Anda di halaman 1dari 4

LI.5.

Epidemiologi TB, Faktor Risiko TB dan Upaya Pemerintah dalam Pengendalian


TB di Indonesia.
Epidemiologi
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia.
Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi
insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan
61,000 kematian per tahunnya.
Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan epidemi HIV yang tertinggi di
antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemik terkonsentrasi (a
concentrated epidemic), dengan perkecualian di provinsi Papua yang prevalensi HIVnya
sudah mencapai 2,5% (generalized epidemic). Secara nasional, angka estimasi prevalensi
HIV pada populasi dewasa adalah 0,2%.
Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi HIV dan
estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000-400.000. Estimasi
nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%.
Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari
estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang.
Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya.
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama
diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu
mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun
2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan
diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan
demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection
Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah
sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut
merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama.

Pencapaian Program Pengendalian TB Nasional 1995-2009


90

80

70

60

50

40

30

20

10

0
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
CDR
Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam penemuan
kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan disparitas
antar wilayah
Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR) 70%
dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan.
CDR >= 70% CDR <= 70%
SR >= 85% Jabar, Sulut, Maluku, DKI Bali, Sulbar, Babel, Sumbar,
Jakarta, Banten (5) Kalteng, Jatim, Sulsel,
Jateng, Lampung, NTB,
Jambi, NAD, Kalsel,
Sumsel, Sultra, Kepri,
Sumut, Gorontalo,
Bengkulu,
Kalbar, NTT Kaltim,
Sulteng (23)
SR <=85% Tidak ada Papua Barat, Papua, DIY,
Malut, Riau (5)

Dengan angka nasional proporsi kasus relaps dan gagal pengobatan di bawah 2%, maka
angka resistensi obat TB pada pasien yang diobati di pelayanan kesehatan pada umumnya
masih rendah. Namun demikian, sebagian besar data berasal dari Puskesmas yang telah
menerapkan strategi DOTS dengan baik selama lebih dari 5 tahun terakhir. Probabilitas
terjadinya resistensi obat TB lebih tinggi di rumah sakit dan sektor swasta yang belum terlibat
dalam program pengendalian TB nasional sebagai akibat dari tingginya ketidakpatuhan dan
tingkat drop out pengobatan karena tidak diterapkannya strategi DOTS yang tinggi. Data dari
penyedia pelayanan swasta belum termasuk dalam data di program pengendalian TB
nasional. Sedangkan untuk rumah sakit, data yang tersedia baru berasal dari sekitar 30%
rumah sakit yang telah melaksanakan strategi DOTS. Proporsi kasus TB dengan BTA negatif
sedikit meningkat dari 56% pada tahun 2008 menjadi 59% pada tahun 2009. Peningkatan
jumlah kasus TB BTA negatif yang terjadi selama beberapa tahun terakhir sangat mungkin
disebabkan oleh karena meningkatnya pelaporan kasus TB dari rumah sakit yang telah
terlibat dalam program TB nasional.
Jumlah kasus TB anak pada tahun 2009 mencapai 30.806 termasuk 1,865 kasus BTA positif.
Proposi kasus TB anak dari semua kasus TB mencapai 10.45%. Angka-angka ini merupakan
gambaran parsial dari keseluruhan kasus TB anak yang sesungguhnya mengingat tingginya
kasus overdiagnosis di fasilitas pelayanan kesehatan yang diiringi dengan rendahnya
pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan. (Kemenkes, 2011)
Faktor risiko TB

Cara penularan
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak.
c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama.
d. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman.
e. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
f. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut.
g. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Strategi
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB
sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi
kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat
dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh
WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS dapat
menghemat biaya program penanggulangan TB sebesar US$ 55 selama 20 tahun.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:
1. Komitmen politis.
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana
kasus
yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Pengawas Menelan Obat (PMO)
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya,
Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau
tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
1. Persyaratan PMO
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien
b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
2. Tugas seorang PMO
a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejalagejala
mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke sarana pelayanan
kesehatan.

Tugas seorang PMO bukan untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari sarana
pelayanan kesehatan.

3. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien
dan keluarganya:
a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke sarana pelayanan kesehatan. (Kemenkes, 2009)

Anda mungkin juga menyukai