Anda di halaman 1dari 28

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Presentasi Kasus : Rabu 07 September 2016
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM BHAKTI YUDHA DEPOK

Nama : Theresia Chlara Esperansa Obisuru Tanda Tangan


NIM : 11-2015-335
..............................
Tanda Tangan
Dr. Pembimbing : dr. Sekar, Sp.S
....
A. STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. MAP
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : SLB Kelas 2 SMA
Pekerjaan :-
Alamat : Jl. KP. Pulo Rangk Jaya Pan Mas
Dirawat di ruang :-
Tanggal masuk RS : 21 November 2016
Tanggal keluar RS :-

PASIEN DATANG KE RS
Sendiri / bisa jalan / tak bisa jalan / dengan alat bantu
Dibawa oleh keluarga : ya / tidak
B. ANAMNESIS
Diambil dari : Alloanamnesis (ibu pasien) Tanggal: 21 November 2016 Jam: 15.15 WIB

Keluhan Utama
Kejang 1x dalam minggu ini

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli saraf dengan keluhan kejang 1 kali dalam minggu ini. Menurut
ibu pasien, saat kejang pasien tampak bengong, tidak berkedip dan pandangan kosong, kaku,
mata mendelik keatas selama kurang lebih 2 menit. Tidak ada keluhan seperti mulut yang
berbusa.

Setelah kejang membaik, pasien tidur 2-3 jam dan setelah bangun tidur seperti orang
bingung kemudian muntah. Setelah muntah pasien baik kembali. Biasanya butuh hari
untuk kembali pulih dari lemas. Setelah itu pasien kembali beraktivitas seperti biasa. Tidak
terjadi adanya lupa ingatan.

Ibu pasien mengatakan, pasien sudah mengalami hal seperti ini sejak usia 15 tahun.
Pasien memiliki riwayat trauma kepala saat pasien berusia 15 tahun. Ibu pasien mengatakan
setelah trauma tersebut pasien sering kejang. Riwayat demam, batuk, pilek, nyeri perut dan
nyeri saat berkemih disangkal oleh ibu pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengalami gangguan pada otak kanannya yaitu otak kanannya tidak dapat
berkembang. Dokter menegakkan diagnosisnya saat pasien berusia 3 bulan.

Pasien lahir normal, pas bulan, tetapi pasien tidak menangis dan biru sehingga harus dirawat
di incubator.

Riwayat hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), stroke (-), penyakit infeksi seperti
tuberculosis (-), kanker (-), riw. Alergi (-).
Riwayat Penyakit Keluarga

Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal serupa. Riwayat DM, hipertensi, penyakit
jantung, stroke, asma, dan riw.alergi tidak ada.

Riwayat Sosial, Ekonomi, Pribadi

Keadaan sosial ekonomi pasien cukup. Pasien tidak merokok maupun mengonsumsi alkohol
juga obat obatan terlarang.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
GCS : E4V5M6 (15)
TD : 100/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernafasan : 18x/menit
Suhu : 36,3 oC
Kepala : normocephal, distribusi rambut merata
Leher : pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba membesar
Paru : SN vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Perut : supel, BU (+) normal, NT abdomen (-), hepar,lien tidak teraba
Kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan

2. Status Psikis
Cara berpikir : tidak dinilai
Perasaan hati : normotim
Tingkah laku : pasien sadar
Ingatan : baik, amnesia (-)
Kecerdasan : tidak dinilai
3. Status Neurologikus
Kesadaran : Compos mentis, GCS 15 (E4 V5 M6)
Kepala
Bentuk : normocephal
Nyeri tekan : (-)
Simetris : (+)
Pulsasi : (-)
Leher
Sikap : normal
Pergerakan : normal
Kaku kuduk : tidak ada
4. Urat Syaraf Kepala
N I. (Olfaktorius) Kanan Kiri
Subjektif
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Dengan bahan
N II. (Optikus)
Tajam penglihatan Normal Normal
Lapangan penglihatan Normal Normal
Melihat warna Normal Normal
Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N III. (Okulomotorius)
Kelopak mata Terbuka Terbuka
Gerakan bola mata:
Superior Normal Normal
Inferior Normal Normal
Medial Normal Normal
Endoftalmus Tidak ada Tidak ada
Eksoftalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil:
Diameter 3 mm 3 mm
Bentuk Bulat isokor Bulat isokor
Posisi Tengah Tengah
Reflex cahaya langsung + +
Reflex cahaya tak langsung + +
Strabismus - -
Nistagmus - -
Reflex konversi - -
N IV. (Troklearis)
Gerakan bola mata:
Medial bawah Normal Normal
Strabismus - -
Diplopia - -
N V. (Trigeminus)
Membuka mulut Tidak ada kelainan
Mengunyah +
Menggigit +
Reflex kornea Tidak dilakukan
Sensibilitas Tidak dilakukan
N VI. (Abduscens)
Pergerakan mata ke lateral Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Strabismus divergen - -
Diplopia - -
N VII. (Fascialis)
Mengerutkan dahi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Kerutan kulit dahi Kerutan (+) Kerutan (+)
Menutup mata Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Sudut mulut Simetris Simetris

Meringis Tidak ada kelainan Tidak ada kelanan

Memperlihatkan gigi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Bersiul Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Daya mengecap 2/3 depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N VIII. (Vestibulokoklear)
Detik arloji + +
Suara berbisik + +
Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N IX. (Glossofaringeus)
Faring Normal
Daya mengecap 1/3 belakang Tidak dilakukan
Refleks muntah Tidak dilakukan
Sengau +
Tersedak -
N X. (Vagus)
Arcus pharynx Simetris
Bicara +
Menelan +
Nadi +
N XI. (Asesorius)
Mengangkat bahu + +
Memalingkan kepala + +
N XII. (Hypoglossus)
Pergerakan lidah +
Tremor lidah -
Artikulasi Baik

Badan dan Anggota Gerak


1. Badan
(a) Motorik
Respirasi : Spontan, torakoabdominal
Duduk : Normal
Bentuk Kolumna Vertebralis : Normal
Pergerakan Kolumna Vertebralis : Tidak dilakukan
(b) Sensibilitas
Taktil Tidak dilakukan
Nyeri Tidak dilakukan
Termi Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan
(c) Refleks
kulit perut atas : tidak dilakukan
kulit perut bawah : tidak dilakukan
kulit perut tengah : tidak dilakukan

2. Anggota gerak atas


(a) Motorik
Kanan Kiri
Pergerakan + +
Kekuatan 5555 5555
Tonus + +
Atrofi - -
(b) Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
(c) Refleks
Kanan Kiri
Biceps Meningkat Meningkat
Triceps Meningkat Meningkat
Radius Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Ulna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tromner-Hoffman - -

3. Anggota gerak bawah


(a). motorik
Kanan Kiri
Pergerakan + +
Kekuatan 5555 5555
Tonus + +
Atrofi - -

(b) Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

(c) refleks
Kanan Kiri
Patella Meningkat Meningkat
Achilles Meningkat Meningkat
Babinski - -
Chaddock - -
Rosolimo - -
Mandel-Bechterev - -
Schaffer - -
Oppenheim - -
Klonus kaki - -
Tes lasegue - -
Kernig - -

4. Koordinasi Gait dan Keseimbangan


Cara berjalan : normal
Test romberg : Tidak dilakukan
Ataksia : Tidak dilakukan
Rebound phenomena : Tidak dilakukan
Dismetria : Tidak dilakukan
5. Gerakan-gerakan Abnormal
Tremor : Tidak ada
Miokloni : Tidak ada
Chorea : Tidak ada
Atetose : Tidak ada

6. Alat vegetative
Miksi : Normal
Defekasi : Normal

D. RINGKASAN

Subjektif:
Pasien datang ke poli saraf dengan keluhan kejang 1 kali dalam minggu ini.
Menurut ibu pasien, saat kejang pasien tampak bengong, tidak berkedip dan
pandangan kosong, kaku, mata mendelik keatas selama kurang lebih 2 menit. Tidak
ada keluhan seperti mulut yang berbusa.
Setelah kejang membaik, pasien tidur 2-3 jam dan setelah bangun tidur seperti
orang bingung kemudian muntah. Setelah muntah pasien baik kembali. Biasanya
butuh hari untuk kembali pulih dari lemas. Setelah itu pasien kembali
beraktivitas seperti biasa. Tidak terjadi adanya lupa ingatan.
Ibu pasien mengatakan, pasien sudah mengalami hal seperti ini sejak usia 15
tahun. Pasien memiliki riwayat trauma kepala saat pasien berusia 15 tahun. Ibu
pasien mengatakan setelah trauma tersebut pasien sering kejang. Riwayat demam,
batuk, pilek, nyeri perut dan nyeri saat berkemih disangkal oleh ibu pasien.

Objektif :
Saat diperiksa, pasien dalam keadaan compos mentis dengan hasil TTV; tekanan
darah 100/70 mmHg, nadi 80x/menit,, pernapasan 18x/menit dan suhu badan
36,3oC. Pada pemeriksaan refleks fisiologis ekstremitas atas dan bawah, didapati
refleks bisep, trisep, patela dan achilles meningkat.
E. DIAGNOSIS
Klinis : epilepsi kejang umum tipe mioklonik
Topis : Korteks serebri
Etiologi : Simptomatis trauma
Patologik : mekanik

F. PENATALAKSANAAN
Non medika- mentosa:
Menerangkan bahwa penyakit ini dapat dikendalikan dengan minum obat teratur
Medika mentosa:

1. Luminal 1 x 50 mg (minum setiap pagi)


2. Risperidon 2 mg (minum setiap malam)
3. Diphenhidrat 250 mg
TINJAUAN PUSTAKA

Epilepsi Kejang Umum Tipe Petit Mall

EPILEPSI
A. Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan
(seizure) yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan pada neuron-
neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh beberapa etiologi.1

Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) merupakan manifestasi klinik dari bangkitan


serupa (stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa
perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak,
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).1

Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang
terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan, jenis
bangkitan, faktor pencetus dan kronisitas.1

B. Klasifikasi

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) terdiri
atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk
sindrom epilepsi.1

Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi:1

1. Bangkitan parsial
a. Bangkitan parsial sederhana
Dengan gejala motorik
Dengan gejala sensorik
Dengan gejala otonomik
Dengan gejala psikis
b. Bangkitan parsial kompleks
Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
Bangkitan parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan
berkembang menjadi umum
2. Bangkitan umum/ menyeluruh (epilepsy grandma)
Lena (absence seizures)
Mioklonik (mioklinus epileptic bilateral yang massif)
Tonik
Atonik/astatik
Klonik
Tonik-klonik
3. Bangkitan yang tidak tergolongkan

Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindroma epilepsy.1


1. Berkaitan dengan lokasi kelainan (localized related)
b. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
(Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital.
(Childhood epilepsy with occipital paroxysm)
Epilepsi primer saat membaca (Primary reading epilepsy)
c. Simtomatis
Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikows Syndrome)
Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
Epilepsi lobus temporal
Epilepsi lobus frontal
Epilepsi lobus parietal
Epilepsi lobus oksipital
d. Kriptogenik
2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan peningkatan usia
a. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
Kejang neonatus familial benigna
Kejang neonatus benigna
Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
Epilepsi lena pada anak
Epilepsi lena pada remaja
Epilepsi mioklonik pada remaja
Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
b. Kriptogenik atau simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
Wests syndrome
Lennox gastaut syndrome
Epilepsi mioklonik astatik
Epilepsi mioklonik lena
c. Simtomatik
Etiologi non spesifik
o Ensefalopati mioklonik dini
o Ensefalopati pada infantil dini dengan burst suppression
o Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas
Sindrom spesifik
Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan umum dan fokal
Bangkitan neonatal
Epilepsi mioklonik berat pada bayi
Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu :
Kejang demam
Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated)
Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau
toksik, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)

C. Patofisiologi.3

Patofisiologi berdasarkan mekanisme eksitasi: Patofisiologi epilepsi berdasarkan


mekanisme imbalans eksitasi dan inhibisi. Aktivitas kejang sangat dipengaruhi oleh
perubahan eksitabilitas sel-sel saraf dan hubungan antar sel-sel saraf. Kejang dapat dipicu
oleh eksitasi ataupun inhibisi pada sel saraf. Glutamat yang dilepaskan dari terminal
presinaps akan berikatan dengan reseptor glutamat yang disebut reseptor inotropik
glutamat (iGluRs) yang memiliki beberapa sub tipe yaitu NMDA (N-methyl-Daspartate)
dan non-NMDA (kainate dan amino-3-hydroxy- 5-methyl-isoxasole propionic acid atau
AMPA). Ikatan glutamat dengan reseptor non-NMDA akan menghasilkan neurotransmisi
eksitasi tipe cepat yang disebut excitatory postsynaptic potential (EPSP). Sementara itu,
ikatan glutamat dengan reseptor NMDA akan menghasilkan tipe EPSP yang lebih lambat.
Patofisiologi berdasarkan mekanisme inhibisi. Neurotransmitter inhibisi primer pada otak
adalah GABA. GABA yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor GABAA dan
menyebabkan masuknya ion Cl- ke dalam sel neuron. Masuknya ion Cl ini akan
meningkatkan muatan negatif dalam neuron post sinaps dan mengakibatkan
hiperpolarisasi, perubahan pada potensial membran ini disebut inhibitory postsinaptic
potential (IPSP). Reseptor GABAB terletak pada terminal presinaptik dan membran
postsinaptik. Jika diaktifkan oleh GABA presinaptik maupun postsinaptik maka reseptor
GABAB akan menyebabkan IPSP. IPSP berperan dalam menurunkan cetusan elektrik sel
saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini akan mengakibatkan eksitasi dan
mencetuskan epilepsi.
Patofisiologi berdasarkan mekanisme sinkronisasi: Epilepsi dapat diakibatkan oleh
gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi
akibat keterlibatan sejumlah besar neuron yang berdekatan dan menghasilkan cetusan
elektrik yang abnormal. Potensial aksi yang terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan
ke neuron-neuron lain yang berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik
yang berlebihan dan bersifat berulang.
Patofisiologi berdasarkan mekanisme iktogenesis. Mekanisme iktogenesis terjadi akibat
perubahan plastisitas seluler dan sinaps serta akibat perubahan pada lingkungan
ekstraseluler. Mekanisme iktogenesis diawali dengan adanya sel-sel neuron abnormal
yang mempengaruhi neuronneuron sekitarnya dan membentuk suatu critical mass, yang
bertanggung jawab dalam mekanisme epilepsi. Sampai saat ini teori tentang iktogenesis
ini masih diperdebatkan. Eksitabilitas merupakan kunci utama padamekanisme
iktogenesis, eksitasi dapat berasal dari neuron individual, lingkungan neuronal atau
populasi neuronal. Ketiga penyebab ini berinteraksi satu sama lain selama satu episode
iktal tertentu.
Patofisiologi berdasarkan mekanisme epileptogenesis. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh
suatu sumber diotak yang dinamakan fokus epileptogenik, yang berasal dari sekelompok
sel neuron yang abnormal di otak dan memiliki lepas muatan listrik yang berlebihan
sehingga mengalami hipersinkronisasi.
Patofisiologi berdasarkan mekanisme peralihan interiktal-iktal. Mekanisme yang
memproduksi sinyal, sinkronisitas dan penyebaran aktivitas sel saraf termasuk kedalam
teori transisi interiktal-iktal. Dari berbagai penelitian, mekanisme transisi ini tidak berdiri
sendiri melainkan hasil dari beberapa interaksi mekanisme yang berbeda. Terdapat dua
teori mengenai transisi interiktaliktal, yaitu mekanisme nonsinaptik dan sinaptik. Pada
nonsinaptik adanya aktivitas iktal-interiktal yang berulang menyebabkan peningkatan
kalium ekstrasel sehingga eksitabilitas neuron meningkat. Aktivitas pompa Na-K sangat
berperan dalam mengatur eksitabilitas neuronal. Hipoksia atau iskemia dapat
menyebabkan kegagalan pompa Na-K sehingga meningkatkan transisi interiktaliktal.
Engelborghs melaporkan bahwa gangguan sinkronisasi juga berperan penting pada transisi
interiktal-iktal. Teori sinaptik ini menyebutkan bahwa penurunan efektivitas mekanisme
inhibisi sinaps ataupun peningkatan aktivitas eksitasi sinapsdapat mencetuskan epilepsi.
Patofisiologi berdasarkan mekanisme neuro kimiawi. Mekanisme epilepsi sangat
dipengaruhi oleh keadaan neurokimia pada sel-sel saraf, misalnya sifat neurotransmiter
yang dilepaskan, ataupun adanya faktor tertentu yang menyebabkan gangguan
keseimbangan neurokimia seperti pemakaian obat-obatan. Selain GABA dan glutamat
yang merupakan neurotransmiter penting dalam epilepsi, terdapat beberapa produk
kimiawi lain yang juga ikut berperan seperti misalnya golongan opioid yang dapat
menyebabkan inhibisi interneuron, ataupun katekolamin yang dapat menurunkan ambang
kejang. Selain itu gangguan elektrolit akibat kegagalan pengaturan pompa ionik juga ikut
mencetuskan serangan epilepsi. Beberapa zat kimia terbukti dapat memicu terjadinya
epilepsi, yaitu alumina hydroxide gel yang menyebabkan degenerasi neuron, kematian
neuron dan penurunan aktivitas GABAergik, pilokapin yang menyebabkan pembengkakan
pada dendrit, soma dan astrosit, dan pada tahap akhir menyebabkan kematian sel. Asam
kainat terbukti dapat menginduksi kejang dengan cara memacu reseptor EAA (excitatory
amino acid).
Patofisiologi berdasarkan mekanisme imun. Teori mengenai mekanisme imun masih
jarang diperbincangkan dan masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Teori ini
menyebutkan bahwa reaksi imunologis atau inflamasi menyebabkan berbagai penyakit
neurologis termasuk epilepsi. Reaksi inflamasi pada sistem saraf pusat merupakan akibat
dari aktivasi sistem imun adaptif maupun nonadaptif. Penelitian yang dilakukan pada
binatang percobaan memperlihatkan bahwa selama aktivitas epilepsi terjadi pelepasan
mediator inflamasi oleh mikroglia, astrosit dan neuron.

D. Etiologi Epilepsi.1
1. Idiopatik
Penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik.
2. Kriptogenik
Dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum diketahui termasuk di sini adalah
sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik
sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatik/sekunder
Disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat, misalnya cedera kepala,
infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah
otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro degeneratif.

E. Diagnosis

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang didukung dengan


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ada tiga langkah dalam menegakkan
diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:1
1.
Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal menunjukan bangkitan
epilepsy atau bukan epilepsy
2.
Apabila benar terdapat bangkitan epilepsy, maka tentukanlah bangkitan yang ada
termasuk jenis bangkitan yang mana
3.
Tentukan etiologi, sindrom epilepsy apa yang ditujukan oleh bangkitan tadi atau
epilepsy apa yang diderita oleh pasien.

Gambaran klinik epilepsi berdasarkan bentuk bangkitan:

a. Bangkitan umum lena


Gangguan keadaran mendadak (absence) berlangsung beberapa detik
Selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa reaksi
Mata memandang jauh kedepan
Mungkin terdapat automatisme
Pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaan bingung
Sesudah itu pasien melanjutkan aktivitas semula
b. Bangkitan umum tonik-klonik
Dapat didahului prodromal seperti jeritan, sentakan, mioklonik
Pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik diikuti
gerakan kejang kelojotan pada kedua lengan dan tungkai (fase klonik) selama
30-60 detik, dapat disertai mulut berbusa
Selesai bangkitan pasien menjadi lemas (fase flasid) dan tampak bingung
Pasien sering tidur setelah bangkitan selesai

Gambar1. Bangkitan umum tonik-klonik.


http://www.mmgazette.com/wp-content/uploads/2013/09/seizuredisorders.jpg
c. Bangkitan parsial sederhana
Tidak terjadi perubahan kesadaran
Bangkitan dimulai dari lengan, tungkai atau muka (unilateral/fokal) kemudian
menyebar pada sisi yang sama (jacksonian march)
Kepala mungkin berpaling kearah bagian tubuh yang mengalami kejang
(adversif)
d. Bangkitan parsial kompleks
Bangkitan fokal disertai terganggunya kesadaran
Sering diikuti oleh automatisme yang stereotipik seperti mengunyah, menelan,
tertawa dan kegiatan motoric lainnya tanpa tujuan yang jelas
Kepala mungkin berpaling kearah bangian tubuh yang mengalami kejang
(adversif)
e. Bangkitan umum sekunder
Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang dalam
waktu singkat menjadi bangkitan umum\
Bangkitan parsial dapat berupa aura
Bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik-klonik

Diagnosis epilepsy ditegakan atas dasar adanya gejala dan tanda klini dalam bentuk
bangkitan epilepsy berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform
pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai
berikut :

1. Anamnesis
Pola/bentuk bangkitan
Lama bangkitan
Gejala sebelum, selama, pasca bangkitan
Frekuensi bangkitan
Faktor pencetus
Ada/tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat terjadi bangkitan pertama
Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan bayi/anak
Riwayat terapi epilepsy sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsy dalam keluarga

Gambar 2. Serangan Epilepsi.


http://penyakitepilepsi.com/wp-content/uploads/2012/08/penyakit-epilepsi.jpg

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:1
- Trauma kepala
- Tanda-tanda infeksi
- Kelainan kongenital
- Kecanduan alkohol atau napza
- Gangguan neurologic fokal atau difus
- Tanda-tanda keganasan
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Rekam EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi folik,
hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsy refleks)
Kelainan epileptiform EEG interiktal (diluar bangkitan) pada orang dewasa dapat
ditemukan sebesar 29-38% pada pemeriksaan ulang gambaran epileptiform dapat
meningkat menjadi 59-77%
Bila EEG pertama normal sedangkan persangkaan epilepsy sangat tinggi, maka
dapat dilakukan EEG ulang dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau dilakukan
dengan persyaratan khusus, misalnya kurang tidur (sleep deprivation), atau dengan
menghentikan obat anti-epilepsi (OAE)
Indikasi pemeriksaan EEG
o Membantu menegakkan diagnosis epilepsy
o Menentukan prognosis pada kasus tertentu
o Pertimbangan dalam penghentian OAE
o Membatu dalam menentukan letak focus
o Bila ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan sebelumnya
b. Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging) dengan indikasi
Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan structural
Adanya perubahan bentuk bangkitan
Terdapat defisit neurologik fokal
Epilepsi dengan bangkitan parsial
Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
Untuk persiapan tindakan pembedahan epilepsy

Magnetic Resonance Imaging (MRI):

MRI merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk epilepsy dengan sensitivitas


tinggi dan lebih spesifik disbanding dengan CT scan
MRI dapat mendeteksi sclerosis hipokampus, disgenesis kortika, tumor dan
hemangioma kavernosa
Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk epilepsy yang sangat mungkin memerlukan
terapi pembedahan

c. Pemeriksaan Laboratorium
Darah : hemoglobin, lekosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah
tepi, elektrolit, kadar glukosa darah sewaktu, fungsi hati, ureum, kreatinin, albumin.
Cairan serebrospinal, bila dicurigai ada infeksi SSP
Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya ada kelainan
metabolik bawaan

G. Terapi

Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup
normal dan tercapainya kualitas hidup optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan
perjalanan penyakit dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Harapannya adalah
bebas bangkitan, tanpa efek samping. Untuk tercapainya tujuan tersebut, diperlukan
beberapa upaya, antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa
efek samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan
kematian. Terapi pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi.1

Prinsip Terapi Farmakologi

Obat antiepilepsi (OAE) diberikan bila:


o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
o Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
o Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
o Penyandang dan atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping yang timbul dari OAE
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai jenis bangkitan
dan jenis sindrom epilepsi
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping
Kadar obat dalam plasma ditentukan bila:
o Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
o Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE
o Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan
o Setelah penggantian dosis/regimen OAE
o Untuk melihat interaksi antar OAE atau obat lain
Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar
terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap. Bila terjadi bangkitan saat penurunan
OAE pertama, kedua OAE tetap diberikan. Bila respons yang didapat buruk, kedua
OAE harus diganti dengan OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan
bila terdapat respons dengan OAE kedua, tetapi respons tetap sub optimal walaupun
penggunaan kedua OAE pertama sudah maksimal.
Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:
o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
o Pada pemeriksaa CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang bekorelasi dengan
bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak,
ensefalitis herpes
o Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya
kerusakan otak
o Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung
o Riwayat bangkitan simtomatis
o Terdapat sindrom epilepsi yang beresiko kekambuhan tinggi seperti JME
(Juvenile Myoclonic Epilepsy)
o Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke,
infeksi SSP
o Bangkitan pertama berupa status epileptikus
Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan profil
farmakologis tiap OAE dan interaksi farmakokinetik antar OAE

Tabel 1. Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan1

Bangkitan Bangkitan Bangkitan Bangkitan Bangkitan


Fokal Umum Tonik Lena Mioklonik
OAE
Sekunder Klonik

Phenytoin ++++ ++++ ++ - -

Carbamazepine ++++ ++++ ++ - -

Valproic acid +++ +++ ++ ++++ +

Phenobarbital ++ ++ ++ +

Gabapentin ++ ++ + -

Lamotrigine ++ ++ ++ ++++

Topiramate ++ ++ ++ +

Zonisamide ++++ ++++ + + +

Levetiracetam ++++ ++++ + + +

Oxcarbazepine ++ ++ ++ - -
Clonazepam + - - - -

++++ adalah A (efektif monoterapi)


+++ adalah B ( sangat mungkin efektif sebagai monoterapi)
++ adalah C (mungkin efektif untuk monoterapi)
+ adalah D (berpotensi untuk efektif sebagai monoterapi)

Ada dua mekanisme obat epilepsi yang penting yaitu dengan mencegah timbulnya
letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dan dengan mencegah terjadinya letupan
depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi. Obat epilepsi digunakan
terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Golongan
obat ini lebih tepat dinamakan antiepilepsi sebab obat ini jarang digunakan untuk gejala
kejang/konvulsi penyakit lain. Pasien perlu berobat secara teratur. Pasien atau keluarganya
dianjurkan untuk membuat catatan tentang datangnya waktu bangkitan epilepsi.1

Tabel 2. Mekanisme Kerja dan Tempat Ekskresi OAE1


Obat Mekanisme Kerja Ekskresi
Karbamazepin Blok sodium channel pada neuron, bekerja juga pada >95% hati
reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin
Fenitoin Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium >90% hati
dan klorida dan neurotransmiter yang voltage dependent
Fenobarbital Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA, menurunkan 75% hati
eksitabilitas glutamat, menurunkan konduktan natrium, 25% ginjal
kalium, dan kalsium
Valproat Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan >95% hati
ambang konduktan kalsium (T) dan kalium
Levetiracetam Tidak diketahui Cairan
tubuh
Gabapentin Modulasi calcium channel tipe N 100% ginjal
Lamotrigin Blok konduktan natrium yang voltagedependent 85% hati
Okskarbazepin Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, 45% hati
modulasi aktivitas calcium channel 45% ginjal
Topiramat Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA- 90% hati
mediated chloride, meodulasi efek reseptor GABAA,
bekerja pada reseptor AMPA
Zonisamid Blok sodium, potassium, calcium channels, inhibisi >90% hati
eksitasi glutamat
.

Penghentian OAE

Pada dewasa, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 5


tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam
hal penghentian OAE, maka ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum
untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE dihentikan.
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:1

Setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal


Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya
Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka
waktu 3-6 bulan
Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan
utama

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan
sebagai berikut:1

Semakin tua usia, kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi


Epilepsi simtomatis
Gambaran EEG yang abnormal
Bangkitan yang sulit dikontrol dengan OAE
Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita; sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada
epilepsi lena masa anak kecil, 25-75% epilepsi parsial kriptogenik/simtomatis, 85-
95% pada epilepsi mioklonik pada anak, dan JME
Penggunaan lebih dari satu OAE
Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir kemudian
dievaluasi kembali. Rujukan ke spesialis epilepsi perlu dipertimbangkan bila:1

Tidak responsif terhadap 2 OAE pertama


Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi
Berencana untuk hamil
Dipertimbangkan untuk penghentian terapi

Status Epileptikus

Status epileptikus adalah bangkitan yang terjadi melebihi dari 30 menit atau adanya
dua bangkitan atau lebih di mana di antara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai bila bangkitan
konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. Status epileptikus merupakan
kegawatdaruratan yang memerlukan penangan dan terapi segera guna menghentikan
bangkitan. Dikenal dua tipe status epileptikus; status epileptikus konvulsif (terdapat
bangkitan motorik) dan status epileptikus non-konvulsif (tidak terdapat bangkitan motorik).1

Tabel 3. Protokol penanganan status epileptikus konvulsif.1,4


Stadium Penatalaksanaan
Stadium 1 (0-10 menit) - Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi
- Berikan oksigen
- Periksa fungsi kardiorespirasi
- Pasang infus
- Lorazepam i.v 0,1 mg/kgBB (dapat diberikan 4 mg
bolus)
Stadium 2 (0-30 menit) - Monitor pasien
- Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptik
- Terapi antiepilepsi emergensi
- Berikan glukosa (D50% 50 ml) dan atau thiamine 250
mg i.v bila ada kecurigaan penyalahgunaan alkohol atau
defisiensi nutrisi
- Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat
Stadium 3 (0-60menit) - Pastikan etiologi
- Siapkan untuk rujuk ke ICU
- Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi
- Vasopressor bila diperlukan
- Phenytoin i.v 15-18 mg/kg dengan kecepatan 50
mg/menit
Stadium 4 (30-90 menit) - Pindah ke ICU
- Perawatan intensif dan monitor EEG
- Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan
- Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang
- Propofol 1-2 mg/kgBB bolus

Diagnosis Banding Epilepsi.5

1. Sinkope
2. Bangkitan panik, psikogenik
Kesimpulan Kasus

Pasien dengan inisial MAP usia 21 tahun datang ke poli saraf dengan keluhan kejang
1 kali dalam minggu ini. saat kejang pasien tampak bengong, tidak berkedip dan pandangan
kosong, kaku, mata mendelik keatas selama kurang lebih 2 menit. Tidak ada keluhan seperti
mulut yang berbusa. Setelah kejang membaik, pasien tidur 2-3 jam dan setelah bangun tidur
seperti orang bingung kemudian muntah. Setelah muntah pasien sadar dan baik kembali.
Biasanya butuh hari untuk kembali pulih dari lemas. Setelah itu pasien kembali
beraktivitas seperti biasa. Tidak terjadi adanya lupa ingatan. Pasien sudah mengalami hal
seperti ini sejak usia 15 tahun. Pasien memiliki riwayat trauma kepala saat pasien berusia 15
tahun. Ibu pasien mengatakan setelah trauma tersebut pasien sering kejang. Riwayat demam,
batuk, pilek, nyeri perut dan nyeri saat berkemih disangkal oleh ibu pasien.

Diagnosis klinis pasiennya : epilepsi kejang umum tipe mioklonik. Diagnosis Topis :
Korteks serebri. Diagnosis Etiologi: Simptomatis trauma dan diagnosis Patologik :
mekanik. Terapi yang diberikan :
Luminal 1 x 50 mg (minum setiap pagi)
Risperidon 2 mg (minum setiap malam)
Diphenhidrat 250 mg
Daftar Pustaka

1. Kusumaastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Pedoman tatalaksana epilepsy. Edisi


ke-3. Jakarta: PERDOSSI.2008
2. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Konsensus nasional epilepsy. Jakarta;
2006.p.2-21
3. Vera R, Dewi MAR, Nursiah. Sindrom epilepsi pada anak. MKS: Januari 2014. 46
(vol.1) hal. 72-76
4. Misbach HJ, Habid A, Mayza A, Saleh MK. Buku pedoman standar pelayanan medis
dan standar prosedur operasional. 2006.p.12-3
5. Guberman A, Bruni J. Essentials of clinical epilepsy. Edisi ke-2. United states of
America. 1999.p.16-7

Anda mungkin juga menyukai

  • Hernia Inguinalis
    Hernia Inguinalis
    Dokumen38 halaman
    Hernia Inguinalis
    Chlara Obisuru
    100% (1)
  • Ogilvie Syndrom
    Ogilvie Syndrom
    Dokumen14 halaman
    Ogilvie Syndrom
    Chlara Obisuru
    Belum ada peringkat
  • Mi
    Mi
    Dokumen36 halaman
    Mi
    Chlara Obisuru
    Belum ada peringkat
  • IKkk
    IKkk
    Dokumen1 halaman
    IKkk
    Chlara Obisuru
    Belum ada peringkat
  • Eritroderma
    Eritroderma
    Dokumen14 halaman
    Eritroderma
    Chlara Obisuru
    Belum ada peringkat
  • Okkoklj
    Okkoklj
    Dokumen15 halaman
    Okkoklj
    Chlara Obisuru
    Belum ada peringkat
  • Eritroderma
    Eritroderma
    Dokumen14 halaman
    Eritroderma
    Chlara Obisuru
    Belum ada peringkat
  • KKK
    KKK
    Dokumen2 halaman
    KKK
    Chlara Obisuru
    100% (1)