderita gelisah. Tetapi harus diingat bahwa tindakan sedasi yang rutin akan

17
meningkatkan insiden pneumonia, perawatan ICU lebih lama, dan kemungkinan

sepsis lebih besar.8

H. Komplikasi

Perdarahan intrakranial; kebanyakan perdarahan timbul pada 6 jam

pertama pasca operasi, cara terbaik untuk mendeteksi perdarahan intrakranial

adalah dengan pemeriksaan neurologis berulang, bila terjadi penurunan progresif

skor GCS segera lakukan CT scan dan evakuasi hematoma bila diperlukan. 19

Edema serebral menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial pasca

operasi, terjadi pada hampir separuhnya dari seluruh penderita. Kejang;

merupakan penyebab cedera sekunder karena meningkatkan metabolisme dan

pelepasan neurotransmitter. Pasien yang mengalami cedera kepala dapat

mengalami kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. 19

Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) merupakan suatu keadaan

klinis patofisiologi mendadak ditandai dengan dispnea berat, hipoksia, infiltrasi

difus bilateral dan kelumpuhan paru-paru. Penanganan pasien dengan ARDS

bertujuan untuk mempertahankan distribusi oksigen ke semua sistem

organ. Kebanyakan pasien ARDS meninggal karena kegagalan organ multiple

atau sepsis. Oleh karena penyebab utamanya harus segera ditangani dan

kecurigaan adanya sepsis perlu dikelola secara cepat dengan antibiotik yang tepat.

Pasien dengan intubasi rentan terhadap pneumonia/infeksi pernafasan, mungkin

disebabkan oleh aspirasi isi lambung. 20

18
Ganguan gastrointestinal; pada pasien cedera kepala akan mengalami

peningkatan rangsang simpatis yang menyebabkan gangguan fungsi pertahanan

mukosa sehingga bisa terjadi erosi, pembentukan ulkus, dan perdarahan saluran

cerna. Penanganannya dengan pemberian antagonis H-2 reseptor dan inhibitor

pompa proton. 20

Koagulopati; terjadi karena pelepasan faktor jaringan (salah satunya

tromboplastin yang kaya di jaringan otak) dan koagulan lain dari parenkim otak

yang rusak masuk ke peredaran darah sistemik sehingga mempengaruhi proses

pembekuan darah.21

Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH), disebabkan

pelepasan ADH tanpa adanya respon fisiologis, ditandai dengan hiponatremia dan

osmolaritas urin yang tinggi, SIADH terjadi pada 46% pasien cedera kepala.

Keadaan ini bisa timbul pada anemia, hipotensi, dan peningkatan ICP. 17

19
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah retrospektif deskriptif yaitu dengan

mengumpulkan data pasien cedera kepala yang dirawat di ICU RSU Prof. Dr. R.

D. Kandou Manado periode Juni 2009 sampai dengan Juni 2011.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Rekam Medik RSU Prof. Dr. R. D.

Kandou Manado.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini adalah dari bulan Juli 2011 sampai dengan Oktober

2011.

C. Subjek Penelitian

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien cedera kepala di RSU

Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juni 2009-Juni 2011.

Sampel dari penelitian ini adalah seluruh pasien cedera kepala yang

mendapat perawatan intensif di ICU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

periode Juni 2009-Juni 2011.

20
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah seluruh pasien cedera kepala

dengan atau tanpa cedera ekstrakranial, yang memerlukan perawatan

intensif di ICU periode Juni 2009-Juni 2011.

Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah pasien cedera kepala yang

dengan atau tanpa cedera ekstrakranial memerlukan perawatan intensif di

ICU periode Juni 2009-Juni 2011 yang data-datanya tidak lengkap.

D. Instrumen Penelitian

Catatan rekam medik pasien cedera kepala yang dirawat di ICU RSU Prof.

Dr. R. D. Kandou periode Juni 2009 Juni 2011

Alat tulis menulis

Laptop

MS Office

E. Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti:

Jenis kelamin

Umur

Tingkat kesadaran

Diagnosa

Cedera penyerta

Terapi

Lama perawatan di ICU

21
Komplikasi perawatan

Angka kejadian kematian pasien cedera kepala di ICU

F. Batasan Opersional

Pasien adalah seluruh penderita cedera kepala yang menjalani perawatan

di ICU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou periode Juni 2009 Juni 2011.

Umur adalah usia pasien dalam tahun, yang dihitung dari ulang tahun

terakhir. Pengelompokan umur:

0-10

11-20

21-30

31-40

41-50

51-60

61-70

Jenis kelamin adalah identitas seksual responden yang dibawa saat lahir

Pria

Wanita

Tingkat kesadaran dinilai bedasarkan GCS, sebelum operasi dan sebelum

keluar dari ICU, dengan pengelompokan sebagai berikut:

14-15

9-13

3-8

22
Diagnosa utama adalah jenis penyakit yang tertera sebagai diagnosa utama

yang diketahui dari lembar pasien masuk rumah sakit (MRS). Diagnosa

meliputi:

Fraktur kranium

Fraktur Liniear: fraktur yang berupa garis fraktur tunggal pada

tengkorak yang meliputi seluruh ketebalan tulang.

Fraktur depresi: fraktur dengan satu atau lebih tepi fraktur terletak

di bawah level anatomik normal dari tulang tengkorak sekitarnya

yang masih utuh.

Hematoma Epidural: pengumpulan darah diantara tengkorak

dengan duramater.

Hematoma Subdural: perdarahan yang terjadi diantara duramater

dan araknoid.

Hematoma Subaraknoid: perdarahan terletak di antara arakhnoid

dan piamater, mengisi ruang subarakhnoid.

Hematom Intraserebral: perdarahan yang terjadi di dalam jaringan

otak.

Kontusio: gangguan fungsi otak akibat adanya kerusakan jaringan

otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak

mengganggu jaringan.

23
Cedera penyerta adalah jenis cedera yang tertera selain diagnosa utama

yang diketahui dari lembar pasien masuk rumah sakit. Cedera penyerta

meliputi:

Fraktur zygoma

Fraktur ttibia

Fraktur antebrachium

Fraktur femur

Fraktur cruris

Trauma tumpul ginjal

Trauma tumpul toraks

Trauma tumpul abdomen

Fraktur multipel

Trauma multipel

Tanpa disertai cedera penyerta

Terapi adalah tindakan yang dilakukan pada pasien setelah didiagnosis

menderita cedera kepala di RSU. Prof. Dr. R. D. Kandou periode Juni

2009 Juni 2011. Terapi meliputi:

Operatif

Non-operatif

Lama perawatan adalah rentang waktu yang dihitung dari tanggal pasien

masuk ICU sampai tanggal pasien keluar ICU. Skala:

1-3

4-6

7-9

24
9-11

11-13

13-15

>15

Komplikasi perawatan adalah jenis komplikasi yang dialami pasien selama

perawatan di ICU. Komplikasi yang mungkin dialami meliputi:

Pneumonia

Sepsis

Infeksi saluran kemih (ISK)

Anemia

ARDS

Hipokalemia

Hipoalbumin

Lain-lain

Angka kejadian kematian pasien cedera kepala di ICU: jumlah pasien

cedera kepala yang hidup dan meninggal selama perawatan di ICU.

Rekam medik adalah semua berkas yang berisi catatan dan dokumen

tentang identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan

pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

25
G. Cara Kerja

Melakukan pengumpulan data dengan melihat catatan rekam medik

pasien cedera kepala yang dirawat di ICU RSU Prof. Dr. R. D.

Kandou periode Juni 2009 Juni 2011.

Pengolahan data dilakukan dengan MS Office.

Data dianalisa dalam bentuk distribusi frekuensi.

H. Jadwal Kegiatan

a) Tahap persiapan : Juni - Juli 2011

1. Menghadap kepala bagian Anestesi

2. Penunjukkan Dosen Pembimbing I dan II

3. Konsultasi dan penentuan judul

4. Pengusulan usulan judul dan persetujuan dosen pembimbing

b) Tahap pelaksanaan : Juli September 2011

1. Pelaksanaan penelitian

2. Konsultasi dengan dosen pembimbing

3. Pembuatan / penyusunan skripsi secara lengkap

c) Ujian skripsi : Oktober 2011

d) Perbaikan skripsi : Oktober 2011

26
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada periode Juli 2009 sampai Juli 2011 di ICU RSU Prof. Dr. R. D.

Kandou Manado terdapat 103 pasien cedera kepala yang dirawat. Dari

jumlah tersebut 25 kasus dikeluarkan karena tidak memiliki data lengkap.

Sehingga jumlah pasien yang diambil sebagai sampel sebanyak 78 pasien.

Tabel 2 Distribusi pasien cedera kepala menurut jenis kelamin di ICU


RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli
2011

Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)

Laki-laki 62 79,5

Perempuan 16 20,5

Total 78 100

Sumber: data sekunder

27
Grafik 1 Grafik pasien cedera kepala menurut jenis kelamin di ICU RSU Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

70
62
60

50

40
Laki-laki
30 Perempuan

20 16

10

0
Jenis Kelamin

Berdasarkan distribusi menurut jenis kelamin, tabel 2 dan grafik 1

menunjukkan bahwa sebagian besar pasien cedera kepala yang dirawat di ICU

adalah laki-laki yaitu sebanyak 62 orang atau 79,5%, sedangkan pasien

perempuan sebanyak 16 orang atau 20,5%. Hasil ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan Dadowu di RSU Cipto Mangunkusumo, Jakarta tahun 2003-2007,

di mana proporsi kasus tertinggi terjadi pada laki-laki. Laki-laki cenderung lebih

lebih banyak menggunakan kendaraan dibandingkan perempuan.

28
Tabel 3 Distribusi pasien cedera kepala menurut umur di ICU RSU
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

1-10 4 5,12

11-20 20 25,64

21-30 16 20,51

31-40 14 17,9

41-50 11 14,1

51-60 9 11,53

61-70 4 5,12

Total 78 100

Sumber: data sekunder

Grafik 2 Grafik menurut umur pasien cedera kepala di ICU RSU Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

25

20
20
110
16
1120
15 14
21-30
11 31-40
10 9 41-50
51-60

5 4 4 61-70

0
Umur

29
Dari penelitian ini ditemukan bahwa pasien cedera kepala yang dirawat di

ICU terbanyak pada kelompok umur 11-20 tahun, di mana pada kelompok umur

ini terdapat 20 pasien (25,64%). Pada kelompok umur 21-30 tahun terdapat 16

pasien (20,51%), pada kelompok umur 31-40 tahun terdapat 14 pasien (17,9%),

pada kelompok umur 41-50 tahun terdapat 11 pasien (14,1%), pada kelompok

umur 51-60 tahun terdapat 9 pasien (11,53%), pada kelompok umur 61-70 tahun

terdapat 4 pasien (5,12%), pada kelompok umur 1-10 tahun terdapat 4 pasien

(5,12%). Hal tersebut hampir sama dengan penelitian yang dilakukan di RSU

Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2003-2007, di mana kelompok umur

terbanyak yaitu berusia 17-39 tahun yang merupakan suatu golongan umur yang

aktif dan produktif.

Tabel 4 Distribusi pasien cedera kepala menurut diagnosa di ICU


RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli
2011

Diagnosa Jumlah (orang) Persentase (%)

Kontusio 28 35,9

EDH 22 28,2

SDH 6 7,7

ICH 14 17,9

Fraktur Depresi 7 8,9

SAH 1 1,28

Total 78 100

Sumber: data sekunder

30
Grafik 3 Grafik pasien cedera kepala menurut diagnosa di ICU RSU
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

30
28

25
22

20 Kontusio
EDH
15 14 SDH
ICH
SAH
10
7 Fraktur Depresi
6
5

1
0
Diagnosa

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pasien cedera kepala yang dirawat

di ICU, paling banyak dengan diagnosa kontusio serebri yaitu 28 pasien (35,9%),

diikuti EDH sebanyak 22 pasien (28,2%), ICH sebanyak 14 pasien (17,9%),

fraktur depresi sebanyak 7 pasien (8,9%), SDH sebanyak 6 pasien (7,7%), dan

SAH sebanyak 1 pasien (1,28%).

31
Tabel 5 Distribusi pasien cedera kepala menurut cedera penyerta di ICU
RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

Cedera Penyerta Jumlah (orang) Persentase (%)

Fraktur zygoma 5 6,41

Fraktur tibia 1 1,28

Fraktur femur 4 5,12

Fraktur cruris 1 1,28

Fraktur antebrachium 3 3,84

Trauma tumpul ginjal 6 7,68

Fraktur multipel 8 10,24

Trauma multipel 2 2,56

Pneumotoraks 2 2,56

Tanpa cedera penyerta 46 59

Total 78 100

Sumber: data sekunder

32
Grafik 4 Grafik menurut cedera penyerta pasien cedera kepala di ICU RSU
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

50
46
45

40
Fraktur zygoma
35 Fraktur tibia
Fraktur femur
30
Fraktur cruris
25 Fraktur antebrachium
Trauma tumpul ginjal
20 Fraktur multipel
Trauma multipel
15
Pneumotoraks
10 8 Tanpa cedera penyerta
6
5
5 4
3
2 2
1 1
0
Cedera Penyerta

Pada penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar pasien cedera kepala

yang dirawat di ICU tidak disertai cedera penyerta yaitu sebanyak 46 pasien

(59%). Cedera penyerta yang paling banyak adalah fraktur multiple sebanyak 8

pasien (10,2%), kemudian trauma tumpul ginjal sebanyak 6 pasien (7,68%),

fraktur zygoma sebanyak 5 pasien (6,41%), fraktur femur 4 pasien (5.12%),

fraktur antebrachium 3 pasien (3,84%), pneumotoraks 2 pasien (2,56%), dan

masing-masing 1 pasien (1,28%) dengan fraktur cruris dan fraktur tibia. Pada

fraktur multipel rinciannya adalah fraktur costa + fraktur servikal 1 pasien,

33
fraktur femur + fraktur kosta 1 pasien, fraktur femur + fraktur mandibula 1 pasien,

fraktur zygoma + fraktur maxilla 2 pasien, fraktur zygoma + fraktur klavikula +

fraktur radius ulna 1 pasien, fraktur zygoma + fraktur humerus 2 pasien, fraktur

zygoma + fraktur mandibula 1 pasien. Terdapat 2 pasien (2,56%) dengan trauma

multipel (trauma tumpul abdomen ginjal dan trauma tumpul torakoabdomen).

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Dadowu di RSU Cipto

Mangunkusumo tahun 2003-2007, di mana proporsi cedera penyerta yang paling

banyak ditemukan adalah fraktur multipel.

Tabel 6 Distribusi pasien cedera kepala menurut terapi di ICU RSU Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

Terapi Jumlah (orang) Persentase (%)

Operatif 78 100

Non-opertif 0 0

Total 78 100

Sumber: data sekunder

34
Grafik 5 Grafik pasien cedera kepala menurut terapi sebelum operasi di
ICU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009
Juli 2011

90

80 78

70

60

50

Operatif
40
Non-operatif
30

20

10

0
Terapi

Pada penelitian ini ditemukan bahwa seluruh pasien cedera kepala yang

dirawat di ICU SU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado selama periode Juli 2009

Juli 2011 adalah pasien pasca operasi, baik trepanasi maupun kraniektomi,

sebanyak 78 pasien.

35
Tabel 7 Distribusi pasien cedera kepala menurut GCS sebelum operasi di
ICU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli
2011

GCS Sebelum Operasi Jumlah (orang) Persentase (%)

3-8 68 87,2

9-13 10 12,8

14-15 - -

Total 78 100

Sumber: data sekunder

Grafik 6 Grafik pasien cedera kepala menurut GCS sebelum operasi di ICU
RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

80

70 68

60

50
38
40
913
30 14-15

20
10
10

0
GCS Sebelum Operasi

36
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pada pasien cedera kepala yang

dirawat di ICU, GCS sebelum operasi yang paling banyak ditemukan adalah GCS

3-8 sebanyak 68 pasien (87,2%), kemudian GCS 9-3 sebanyak 10 pasien (12,8%).

GCS 14-15 tidak ditemukan dalam penelitian ini, karena pasien cedera kepala

yang dirawat di ICU adalah pasien cedera kepala sedang atau berat.

Tabel 8 Distribusi menurut GCS pasien cedera kepala saat keluar dari ICU
RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

GCS Keluar ICU Jumlah (orang) Persentase (%)

3-8 2 2,56

9-13 43 55,12

14-15 5 5,12

Meninggal 28 36

Total 78 100

Sumber: data sekunder

37
Grafik 7 Grafik pasien cedera kepala menurut GCS saat keluar dari ICU
RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

50

45 43

40

35

30 28
38
25 913
14-15
20
Meninggal
15

10
5
5
2

0
GCS Keluar ICU

Data yang diperoleh menurut distribusi GCS pasien saat keluar dari ICU

yang paling banyak adalah GCS 9-13 sebanyak 43 pasien (55,12%), kemudian

GCS 14-15 sebanyak 5 pasien (5,12%), GCS 3-8 sebanyak 2 pasien (2,56%),

sedangkan pasien yang meninggal sebanyak 28 pasien (36%).

38
Tabel 9 Distribusi pasien cedera kepala menurut komplikasi di ICU RSU
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

Komplikasi Jumlah (orang) Persentase (%)

Sepsis 10 12,8

Pneumonia 3 3,8

Edema serebri 4 5,12

Tanpa komplikasi 61 78,2

Total 78 100

Sumber: data sekunder

Grafik 8 Grafik pasien cedera kepala menurut komplikasi di ICU RSU


Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

70

61
60

50

40 Sepsis
Pneumonia
30 Edema serebri
Tanpa Komplikasi
20

10
10
3 4

0
Komplikasi

39
Penelitian menunjukan bahwa mayoritas pasien pasien cedera kepala yang

dirawat di ICU tidak disertai komplikasi yaitu sebanyak 61 pasien (78,2%).

Komplikasi yang paling sering ditemukan yaitu sepsis sebanyak 10 pasien

(12,8%) kemudian edema serebri 4 pasien (15,3%) dan pneumonia 3 pasien

(3,8%). Di mana rincian lengkap komplikasinya adalah sepsis ec pneumonia

sebanyak 5 pasien kemudian edema serebri sebanyak 4 pasien, pneumonia

sebanyak 3 pasien, sepsis ec pneumonia + infeksi saluran kemih sebanyak 1

pasien, sepsis ec pneumonia + infeksi saluran kemih + hipokalemia sebanyak 1

pasien, sepsis ec pneumonia + anemia + hipoalbumin sebanyak 1 pasien, sepsis ec

pneumonia + anemia + hiperuricemia sebanyak 1 pasien, sepsis ec pneumonia +

ARDS + hipoalbumin sebanyak 1 pasien.

Tabel 10 Distribusi pasien cedera kepala menurut lama perawatan di ICU


RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

Lama Perawatan (hari) Jumlah (orang) Persentase (%)

1-3 32 41

4-6 25 32

7-9 6 7,7

9-11 5 6,41

12-14 2 2,56

>15 8 10,25

Total 78 100

Sumber: data sekunder

40
Grafik 9 Grafik pasien cedera kepala menurut lama perawatan di ICU RSU
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli 2011

35
32

30

25
25

13
20 46
79

15 911
1214
>15
10
8
6
5
5
2

0
Lama Perawatan

Pada penelitian ini, lama perawatan pasien 1 sampai 3 hari sebanyak 32

pasien (41%), 4 sampai 6 hari sebanyak 25 pasien (32%), 7 sampai 9 hari

sebanyak 6 pasien (7,7%), 9 sampai 11 hari sebanyak 5 pasien (6,41%), 12 sampai

14 hari sebanyak 2 pasien (2,56%), lebih dari 15 hari sebanyak 8 pasien (10,25%).

Hasil ini sesuai dengan penelitian di Frenchay Hospital, Inggris, yang menyatakan

rata-rata lama perawatan pasien cedera kepala di ICU yaitu selama 3 hari. Lama

perawatan yang paling lama dalam penelitian ini adalah 30 hari sebanyak 1

pasien.

41
Tabel 11 Distibusi pasien cedera kepala menurut angka kejadian kematian di
ICU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli
2011

Outcome Jumlah (orang) Persentase (%)

Hidup 50 64

Meninggal 28 36

Total 78 100

Sumber: data sekunder

Grafik 10 Grafik pasien cedera kepala menurut angka kejadian kematian di


ICU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2009 Juli
2011

60

50
50

40

30 28 Hidup
Meninggal
20

10

0
Outcome

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien cedera

kepala yang sudah menjalani perawatan di ICU yaitu sebanyak 50 pasien (64%)

dapat bertahan hidup dan 28 pasien (36%) meninggal dunia.

42
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di ICU RSU Prof. R. D.

Kandou Manado periode Juli 2009 Juli 2011, dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

Jumlah pasien cedera kepala yang dirawat di ICU RSU Prof. R. D. Kandou

Manado periode Juli 2009 Juli 2011 adalah 78 pasien.

Hasil penelitian membuktikan mayoritas pasien yang dirawat adalah pasien

laki-laki yaitu sebanyak sebanyak 62 orang (79,5%), sedangkan jumlah

pasien perempuan sebanyak 16 orang (20,5%).

Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah pasien terbanyak terdapat pada

kelompok umur 11-20 tahun yaitu 20 pasien (25,64%) dan terendah pada

kelompok umur 61-70 tahun dan 1-10 tahun masing-masing terdapat 4

pasien (5,12%).

Hasil penelitian menunjukan bahwa kontusio serebri merupakan diagnosa

yang paling banyak yaitu 28 pasien (35,9%), dan diagnosa yang paling

jarang adalah SAH sebanyak 1 pasien (1,28%).

Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas pasien cedera kepala yang

dirawat di ICU tidak disertai cedera penyerta yaitu sebanyak 46 pasien

(59%). Cedera penyerta yang paling banyak adalah fraktur multipel

sebanyak 8 pasien (10,2%).

43
Hasil penelitian menunjukan bahwa GCS pasien cedera kepala sebelum

operasi yang paling banyak ditemukan adalah GCS 3-8 sebanyak 68 pasien

(87,2%)

Hasil penelitian menunjukan bahwa GCS pasien cedera kepala saat keluar

dari ICU yang paling banyak ditemukan adalah GCS 9-13 sebanyak 43

pasien (55,12%), kemudian GCS 14-15 sebanyak 5 pasien (5,12%), GCS

3-8 sebanyak 2 pasien (2,56%), sedangkan pasien yang meninggal

sebanyak 28 pasien (36%).

Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas pasien pasien cedera kepala

yang dirawat di ICU tidak disertai komplikasi yaitu sebanyak 61 pasien

(78,2%). Komplikasi pasien cedera kepala yang paling banyak ditemukan

yaitu sepsis sebanyak 10 pasien (12,8%).

Hasil penelitian menunjukan bahwa lama perawatan pasien yang paling

banyak ditemukan yaitu 1-3 hari sebanyak 32 pasien (41%).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien cedera kepala

yang sudah menjalani perawatan di ICU yaitu sebanyak 50 pasien (64%)

dapat bertahan hidup dan 28 pasien (36%) meninggal dunia

44
B. Saran

Berdasarkan apa yang penulis lihat dan rasakan di lapangan ketika

melakukan penelitian ini, maka saran yang dapat penulis berikan antara lain:

Perlunya peningkatan kesadaran tentang pentingnya kelengkapan dan

kerapian catatan medik yang dibuat untuk setiap pasien yang dirawat di

rumah sakit, demi kepentingan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan itu

sendiri dan peningkatan kualitas penelitian-penelitian selanjutnya.

Penelitian ini sebaiknya dapat dilanjutkan pada waktu yang akan datang

agar dapat diperoleh profil pasien cedera kepala di ICU dari waktu ke

waktu.

Perlunya ketersediaan literatur-literatur yang memadai di perpustakaan

fakultas demi peningkatan mutu pendidikan dan penyempurnaan penelitian-

penelitian selanjutnya.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. McQuillan PM, Allman KG, Wilson IH. Oxford American Handbook of


Anesthesiology 1st Ed. New York: Oxford University Press; 2008.

2. Elf K. Secondary Insults in Neurointensivecare of Patients With Traumatic


Brain Injury. Dissertations. Uppsala University; 2005.

3. Moppett IK. Traumatic brain injury: assessment, resuscitation and early


management. British Journal of Anaesthesia; 2007. 99. h. 1831.

4. Clayton TJ, Nelson RJ, Manara AR. Reduction in mortality from severe
head injury following introduction of a protocol for intensive care
management. British Journal of Anaesthesia; 2004. 93. h. 7617.

5. Dadowu TS. Journal of Traumatic Brain Injury: Definition, Epidemiology,


Pathophysiology; 2007. h. 1-6.

6. Pahl C, Traumatic Brain Injury: Management on the Neurointensive Care


Unit; 2007. Last update: 22 Mei 2007.

7. Steiner LA, Andrews PJD. Monitoring the injured brain: ICP and CBF.
British Journal of Anaesthesia; 2006. 97. h. 2638.

8. Euliano TY, Gravenstein JS. Essential Anesthesia From Science to


Practice. New York: Cambridge University Press; 2004.

9. Bendo AA. Anesthesia for the Patient with an Intracranial Mass Lesion.
ASA Refresher Courses in Anesthesiology; 2002. 30. h. 15-26.

10. Pinnock C, Lin T, Smith T. Fundamentals of Anaesthesia. London:


Greenwich Medical Media Ltd; 2001.h. 78-89.

11. Galley FH, Nigel RW. Anaesthesia Science. Aberdeen: Blackwell


Publishing Ltd; 2006. h. 275-7.

46
12. Ugan R, Yogen A. Preoperative assesment of neurosurgical patients.
Anesthesia and Intensive Care Medicine; 2010. 11. h. 357-62.

13. Girling K. Management of head injury in the intensive-care unit.


Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain; 2004. 4. h. 52-
6.

14. Mishra LD, Rajkumar N, Hancock SM. Current controversies in


neuroanaesthesia, head injury management and neurocritical care.
Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain; 2006. 6. h. 79-
82.

15. Warner DS. Anesthesia for Craniotomy. Canadian Journal of Anesthesia;


2002. 49. h. 18.

16. Gregory T, Wilson SR. Anaesthesia for Neurosurgery. Anesthesia and


Intensive Care Medicine; 2010. 11. h. 363-5.

17. Bruder N, Ravussin P. Recovery from Anethesia and Postoperative


Extubation of Neurosurgical Patients. Journal of Neurosurgical
Anethesiology; 2001. 11. h. 282-93.

18. Koenig HM. Anesthesia for Awake Intracranial Procedures. Advances in


Anesthesia; 2006. 24. h. 12748.

19. Kendall R, Menon DK. Anaesthesia and intensive care medicine.


Abingdon: The Medicine Publishing Company; 2007.

20. Saline or Albumin for Fluid Resuscitation in Patients with Traumatic Brain
Injury the New England Journal of Medicine; 2007. 357. h. 874-84.

21. Andrews S. European society of intensive care medicine study of


therapeutic hypothermia for intracranial pressure reduction after traumatic
brain injury. Trials; 2011. 12. h. 8.

47

Anda mungkin juga menyukai