Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit trofoblas adalah penyakit yang mengenai sel-sel trofoblas dimana
terjadi suatu keabnormalan konsepsi plasenta yang disertai sedikit atau bahkan
tanpa perkembangan janin. Di dalam tubuh wanita sel trofoblas hanya ditemukan
bila wanita itu hamil. Di luar kehamilan sel-sel trofoblas dapat ditemukan pada
teratoma ovarium, karena itu penyakit trofoblas yang berasal dari kehamilan
disebut sebagai Gestational Trophoblastic Disease, sedangkan yang berasal dari
teratoma disebut Non Gestational Trophoblastic Disease.
Penyakit trofoblas mempunyai potensi yang cukup besar untuk menjadi
ganas dan menimbulkan berbagai bentuk metastase keganasan dengan berbagai
variasi. Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, dan Amerika latin
dibandingkan dengan negara-negara Barat. Di negara-negara Barat dilaporkan
1:2000 kehamilan. Frekuensi mola umumnya pada wanita Asia lebih tinggi
sekitar 1:120 kehamilan. Di Indonesia sendiri didapatkan kejadian mola pada 1:85
kehamilan. Biasanya dijumpai lebih sering pada usia reproduktif (15-45 tahun)
dan pada multipara. Jadi dengan meningkatnya paritas kemungkinan menderita
mola akan lebih besar. Mola hidatidosa terjadi 1-3 dalam setiaap 1000 kehamilan.
Sekitar 10% dari seluruh kasus akan cenderung mengalami transformasi ke arah
keganasan, yang disebut sebagai Gestational Trophoblastic Neoplasma.
Di negara maju, kematiaan karena mola hidatidosa hampir tidak ada,
mortalitas akibat mola hidatidosa ini mulai berkurang oleh karena diagnosa yang
lebih dini dan terapi yang tepat. Aka tetapi di negara berkembang kematian akibat
mola masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Kematian pada
mola hidatidosa bisanya disebabkan oleh karena perdarahan, infeksi, eklamsia,
payah jantung dan tirotoksisitas.

1.2.Tujuan Penulisan
Mengetahui dan memahami tentang mola hidatidosa dan bagaimana cara
menegakkan serta cara penatalaksanaan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi


Uterus adalah organ berongga yang tebal, berotot, panjang kurang lebih
7,5 cm dan lebar 5cm dengan berat 30 40 gram. Terletak dalam rongga panggul
minor di antara kandung kemih dan anus, ototnya disebut miometrium dan selaput
lendir yang melapisi bagian dalamnya disebut endometrium. Peritoneum
menutupi sebagian besar permukaan luar uterus. Bagian bawah bersambung
dengan vagina dan di bagian atasnya tuba uterin masuk ke dalamnya. Ligamentum
latum uteri dibentuk oleh dua lapisan peritoneum, di setiap sisi uterus terdapat
ovarium dan tuba uterine. Uterus terbagi atas 3 bagian yaitu : fundus yang terletak
di atas muara tuba uterine; korpus uteri yang melebar dari fundus ke serviks;
isthmus terletak antara korpus dan serviks, bagian bawah uterus yang sempit
disebut serviks. Rongga serviks bersambung dengan rongga korpus uteri melalui
ostium uteri interna dan bersambung dengan rongga vagina melalui ostium uteri
eksterna.
Sekitar 5 hari setelah pembuahan terjadi dalam tuba fallopi, blastosit
mencapai uterus. Blastosit terdiri atas inner cells dan outer cells, inner cells dari
blastosit kemudian akan berkembang menjadi fetus. Bagian luar blastosit (outer
cells) dilapisi sel yang disebut trofoblast. Plasenta berkembang dari blastosit
trofoblas dan merupakan organ pertama kehamilan yang berdiferensiasi.
Trofoblast akan berkembang menjadi bermacam sel yang ditemukan di plasenta.
Selain itu, trofoblast plasenta memediasi terjadinya implantasi, merangsang
produksi hormon kehamilan (-Human Chorionic Gonadotrophyn ), memberikan
perlindungan sistem kekebalan tubuh bagi janin dan meningkatkan aliran darah
vaskuler dari ibu ke plasenta. Sel-sel trofoblast yang terletak di kutub embrio
blastosit mulai menembus mukosa rahim pada hari ke-6.
Hari ke-9 perkembangannya, blastosit tertanam lebih dalam ke
endometrium. Trofoblast memperlihatkan kemajuan besar dalam
perkembangannya, terutama di kutub embrio dimana vakuola muncul dalam
syncytium (hari 9). Awal bulan ke-2, trofoblas ditandai oleh sejumlah besar vili

2
sekunder dan tersier yang memberikan tampilan radial. Pada kutub embrio, vili
banyak dan terbentuk dengan baik sedangkan pada kutub seberangnya vili yang
terbentuk sedikit dan kurang berkembang. Awal bulan ke-4, plasenta memiliki dua
komponen yaitu di kutub janin terbentuk frondosum korion (chorionic plate) dan
di kutub ibu dibentuk oleh desidua basalis (basal plate) yang dijembatani oleh
korda umbilikalis. Ketika plasenta telah terbentuk sempurna akan terjadi koneksi
penting antara ibu dan janin yang sedang berkembang untuk memungkinkan
pertukaran gas penting dan nutrisi. Satu-satunya fungsi plasenta adalah untuk
kelangsungan hidup janin. Ketika dilahirkan, plasenta terdiri atas dua sisi yaitu
sisi maternal dan sisi fetus. Sisi maternal akan terlihat dengan permukaan yang
tidak rata yang terdiri atas kotiledon-kotiledon dan sisi fetus akan terlihat lebih
halus dan mengkilap. Disamping berfungsi dalam pemenuhan kebutuhan gas dan
nutrisi bagi janin, plasenta menghasilkan hormon steroid yaitu estrogen dan
progesteron. Human chorionic gonadotrophyn ( hCG ) merupakan luteneizing
hormone yang dihasilkan oleh syncytiotrophoblasts dari plasenta di awal
kehamilan, sebab itulah adanya hormon ini dalam darah dan urin seorang wanita
menjadi tanda awal adanya kehamilan. Saat plasenta menghasilkan hormon-
hormon steroid maka sekresi hCG segera mengalami penurunan trofoblast yang
terletak di kutub embrio blastosit mulai menembus mukosa rahim.

Gambar 1. Skema perkembangan gestasional mulai pembuahan,


perkembangan blastosit, trofoblas dan janin trimester 1

3
2.2. Defenisi dan Klasifikasi Penyakit Trofoblas Gestasional
Penyakit trofoblas gestasional atau gestational trophoblastic disease
(GTD) adalah suatu istilah yang merujuk pada suatu spektrum tumor plasenta
terkait kehamilan. Penyakit trofoblas gestasional dibagi menjadi tumor mola dan
non mola. tumor non mola dikelompokkan sebagai neoplasia trofoblastik
gestasional, merupakan penyakit neoplasma trofoblastik gestsional maligna.
Sedangkan mola hidatidosa digolongkan sebagai penyakit trofoblastik jinak.
Tumor ini diklasifikasikan karena memiliki gambaran histologi dan
kecenderungan invasi serta metastasis yang berbeda. Internasional Federation of
Gynecology and Obstetrics (FIGO) mengklasifikasikan penyakit trofoblastik yang
sering digunakan pada (Tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Trofoblastik Gestasional
Mola Hidatidosa
Komplit
Parsial
Neoplasma Trofoblas Gestasionala
Mola invasif
Koriokarsinoma
Tumor trofoblastik tempat plasenta
Tumor trofoblstik epitel
a
juga disebut sebagai penyakit trofoblas gestasional maligna
dimodifikasi dari internasional federation of gynecology and obstetri cs (FIGO)

2.3. Epidemiologi
Insidensi dan faktor-faktor etiologi yang mempengaruhi penyakit trofoblas
gestasional sulit dikarakteristik. Masalahnya terdapat pada kesulitan
mengumpulkan data epidemiologi yang terpercaya, akibat adanya faktor yaitu
defenisi kasus yang tidak konsisten, ketidak mampuan menentukan populasi yang
berisiko, tidak adanya pengumpulan data yang terpusat, kekurangan kelompok
kontrol terhadap kelompok yang berisiko dan kelangkaan penyakit
Penelitian epidemiologi melaporkan variasi yang luas mengenai insidensi
mola hidatidosa. Di Amerika Utara, Australia, Selandia Baru, dan Eropa
menunjukkan insidensi mola hidatidosa antara 0,57-1,1 per 1000 kehamilan,

4
sedangkan penelitian di Asia Tenggara dan Jepang menunjukkan insidensi yang
lebih besar yaitu 2,0 per 1000 kehamilan.
Data mengenai insidensi khoriokarsinoma lebih terbatas. Keterbatasan
data mengenai insidensi khoriokarsinoma bukan hanya karena alasan seperti mola
hidatidosa tetapi juga karena kelangkaan penyakit dan kesulitan untuk
membedakan secara klinis antara khoriokarsinoma postmolar dengan mola
invasif. Di Eropa dan Amerika Utara, khoriokarsinoma mengenai 1 dari 40.000
kehamilan dan 1 dari 40 mola hidatosa, sedangkan di Asia Tenggara dan Jepang
khoriokarsinoma mengenai 9,2 dan 3,3 per 40.000 kehamilan. Insidensi mola
hidatidosa dan khoriokarsinoma menurun dalam 30 tahun belakang ini.
Beberapa faktor risiko yang berpotensi sebagai etiologi mola hidatidosa
parsial dan komplit telah dievaluasi. Dua faktor risiko yang telah di tetapkan
adalah usia maternal yang ekstrim dan kehamilan mola yang sebelumnya. Usia
maternal yang lanjut dan sangat muda berkorelasi dengan peningkatan kejadian
mola hidatidosa komplit. Dibandingkan dengan wanita usia 21-35 tahun, risiko
mola komplit 1,9 kali lebih tinggi pada wanita usia > 35 tahun dan <21 tahun serta
7,5 kali lebih tinggi pada wanita usia >40 tahun. Kehamilan mola sebelumnya
merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya kehamilan mola berikutnya.
Resiko pengulangan kehamilan mola setelah satu kali mola adalah 2% atau sekitar
10-20 kali dari populasi umum.
Kelompok familial biparental mola hidatidosa komplit berhubungan
dengan mutasi gen missense NLRP7 pada kromosom 19q. Risiko obstetri lain
yang telah dilaporkan adalah riwayat abortus spontan, 2-3 kali meningkatkan
risiko kehamilan mola dibandingkan dengan wanita tanpa riwayat keguguran.
Meskipun beberapa kemungkinan faktor lingkungan yang mempengaruhi mola
komplit sudah banyak diteliti, hubungan konsisten adaah hubungan terbalik
antara beta karoten dengan protein hewani dengan insidensi kehamilan mola.
Induksi ovulasi untuk fertilitas dapat pula berhubungan dengan peningkatan
kehamilan yang mengandung sebuah fetus normal, beberapa fetus dan kehamilan
mola.
Faktor risiko khoriokarsinoma meliputi mola hidatidosa komplit
sebelumnya, etnik, dan usia maternal lanjut. Khoriokarsinoma mengenai hampir

5
1000 kali mola komplit sebelumnya dibandingkan dengan kejadian kehamilan
lainnya. Risiko meningkat pada wanita Asia dan Indian amerika dan menurun
pada Afrika Amerika. Sama halnya dengan kehamilan mola, median usia wanita
dengan khoriokarsinom lebih tinggi dari kehamilan normal. Terdapat pula
peningkatan risiko koriokarsinom pada pada wanita pengguna kontrasepsi jangka
panjang dan golongan darah A.

2.4. Patologi
Kehamilan mola dan neoplasma trofoblastik gestasional semuanya berasal
dari trofoblas plasenta. Trofoblas normal tersusun atas sitotrofoblas,
sinsiotrofoblas dan trofoblas intermediet. Sinsiotrofoblas menginvasi stroma
endometrium dengan implantasi dari blastokista dan merupakan sebuh tipe sel
yang memproduksi human chorionic gonadotropin (hCG). Fungsi sitotrofoblas
adalah untuk menyuplai sinsitium dengan berbagai sel tambahan untuk
pembentukan kantong luar yang menjadi vili korion sebagai pelindung kantung
korion. Vili korion berbatasan dengan endometrium dan lamina basalis dari
endometrium membentuk plasenta fungsional untuk nutrisi fetal maternal dan
membuang sisa metabolisme. Trofoblas intermediet terletak di dalam vili, tempat
implantasi dan kantong korion. Semua tipe trofoblas dapat mengakibatkan
penyakit trofoblas gestasional ketika mereka berproliferasi.

2.5. Penyakit Trofoblas Jinak


2.5.1. Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa merupakan salah satu penyakit trofoblas gestasional/
Gestational Thropoblatic Disease (GTD) yang mempunyai potensi menjadi ganas.
Mola hidatidosa adalah neoplasma jinak dari sel trofoblas. Mola hidatidosa adalah
suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan
hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan hidropik menjadi massa
gelembung-gelembung bening. Dalam hal demikian disebut mola hidatidosa atau
complete mole, sedangkan bila perubahan mola hanya fokal dan tidak berlanjut
disertai janin atau bagian dari janin disebut Mola parsialis atau Partial mole.

6
Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa
gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran
bervariasi dari beberapa millimeter sampai satu atau dua sentimeter. Gambaran
histopatologik yang khas dari mola adalah: edema, stroma vili, tidak ada
pembuluh darah pada vili dan proliferasi sel-sel epitel trofoblas, sedangkan
gambaran sitogenik-nya pada umumnya dapat berupa X 46.
Mola parsial secara makroskopik, berupa gelembung mola yang disertai
janin atau bagian dari janin. Umumnya janin mati pada bulan pertama tapi ada
pula yang hidup sampai cukup besar dan aterm. Pada pemeriksaan histopatologik
tampak di beberapa tempat vili yang edema dengan sel trofoblas yang tidak begitu
berproliferasi, sedangkan di tempat yang lain masih nampak vili yang normal.
Mola hidatidosa komplet, tidak pernah mengandung janin, umbilicus atau
selaput amnion. Semua jonjot korion dalam bentuk abnormal dan sel epitel korion
biasanya memiliki kariotip 46 XX. Mola hidatidosa parsial, mengandung janin,
umbilicus, dan selaput amnion, memiliki jonjot korion yang normal dan hampir
selalu tripoid.

Gambar 1. Gambaran makroskopik mola hidatidosa

2.5.2. Epidemiologi Mola Hidatidosa


Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, Amerika Latin
dibandingkan dengan negara-negara barat. Di negara-negara barat dilaporkan
1:200 atau 2000 kehamilan, di negara-negara berkembang 1:100 atau 600
kehamilan. Soejoenoes dkk (1967) melaporkan 1:85 kehamilan, RS dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta 1:31 persalinan dan 1:49 kehamilan; Luat A Siregar
(Medan) tahun 1982 : 11-16 per 1000 kehamilan; RS Soetomo (Surabaya) : 1:80

7
persalinan; Djamhoer Maradisoebrata (Bandung) : 9-21 per 1000 kehamilan.
Biasanya lebih sering dijumpai pada usia reproduktif (15-45 tahun) dan pada
multipara. Jadi dengan meningkatnya paritas, kemungkinan untuk menderita mola
hidatidosa lebih besar.
Wanita dengan riwayat abortus spontan akan berisiko lebih besar untuk
terkena mola komplit ataupun parsial pada kehamilan berikutnya. Mola hidatidosa
akan berulang pada 0,5-2,6% pasien dengan kemungkinan berkembang menjadi
penyakit trofoblas gestasional persisten yang mana ditemukan sekitar 10-30%
kasus setelah terjadinya mola komplit dan 0,5-5% setelah terjadinya mola parsial.
Sedangkan Koriokarsinoma juga muncul sekitar 3% setelah terjadinya mola
komplit dan jarang dilaporkan terjadi setelah mola parsial.

2.5.3. Etiologi
Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui, banyak faktor yang dapat
menyebabkan antara lain :
1. Faktor ovum
Sel sperma membuahi ovum abnormal yang tidak memiliki nukleus
(atau kromosom) pada mola hidatidosa komplit. Penyebab terbentuknya ovum
abnormal tersebut tidak diketahui. Bila fertilisasi dengan kondisi tersebut
berlangsung, perkembangan normal tidak akan terjadi, tidak akan terbentuk
chorion, amnion atau korda umbilikalis dan fetus juga tidak terbentuk.
Sebaliknya sel trofoblast pembentuk plasenta akan berkembang pesat menjadi
mola hidatidosa komplit. Embrio atau janin pada mola hidatidosa parsial
secara parsial berkembang tetapi biasanya tidak bertahan hidup sampai rata-
rata minggu kedelapan akan mati.
2. Umur ibu
Risiko mola hidatidosa paling rendah pada kelompok umur 20-35
tahun. Risiko mola hidatidosa naik pada kehamilan remaja <20 tahun dan > 35
tahun. Insiden penyakit ini dapat diturunkan dengan suatu upaya preventif
berupa pencegahan kehamilan dibawah umur 20 tahun dan diatas 35 tahun
dengan jumlah anak tidak lebih dari tiga
3. Imunoselektif dari trofoblas

8
4. Keadaan sosioekonomi yang rendah

Dalam masa kehamilan keperluan zat gizi meningkat. Hal ini


diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan janin,
dengan keadaan sosioekonomi yang rendah maka untuk memenuhi zat-zat gizi
yang diperlukan tubuh berkurang sehingga mengakibatkan gangguan dalam
pertumbuhan dan perkembangan janinnya. Protein adalah zat yang penting
untuk membangun jaringan tubuh (pertumbuhan janin, rahim, buah dada).
Kekurangan protein dalam kehamilan dapat mengakibatkan bayi akan lahir
kecil dari normal.

3. Paritas tinggi memiliki risiko mola hidatidosa yang masih kontroversial.

4. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas.


Defisiensi lemak dan karotene, kebiasaan merokok, pemakaian pil kontrasepsi
kombinasi merupakan faktor resiko. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa
proses graviditas, faktor reproduksi lain, status esterogen, kontrasepsi oral, dan
faktor makanan dianggap sebagai faktor resiko walaupun masih belum jelas
hubungannya.

2.5.4. Klasifikasi
Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu bila tidak disertai
janin maka disebut mola hoidatidosa atau Complete mole, sedangkan bila disertai
janin atau bagian dari janin disebut mola parsialis atau Parsial mole.
1. Mola Hidatidosa Komplit
Villi korionik pada mola hidatidosa komplet berubah menjadi suatu massa
vesikelvesikel jernih. Ukuran vesikel bervariasi dari yang sulit dilihat,
berdiameter sampai beberapa sentimeter dan sering berkelompok-kelompok
menggantung pada tangkai kecil. Temuan Histologik ditandai oleh:
Degenerasi hidrofobik dan pembengkakan Stroma Vilus
Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak
Proliferasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi
Tidak adanya janin dan amnion.

9
Gambar 2. Histopatologi mola hidatidosa komplet dengan stroma vili yang edema

2. Mola Hidatidosa Parsial


Mola hidatidosa parsial memiliki perubahan villi yang bersifat fokal,
kurang berkembang, dan mungkin tampak sebagai jaringan janin.
Perkembangannya berlangsung lambat pada sebagian villi yang biasanya
avaskular, sementara villi-villi berpembuluh lainnya dengan sirkulasi janin
plasenta yang masih berfungsi tidak terkena. Hiperplasia trofoblastik lebih bersifat
fokal dari pada generalisata.

Gambar 3. Histopatologi mola hidatidosa parsial dengan hiperplasia


trofoblastik ringan

Tabel 2. Perbedaan mola komplit dengan mola parsial.

10
Gambaran Mola Komplit Mola Parsial
Kariotype 46xx atau 46xy Umumnya 69xxx atau 69xxy
(tripoid)
Patologi:
Edema villus Difus Bervariasi, fokal
Proliferasi trofoblastik Bervariasi, ringan-berat Bervariasi, fokal, ringan-berat
Janin Tidak ada Sering dijumpai
Amnion, sel darah merah Tidak ada Sering dijumpai
janin
Gambaran klinis:
Diagnosis Gestasi mola Missed abortion
Ukuran uterus 50% besar untuk masa Kecil untuk masa kehamilan
kehamilan Jarang
Kista teka lutein 25-30% Jarang
Penyulit medis Sering <5-10%
Penyakit pasca mola 20%
Kadar HCG Tinggi Rendah-tinggi

2.5.5. Patogenesa
Ada beberapa teori yang menerangkan patogenesis dari penyakit trofoblas:
1. Teori Missed abortion
Teori ini menyatakan bahwa mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu
(missed abortion), karena itu terjadi gangguan peredaran darah sehingga
terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari vili dan akhirnya
terbentuk gelembung-gelembung. Menurut Reynolds, kematian mudigah
tersebut disebabkan karena kekurangan gizi berupa asam folik dan histidine
pada kehamilan hari ke 13 dan 21. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan
angiogenesis.
2. Teori neoplasma
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Park. Pada penyakit trofoblas,
yang abnormal adalah sel-sel trofoblas, yang mempunyai fungsi abnormal
pula, hal ini menyebabkan terjadinya reabsorbsi cairan yang berlebihan
kedalam vili sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan
peredaran darah dan kematian mudigah.
3. Teori sitogenik

11
Pada konsepsi normal, setiap sel tubuh manusia mengandung 23 pasang
kromosom, dimana salah satu masing-masing pasangan dari ibu dan yang
lainnya dari ayah. Dalam konsepsi normal, sperma tunggal dengan 23
kromosom membuahi sel telur dengan 23 kromosom, sehingga akan dihasilkan
46 kromosom.

Gambar 4. Konsepsi normal


Analisis sitogenetik pada jaringan yang diperoleh dari kehamilan mola
memberikan beberapa petunjuk mengenai asal mola dari lesi ini. Kebanyakan
mola hidatidosa adalah mola lengkap dan mempunyai 46 kariotipe XX.
Penelitian khusus menunjukkan bahwa kedua kromosom X itu diturunkan dari
ayah. Secara genetik, sebagian besar mola hidatidosa komplit berasal dari
pembuahan pada suatu telur kosong (yakni telur tanpa kromosom) oleh satu
sperma haploid (23X), yang kemudian berduplikasi untuk memulihkan
komplemen kromosom diploid (46 XX), hanya sejumlah lesi adalah 46 XY.

Gambar 5. Kehamilan Mola Hidatidosa Lengkap

12
Pada mola yang tidak lengkap atau sebagian, kariotipe biasanya
suatu triploid, sering 69 XXY (80%). Kebanyakan lesi yang tersisa adalah
69 XXX atau 69 XYY. Kadang-kadang terjadi pola mozaik. Lesi ini,
berbeda dengan mola lengkap sering disertai dengan janin yang ada
bersamaan. Janin itu biasanya triploid dan cacat.

Gambar 6. Kehamilan Mola Hidatidosa Parsial (MHP)

2.5.6. Gambaran Klinik


Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa.
Kecurigaan biasanya terjadi pada minggu 14-16 dimana ukuran uterus lebih besar
dari kehamilan biasa, pembesaran uteru yang terkadang diikuti perdarahan, dan
bercak berwarna merah darah beserta keluarnya materi seperti anggur pada
pakaian dalam. Tanda dan gejala mola yaitu:
1. Tanda-tanda kehamilan
2. Perdarahan pervaginam
Perdarahan merupakan gejala utama mola, biasanya keluhan
perdarahan inilah yang menyebabkan mereka datang ke rumah sakit (89-97%).
Gejala perdarahan ini biasanya terjadi pada bulan pertama sampai ketujuh
dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan biasa intermitten, sedikit-
sedikit, atau sekaligus banyak, sehingga menyebabkan anemia ringan sampai
berat dan dapat berujung syok dan kematian.

13
3. Hiperemesis (15-25%)
Gejala awal pada mola hidatidosa tidak jauh berbeda dengan
kehamilan biasanya, yaitu berupa rasa mual, muntah, pusing, dan gejala-gejala
lainnya, hanya saja derajat keluhannya sering lebih hebat dari pada kehamilan
biasa. Gejala-gejala ini berkaitan dengan peningkatan kadar -hCG dan besar uterus.
4. Ukuran uterus bisa lebih besar atau lebih kecil (tidak sesuai usia kehamilan)
Pertumbuhan ukuran uterus sering lebih besar dan lebih cepat dari
pada kehamilan normal, hal ini ditemukan pada setengah dari semua pasien
mola (80%). Ada pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama
besarnya dengan kehamilan normal, walaupun jaringannya belum dikeluarkan.
Dalam hal ini perkembangan trofoblas tidak terlalu aktif sehingga perlu
dipikirkan kemungkinan adanya dying mole. Uterus mungkin sulit
diidentifikasikan secara pasti dengan palpasi, terutama pada wanita nullipara.
Hal ini disebabkan karena konsistensinya yang lembut dibawah dinding perut
yang kaku. Pembesaran uterus karena kista theca lutein multiple akan
membuat sulit perbedaan dengan pembesaran uterus biasa.
5. Tidak adanya aktifitas janin(80%)
Walaupun pembesaran uterus mencapai bagian atas simpisis, tidak
ditemukan adanya denyut jantung janin. Meskipun jarang, mungkin terdapat
plasenta ganda dengan kehamilan mola komplet yang bertambah bersamaan,
sementara plasenta yang satu dan janin terlihat normal. Walaupun jarang,
mungkin terdapat mola inkomplit pada plasenta yang disertai janin hidup.
6. Eklamsia dan peeklamsia (12-27%)
Preeklamsia pada kehamilan mola timbul pada trimester I-II. Eklamsia
atau preeklamsia pada kehamilan normal jarang terlihat sebelum usia
kehamilan 24 minggu. Oleh karenanya preeklamsi yang terjadi sebelum
waktunya harus dicurigai sebagai mola hidatidosa. Sekitar 27% pasien MHK
mengalami toksemia ditandai oleh adanya hipertensi (tekanan darah >140/90
mm Hg), proteinuria (>300 mg/dl), dan edema.
7. Insufisiensi paru (2%)
Distres pernafasan akut dapat muncul setelah evakuasi mola
hidatidosa. Pada saat evakuasi mola, sebagian trofoblas lolos kemudian

14
menginvasi parenkim paru yang dapat menimbulkan embolisme atau edema
paru akut. Tanda dan gejala dari distres pernafasan akut adalah dispnea,
takikardi, dan takipnea. Pada pemeriksaan fisik biasanya dijumpai ronki yang
luas. Dan dibutuhkan rawatan ICU maupun ventilator. Dengan penanganan
yang baik, distres pernafasan akan mereda dalam 2-3 hari.
8. Tirotoksikosis (2-7%)
Hipertiroid pada mola hidatidosa dapat berkembang cepat menjadi
tirotoksikosis. Berbeda dengan tirotoksikosis pada penyakit tiroid,
tirotoksikosis pada mola hidatidosa muncul lebih cepat dan gambaran
klinisnya berbeda. Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis
yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun kemungkinan keganasan.
Bisanya penderita meninggal karena krisis tiroid.
Pemicu tirotoksikosis pada mola hidatidosa adalah tingginya kadar
hCG oleh jaringan mola sehingga terjadi peningkatan ikatan molekul hCG
pada tempat reseptor TSH, yang menyebabkan terjadinya hiperfungsi dari
kelenjar tiroid sehingga terjadi peningkatan hormon T4 serum. Tirotoksikosis
merupakan salah satu penyebab kematian penderita mola. Kariadi menemukan
bahwa frekuensi nadi 100 kali/ menit, tinggi fundus uteri 20 minggu,
dan kadar hCG serum >300.000 ml pada penderita mola sebelum
molanya dievakuasi. Hal ini merupakan faktor resiko yang bermakna untuk
terjadinya tirotoksikosis. Hipertiroid dapat diketahui secara klinis terutama
bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan T3 dan T4, yaitu dengan
menggunakan index wayne.
Keadaan hipertiroid ini ditandai oleh takikardia, kulit hangat, tremor,
peningkatan kadar T4 dan T3 bebas. Setelah diagnosa mola hidatidosa
ditegakkan, maka sebaiknya diberikan terapi -adrenergik sebelum dilakukan
tindakan evakuasi jaringan mola untuk mencegah terjadinya badai tiroid pada
saat evakuasi jaringan mola dan pembiusan. Terapi anti tiroid diberikan untuk
waktu yang singkat. Dosis anti tiroid yang dianjurkan 20-40 mg setiap 12 jam
secara oral, dan dosis di titrasi sampai 5-10 mg perhari setelah evakuasi
jaringan mola dilakukan untuk mempertahankan denyut jantung sekitar 100
denyut/menit.

15
Tabel 2. Indeks wayne
No Gejala Nilai
1. Sesak saat bekerja +1
2. Berdebar +2
3. Kelelahan +3
4. Suka uadara panas -5
5. Suka uadara dingin +5
6. Keringat berlebihan +3
7. Gugup +2
8. Nafsu makan naik +3
9. Nafsu makan turun -3
10. Berat badan naik -3
11. Berat badan turun +3

No Tanda Ada Tidak


1. Thyroid teraba +3 -3
2. Bising thyroid +2 -2
3. Exopthalmus +2 -
4. Kelopak mata tertinggal gerak bola mata +1 -
5. Hiperkinetik +4 -2
6. Tremor jari +1 -
7. Tangan panas +2 -2
8. Tangan basah +1 -1
9. Fibrilasi atrial +4 -
10. Nadi teratur
< 80x/menit - -3
80-90x/menit - -
>90x/menit +3 -
Interpretasi dari indeks wayne:
Skor 11 = Eutiroid
Skor 11-18 = Equivocal
Skor 18 = hipertiroid

2.5.7. Diagnosis
1. Anamnesa
a. Perdarahan vaginal. Gejala klasik yang paling sering pada mola komplet
adalah perdarahan vaginal. Terdapat perdarahan intermiten, sedikit atau
banyak, tidak teratur, warna tengguli tua atau kecoklatan. Gejala ini
terdapat 97% kasus. Gejala ini disertai keluar jaringan mola seperti buah
anggur atau mata ikan (tidak selalu ada) merupakan diagnosa pasti.

16
b. Pembesaran rahim yang tidak sesuai (lebih besar) bila dibandingkan
dengan usia kehamilan seharusnya oleh karena jumlah darah yang banyak,
dan cairan gelap bisa mengalir melalui vagina.
c. Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat.
Hal ini merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon -
HCG.
d. Gejala toksemia pada trimester I-II
e. Hipertiroid atau tirotoksikosis. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala
seperti takikardi, tremor dan kulit hangat.
f. Preeklamsia atau toksemia yang terjadi pada 27% kasus dengan
karakteristik hipertensi (TD>140/90 mmHg), proteinuria(>300mg/dl),
edema dengan hiperefleksia.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Muka dan kadang-kadang badan terlihat pucat kekuning-kuningan,
yang disebut muka mola (mola face)
Kalau keluar gelembung mola dapat dilihat jelas.
b. Palpasi :
Ukuran uterus pada mola hidatidosa bervariasi, yaitu:
Lebih besar dari usia kehamilan (50%-60%)
Besarnya sama dengan usia kehamilan (20%-25%)
Lebih kecil daripada usia kehamilan (5%-10%)
Uterus teraba lembek,
Tidak teraba bagian-bagian janin
Tidak ada ballotement dan gerakan janin
c. Auskultasi : tidak terdengar bunyi denyut jantung janin.
d. Pemeriksaan dalam :
Memastikan besarnya uterus,
Serviks terbuka dapat ditemukan darah atau gelembung mola,
Uterus terasa lembek, sering disertai
kista teka lutein ovarium.

17
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan kadar -hCG
hCG merupakan penanda spesifik tumor yang diproduksioleh
mola hidatidosadan neoplasma trofoblastik gestasiona. Hal ini secara
mudah diukur secara kuantitatif diurin dan darah. Kadar hCG
menunjukkan korelasi dengan berat penyakit. hCG adalah glikoprotein
yang terdiri dari 2 subunit yang tidak sama , subunit yang mirip
dengan hormon pituitaridan sub unit yang khas diproduksi plasenta.
Molekul hcg pada penyaki trofoblastik gestasional lebih heterogen
daripada kehamilan normal, dengan demikian pemeriksaan yang dapat
mendeteksi bentuk hCG dan fragmen-fragmen gandanya harus dipantau
pada pasien penyakit trofoblas kehamilan. Sebagian besar institusi
menggunakan penilaian berlapis antibodi monoclonal yang otomatis,
cepat, dan radiolabeled yang dapat mengukur perbedaan campuran
molekul terkait hCG.
Mola hidatidosa biasanya berhubungan dengan peningkatan kadar
hcg diatas kehamilan normal. Sekitar 50% pasien dengan mola komplit
mempunyai kadar hCG preevakuasi > 100.0000 m IU/ ml. Penentuan hCG
sendiri jarang dapat membantu membedakan mola komplit dengan
kehamilan intrauterin normal, kehamilan ganda, atau kehamilan dengan
komplikasi penyakit seperti eritroblastosis fetalis atau infeksi intrauterine
yang berhubungan dengan pembesaran plasenta, kadar hCG yang paling
tinggi terdapat pada akhir semester yang pertama kehmilan, disaat
bersamaan diagnosis mola biasanya ditegakkan. Mola parsial, dilain pihak
sering sulit dibedakan apabila terjadi peningkatan kadar hCG>100.000 m
IU/ ml pada 10% pasien mola parsial.

b. Pemeriksaan kadar T3/T4


-HCG > 300.000 m IU/ ml mempengaruhi reseptor thyrotropin,
mengakibatkan aktifitas hormon-hormon tiroid (T3/T4) meningkat. Terjadi
gejala-gejala hipertiroidisme berupa hipertensi, takikardi, tremor,
hiperhidrosis, gelisah, emosi labil, diare, muntah, nafsu makan meningkat

18
tetapi berat badan menurun dan sebagainya. Dapat terjadi krisis hipertiroid
tidak terkontrol yang disertai hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular,
toksemia, penurunan kesadaran sampai delirium-koma.
4. Pemeriksaan Imaging
a. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) telah terbukti sebagai alat diagnostik yang
akurat dan sensitif untuk menegakkan diagnosa mola hidatidosa. Mola
hidatidosa komplit menunjukkan gambaran pola vesikuler oleh karena
pembengkakkan dari vili korionik. Vili korionik pada trimester I MHK
cenderung lebih kecil dan lebih sedikit kavitasi. Akan tetapi, mayoritas dari
MHK pada trimester I tetap menunjukkan gambaran USG yang khas (pola
snow storm) yaitu pola kompleks, ekogenik massa intrauterin yang
mengandung banyak ruang kista kecil. Temuan USG yang bermakna untuk
MHP adalah ruang kistik pada plasenta dan rasio transversal dengan
anteroposterior dari kantung kehamilan > 1,5.

Gambar 7. USG menunjukkan pola khas MHK.

19
Gambar 8. USG menunjukkan pola khas MHP.
Diagnosis pasti dari mola hidatidosa biasanya dapat dibuat dengan
ultrasonografi dengan menunjukkan gambaran yang khas berupa vesikel-
vesikel (gelembung mola) dalam kavum uteri atau badai salju (snow
flake pattern).
b. Plain foto abdomen-pelvik: tidak ditemukan tulang janin, dilakukan
setelah umur kehamilan 16 minggu.
c. Foto thorak
d. MRI : tidak tampak janin dan jaringan mola tampak jelas.
5. Uji sonde
Sonde masuk tanpa tahanan dan dapat diputar dengan deviasi sonde
kurang dari 10. Tidak rutin dikerjakan. Biasanya dilakukan sebagai tindakan
awal curretage.
6. Patologi anatomi
Makroskopis: gambaran khas mola hidatidosa berupa kista/ gelembung
dengan berbagai macam ukuran, dindingnya tipis, kenyal berwarna putih,
jernih, berisi cairan. Tangkai melekat ke endometrium.
Mikroskopis: stroma vili mengalami degenerasi hidropik, yang tampak
sebagai kista, proliferasi trofoblas (baik sel langhans/ sitotrofoblast maupun
sinsiotrofoblas) sehingga terbentuk beberapa lapisan, tidak ada atau
berkurangnya pembuluh darah pada vili.

2.5.8. Diagnosis Banding


-hCG Terdapat beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan
mola hidatidosa, antara lain :
1. Kehamilan multiple

2. Hidramnion

3. Abortus
4. Mioma uteri

20
2.5.9. Penatalaksanaan
Terapi mola terdiri dari 4 tahap yaitu: 1) Perbaiki keadaan umum; 2)
Pengeluaran jaringan mola; 3) Terapi profilaksis dengan sitostatika; 4)
Pemeriksaan tindak lanjut (follow up). Evaluasi awal sebelum evakuasi atau
histerektomi paling tidak mencakup pemeriksaan sepintas untuk mencari
metastasis. Radiografi toraks harus dilakukan untuk mencari lesi paru berupa lesi
koin. Pemeriksaan Computed Tomografi (CT) scan dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) untuk melihat metastase ke hepar dan otak tidak dilakukan secara
rutin. Pemeriksaan laboratorium mencakup hemogram untuk menilai anemia ,
golongan darah dengan penapisan antibodi, kadar transminase hati serum untuk
menilai keterlibatan hati, dan kadar basal -Hcg serum.
1. Perbaikan Keadaan Umum.
Yang dimaksud usaha ini yaitu koreksi dehidrasi, transfuse darah bila
anemia (Hb 8 gr%), jika ada gejala preeklampsia dan hiperemis gravidarum
diobati sesuai dengan protokol penanganannya. Sedangkan bila ada gejala
tirotoksikosis di konsul ke bagian penyakit dalam.
2. Pengeluaran Jaringan Mola.
Bila diagnosa telah ditegakkan kehamilan mola harus segera diakhiri. Ada
dua cara evakuasi, yaitu: a) kuretase; b) Histerektomi.
a. Kuretase
Kuretase isap dilakukan pada wanita muda yang masih menginginkan
untuk memiliki anak. Dilakukan setelah persiapan pemeriksaan selesai
(pemeriksaan darah rutin, kadar -hCG, serta foto thoraks) kecuali bila jaringan
mola sudah keluar spontan. Aspirasi vakum merupakan terapi pilihan untuk
molahidatidosa, berapapun ukuran uterusnya . Bila kanalis servikalis belum terbuka,
maka dilakukan pemasangan laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian.
Serviks diperlebar lebih lanjut agar kuret hisap 10-12 mm dapat masuk. Sebelum
kuretase terlebih dahulu disiapkan darah dan pemasangan infus dengan tetesan
oxytocin 10 UI dalam 500 cc Dextrose 5%. Bila miometrium telah berkontraksi,
biasanya dilakukan kuretase yang menyeluruh secara hati-hati Selanjutnya dapat
dilakukan kuretase menggunakan kuret tumpul untuk mengeluarkan sisa-sisa
konseptus. Setelah 7-10 hari pengeluaran mola dapat dilakukan kerokan ulangan

21
dengan kuret tajam untuk memastikan bahwa uterus benar-benar kosong dan
untuk memeriksa tingkat proliferasi sisa-sisa trofoblas yang dapat ditemukan.
Sediaan kuret dipisahkan dari sediaan kuret tumpul dan kuret tajam, kemudian
keduanya diperiksakan secara patologi anatomik.
b. Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada perempuan yang telah cukup umur dan cukup
mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua
dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasan.
Batasan ynag di pakai adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang
bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologik sudah
tampak adanya tanda-tanda keganasan berupa mola invasive/koriokarsinoma.
Meskipun histerektomi tidak menghilangkan kemungkinan ini, tetapi tindakan ini
telah sangat mengurangi kemungkinan timbulnya neoplasia trofoblastik
gestasional persisten.
3. Terapi Profilaksis dengan Sitostatika
Pemberian kemoterapi pofilaksis diberikan pada pada pasien pasca
evaluasi mola hidatidosa dengan risiko tinggi akan terjadi keganasan, misalnya
pada usia tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi atau
kasus mola dengan hasil histopatologi yang dicurigai memiliki tanda-tanda
keganasan. Biasanya diberikan methotrexate atau actinomycin D. Beberapa hasil
penelitian menyebutkan bahwa kemungkinan terjadi neoplasma setelah evaluasi
mola pada kasus yang mendapatkan metotreksat sekitar 14%, sedangkan yang
tidak mendapat sekitar 47%. Pada umumnya profilaksis kemoterapi pada kasus
mola hidatidosa ditinggalkan dengan pertimbangan efek samping dan pemberian
kemoterapi untuk tujuan terapi definitive memberikan keberhasilan hampir 100%.
Pemberian profilaksis diberikan apabila dipandang perlu, pilihan profilaksis
kemoterapi adalah:
Metotreksat 20 mg/ hari IM selama 5 hari, asam folat 10 mg 3x1 sebagai
antidote MTX, cursil 35 mg 2x1 sebagai hepatoprotektor
Actinomicyn D 1 flacon sehari, selama 5 hari berturut-turut.
Tabel 3. Manajemen Mola Hidatidosa

22
4. Pemeriksaan Tindak Lanjut (Follow Up)
Seperti yang diketahui 15-20% dari penderita pasca mola bisa mengalami
transformasi keganasan menjadi tumor trofoblas ganas. Menurut hertig, keganasan
bisa dalam waktu satu minggu sampai tiga tahun pasca evakuasi.

Tujuan dari follow up ada dua :


Melihat apakah proses involusi berjalan secara normal. Baik anatomis,
laboratoris maupun fungsional, seperti involusi uteri, turunnya kadar
hCG dan kembalinya fungsi haid.
Menentukan adanya tranformasi keganasan terutama pada tingkat yang
sangat dini.

23
Selama kunjungan ulang, lakukan anamnesa terhadap adanya perdarahan
pervaginam, manifestasi kelainan susunan saraf pusat dan kelainan paru.
Pemeriksaan perut dan panggul untuk mencari subinvolusi uterus, kista teka lutein
ovarium, dan metastase ke vagina. Dalam keadaan normal, perdarahan tidak ada
7-8 hari pasca evakuasi dan uterus harus involusi sempurna pada akhir minggu ke
4 setelah evakuasi.
Lama pengawasan berkisar satu sampai dua tahun. Diperlukan kontrasepsi
yang adekuat selama periode ini karena kehamilan dapat terjadi selama periode
pengawasan dan menyebabkan produksi hCG yang dapat mengganggu deteksi
Penyakit Trofoblas Ganas (PTG). Penderita dianjurkan memakai kontrasepsi
kondom, pil kombinasi atau diafragma selama waktu monitoring. Pemberian pil
kontrasepsi berguna dalam 2 hal yaitu mencegah kehamilan dan menekan
pembentukan LH oleh hipofisis yang dapat mempengaruhi pemeriksaan kadar
hCG. Pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) tidak dianjurkan sampai
dengan kadar hCG tidak terdeteksi karena terdapat resiko perforasi rahim jika
masih terdapat mola invasif. Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi dan terapi
sulih hormon dianjurkan setelah kadar hCG kembali normal dan pemeriksaan fisik
dilakukan setiap kali pada saat penderita datang kontrol.
Pemeriksaan kadar -hCG dilakukan setiap minggu sampai ditemukan
kadar -hCG normal tiga kali berturut-turut. Setelah itu pemeriksaan dilanjutkan
setiap bulan sampai kadar -hCG normal selama 6 kali berturut-turut.
Pemeriksaan roentgen paru dilakukan setiap 6 bulan. Apabila tingkat kadar hCG
tidak turun dalam 3 minggu berturut-turut atau malah naik, dapat dilanjutkan
dengan kemoterapi, kecuali pasien tidak menghendaki bahwa uterus
dipertahankan (histerektomi). Pengamatan lanjutan terus dilakukan sampai kadar
hCG menjadi negatif selama 6 bulan. Bila terjadi remisi spontan (kadar -hCG,
pemeriksaan fisis, dan foto thoraks setelah satu tahun semuanya normal) maka
penderita tersebut dapat berhenti menggunakan kontrasepsi dan hamil lagi.
Kadar -hCG pada sebagian besar kasus akan kembali normal dalam 8
minggu dan sebagian kecil lainnya akan kembali normal dalam 14-16 minggu
setelah evakuasi. Sedangkan menurut Berkowitz dan Goldstein kadar -hCG pada
pasien mola hidatidosa biasanya akan kembali normal dalam 9-11 minggu setelah

24
evakuasi. Tetapi apabila selama follow up tersebut dijumpai kadar -hCG yang
meningkat atau plateu atau pada pemeriksaan klinis, foto thoraks ditemukan
adanya metastase maka diagnosa PTG dapat ditegakkan dan penderita harus
dievaluasi serta dimulai pemberian kemoterapi.
Berikut adalah gambar kurva regresi HCG normal yang akan menjadi parameter
dalam penatalaksanaan lanjutan mola hidatidosa.

Gambar 9. Kurva regresi normal gonadotropin korionik subunit- paska mola

2.5.10. Komplikasi
1. Perdarahan hebat dan Syok.

Penyebab perdarahan ini mungkin disebabkan oleh pelepasan


jaringan mola tersebut dengan lapisan desidua, karenanya oksitosin IV
harus diberikan sebelum prosedur dimulai. Methergin atau hemabase dapat
juga diberikan.

2. Perforasi uterus

Perforasi uterus terjadi selama tindakan (kuret hisap) atau suatu


keganasan.

3. Dissemined Intravascular Coagulation (DIC)

25
Jaringan mola melepaskan faktor yang bersifat fibrinolitik. Semua pasien
harus diperiksa kemungkinan adanya koagulopati.
4. Emboli trofoblastik dapat menyebabkan insufisiensi pernapasan akut.
Faktor resiko terbesar ialah pada ukuran uterus yang lebih besar
dari yang diharapkan pada usia kehamilan 16 minggu. Kondisi ini dapat
berakhir fatal. Sebenarnya pada tiap-tiap kehamilan selalu ada migrasi dari
sel-sel trofoblas ke paru-paru tanpa memberikan gejala apa-apa. Namun,
pada mola hidatidosa terkadang jumlah dari sel trofoblas begitu banyak,
sehingga dapat menimbulkan emboli paru akut yang dapat berujung pada
kematian.
5. Kista lutein unilateral atau bilateral

kista lutein dapat menyebabkan pembesaran pada satu atau dua


ovarium dengan ukuran beragam, dari diameter mikroskopik sampai
ukuran 10 cm atau lebih. Hal ini terjadi pada 25-60% penderita mola.
Kista teka lutein multiple pada 15-30% penderita mola yang menyebabkan
pembesaran satu atau dua ovarium dan menjadi sumber rasa nyeri. tetapi
bila menggunakan USG angkanya meningkat sampai 50%. Kasus mola
dengan kista lutein mempunyai resiko empat kali lebih besar untuk
mendapatkan degenerasi keganasan di kemudian hari dari pada kasus-
kasus tanpa kista. Permukaan kista licin, sering kekuningan, dan dilapisi
oieh sel-sel lutein. Kista ini diperkirakan berasal dari stimulasi beriebihan
elemen elemen lutein oleh hCG dalam jumlah besar yang dikeluarkan oleh
sel-sel trofoblas proliferatif.

Montz dkk. (1988) melaporkan bahwa penyakit trofoblastik


gestasional persisten lebih besar kemungkinannya terjadi pada wanita
dengan kista teka-lutein, khususnya jika bilateral. Hal ini logis, karena
kemungkinan terbentuknya kista lebih besar pada kadar hCG yang lebih
tinggi, yang mungkin menandakan prognosis yang lebih buruk. Kista
semacam ini juga dijumpai pada hidrops fetalis, hipertropi plasenta, dan
kehamilan multifetal. Kista besar dapat mengalami torsio, infark, dan
perdarahan. Involusi dari kista terjadi setelah beberapa minggu (12
minggu) yang biasanya seiring dengan penurunan kadar -HCG.

26
Karena kista ini menciut, ooforektomi tidakdilakukan, kecuali jika
ovarium mengalami infark 1uas.

6. Infeksi sekunder

7. Anemia, karena perdarahan yang berulang-ulang.

8. Keganasan (PTG) terjadi pada 20% kehamilan mola, karenanya


pemeriksaan kuantitatif hCG serial dilakukan selama 1 tahun post evakuasi
sampai hasilnya negatif.

2.9. Prognosa
Kematian pada mola hidatidosa dapat disebabkan karena perdarahan,
infeksi, eklampsia, payah jantung atau tirotoksikosis. Di negara maju hampir tidak
ada lagi, namun di Negara berkembang masih cukup tinggi antara 2% sampai 5%.
Sebagian wanita akan sehat kembali setelah jaringan dikeluarkan tetapi ada
sekelompok wanita yang kemudian menderita degenerasi keganasan menjadi
koriokarsinoma. Proses degenerasi ganas dapat berlangsung antara tujuh hari
sampai tiga tahun dengan terbanyak dalam waktu enam bulan.
Data mortalitas berkurang secara drastis mencapai 0 dengan diagnosa dini
dan terapi yang adekuat. Dengan kehamilan mola yang lanjut, pasien cenderung
untuk menderita anemia dan perdarahan kronis. Infeksi dan sepsis pada kasus-
kasus ini dapat menyebabkan tingkat morbiditas yang tinggi.
Evaluasi dini tidak menghilangkan kemungkinan berkembangnya tumor
persisten. Hampir 20% mola komplet berlanjut menjadi tumor gestasional
trofoblstik. Umumnya yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk
golongan resiko tinggi, seperti:
Umur diatas 35 tahun
Besar uterus diatas 20 minggu
Kadar b-Hcg diatas 105 m IU/ml
Gambaran PA yang mencurigakan
Lurain dan Colleagues (1987) melaporkan setelah evakuasi mola hidatidosa, 81%
mengalami regresi spontan dan 19% berlanjut menjadi tumor gestasional
trofoblastik.

27
Prognosa mola hidatidosa parsial jauh lebih baik bila dibandingkan dengan
mola hidatidasa komplit. Hal ini disebabkan tidak adanya penyulit dan derajat
keganasannya rendah (4%). Walaupun demikian, dalam kepustakaan ditemukan
laporan tentang kasus MHP yang disertai metastase ke tempat lain. Penderita
pasca MHP harus tetap di follow up sama ketatnya dengan MHK.
Pemantauan yang dilihat pada pasien mola hidatidosa yang telah menjalani
evakuasi mengindikasikan bahwa tindakan ini bersifat kuratif pada lebih dari 80%
pasien. Mola hidatidosa yang berulang terjadi pada 0,5-2,6%, dengan resiko yang
lebih besar untuk terjadi mola invasif atau koriokarsinoma. Terjadinya proses
keganasan bisa berlangsung antara 7 hari sampai 3 tahun pasca mola, tetapi yang
paling banyak dalam 6 bulan pertama.

2.6. Penyakit Trofoblas Ganas


2.6.1. Defenisi
Penyakit trofoblas ganas adalah suatu tumor ganas yang berasal dari
sitotrofoblas atau sinsiotrofoblas yang menginvasi miometrium dan merusak
jaringan sekitarnya serta pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan.
Penyakit ini dapat didahului oleh fertilisasi (mola hidatidosa, kehamilan biasa,
abortus dan kehamilan ektopik) bahkan merupakan produk langsung dari konsepsi
atau yang bukan didahului oleh suatu kehamilan. PTG yang di dahului proses
pembuahan sel telur digolongkan sebagai khorokarsinoma dengan kehamilan
(gestational choriocaesinoma) sedangkan yang tanpa didahului pembuahan
dikenal sebagai khoriokarsinoma tanpa kehamilan (non gestational
choriocarsinoma) yakni yang berasal dari tumor sel germinal pada ovarium. Dari
sini terlihat setiap wanita dihadapkan akan kemungkinan penyakit trofoblas.

2.6.2. Epidemiologi
Penyakit ini sering terjadi pada usia 14-49 tahun dengan rata-rata 31,2
tahun. Resiko terjadinya PTG non metastase 75% didahului mola hidatidosa dan
sisanya oleh abortus, kehamilan ektopik atau kehamilan aterm. Resiko terjadinya
PTG yang metastase 50% didahului mola hidatidosa, 25% oleh abortus, 22% oleh
kehamilan aterm dan 3% oleh kehamilan ektopik.

28
Pada jenis invasif mola (PTG villosum) 12,5% berasal dari mola
hidatidosa komplit dan 1,5% berasal dari mola hidatidosa parsial. Pada
koriokarsinoma (PTG non villosum) 1,7% berasal dari mola komplit dan 0,2 %
dari moal parsial, koriokarsinoma setelah kehamilan normal lebih sering terjadi
dibandingkan mola invasif.

2.6.3. Klasifikasi
Secara klinis terdapat 2 bentuk PTG yaitu:
1. PTG yng terdapat dalam uterus (invasive mola)
Invasive mola merupakan suatu proses seperti tumor yang menginvasi
miometrium dengan hiperplasia trofoblas disertai struktur vili yang menetap.
2. PTG yang meluas keluar uterus koriokarsinoma (gestasional korokarsinoma)
Gestasional korokarsinoma
Gestasional korokarsinoma adalah karsinoma yang terjadi karena
sel-sel trofoblas yang melibatkan sitotroblas dan sinsiotrofoblas. Hal ini
terjadi dari hasil konsepsi yang berakhir dengan lahir hidup, lahir mati
(still birth), abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa atau mungkin
oleh sebab yang tidak diketahui.
Non gestasional khoriokarsinoma
Non gestasional khoriokarsinoma adalah suatu tumor ganas
trofoblas yang terjadi tanpa didahului oleh suatu fertilisasi, tetapi berasal
dari germ ovarium. Brewer mengatakan bahwa non gestasional
khoriokarsinoma juga dapat merupakan bagian teratoma. Oleh
internasional Union Against Cancer (IUCR) diadakan klasifikasi
sederhana dari penykit trofoblas, yang mempunyai keuntungan bahwa
angka yang diperoleh dari berbagai negara di dunia dapat dibandingkan.

Klasifikasi penyakit trofoblas berdasarkan :


1. Ada/ tidak adanya hubungan dengan kehamilan.
2. Klinis

29
Non metastase
Metastase : lokal (pelvis) dan di luar pelvis
3. Histologi
PTG jenis villosum (mola invsif)
PTG jenis non villosum (khoriokarsinoma)
PTG jenis (tumor trofoblastik tempat plasenta dan tumor
trofoblastik epitelioid)
4. Morfologi
Mola hidatidosa: invasive dan non invasive
Koriokaarsinoma
Unclassified adalah PTG yang diagnosa morfologinya tidak ada,
baik dari autopsy, operasi atau kerokan, akan tetapi diagnosa dibuat
dengan cara-cara lain (hormonal)
5. Prognosa
Non metastase
Metastase :
Prognosa resiko rendah
-hCG < 100.000 IU/24 jam urine atau
-hCG <40.000 m IU /ml serum
Lamanya gejala 4 bulan
Metastase terbatas pada uterus atau terdapat metastase di
paru-paru, pelvis dan atau vagina.
Belum pernah mendapat kemoterapi
Bukan dari kehamilan uterus
Prognosa resiko tinggi
-hCG >100.000 IU/24 jam urine atau
-hCG >40.000 m IU /ml serum
Lamanya gejala >4 bulan
Tidak saja metastase ke paru-paru dan alat genital,
melainkan juga diotak, hati, dan atau saluran pencernaan
Pernah mendapat kemoterapi

30
Kehamilan uterus sebelumnya

2.6.4. Etiologi dan Patogenesa


Etiologi terjadinya penyakit trofoblas ganas (PTG) belum diketahui
jelas, namun bentuk keganasan tumor ini merupakan karsinoma epitel
korion meskipun pertumbuhan dan metastasenya menyerupai sarkoma.
Pada koriokarsinoma adalah trofoblas normal cenderung menjadi
invasive dan erosi pembuluh darah berlebihan. Metastase sering terjadi
lebih dini dan biasanya sering melaui pembuluh darah jarang getah bening.
Tempat metastase yang paling sering adalah paru-paru (75%) dan
kemudian vagina (50%). Pada beberapa kasus metastase dapat terjadi
divulva, ovarium, hepar, ginjal dan otak.

2.6.5. Gejala dan Tanda


Perdarahan yang tidak teratur setelah berakhirnya suatu kehamilan
dan dimana terdapat subinvolusio uterus juga perdarahan dapat terus
menerus atau intermiten dengan perdarahan mendadak dan terkadang
masif.
Pada pemeriksaaan ginekologi ditemukan uterus membesar dan
lembek. Kista teka lutein bilateral. Lesi metastase di vagina atau organ
lain. Perdarahan karena perforasi uterus atau lesi metastase ditandai
dengan :
1. Nyeri perut
2. Batuk darah
3. Melena
4. Peninggian tekanan intrakranial berupa sakit kepala, kejang dan
hemiplegi.
Kadar hCG pasca mola tidak menurun, tapi meningkat lagi. Dengan
pemeriksaan radiologi foto thorak dapat ditemukan adanya lesi metastase. Pada
pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan villus, namun demikian dengan tidak
memperlihatkan gambaran patologik tidak dapat menyingkirkan suatu keganasan.

31
2.6.6. Diagnosa
Diagnosa kemungkinn PTG bila didapatkan perdarahan pervaginam yang
menetap. Titer -hCG yang tetap atau meninggi setelah terminasi kehamilan,
mola atau abortus. Namun demikian masih memerlukan pemeriksaan USG
terhadap kasus PTG oleh karena masih kurang sensitif dan spesifik terhadap
peninggian kadar -hCG. Bila diagnosa juga ditegakkan maka foto thorak
harus segera dilaksanakan. Kadang-kadang beberapa kasus di vagina, serviks,
paru-paru atau otak dapat memberikan tanda penilaian.
Dengan ditemukan gambaran villus pada sediaan histopatologi maka
diagnosa pasti PTG dapat ditegakkan. Tetapi tindakan kuretase sering tidak dapat
memastikan adanya keganasan. Oleh karena itu jika lesi berada miometrium atau
proses pada paru-paru terjadi primer, sudah pasti histopatologinya akan negatif.
Lagi pula tindakan kuretase dapat menimbulkan perdarahan yang banyak,
perforasi dinding uterus dan dapat memudahkan penyebaran sel-sel trofoblas
ganas.
Staging klinik menurut Hammon menyatakan PTG terbagi dua yaitu PTG
tidak bermetastase dan PTG bermetastase. PTG bermetastase terbagi atas resiko
rendah dan resiko tinggi. Faktor resiko tinggi bila kadar -hCG urin >100.000
u/mlatau kadar -hCG serum >40.000 u/ml, bermetastase ke otot atau hati,
kegagalan kemoterapi sebelumnya adalah kehamilan aterm.
Sedangkan menurut the Internasonal Federation of Gynecology and
Obstetric Oncology (FIGO) menetapkan beberapa kriteria yang dapat didiagnosa
PTG , yaitu:
1. Menetapnya kadar -hCG pada empat kali penilaian dalam tiga
minggu atau lebih, (misalnya 1,7,14,21)
2. Kadar -hCG meningkat >10% pada tiga kali pengukuran berturut-
turut setiap minggu atau lebih (1, 7 dan 14)
3. Tetap terdeteksiny kadar -hCG sampi 6 bulan tau lebih
4. Kriteria histologi untuk kariokarsinoma
Diagnosa PTG dapat ditegakkan berdasarkan diagnosa klinik dengan atau
tanpa histologi. Diagnosa PTG ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan kadar -hCG, banyak kriteria diagnosis untuk menegakkan PTG.

32
Pemeriksaan histologi sering kali tidak dimungkinkan karena penderita pada
umumnya berusia muda yang masih membutuhkn fungsi organ reproduksi.

2.6.7. Stadium dan skoring prognosis


Pembagian staging FIGO bersifat sederhana, mengacu pada hasil
pemeriksaan dan pencitraan, misalnya foto thoraks.
Tabel 4. Staging klinis menurut FIGO
Stadium I Tumor trofoblastik gestasional terbatas pada cavum uteri
Stadium II Tumor trofoblastik gestasional meluas ke adneksa atau vagina
namun terbatas pada organ genitalia
Stadium III Tumor trofoblastik gestasional bermetastasis ke paru, dengan atau
tanpa metastase ke organ genitalia interna
Stadium IV Bermetastase jauh dengan atau tanpa metastase ke paru

Ada beberapa sistem yang digunakan untuk mengkategorikan penyakit


trofoblas ganas. Semua sistem mengkorelasikan antar gejala klinik pasien dan
risiko kegagalan kemoterapi. Sistem skoring FIGO tahun 2000 merupakan
modifiksi sistem skoring WHO. Perhitungan faktor prognostik dengan skor 0-6
dianggap sebagai pasien dengan resiko rendah, sedangkan skor >7, maka
diangggap sebagai berisiko tinggi.
Tabel 5. Sistem skoring menurut WHO

2.6.8. Penanganan
Prinsip dasar penanganan penyakit trofoblas ganas adalah kemoterapi dan operasi.
Indikasi kemoterapi:
1. Meningkatnya -hCG setelah evakuasi
2. Titer -hCG sangat tinggi setelah dievakuasi

33
3. -hCG tidak turun selama 4 bulan setelah dievakuasi
4. meningginya -hCG setelah 6 bulan evakuasi atau turun tapi lambat
5. Metastase ke paru-paru, vulva, vagina kecuali bila -hCG nya turun
6. Metastase ke bagian organ lainnya (otak dan hepar)
7. Perdarahan pervaginam yang berat atau adanya adanya perdarahan
gastrointestinal
8. Gambaran istologi kariokarsinoma
Operatif merupakan tindakan utama dalam penanggulangan dini PTG,
walaupun tumor sudah lama, namun bila masih terlokalisir di uterus tindakan
histerektomi baik dilakukan. Pasien-pasien dengan perdarahan pervaginam yang
terus menerus atau resisten terhadap kemoterapi akan dilakukan histerektomi.
Penatalaksanaan berdasarkan stadium dan skoring WHO:
1. PTG risiko rendah, skoring WHO < 6, FIGO stadium 1, II,III
Metotreksat 0,4 mg/KgBB IM tiap hari selama 5 hari, diulang tiap 2
minggu
Metotreksat 1 mg/ KgBB selang 1 hari sampai 4 dosis dengan
ditambahkan leukovorin 0,1mg/KgBB 24 jam setelah MTX, diulang
tiap 2 minggu
Actinomicin D 12 ug/KgBB IV tiap hari selama 5 hari diulang tiap 2
minggu. Protokol ini digunakanpada pasien gangguan fungsi hati.
Metotreksat 250 mg infus selama 12 jam, diulang tiap 2 minggu
Kemoterapi dilanjutkan 1 atau 2 kali setelah kadar hCG normal
2. PTG risiko tinggi, FIGO stadium I, II, III, dengan skor WHO 7 atau
stadium IV
Terapi primer adalah EMA-CO (Etoposide, MTX, Actinomycin,
Cyclophosphamid, Oncovin (Vincristine), jika respo kurang baik atau
resisten maka alternatif lain:
EMA-PA (Etoposide, MTX, Actinomycin-Cisplatin, Adriamycin)
EMA-EP (Etoposide, MTX, Actinomycin-Etoposide Platinum)
Jika EMA-EP resisten, dapat diberikan alternatif:
Paclitaxel Cisplatin
Paclitaxel- Etoposide 13

34
Paclitaxel- 5FU
ICE (Iphosphamid, Cisplatin, Etoposide)
Tabel 6. Penatalaksanaan berdasarkan stadium
Stage I
Initial Single-agent chemotherapy or hysterectomy with adjunctive
chemotherapy
Resistant Combination chemotherapy
Hysterectomy with adjunctive chemotherapy
Local resection
Pelvic infusion
Stage II and III
Low riska
Initial Single-agent chemotherapy
Resistant Combination chemotherapy
High riska
Initial Combination chemotherapy
Resistant Second-line combination chemotherapy
Stage IV
Initial Combination chemotherapy
Brain Whole-heat irradiation (3,000 cGy)
Craniotomy to manage complications
Liver Resection to manage complications
a
Resistant Second-line combination chemotherapy
Hepatic arterial infusion
a
Local resection optional.

Follow up
Standar follow up dari sebagian penulis adalah sebagai berikut
1. Pemeriksaan -hCG serum/urine
Diperiksa setiap minggu sampai dinyatakan negatif 3 kali pemeriksaan.
Selanjutnya setiap bulan selama 12 bulan dan selanjutnya tiap 6 bulan.
Setelah kemoterapi titer -hCG akan turun pada batas yang tidak
dapat dideteksi selama 2 bulan awal pengobatan.
2. Pemeriksaaan pelvic
Di periksa setiap minggu, setelah evakuasi suatu kehamilan sampai batas
normal. Selanjutnya tiap 4 minggu mengevaluasi perubahan-perubahan
besar uterus dan munculnya kista teka lutein.
3. Foto thorak

35
Jika terapi sempurna telah selesai ternyata masih tampak sisa tumor di
paru-paru diperlukan pemeriksaan radiologi selama 2 tahun untuk melihat
bukti apakah sisa tumor hilang

Gambar 10. Skema Penanganan Penyakit Trofoblas Ganas


2.6.9. Pencegahan
Pada kasus resiko tinggi bila jumlah anak yang diinginkan sudah
mencukupi maka tindakan yang terbaik adalah histerektomi. Memberikan
kemoterapi terapi pada kasus-kasus kehamilan ektopik untuk mencegah
penyakit trofoblas. Bila kadar -hCG pasca mola tidak turun selama 3

36
minggu berturut-turut atau malah semakin tinggi maka diberikan
kemoterapi, kecuali anak sudah cukup jumlahnya dapat dilakukan
histerektomi.

2.6.10. Prognosis
Semakin dini diagnosa dan semakin dini pula pengobatannya
dimulai maka prognosanya akan semakin baik. Prognosa penyakit
trofoblas ganas jenis villosum lebih baik dari pada non villosum.
Prognosa buruk dijumpai pada
1. Masa laten antara mola dan timbulnya keganasan panjang
2. -hCG yang tinggi
3. Pengobatan tidak sempurna
4. Adanya penyebaran ke otak dan hati
5. Daya tahan tubuh penderita menurun
6. Diagnosa terlambat dibuat dengan akibat terapi terlambat diberikan

2.7. Mola Invasif


Mola invasif adalah keganasan pasca mola hidatidosa yang dikenal
dengan istilah koriokarsinoma destruens atau mola destruens (ewing), sedangkan
Tjokronegoro menggunakan istilah kariokarsinoma villosum. Manifestasi
neoplasia yang umum ini ditandai oleh pertumbuhan berlebihan trofoblas disertai
invasi luas ke jaringan oleh sel trofoblastik dan vilus keseluruhan. Terjadi
penetrasi jauh ke dalam ke miometrium, kadang disertai keterlibatan peritoneum,
parametrium sekitar, atau kubah vagina. Tumor semacam ini hampir selaiu tirnbul
dari mola parsial atau kornplet. Tumor ini invasif secara 1okal, tetapi umumnya
tidak memperlihatkan kecenderungan bermetastasis luas yang khas untuk
koriokarsinoma.
2.8. Kariokarsinoma
Tumor yang sangat ganas ini dapat dianggap sebagai karsinoma epitel
korionik. Insidennya adalah sekitar 1 dari 30.000 kehamilan, dua pertiga timbul
setelah kelahiran normal dan sepertiga setelah kehamilan mola. Tumor ini perlu

37
dipertimbangkan jika terjadi perdarahan menetap setelah suatu kejadian
kehamilan.
Gambaran makroskopik khas tumor ini adalah massa tumbuh cepat yang
menginvasi miometrium dan pembuluh darah, menyebabkan perdarahan dan
nekrosis. Tumor berwarna merah tua atau ungu dan tidak beraturan atau rapuh.
Jika mengenai endometrium, biasanya cepat terjadi perdarahan, pengelupasan
jaringan, dan infeksi permukaan. Massa jaringan yang tertanam di miometrium
dapat meluas keluar, tampak di permukaan uterus sebagai nodus-nodus gelap
iregular yang akhirnya menembus peritoneum.
Meskipun sel sitotrofoblas dan elemen sinsitium terlibat, yang
mendominasi hanya salah satunya. Secara mikroskopis, terlihat kolom-ko1om dan
lembaran-lembaran se1 trofoblastik yang menembus otot dan pembuluh darah.
Se1-sel ini kadang membentuk susunan pleksiform dan kadang sama sekali tak
teratur, berselang-seling dengan bekuan darah. Dan, berbeda dari mola
hidatidiformis atau mola invasif, tidak terlihat pola vilus. Faktor-faktor yang
berperan dalam transformasi maligna korion tidak diketahui, tetapi kecenderungan
korion untuk mengalami pertumbuhan invasif dan mengikis pembuluh darah
sangat tinggi.
Metastasis sering terjadi secara dini dan umumnya bersifat hematogen
karena afinitas sel trofoblas terhadap pembuluh darah. Tempat tersering adalah
paru (pada lebih dari 75 persen kasus), dan vagina (pada sekitar 50 persen). Secara
keseluruhan, Berry dkk. (2008) melaporkan metastasis vagina pada 4,5 persen
dari 806 wanita dengan neoplasia gestasional trofoblastik. Vulva, ginjal, hati,
ovarium, otak, dan usus juga dapat mengandung metastasis. Pada sepertiga kasus
ditemukan kista-kista teka lutein diovarium.

2.9. Plasental Site Trophoblastic Tumor (PSTT)


Varian neoplasia trofoblastik yang jarang ini muncul dari tempat
implantasi plasenta seteiah kehamilan aterm normal, abortus spontan atau induksi,
atau keharnilan ektopik atau mola. Secara histologis, terdapat sel-sel trofoblastik

38
intermediat, yang banyak di antaranya menghasilkan prolaktin. Karena itu, kadar
B-hCG serum relatif rendah dibandingkan dengan massa tumor. Untuk diagnosis
tumor ini, proporsi B-hCG bebas yang tinggi lebih dari 30 persen bersifat
diagnostik. Perdarahan adalah gejala utamanya. Tumor yang invasif lokal resisten
terhadap kemoterapi dan terapi terbaik adalah histerektomi. Pernah dilaporkan
adanya kasus-kasus yang ditangani tanpa histerektomi.

2.10. Tumor Trofoblastik Epiteloid


Tumor trofoblastik yang jarang ini berbeda dari koriokarsinoma
trofoblastik dan tumor trofoblastik tempat plasenta (Macdonald dkk., 2008).
Dalam ulasan mereka baru-baru ini, Palmer dkk. (2008) mendapatkan hanya 52
kasus yang pernah dilaporkan. Kehamilan yang mendahului mungkin terjadi jauh
sebelumnya atau, pada sebagian kasus, tidak dapat dipastikan. Tumor trofoblastik
epitelioid terbentuk dari transformasi neoplastik trofoblas intermediat tipe korion.
Secara mikroskopis, tumor ini mirip dengan tumor trofoblastik tempat
plasenta tetapi sel-selnya lebih kecil dan tidak banyak memperlihatkan
polimorfisme nukleus (Allison dkk., 2006). Secara makroskopis, tumor tumbuh
lebih secara nodular dibandingkan dengan pola infiltratif pada tumor trofoblastik
tempat plasenta. Histerektomi adalah metode primer pengobatan, tetapi sekitar
seperempat dari para wanita yang datang sudah mengalami metastasis. Terlalu
sedikit kasus yang pernah dilaporkan untuk mengevaluasi efektivitas terapi.

BAB III
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

39
Penyakit trofoblas gestasional merupakan suatu spektrum dari dua
kondisi premaligna, yaitu mola hidatidosa komlit dan parsial hingga kondisi
tumor ganas seperti mola invasif, khoriokarsinoma, plasental site trophoblastik
tumor, tumor trofoblastik epiteloid. Tumor ganas ini dikenal sebagai
neoplasia trofoblastik gestasional.
Jaringan trofoblastik terbentuk dari sel perifer blastokista beberapa hari
setelah konsepsi. Jaringan tersebut dibagi menjadi 2 lapisan, yaitu lapisan luar
(sinsiotrofoblas) yang dibentuk oleh sel-sel besar multinucleated dan lapisan
dalam dari sel mononucleated yang membentuk sitotrofoblas. sinsiotrofoblas
menginvasi endometrium secara agresif membentuk suatu hubungan antara fetus
dan ibu yang dikenal sebagai plasenta. Normalnya pertumbuhan plasenta diatur
ketat oleh suatu mekanisme yang belum ditentukan untuk mencegah
perkembangan metastase lebih lanjut. Penyakit trofoblastik gestasional ganas
mmuncul ketika mekanisme pengontrol ini gagal, menghasilkan invasi dari
jaringan trofoblas yang mencapai miometrium,yang mengizinkan penyebaran
secara hematogen dan pembentukan emboli tumor.
Pemeriksaan pada penyakit trofoblas gestasional meliputi pemeriksaan
USG, kadar hcg, dan diagnosa patologi. Penatalaksanaan dari penyakit trofoblas
gestasional meliputu terapi pembedahan, kemoterapi, dan terkadang
membutuhkan radioterapi pada penyakit trofoblastik neoplasma.

40

Anda mungkin juga menyukai