Anda di halaman 1dari 10

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. D
Umur : 27 tahun
Alamat : Jl. Limbung, bontomanai, Gowa
Agama : Islam
Status Perkawinan : Janda
Pendidikan : S1
Pekerjaan : IRT
Pasien di periksa di ruang perawatan Kenari Rumah Sakit Bhayangkara pada tanggal 14 maret
2017.
II. RIWAYAT PSIKIATRI
A. Keluhan Utama
Tiba-tiba kejang dan kemudian tidak bisa melihat (pandangan Kabur) dengan penurunan
visus menjadi 1/300.
B. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang
1. Keluhan dan gejala
Pasien telah dirawat di rumah sakit bhayangkara selama sekitar 4 hari oleh dokter ahli
penyakit dalam dengan keluhan demam tinggi dengan curiga diagnosis Malaria. Pasien
merupakan pasien rujukan dari Papua. Sempat mendapatkan infus semasa di kapal dalam
perjalanan dari papua ke Makassar. Setelah beberapa hari di rawat pasien tiba-tiba di konsul
ke dokter ahli jiwa akibat menderita kejang-kejang dan tiba-tiba tidak bisa melihat. Setelah
dilakukan beberapa wawancara kepada orang tua pasien dikatakan bahwa pasien mengalami
keluhan tersebut setelah mendapatkan telfon dari seorang temannya yang berada di papua
kalau salah seorang teman baiknya di papua yang pada saat di papua di rawat bersama
karena menderita malaria meninggal dunia. Pasien seketika sangat kaget mendengar hal
tersebut dan sangat takut kalau saja dirinya mengalami hal yang sama. Pasien begitu panik
dan gelisah sampai tiba-tiba pasien mengalami kejang-kejang dan tidak sadarkan diri.
Setelah sadarkan diri pasien mengeluh mengalami gangguan pada penglihatannya. Pasien
kelihatan sangat depresi dan sangat sulit untuk diajak berkomunikasi, hanya menjawab
beberapa pertanyaan saja. Pasien merupakan ibu dari 2 orang anak yang saat ini telah
menjadi single parents diakibatkan telah berecerai dengan suaminya sekitar 2 tahun lalu.

2. Hendaya Fungsi
Hendaya dalam bidang sosial : ada
Hendaya dalam aspek pekerjaan : ada
Hendaya dalam penggunaan waktu senggang : ada
3. Faktor stressor psikososial : Kabar teman baiknya yang meninggal

17
4. Hubungan gangguan sekarang dengan gangguan riwayat penyakit fisik dan psikis
sebelumnya
Riwayat trauma :-
Riwayat kejang :-
Riwayat rokok :-
Riwayat alkohol :-
C. Riwayat Gangguan Psikiatri sebelumnya
Tidak ada
D. Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Lahir dalam keadaan normal dan cukup bulan. Kelahiran pasien dibantu oleh bidan di
rumah orang tua pasien. Pasien mengonsumsi ASI eksklusif.
2. Riwayat Masa Kanak Awal ( 1 3 tahun )
Pertumbuhan dan perkembangan pasien sama dengan anak pada umumnya. Pasien aktif
bermain dengan saudara dan teman-teman sebayanya.
3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan ( 4 11 tahun )
Menurut pasien, selama sekolah pasien termasuk anak yang pintar, pasien selalu mendapat
rankink dikelas.
4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja (usia 12 18 tahun)
Pasien lulus SMA (Sekolah Menengah Atas) sehingga dapat melanjutkan pendidikan ke
jenjang perkuliahan.
5. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat pendidikan
Pasien melewati pendidikan TK, SD , SMP, dan SMA di limbung. Kemudian melanjutkan
pendidikan S1 hingga sarjana di salah satu universitas swasta di Makassar. Pasien merupakan
mahasiswa berprestasi karena mampu mencapai indeks cumlaude dan saat ini mendapat tawaran
beasiswa S2 oleh pihak kampus.
b. Riwayat Pekerjaan
Pasien pernah bekerja sebagai salah satu sales marketing disuatu perusahaan pada saat
sementara kuliah. Dan saat ini pasien hanya menjadi seorang ibu rumah tangga.
c. Riwayat Kehidupan pribadi
Pasien dikenal sebagai anak yang aktif, sering berolahraga, rajin, taat beragama, sopan,
dan pintar.
d. Riwayat kehidupan keluarga
Anak kedua dari 4 bersaudara perempuan semua.

Bapak Ibu

1. P 2. P 3. P 4. P

18
Pasien telah menikah 2011 dan mempunyai 2 orang anak. Pasien telah bercerai dengan
suaminya sekitar 2 tahun lalu diakibatkan tigkah laku suami yang kasar dan juga pemabuk.
Selama Suami pasien sering memukul pasien dan juga anak-anak pasien. Sampai akhirnya
pasien tidak tahan dan lari ke rumah orang tua dan meminta cerai ke suaminya. Saat ini pasien
belum mendapat pekerjaan dan tinggal di rumah orang tuanya.
e. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga : (-)
f. Situasi Kehidupan sekarang
Saat ini pasien sedang terbaring lemah di rumah sakit akibat keluhannya dan tidak dapat
melakukan aktifitas sebagaimana biasanya.
g. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya
Pasien berharap dapat sembuh seperti semula.

III. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI


a. Status Internus
Keadaan umum apatis, konjungtiva tidak pucat dan sklera tidak ikterus. Pada ekstremitas
atas dan bawah tidak ditemukan kelainan.
IV. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
a. Deskripsi umum
1. Penampilan :
Seorang perempuan, wajah sesuai umur (27 tahun), memakai pakaian tidur berwarna
putih. Kelihatan sakit (murung), tenang.
2. Kesadaran :
Menurun
3. Perilaku dan aktifitas psikomotor
Tenang
4. Pembicaraan
Relevan, Koheren, Spontan, dan intonasi cukup
5. Sikap terhadap pemeriksa
Kurang Kooperatif
b. Keadaan afektif
1. Mood : depresi
2. Afek : depresi
3. Keserasian : serasi
4. Empati : susah dirabarasakan
c. Fungsi Intelektual (Kognitif)
1. Taraf pendidikan
Pengetahuan umum dan kecerdasan pasien sesuai dengan tingkat pendidikannya
2. Orientasi

19
a. Waktu : Baik
b. Tempat : Baik
c. Orang : Baik
3. Daya ingat
a. Jangka panjang : Baik
b. Jangka pendek : Baik
c. Jangka segera : tidak dinilai
4. Konsentrasi dan Perhatian : kurang Baik
5. Pikiran abstrak : tidak diketahui
6. Bakat Kreatif : tidak diketahui
7. Kemampuan menolong diri sendiri : kurang baik
d. Gangguan Persepsi
Halusinasi : tidak ada
Ilusi : tidak ada
Depersonalisasi : tidak ada
Derealisasi : tidak ada
e. Proses berfikir :
1. Produktivitas : kurang
Kontuinitas : relevan, koheren
Hendaya berbahasa : tidak ada
2. Isi pikiran
Preokupasi : tidak ada
Gangguan isi pikir : tidak ditemukan
f. Pengendalian Impuls : Baik
g. Daya Nilai dan Tilikan
1. Norma Sosial : tidak terganggu
2. Uji Daya Nilai : tidak terganggu
3. Penilaian Realitas : tidak terganggu
4. Tilikan : derajat 6 (sadar dirinya sakit dan perlu pengobatan)
h. Taraf Dapat Dipercaya : dapat dipercaya.

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Seorang wanita 27 tahun
Keluhan utama tidak bisa melihat mendadak
Diawali dengan kejang-kejang mendadak
Ada riwayat bepergian di papua
Diagnosis awal masuk rumah sakit Malaria
Dirawat oleh dokter penyakit dalam

20
Dirujuk ke dokter ahli jiwa karena keluhan diatas
Pasien tampak depresi
Gejala dimulai setelah mendapat telfon dari salah seorang temannya di papua tentang
kabar meninggalnya seorang sahabatnya di papua

VI. EVALUASI MULTIAKSIAL


Aksis I
Dari autoanamnesis dan alloanamnesis didapatkan gejala klinis berupa kejang-kejang dan
tidak bisa melihat tiba-tiba yang didahului oleh stressor yang mnyebabkan perasaan cemas,
gelisah, jantung berdebar dan perasaan takut mati. Keadaan ini mengakibatkan rasa terganggu
dan tidak nyaman (distress), terganggu melakukan pekerjaan dengan benar bahkan dalam
melakukan aktifitas sosial, Gangguan Jiwa.
Pada pemeriksaan status mental tidak ditemukan adanya hendaya berat dalam menilai
realita sehingga dapat digolongkan Gangguan Jiwa Non Psikotik.
Pada riwayat pemeriksaan status internus dan tidak ditemukan adanya kelainan yang
mengindikasikan gangguan medis umum yang menimbulkan disfungsi otak maupun gangguan
yang secara patologis langsung mengakibatkan gangguan jiwa yang diderita pasien saat ini,
sehingga menurut PPDGJ-III didiagnosis Gangguan Jiwa Non Organik
Pada pemeriksaan didapatkan satu atau lebih gejala yang mempengaruhi fungsi sensorik
maupun motorik volunter (pasien mengalami kejang-kejang dan tidak bisa melihat secara
tib-tiba). Pada pemeriksaan tidak didapatkan kelainan neurologis yang menyebabkan gangguan
(tidak terdapat gangguan impuls listrik otak/epilepsi dan gangguan nervus optikus).
Adanya bukti penyebab psikologis terhadap gangguan yang dialami (pasien merasa cemas,
gelisah, jantung berdebar dan takut mati setelah mendapat telfon dari seorang teman
tentang suatu kabar kematian temannya). Gejala atau deficit menyebabkan distress yang
bermakna secara klinis atau hendaya dalam fungsi social, pekerjaan, atau area penting lain, atau
memerlukan evalusi medis (pasien tidak bisa beraktifitas sebagaimana biasanya dan hanya
mampu terbaring di tempat tidur). Sehingga pasien dapat didiagnosis sebagai Gangguan
Disosiatif (konversi) Campuran (F44.7) yaitu cmpuran dari Konvulsi disosiatif (F44.5) dan
Anastesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif (F44.6).
Aksis II
Tidak memenuhi kriteria salah satu ciri kepribadian tertentu sehingga pada pasien ini dikatakan
belum mengarah ke salah satu ciri kepribadian.
Aksis III
Penyakit Malaria
Aksis IV
Stressor Psikososial : telfon dari seorang temannya tentang kabar kematian teman dekatnya.
Aksis V

21
GAF Scale sekarang 50-41
VII. DAFTAR MASALAH
Organobiologik : Tidak ditemukan kelainan fisik bermakna, namun karena terdapat suatu
stressor psikologis yang menyebabkan kelainan neurologis sehingga
memerlukan terapi psikofarmaka
Psikologik : Ditemukan adanya masalah psikologi sehingga memerlukan psikoterapi.
Sosiologi : Didapatkan adanya hendaya dalam bidang sosial, pekerjaan dan
penggunaan waktu senggang, sehingga memerlukan sosioterapi.
VIII. PROGNOSIS :
Dubia et bonam
Faktor pendukung :
Pasien punya keinginan besar untuk sembuh
Pasien mau berobat
Pasien menyadari penyakitnya
Faktor penghambat :
Faktor stressor yang masih terus berjalan
IX. RENCANA TERAPI
Alprazolam 0,5 mg 0-0-1
Amitriptilin 25 mg 1-0-1
Fluoxetine 20 mg 1-0-0
Psikoterapi suportif
Ventilasi
Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi hati dan
keinginannya sehingga pasien merasa lega
Cognitive Behavioral Theraphy (CBT)
Membantu pasien untuk dapat merubah sistem keyakinan yang negative,
irasional dan mengalami penyimpangan (distorsi) menjadi positif dan rasional
sehingga secara bertahap mempunyai reaksi somatik dan perilaku yang lebih sehat
dan normal. Menjelaskan bahwa segala masalah pasti memiliki jalan keluar, jika
pasien memendam masalah tersebut terus menerus tanpa mencari solusinya maka
rasa cemas akan terus timbul dan mempengaruhi pikiran pasien.
Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada keluarga dan orang-orang sekitarnya sehingga
tercipta dukungan sosial dengan lingkungan yang kondusif untuk membantu proses
penyembuhan pasien serta melakukan kunjungan berkala.
X. FOLLOW UP
Memantau keadaan umum pasien serta perkembangan penyakitnya, selain itu menilai efektifitas
terapi dan kemungkinan efek sampingnya.

22
XI. DISKUSI
Gangguan konversi adalah suatu gangguan yang ditandai oleh hilangnya atau
ketidakmampuan dalam fungsi motorik yang volunter atau fungsi sensoris , namun tidak ada
penyebab organis yang jelas. DSM-IV mendefiniskan gangguan konversi sebagai suatu
gangguan yang ditandai oleh adanya satu atau lebih gejala neurologis (sebagai contoh, paralisis,
kebutuan, dan parestesia) yang tidak dapat dijelaskan oleh gangguan neurologis atau medis yang
diketahui. Di samping itu, diagnosis mengharuskan bahwa faktor psikologis berhubungan
dengan awal atau eksaserbasi gejala.
Berdasarkan PPDGJ III Untuk diagnosis pasti maka hal-hal dibawah ini harus ada:
1. Gambaran klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum pada
F44.-; (misalnya F44.0 Amnesia Disosiatif)
2. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut;
3. Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan kurun waktu yang jelas dengan
problem dan kejadian-kejadian yang stressful atau hubungan interpersonal yang
terganggu (meskipun hal tersebut disangkal oleh penderita.
Sedangkan Tabel Kriteria Diangnostik DSM-V-TR Gangguan Konversi
A. Satu atau lebih gejala atau deficit yang memengaruhi fungsi sensorik atau motorik
volunter
B. Gejala klinik membuktikan tidak terdapatnya kompabilitas antara gejala yang
ditemukan dengan kondisi medis pada kelainan neurologic
C. Gejala atau deficit tidak dapat dijelaskan dengan baik oleh medis dan gangguan
mental.
D. Gejala atau deficit menyebabkan distress yang bermakna secara klinis atau
hendaya dalam fungsi social, pekerjaan, atau area penting lain, atau memerlukan
evalusi medis.
Tentukan tipe gejala atau deficit :
Dengan kelemahan atau paralisis
Dengan pergerakan abnormal
Dengan Swallowing symptoms
Dengan speech symptoms
Dengan penyerangan atau kejang
Dengan anestesi atau hilangnya fungsi saraf sensorik
Dengan gejala saraf sensorik yang khas
Dengan tampilan campuran
Dari American Psychiatric Association.. Diagnosis and Statistical Manual of Mental
Disorder. 5th ed. Text rev. Washington, DC : American Psychiatric Association.

Table 1. Gejala-gejala Gangguan Konversi yang sering.4

23
Ilnya Gejala Sensoris Gejala Motoris
Diplopia, kebutaan, ketulian, Paralisis, ataxia, disfasia, tremor, kejang
rasa kebas-kebas

Etiologi

Faktor Psikoanalitik. Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi disebabkan oleh


represi konflik intrapsikis yang tidak disadari dan konversi anxietas menjadi suatu gejala fisik.
Konflik tersebut adalah antara impuls berdasarkan insting (contohnya agresi atau seksualitas)
dan larangan pengungkapan ekspresi. Gejalanya memungkinkan ekspresi parsial keinginan atau
dorongan terlarang, tetapi menyamarkannya sehingga pasien dapat menghindari secara sadar
untuk menghadapi impuls yang tidak dapat diterima tersebut yaitu gejala gangguan konversi
memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tidak disadari. Gejala gangguan konversi juga
memungkinkan pasien menyampaikan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan perlakuan
khusus. Gejala tersebut dapat berfungsi sebagai cara nonverbal untuk mengendalikan atau
memanipulasi orang lain.
Faktor Biologis. Semakin banyak data yang mengaitkan faktor biologis dan
neuropsikologis di dalam timbulnya gejala gangguan konversi. Studi pencitraan otak
sebelumnya menemukan adanya hipometabolisme hemisfer dominan dan hipermetabolisme
hemisfer nondominan dan mengaitkan hubungan hemisfer yang terganggu sebagai penyebab
gangguan konversi. Gejalanya dapat disebabkan oleh bangkitan korteks berlebihan yang
mematikan lengkung umpan balik negative antara korteks serebri dengan formasio retikularis
batang otak. Selanjutnya, peningkatan kadar keluaran kortikofugal menghambat kesadaran
pasien akan sensasi yang berkaitan dengan tubuh, yang pada sebagian pasien dengan gangguan
konversi dapat menjelaskan adanya defisit sensorik yang dapat diamati.

Hipotesis sosiokultural. Formulasi sosiokultural dari gangguan konversi mengamati bahwa


dalam beberapa budaya ekspresi langsung dari emosi yang intens dilarang. Seperti disebutkan di
atas, hal ini dapat mempengaruhi orang untuk menunjukkan gejala konversi sebagai bentuk yang
lebih dapat diterima komunikasi. Gangguan konversi dengan demikian akan mewakili
komunikasi non-verbal dari ide dilarang atau perasaan. Larangan tersebut dapat diperkuat oleh
peran gender, keyakinan agama dan pengaruh sosial budaya. Ekspresi emosi yang intens dalam
ritual budaya didefinisikan dapat menjadi bagian dari proses penyembuhan.
Penatalaksanaan
Pendekatan psikoterapeutik mencakup psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan.
Pada terapi ini pasien menggali konflik intrapsikik dan simbolisme gejala gangguan konversi.
Bentuk singkat dan langsung psikoterapi jangka pendek juga digunakan untuk menatalaksana
gangguan konversi. Semakin lama durasi penyakit pasien dan semakin banyak mereka
mengalami regresi, semakin sulit terapinya.

24
Terapi farmakologi dapat digunakan pada beberapa kasus, anti-depresan ternyata dapat
mempercepatkan pemulihan, ada penelitian telah menujukkan bahwa anti-depresan dapat
membantu pasien dengan gangguan konversi.
a. Psikoterapi
1. Terapi kognitif perilaku
Penelitian telah menunjukkan bahwa bentuk psikoterapi yang dikenal sebagai Terapi
Kognitif-Perilaku (CBT) dapat sangat efektif dalam mengobati gangguan kecemasan.
Psikolog menggunakan CBT untuk membantu pasien mengidentifikasi dan belajar untuk
mengelola faktor-faktor yang berkonstribusi pada kecemasan mereka. Terapi perilaku
melibatkan teknik untuk mengurangi atau menghentikan perilaku yang tidak di inginkan
terkait dengan gangguan anxietas. Sebagai contoh, salah satu pendekatan melibatkan pasien
untuk berlatih relaksasi dan mendalami teknik pernapasan untuk mengatasi gejala agitasi, dan
pernapasan dangkal yang sering menyertai gangguan kecemasan.

Pendekatan kognitif mengajak pasien secara kangsung mengenali distorsi kognitif dan
pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung. Teknik utama yang
digunakan pada pendekatan behavioral adalah relaksasi dan biofeedback.

2. Terapi suportif
Pasien diberikan re-assurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang ada dan
belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi sosial dan
pekerjaannya.

3. Psikoterapi Berorientasi Tilikan


Terapi ini mengajak pasien ini untuk mencapai penyingkapan konflik bawah sadar,
menilik egostrength, relasi objek, serta keutuhan self pasien. Dari pemahaman akan
komponen-komponen tersebut, kita sebagai terapis dapat memperkirakan sejauh mana pasien
dapat diubah untuk menjadi lebih matur, bila tidak tercapai, minimal kita memfasilitasi agar
pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.

Prognosis

Gejala awal pada sebagian besar pasien dengan gangguan konversi, mungkin 90 hingga 100
persen membaik dalam beberapa hari atau kurang dari satu bulan. Prognosis baik jika awitan
mendadak, stressor mudah diidentifikasi, penyesuaian premorbid baik, tidak ada gangguan
medis atau psikiatri komorbid, dan tidak sedang menjalani proses hukum. Sedangkan semakin
lama gangguan konversi ada, prognosisnya lebih buruk.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Maramis, W.F. Gangguan Disosiatif (Konversi). Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya:


Airlangga University Press.
2. Marshall SA, Bienenfeid D., et all. Conversion Disorder. Medscape Reference.
http://emedicine.medscape.com/article/287464-overview#showall. Updated at Jun 26, 2013.
3. Hadisukanto Gitayanti. Gangguan Konversi. Dalam: Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2010. hal. 268-272.
4. Kaplan, Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis/ benjamin J. Sadock, Virginia A.Sadock; alih
bahasa, Profitasari, Tiara Mahatmi Nisa, editor edisi bahasa Indonesia, Husni Mutaqqin,
Retna Nearyb Elseria Sihombing. Ed. 2 . Jakarta: EGC, 2010. 14. 268-280
5. Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2007). Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York. Lippincot
Wiliam&Wilkins.
6. WHO. Gangguan Disosiatif (Konversi). Dalam: Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan Pertama. Jakarta: Dept. Kesehatan RI; 1993. hal.
196-208.
7. Buku Ajar Psikiatri. 2nd Ed. Jakarta: FKUI; 2013. hal 287-303.
8. Jerald Kay, Tasman Allan. Convertion Disorder. Essential of Psychiatry. Library of
Congress Cataloging-in-Publication Data. New York; 2006.
9. Owens C., Dein S. Conversion Disorder. Advances in Psychiatric Treatment, vol. 12, The
Royal College of Psychiatrists, 2006: 152157.
10. Gabbard GO Somatoform Compulsive Disorder dalam Psychodynamic Psychiatry in
Clinical Practice. 3rd Ed. American Psychiatry Press Inc; 2007. hal 237-43.
11. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III dan
DSM-5, Jakarta; 2001.
12. Tasman, Allan. First, B Michael. Convertion Disorder, Clinical Guide to the Diagnosis and
Treatment of Mental Disoder. New York. Wiley ; 2006.
13. Loewenstein, Richard J. Share, Mackay MD. Convertion Disorder. Review of General
Psychiatry, 5th edition by Vishal.
14. Rubin, Eugene H. Zorumski, Charles F. Convertion Disorder, Adult Psychiatry, second
edition. Blackwell Publishing; 2005.

26

Anda mungkin juga menyukai