Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

LOWER MOTOR NEURON


(LMN)

Pembimbing : dr. Dini Adriani sp.S

Angela Sondang (112015214)

1
PENDAHULUAN

Impuls motorik unyuk gerakan volunter terutama dicetuskan di girus presentralis lobus
frontalis (korteks motorik primer, area 4 Brodmann) dan area kortikal di sekitarnya (neuron
motorik pertama). Impuls tersebut berjalan di dalam jaras serabut yang panjang (terutama
traktur kortikonuklearis dan traktur kortikospinalis/jaras piramidal), melewati batang otak dan
turun ke medula spinalis ke kornu anterius, tempat mereka membentuk kontak sinaptik
dengan neuron motorik kedua-biasanya melewati satu atau beberapa interneuron perantara.1
Serabut saraf yang muncul dari area 4 dan area kortikal yang berdekatan bersama-sama
membentuk traktur piramidalis, yang merupakan hubungan yang paling langsung dan
tercepat antara area motorik primer dan neuron motorik di kornu anterius. Selain itu, area
kortikal lain (terutama korteks premotorik, area 6) dalam kontrol neuron gerakan. Area-area
tersebut membentuk lengkung umpan-balik yang kompleks satu dengan lainnya dan dengan
korteks motorik primer dan serebelum; struktur ini memengaruhi sel-sel di kornu anterius
medula spinalis melalui beberapa jaras yang berbeda di medula spinalis. Fungsinya terutama
untuk memodulasi gerakan dan untuk mengatur tonus otot.1
Impuls yang terbentuk di neuron motorik kedua pada nukeli nervi kranialis dan kornu
anterius medula spinalis berjalan melewat radiks anterior, pleksus saraf (di regio servikal dan
lumbosakral), serta saraf perifer dalam perjalanannya ke otot-otot rangka. Impuls dihantarkan
ke sel-sel otot melalui motor end plate taut neuromuskular.1
Lesi pada neuron motorik pertama di otak atau medula spinalis biasanya menimbulkan
paresis spastik, sedangkan lesi neuron motorik orde kedua di kornu anterius, radiks anterior,
saraf perifer, atau motor end plate biasanya menyebabkan paresis flasid. Defisit motorik
akibat lesi pada sistem saraf jarang terlihat sendiri-sendiri; biasanya disertai oleh berbagai
defisit sensorik, otonomik, kognitif, dan/atau defisit neuropsikologis dalam berbagai bentuk,
tergantung pada lokasi dan sifat lesi penyebabnya.1
Bagian perifer sistem saraf motorik terdiri dari nuklei nervus kranialis motorik di batang
otak, sel motorik kosnu anterius medula spinalis, radiks nateroir pleksus-pleksus nervus
sevikal dan lumbosakral, saraf perifer, dan motor end plates di otot rangka.1

2
Tabel 1: Perbedaan kelumpuhan UMN dan LMN
LMN UMN
Weak or paralyzed Voluntary strength Weak or paralyzed
May be present Atrophy Disuse atrophy
Hypoactive or absent Muscle Stretch Reflexes Hyperactive (spastic)
Flaccid Tone Spastic
Fasciculations Abnormal Movements Withdrawal spasm, abnormal
reflexes

Paralisis flasid disebabkan oleh interupsi unit motorik di suatu tempat manapun, dapat di
kornu anterius, salah satu atau beberapa radiks anteror, pleksus saraf, atau saraf perifer,
Kerusakan unit motorik memutuskan serabut otot di unit motorik dari persarfan volunter
maupun refleks. Otot-otot yang terkena sangat lemah (plegia), dan terdapat penurunan tonur
otot yang jelas (hipotonia), serta hilangnya refleks (arefleksia) karena legkung refleks regang
monosinaptik terputus. Atrofi otot terjadi dalam beberapa minggu, ketika otot tersebut secara
perlahan-lahan dgantikan oleh jaringan ikat; setelah beberapa bulan atau taun terjadinya trofi
yang progresif, penggantian ini akan selesai. Dengan demikian, sel-sel kornu anterius
memengaruhi trofi pada serabut otot, yang diperlukan untuk mempertahankan fungsi dan
struktur yang normal.1
Sindrom paralisis flasid terdiri dari:
- Penurunan kekuatan kasar
- Hipotonia atau atonia otot
- Hiporefleksia atau arefleksia
- Atrofi otot1

Lesi Lower Motor Neuron2

Trauma, infeksi (poliomielitis), penyakit vaskuler penyakit degeneratif dan neoplasma


dapat menimbulkan suatu lesi lower motor neuron dengan merusak badan sel dalam columna
grisea atau nervus spinalis. Tnada-tanda klinik berikut ditemukan pada lesi lower motor
neuron:

1. Paralisis flaksid otot-otot yang disuplai

2. Atrofi otot-otot yang disuplai


3
3. Kehilangan refleks otot-otot yang disuplai

4. Fasikulasi muskuler. Keadaan ini merupakan twitchin otot-otot yang hanya


terlihat jika terdapat kerusakan yang lambat dari sel lower motor neuron.

5. Kontraktur muskuler. Ini adalah pemendekan otot-otot yang mengalami paralise.


Lebih sering terjadi pada otot-otot antagonis dimana kerjanya tidak lagi dilawan
oleh otot-otot yang mengalami paralise.

6. Reaksi degenerasi. Dalam keadaan normal otot-otot yang diinervasi memberikan


respon terhadapa stimulasi dengan cara pemberian arus faradik (terputus-putus)
dan kontraksi dapat berlanjut selama arus berjalan. Arus galvanis atau langsung
hanya menyebabkan kontraksi jika arus dihidupkan atau dimatikan. Jika lower
motor neuron dipotong, maka suatu ototn tidak lagi akan memberikan respon
terhadap stimulasi listrik terputus-pututs dalam waktu tujuh hari setelah
pemotongan terhadap saraf, kendatipun tetap akan memberikan respon terhapar
arus langsung juga hilang. Perubahan dalam respon otot terhadpa stimualasi
listrik diketahui sebagai reksi degenerasi.

Neuropati perifer

Neuropati dadapat didefinisikan sebagai perubahan struktur dan fungsi saraf perifer atau
saraf tepi, baik motorik, sensorik, dan otonom, yang menyebabkan gejala dan tanda neuropati.
Neuropati dapat disebabkan banyak faktos, termasuk faktor penuaan, diabetes, proses
pengobatan, trauma, infeksi, alkoholisme, gangguan nutrisi, imunitas, dan akibat gangguan
metabolik lainnya. Neuropati pada umumnya dialami oleh sekitar 26% atau 1 dari 4 orang
yang berusia 40 tahun keatas. Pada penderita diabeter, angka prevalensi ini meningkat
menjadi 50% atau 1 dari 2 penderita. Neuropati juga dapat menyerang mereka yang
mengalami defisiensi vitamin B1, B6, dan B12.3

Etiologi3

Metabolik

Neuropati diabetik:

Polineuropati : komplikasi diabetes melitus yang paling sering terjadi

4
Gejala dan tanda : - gangguan motorik tungkai lebih sering terkena daripada
tangan

gangguan sensorik kaos kaki dan sarung tangan berupa


gangguan rasa nyeri dan suhu, vibrasi serta posisi.

Otonom neuropati :

Gejala dan tanda : - keringat berkurang, hipotensi ortostatik, nokturnal diare,


inkontinensi alvi, konstipasi, inkontinensi dan retensio
urin, gastroparesis dan impotensi

Mononeuropati :

Gejala dan tanda : terutama mengenai nervi kranialis (terutama nervi untuk
pergerakan bola mata) dan saraf tepi besar dengan gejala
nyeri.

Polineuropati uremikum :

Terjadi pada pasien uremia kronis (gagal ginjal kronis)

Gejala dan tanda : - gangguan sensorimotor simetris pada tungkai dan tangan

rasa gatal, geli dan rasa merayap pada tungkai dan paha
memberat pada malam hari, membaik bila kaki
digerakkan (restless leg syndrome).

Nutrisional

Polineuropati defisiensi :

Piridoksin : pada penggunaan Isoniazid (INH)

Gejala dan tanda : neuropati sensorimotor dan neuropati optika

Asam folat : sering pada penggunaan fenitoin dan intake asam folat yang
kurang

Niasin : pada pasien defisiensi multipel

5
Polineuropatik alkoholik : Neuropati karena defisiensi multivitamin dan thiamin

Gejala dan tanda : gangguan sensorimotor simetris terutama tungkai tahap lanjut
mengenai tangan.

Toksik :

Arsenik : keracunan arsen secara kronik (akumulasi kronik)

Gejala dan tanda : - gangguan sensoris berupa nyeri dan gangguan motorik yang
berkembang lambat

Gangguan GIT mendahului gangguan neuropati oleh karena


intake arsen.

Merkuri :

Gejala dan tanda : menyerupai keracunan arsen

Drug Induced

Obat antineoplasma : (cisplatin, carboplastin, vincistin)

Gejala dan tanda : - Banyak sebagai gangguan sensorik polineuropati setelah


beberapa minggu terapi seperti parestesia.

- Gangguan proprioseptif, vibrasi sering terganggu sampai


mengenai kolum posterior

- Gangguan motorik terutama tungkai bawah

Antimikrobial :

- INH : simetrikal polineuropati

- Kloramfenikol dan metronodazole :

Gangguan sensorik ringan/akral parestesia, kadang optik neuropati.

Keganasan / paraneoplastic polyneuropathy

Gejala dan tanda : - Banyak dalam bentuk distal simetrikal sensorimotor polineuropati

6
akibat remote effect keganasan seperti : mieloma multipel,
limfoma

- Gejala motorik seperti ataksia, atrofi tingkat lanjut kelumpuhan

Trauma : neuropati jebakan

Kriteria Diagnosis3

Klinis :

- Gangguan sensorik : parestesia, nyeri, terbakar, penurunan rasa raba, vibrasi dan
posisi

- Gangguan motorik : kelemahan otot-otot

- Reflek tendon menurun

- Fasikulasi

Laboratorium :

- Gula darah puasa, fungsi ginjal, kadar vitamin B1, B6, B12 darah, kadar logam
berat, fungsi hormon tiroid

- Lumbal pungsi : sesuai indikasi

Gold standard :

- ENMG : degenerasi aksonal dan demielinisasi

- Biopsi saraf

Tatalaksana3

- Terapi kausa

- Simptomatis : analgetik, antiepileptik

7
- Neurotropik vitamin : B1, B6, B12, asam folat

- Fisioterapi

Mononeuropathy

Carpal Tunnel Syndrome (CTS)3

Salah satu penyakit yang paling sering mengenai Nervus medianus adalah neuropati
tekanan/jebakan (entrapment neuropathy). Di pergelangan tangan nervus medianus berjalan
melalui terowongan karpal (carpal tunnel) dan menginnervasi kulit telapak tangan dan
punggung tangan di daerah ibu jari, telunjuk, jari tengah dan setengah sisi radial jari manis.
Pada saat berjalan melalui terowongan inilah nervus medianus paling sering mengalami
tekanan yang menyebabkan terjadinya neuropati tekanan yang dikenal dengan istilah
Sindroma Terowongan Karpal/STK (Carpal Tunnel Syndrome/CTS).3

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan sindrom yang timbul akibat N. Medianus
tertekan di dalam Carpal Tunnel (terowongan karpal) di pergelangan tangan, sewaktu nervus
melewati terowongan tersebut dari lengan bawah ke tangan. CTS merupakan salah satu
penyakit yang dilaporkan oleh badan-badan statistik perburuhan di negara maju sebagai
penyakit yang sering dijumpai di kalangan pekerja-pekerja industri.3

Gejala klinis2

- Parestesia dan nyeri pada pergelangan, tangan dan bagian volar 3 jari sering kali
hanya pada ujung hari, terutama pada malam hari

- Tanda Tinnel +

- Tes Phallen +

Diagnostik2

- Laboratorium : hematologi rutin, gula darah puasa, fungsi ginjall, tiroid

- Radiologi : rontgen pergelangan tsangan (osteofit, deposit kalsium)

- Gold standard : ENMG

Terapi

8
Penatalaksanaan carpal tunnel syndrome tergantung pada etiologi, durasi gejala, dan
intensitas kompresi saraf. Jika sindrom adalah suatu penyakit sekunder untuk penyakit
endokrin, hematologi, atau penyakit sistemik lain, penyakit primer harus diobati. Kasus
ringan bisa diobati dengan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan menggunakan
penjepit pergelangan tangan yang mempertahankan tangan dalam posisi netral selama
minimal 2 bulan, terutama pada malam hari atau selama gerakan berulang. Kasus lebih lanjut
dapat diterapi dengan injeksi steroid lokal yang mengurangi peradangan. Jika tidak efektif,
dan gejala yang cukup mengganggu, operasi sering dianjurkan untuk meringankan kompresi.3

Poliomielitis

Poliomielitis merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dengan
predileksinya merusak sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang (anterior horn cells
of the spinal cord) dan batang otak (brain stem); dengan akibat kelumpuhan otot-otot dengan
distribusi dan tingkat yang bervariasi serta bersifat permanen.4

Epidemiologi Poliomielitis

Penyakit poliomyelitis tersebar di seluruh dunia. Manusia merupakan satusatunya


reservoir penyakit ini. Di negara mempunyai 4 musim, penyakit ini lebih sering terjadi di
musim panas, sedangkan di negara tropis musim tidak berpengaruh. Sebelum tahun 1880
penyakit ini sering terjadi secara sporadis, di mana epidemi yang pertama sekali dilaporkan
dari Scandinavia dan Eropa Barat lalu Amerika Serikat.4

Klasifikasi Poliomielitis

Poliomielitis terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:4

1. Poliomielitis asimtomatis : setelah masa inkubasi 6-20 hari, tidak terdapat gejala karena
daya tahan tubuh cukup baik, maka tidak terdapat gejala klinik sama sekali.

2. Poliomielitis abortif : timbul mendadak langsung beberapa jam sampai beberapa hari.
Gejala berupa infeksi virus seperti malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri
tenggorokan, konstipasi dan nyeri abdomen.

9
3. Poliomielitis non paralitik : gejala klinik hampir sama dengan poliomyelitis abortif , hanya
nyeri kepala, nausea dan muntah lebih hebat. Gejala ini timbul 1-2 hari kadang-kadang
diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau masuk kedalam fase
ke-2 dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini dengan hipertonia, mungkin disebabkan oleh
lesi pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.

4. Poliomielitis paralitik : dibagi menjadi 2 yaitu paralisis spinal dan paralisis bulbar. Polio
paralisis spinal Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel
tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun
strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari 200
penderita akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan terjadi pada
kaki. Setelah virus polio menyerang usus, virus ini akan diserap oleh pembulu darah kapiler
pada dinding usus dan diangkut seluruh tubuh. Virus Polio menyerang saraf tulang belakang
dan syaraf motorik -- yang mengontrol gerakan fisik. Pada periode inilah muncul gejala
seperti flu. Namun, pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum divaksinasi,
virus ini biasanya akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan batang
otak. Infeksi ini akan memengaruhi sistem saraf pusat -- menyebar sepanjang serabut saraf.
Seiring dengan berkembang biaknya virus dalam sistem saraf pusat, virus akan
menghancurkan syaraf motorik. Syaraf motorik tidak memiliki kemampuan regenerasi dan
otot yang berhubungan dengannya tidak akan bereaksi terhadap perintah dari sistem saraf
pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas, kondisi ini disebut acute
flaccid paralysis (AFP). Infeksi parah pada sistem saraf pusat dapat menyebabkan
kelumpuhan pada batang tubuh dan otot pada toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut
quadriplegia.

Polio bulbar

Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga batang otak ikut
terserang. Batang otak mengandung syaraf motorik yang mengatur pernapasan dan saraf
kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai syaraf yang mengontrol pergerakan bola mata;
saraf trigeminal dan saraf muka yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan
otot muka; saraf auditori yang mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu
proses menelan dan berbagai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf
yang mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur
pergerakan leher.
10
Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan kematian. Lima hingga
sepuluh persen penderita yang menderita polio bulbar akan meninggal ketika otot pernapasan
mereka tidak dapat bekerja.

Kematian biasanya terjadi setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang bertugas
mengirim 'perintah bernapas' ke paruparu. Yang terkena bagian atas nervus cranial (N.III
N.VII) dan biasanya dapat sembuh. Lalu bagian bawah (N.IX N.XIII ) sehingga terjadi
pasase ludah di faring terganggu sehingga terjadi pengumpulan air liur,mucus dan dapat
menyebabkan penyumbatan saluran nafas sehingga penderita memerlukan ventilator. Tingkat
kematian karena polio bulbar berkisar 2-5% pada anak dan 15-30 % pada dewasa (tergantung
usia penderita).

Sindrom Guillain-Barre (Guillain-Barre Syndrome(GBS))

Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit dimana sistem kekebalan tubuh seseorang
menyerang sistem saraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot, apabila parah dapat
mengakibatkan kelumpuhan bahkan otot-otot pernapasan.5

Etiologi

Penyebab pasti belum diketahui, beberapa tepri menyebut ganguuan autoimun sehingga
terjadi inflamasi dan destruksi myelin, senagian besar kasus didahului oleh infeksi virus
(epstein-Barr virus, influenza virus, dll), bakteri (Campylobacter jejuni, Mycoplasma
pneumoniae, dll), vaksinasi (BCG, tetanus, varicella, dll). Keadaan lain seperti penyakit
sistemik seperti kanker, kehamilan, pembedahan dan anestesi epidural.6

Patofisiologi
Mekanisme imunitas humoral dan seluler berperan dalam manifestasi GBS. Onset GBS
umumnya muncul 1-4 minggu setelah pemyakit infeksius muncul. Banyak organisme
infeksius yang dianggap menginduksi produksi antibodi yang bereaksi silang dengn
gangliosid dan dlikolipid, seperti GM1 dan GD1b, yang terserbar luas di sepanjang mielin
pada system saraf perifer. Reaksi silang ini dikenal dengan istilah molecular mimicry.6
Ditemukan sel inflamasi dan makrofag pada saraf penderita GBS, yang selanjutnya akan
diikuti dengan destruksi mielin akibat aktivitas sitokin. Inflamasi dan degenerasi mielin
menyebabkan kebocoran protein dari sarah ke cairan serebrospinalis, menyebabkan
11
peningkatan konsentrasi protein cairan serebrospinalis. Tanda ini merupakan ciri khas pada
GBS. Sel Schwann yang memiliki kemampuan membentuk serabut mielin biasanya tidak
mengalami destruksi, sehingga menjelaskan bagaimana GBS bisa sembuh total.6

Manifestasi Klinis6

-
Paralisis motorik akut dan cepat (umumnya tetraparesis)

-
Ascending paralysis (lemah dari kaki naik ke atas)

-
Glove stocking (sensai kesemutan pada ekstremitas)

-
Refleks fisiologis menurun atau menghilang (arefleksia)

-
Kadang terjadi paresis nervus kranialis dan atau gangguan sensoris (hilangnya sensasi
nyeri dan suhu)

-
Bila mengenai saraf autonom (fluktuasi tekanan darah yang tinggi, hipotensi postural,
dan disritmua jantung.

Klasifikasi sub tipe GBS :6

a. Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP):

Kerusakan utama di serabut mielin

Menyebabkan kelemahan akut tungkau dan otot pernapasan

Menyebabkan gejala dan tanda sensoris (mati rasa, pin and needles)

b. Acute motor axonal neuropathy (AMAN):

Kerusakan utama di akson motorik

Menyebabkan kelemahan akut tungkai dan otot pernapasan

Tidak ada kelainan pada sensoris

c. Acute motor and sensory axonal neuropathy (AMSAN):

Kerusakan pada akson motorik dan sensorik

Menyebabkan kelemahan akut tungkai dan otot pernapasan


12
d. Miller fisher syndrome (MFS):

Area kerusakan utama tidak diketahui

Menyebabkan kelemahan akut otot orbitalis (ophthalmoplegia)

Menyebabkan hilangnya keseimbangan dan koordinasi (ataksia)

Terapi

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat
simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan
waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga
pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit
dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).7

Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak


mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. 7

Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor


autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil
yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas
yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan
dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). 7

Pengobatan imunosupresan:

1. Imunoglobulin IV

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan


dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. 7

2. Obat sitotoksik
13
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:

- 6 merkaptopurin (6-MP)

- azathioprine

- cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala. 7

Myastenia gravis

Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun saraf perifer berupa terbentuknya
antibodi terhadap reseptor pascasipnaptik asetilkolin (Ach) nikotinik pada myoneural juncton,
penurunan jumlah reseptor Ach ini menyebabkan penurunan kekuatan otot yang progresif dan
terjadi pemulihan setelah beristirahat.5

Epidemiologi

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.Angka kejadiannya 20 dalam


100.000 populasi.Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umurdiatas 50 tahun.Wanita
lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai usia.
Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun,
sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.7

Patofisiologi

Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang
terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik
lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.Sehingga mekanisme imunogenik
memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis.7

Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan
miatenia gravis.Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada
serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot.Tidak
diragukan lagi, bahwa antibodipada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama
kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor
(anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia
gravis generalisata. 7
14
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang
merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.Peranan sel T pada
patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol.Walaupun mekanisme pasti tentang
5hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis
belum sepenuhnya dapat dimengerti.Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang
terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau timoma,
biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik. 7

Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin.Sehingga pada pasien miastenia
gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu
antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa.Ikatan antibodi
reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap
antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin
padaneuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran
post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi
reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis. 7

Gejala Klinis

Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan kelelahan. Kelemahan
otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang, dan semakin berat dirasakan di
akhir hari. Gejala ini akan menghilang atau membaik dengan istirahat. Kelompok otot-otot
yang melemah pada penyakit miastenis gravis memiliki pola yang khas. Pada awal terjadinya
Miastenia gravis, otot kelopak mata dan gerakan bola mata terserang lebih dahulu. Akibat
dari kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa penglihatan ganda (melihat benda
menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya kelopak mata secaara abnormal
(ptosis).7

Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan penderita


menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti tanpa ekspresi. Penderita
juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan menelan makanan sehingga berisiko
timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu, terjadi gejala gangguan dalam berbicara, yang
disebabkan kelemahan dari langit-langit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita Miastenia
gravis akan mengalami kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki.

15
Kelemahan pada anggota gerak ini akan dirasakan asimetris.7
Bila seorang penderita Miastenia gravis hanya mengalami kelemahan di daerah mata
selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan menyerang seluruh tubuh.
Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut Miastenia gravis okular. Penyakit
Miastenia gravis dapat menjadi berat dan membahayakan jiwa. Miastenia gravis yang berat
menyerang otot-otot pernafasan sehingga menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai
diperlukan bantuan alat pernafasan, maka penyakit Miastenia gravis tersebut dikenal sebagai
krisis Miastenia gravis atau krisis miastenik. Umumnya krisis miastenik disebabkan karena
adanya infeksi pada penderita Miastenia gravis.7

Secara umum, gambaran klisnis Miastenia yaitu:

Kelemahan otot yang progresif pada penderita

Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang

Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan istirahat

Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam

Otot mata sering terkena pertama ( ptosis , diplopia ) , atau otot faring lainnya ( disfagia ,
suara sengau )

Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik

Kadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba memburuk

Tidak ada atrofi atau fasikulasi8

Diagnosis Miastenis Gravis

Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu
miastenia gravis.Kelemahan otot dapat munculmenghinggapi bagian proksimal dari tubuh
serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas normal.7

Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan

16
adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan miastenia gravis biasanya selalu disertai
dengan adanya kelemahan pada otot wajah.7

Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara
penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan
terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi
aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot
bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.Ditandai dengan kelemahan
otot-otot rahang pada miastenia gravis yang menyebakan penderita sulit untuk menutup
mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher. 7

Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot
anggota tubuh bawah.Musculus deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan
tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.Otot trisep lebih sering
terpengaruh dibandingkan otot bisep.Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari
kaki dan saat melakukan fleksi panggul. 7

Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat
menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan
tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan
kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase
akut sangat diperlukan. 7

Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya
terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis.Serta biasanya kelemahan otot-
otot ekstraokular terjadi secara asimetris.Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk
mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis
akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai
dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata
yang melakukan abduksi. 7

17
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan dengan cara
penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan
terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi
anartris dan afonis. Setelah itu, penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara
terus-menerus dan lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau
atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa
suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. 7

Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman membuat klasifikasi
klinis sebagai berikut :

Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan
diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)

Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada mata ,


lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena,
respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah (30 %)

Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering disertai


gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-otot
rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas
pasien terbatas. (25 %)

Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot
pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam
kelompok ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat bururk dan
angka kematian tinggi. (15%) 10

Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun sesudah progress
gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan prognosis buruk. (10 %).8

Diagnosis8

Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi AchR dan CT-Scan atau MRI
18
toraks untuk melihat adanya timoma.

a. Anamnesis

Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan membaik
setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi: diplopi
atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan (terutama triceps dan ekstensor
jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervi cranialis, dpat
pula mengenai otot pernafasan yang menyebabkan penderita bisa sesak.

b. Tes klinik sederhana:

a). Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara kedua bola
mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).

b). Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan menghilang
secara bertahap (tes positif).

c. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang memperpanjang kerja


acetilkolin pada nerumuscular juction dalam beberapa menit. Untuk uji tensilon,
disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena.
Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis.

Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis, maka ptosis itu akan
segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan
sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. Efek sampingnya dapat
menyebabkan bradikardi dan untuk mengatasinya dapat digunakan atropine

d. Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara


intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh Miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

19
e. Laboratorium

Anti striated muscle (anti-SM) antibody

Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita timoma
dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang penting
pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat
menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita Miastenia


gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif),
menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab. Anti-asetilkolin reseptor
antibodi Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
Miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari penderita
Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita dengan Miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien timoma tanpa Miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibody.

f. Elektrodiagnostik

Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuro


muscular melalui 2 teknik : Single-fiber Electromyography (SFEMG) SFEMG
mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan titer
dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber, yang
memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita, sehingga SFEMG
dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau
lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah
potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
Repetitive Nerve Stimulation (RNS) Pada penderita Miastenia gravis terdapat
penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan
suatu potensial aksi.

g. Gambaran Radiologi

Chest x-ray (foto roentgen thorak) Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan
lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada
20
bagian anterior mediastinum.

Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.
MRI dapat digunakan apabila diagnosis Miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak.

Pengobatan

Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.


Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan
penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada
miastenia gravis yang ringan.Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata,
perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.Penatalaksanaan miastenia gravis dapat
dilakukan dengan obat-obatan, timomektomiataupun dengan imunomodulasi dan
imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan
miastenia gravis.7

Terapipemberian antibiotikyang dikombainasikan dengan imunosupresif dan


imunomodulasi yang ditunjangdengan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi
yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset lebih
lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan.7

Plasma Exchange (PE)

PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan
menjadi prioritas. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara
efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang
mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta
trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.7
21
Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis.
PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien yang
kesulitan menjalani periode pasca operasi.7

Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti
sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari.Albumin (5%)
dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan
untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga
lebih dari 10 minggu.7

Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium
yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi.Ini diakibatkan terjadinya pergeseran cairan
selama pertukaran berlangsung.Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor
pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang.Tetapi hal itu bukan merupakan suatu
keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian freshfrozen
plasma tidak diperlukan.7

Intravena Immunoglobulin (IVIG)

Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu
memodulasi respon imun.Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis,
karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi.Produk tertentu
dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman
untuk diberikan secara intravena. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari
setelah memulai terapi.7

Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara
terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG
sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.Sehingga IVIG diindikasikan pada
pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat
dengan durasi yang hanya beberapa minggu. 7

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan
level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan
pemasangan infus. 7

22
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike symdrome seperti demam,
menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.Nyeri
kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi
lebih lambat. 7

Intravena Metilprednisolone(IVMp)

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam.Bila tidak ada respon, maka
pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian
dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap
IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga.
Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada
keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.7

Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan
miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek
terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.Durasi kerja kortikosteroid
dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan.Dimana respon terhadap
pengobatan kortikosteroid akanmulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.7

Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya.Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan
pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di
tempat kelainan imun pada miastenia gravis.7

Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu,
yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.Dosis maksimal penggunaan
kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya.Pada
penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa
osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.7

Azathioprine

Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki

23
efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.Azathioprine
merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara
umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan 15 obat imunosupresif
lainnya.Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi..7

Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.Pasien


diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai.7,8,9 Respon
Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan.
Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga
dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.7

DIAGNOSIS BANDING 8
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis Miastenia gravis, antara lain :
a. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit selain Miastenia gravis, antara lain :
Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
Paralisis pasca difteri
Pseudoptosis pada trachoma
b. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu
sklerosis multipleks.
c. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot
ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik
awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali
dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru. EMG
pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada Miastenia gravis. Defek pada
transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi akan terjadi
hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada Miastenia
gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada
membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal,
24
sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak
mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

KESIMPULAN

Sistem neuromuskular terbagi menjadi dua bagian yaitu upper motor neuron(UML) dan
lower motor neuron(LMN). Kedua sistem ini mempunyai peran yang penting dalam kerja
25
motorik tubuh. Jika terjadi gangguan pada sistem ini, bisa memberikan gejala kelemahan otot
motorik.

LMN di bagi menjadi tiga bagian yaitu pada kornu anterior, medulla spinalis dan
neuromuscular junction. Pada kornu anterior, penyakit yang sering terjadi adalah
poliomielitis yaitu peradangan pada selubung mielin saraf yang disebabkan oleh infeksi virus
polio. Guillain Barre Syndrome merupakan kumpulan penyakit atau kelainan klinis yang
disebabkan oleh gangguan LMN pada tingkat medulla spinalis, di mana tempat keluarnya
saraf-saraf motorik perifer ke bagian tubuh seperti ekstremitas dan otot pernafasan.
Selanjutnya adalah gangguan LMN pada neuromuskular juntion yaitu sinaps kimiawi antara
saraf motorik dan serabut otot.

Gangguan dari sistem LMN apabila tidak ditangani bisa mengakibatkan kematian karena
terganggunya aktivitas motorik seperti otot pernafasan dan otot menelan.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Baehr Mathias, Frotscher Michael. Diagnosis Topin Neurologi DUUS. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta: 2015
2. Snell Richard. Neuroanatomi Klinik. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta:
1996
3. Misbach Jusuf, Hamid Abdul Bar, Mayza Adre Saleh Kurniawan. Buku Pedoman
Standar Pelayanan Medis (SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO). Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta:2006.
4. Huldani. Myelitis. Diunduh dari
http://eprints.unlam.ac.id/208/1/HULDANI%20-%20MYELITIS.pdf.
5. Kurniawan M, Suharjanti S, Pinzon Rizaldy. Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta: 2016.
6. Munir Badrul. Neurologi Dasar. Sagung Seto. Jakarta: 2015.
7. Anonym. Bahan Ajar I Myasthenia Gravis. Diunduh dari
http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-1-_-Miasthe
nia-Gravis.pdf.
8. Arie Anom Agung, Adnyana Oka Made, Widyadharma I Putu Eka. Diagnosis dan
Tatalaksana Miastenia Gravis. Diunduh dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82552&val=970

27

Anda mungkin juga menyukai