Anda di halaman 1dari 12

Transmigrasi, Antara Solusi, Harapan dan Permasalahan

30 Juni 2015 21:31 Diperbarui: 30 Juni 2015 21:39 5602 9 23

[caption caption="Rumah Trans di Kolehatang | Kompas.com" ][/caption]

Setelah cukup lama meredup, pemerintah akhirnya akan memulai kembali program transmigrasi
dan pada bulan Oktober 2015 yang akan datang pemerintah akan memberangkatkan 100 orang
transmigrasi dari Jawa Tengah ke Kalimantan Utara. Dan sebanyak 15 belas kepala keluarga dari
Yogyakarta di berangkatkan ke Kabupaten Bulungan Kalimantan yang juga berada di Kaltara.
Saat ini Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah memulai
tahapan rekruitmen, pelatihan, serta penyiapan lokasi transmigrasi yang bagus untuk
dikembangkan.

Dalam keterangannya pada Minggu (28/6/2015), Menteri Marwan Jafar menilai bahwa
masyarakat yang mau transmigrasi ini adalah masyarakat cerdas yang siap maju. Selain itu
Menteri juga menjanjikan akan terus mempromosikan daerah transmigrasi agar investor tertarik
menanamkan modalnya disana.

Dalam penjelasan tambahan, menteri Marwan menyebutkan saat ini terdapat hampir 140
kawasan transmigrasi di seluruh Indonesia. Namun yang yang menjadi prioritas saat ini adalah
wilayah perbatasan serta kawasan yang dekat dengan perbatasan. Ini sesuai Nawa Cita ketiga,
membangun Indonesia dari pinggiran, yakni, perbatasan dan kampung-kampung.

Pelaksanaan transmigrasi didukung dengan payung hukum yang sangat baik, berupa Undang-
undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-undang nomor 15 tahun 1997 tentang
Ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2014, tentang pelaksanaan undang-
undang Ketransmigrasian.

Secara umum pengembangan transmigrasi dilakukan melalui pembentukan/pembangunan satuan


pemukiman (SP) tetapi untuk Wilayah Kalimantan akan menerapkan konsep Satuan Pemukiman
Pemugaran (SP-Pugar). Ini artinya, para transmigrasi langsung diintegrasikan dengan masyarat
setempat. Pemukiman yang dibangun termasuk untuk masyarakat setempat sehingga mencapai
jumlah 300-500 Kepala Keluarga dan menjadi kelompok pemukiman baru.

[caption caption="Salah satu sudut suasana transmigrasi di Desa Sebunga Kabupaten Sambas,
Kalimantan Barat | Republika.com" ]

[/caption]

Mengapa tertarik ikut transmigrasi?


Bagi pulau yang sudah padat seperti pulau jawa serta sulitnya mencari sumber penghidupan baru,
transmigrasi merupakan salah satu peluang untuk mengubah nasib/peruntungan. Karena ditempat
yang baru, peluang berusaha (untuk tahap awal) tidak perlu dicari karena pemerintah sudah
menyediakan lahan pertanian dan perkebunan yang siap untuk digarap.

Masing-masing kepala keluarga akan mendapatkan rumah dan lahan perkarangan seluas 0,25 Ha
diberikan secara cuma-cuma, lahan pertanian seluas 3 Ha per kepala keluarga yang
pembayarannya dicicil dengan harga sangat terjangkau, jika sudah lunas status lahan
perkarangan dan lahan pertanian bersertifikat hak milik (SHM). Bantuan perbekalan sebesar 3,5
juta/perbulan selama 18 bulan yang konversi dalam bentuk bahan makan seperti beras, lauk-pauk
dan jenis barang konsumsi lainnya.

Pemerintah juga membangun berbagai fasilitas umum seperti rumah ibadah, sekolah, sarana
medis serta sarana dan prasarana pendukung lainnya. Semua kebutuhan dasar dilengkapi oleh
pemerintah. Semua sarana dan prasarana ini juga dimanfaatkan oleh masyarakat setempat baik
itu yang terintegrasi maupun yang tidak.

Pro dan Kontra.


Janji manis untuk para transmigran kadang menjadi bumerang untuk mereka sendiri, harapan
yang diletakan terlalu tinggi akhirnya susah dijangkau dan jika ini yang terjadi, setelah bantuan
perbekalan tidak lagi diberikan, mereka akan pergi dari lahan transmigrasi, bermigrasi ke kota
dan terjadilah penumpukan penduduk yang pada akhirnya melahirkan kecemburuan sosial yang
dapat menjadi pemantik masalah dibelakang hari.

Tidak semua penduduk tempatan dapat menerima kehadiran transmigrasi dengan tangan terbuka,
ada kalanya mereka menerima dengan keterpaksaan, ini dikarenakan:

1. Adanya anggapan bahwa para transmigran diperlakukan istimewa oleh pemerintah


dengan berbagai fasilitas yang mereka dapatkan. Sementara penduduk setempat berjibaku
dengan kondisi yang lebih memprihatinkan. Mereka sebagai tuan rumah pada kondisi
nyata ternyata lebih miskin dari orang luar yang datang dan mendiami wilayah mereka.
2. Akar tradisi dan budaya adalah masalah lain yang sering menjadi pemicu, karena
penduduk setempat beranggapan bahwa lahan yang berikan kepala para trasmigrasi
merupakan lahan mereka yang seharusnya dimaksimal untuk kesejahteraan masyarakat
setempat. Lahan ini kemudian menjadi bersertifikat sementara lahan penduduk tempatan
hanya bersadarkan pengakuan dan saling percaya diantara mereka.
3. Para transmigrasi hampir bisa dipastikan tidak mengerti adat dan kebiasaan setempat,
perbeaan ini kemudian bisa menimbulkan sikap antipati karena para pendatang dianggap
tidak menghargai penduduk tempatan.
4. Arogansi Budaya, kenyataan dilapangan tidak bisa kita pungkiri, penduduk dari jawa
sangat-sangat jarang yang mau belajar bahasa setempat, jikapun dia menikah dengan
penduduk setempat pasangannya akan diajarkan dan diminta menggunakan bahasa
jawa. Ini kemudian memantik rasa ego pada sebagian orang, akibatnya pendatang
dianggap sombong dan tidak mau menyatu dengan masyarakat setempat, sederhana tapi
bisa jadi petaka.

Hal-hal tersebut diatas bisa ditanggulangi oleh Pemerintah Pusat bersama-sama dengan
pemerintah Daerah setempat, para transmigrasi tidak cukup hanya dibekali dengan pengetahuan
dan keterampilan pekerjaan, tetapi sisipkan sedikit tentang adat dan budaya setempat agar kelak
datang dilokasi baru tidak gagap budaya.

Selain itu pemerintah perlu sedikit mendengarkan adanya keluhan-keluhan dari penduduk, para
pemuka agama, tokoh-tokoh adat setempat dan bila dianggap perlu masyarakat sekitar
mendapatkan perlakuan yang sama dari pemerintah. Apa tidak menyakitkan hati, para
transmigaran mendapatkan fasilitas perumahan yang cukup baik, sementara penduduk setempat
masih tinggal digubuk.

[caption caption="Seorang anak bermain di depan rumah transmigran di Desa Tanjung Pule,
Kota Terpadu Mandiri Sungai Rambutan Parit, Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan
Ilir, Sumatera Selatan | Kompas.com" ]
[/caption]

Bahkan ketika masa pemerintahan ordebaru, ada yang menilai para transmigaran dianggap
sebagai duta Jawanisasi penduduk setempat dan itu terbukti bahwa penduduk setempat banyak
yang fasih berbahasa jawa, sementara mereka para transmigram hampir tidak ada yang berbahasa
daerah setempat. Yang lebih ekstrim, kedatangan mereka dianggap sebagai perampok kekayaan
masyarakat setempat dan menganggap transmigrasi merupakan bentuk penjajahan antar suku
diabad modern.

Mungkin anggapan dan penilian tersebut terlalu berlebihan, tetapi tidak ada salahnya pemerintah
melakukan kajian lagi, bukan hanya membekali para transmigran tetapi juga memberikan
pembekalan kepada penduduk setempat, bukan hanya ditanya bersedia atau tidak menerima
kedatangan transmigrasi.

Sangat disayangkan jika manfaat nyata transmigrasi yang selama ini sudah kelihatan, akan
menjadi redup kembali dan malah berakhir dengan pertentangan. Ada baiknya pemerintah sedikit
berhati-hati dalam hal ini karena setiap wilayah memiliki karakter budayanya sendiri. Janganlah
memaksakan karakter dan budaya pendatang untuk diterapkan pada penduduk setempat. Cara
yang paling baik adalah mengawinkan kedua budaya dan tradisi, ini bisa dipercepat jika ada
campur tangan pemerintah secara nyata.

Sumber : Antaranews.com dan Liputan6.com


REVIEW ARTIKEL

Transmigrasi, Antara Solusi, Harapan dan Permasalahan

Setelah cukup lama meredup, pemerintah akhirnya akan memulai kembali program transmigrasi
dan pada bulan Oktober 2015 yang akan datang pemerintah akan memberangkatkan 100 orang
transmigrasi dari Jawa Tengah ke Kalimantan Utara. Dan sebanyak 15 belas kepala keluarga dari
Yogyakarta di berangkatkan ke Kabupaten Bulungan Kalimantan yang juga berada di Kaltara.
Saat ini Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah memulai
tahapan rekruitmen, pelatihan, serta penyiapan lokasi transmigrasi yang bagus untuk
dikembangkan.

Pelaksanaan transmigrasi didukung dengan payung hukum yang sangat baik, berupa Undang-
undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-undang nomor 15 tahun 1997 tentang
Ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2014, tentang pelaksanaan undang-
undang Ketransmigrasian.

Secara umum pengembangan transmigrasi dilakukan melalui pembentukan/pembangunan satuan


pemukiman (SP) tetapi untuk Wilayah Kalimantan akan menerapkan konsep Satuan Pemukiman
Pemugaran (SP-Pugar). Ini artinya, para transmigrasi langsung diintegrasikan dengan masyarat
setempat. Pemukiman yang dibangun termasuk untuk masyarakat setempat sehingga mencapai
jumlah 300-500 Kepala Keluarga dan menjadi kelompok pemukiman baru.

Bagi pulau yang sudah padat seperti pulau jawa serta sulitnya mencari sumber penghidupan baru,
transmigrasi merupakan salah satu peluang untuk mengubah nasib/peruntungan. Karena ditempat
yang baru, peluang berusaha (untuk tahap awal) tidak perlu dicari karena pemerintah sudah
menyediakan lahan pertanian dan perkebunan yang siap untuk digarap.

Masing-masing kepala keluarga akan mendapatkan rumah dan lahan perkarangan seluas 0,25 Ha
diberikan secara cuma-cuma, lahan pertanian seluas 3 Ha per kepala keluarga yang
pembayarannya dicicil dengan harga sangat terjangkau, jika sudah lunas status lahan
perkarangan dan lahan pertanian bersertifikat hak milik (SHM). Bantuan perbekalan sebesar 3,5
juta/perbulan selama 18 bulan yang konversi dalam bentuk bahan makan seperti beras, lauk-pauk
dan jenis barang konsumsi lainnya.

Pemerintah juga membangun berbagai fasilitas umum seperti rumah ibadah, sekolah, sarana
medis serta sarana dan prasarana pendukung lainnya. Semua kebutuhan dasar dilengkapi oleh
pemerintah. Semua sarana dan prasarana ini juga dimanfaatkan oleh masyarakat setempat baik
itu yang terintegrasi maupun yang tidak.

Pro dan Kontra. Janji manis untuk para transmigran kadang menjadi bumerang untuk mereka
sendiri, harapan yang diletakan terlalu tinggi akhirnya susah dijangkau dan jika ini yang terjadi,
setelah bantuan perbekalan tidak lagi diberikan, mereka akan pergi dari lahan transmigrasi,
bermigrasi ke kota dan terjadilah penumpukan penduduk yang pada akhirnya melahirkan
kecemburuan sosial yang dapat menjadi pemantik masalah dibelakang hari.

Tidak semua penduduk tempatan dapat menerima kehadiran transmigrasi dengan tangan terbuka,
ada kalanya mereka menerima dengan keterpaksaan, ini dikarenakan:

1. Adanya anggapan bahwa para transmigran diperlakukan istimewa oleh pemerintah


dengan berbagai fasilitas yang mereka dapatkan. Sementara penduduk setempat berjibaku
dengan kondisi yang lebih memprihatinkan. Mereka sebagai tuan rumah pada kondisi
nyata ternyata lebih miskin dari orang luar yang datang dan mendiami wilayah mereka.
2. Akar tradisi dan budaya adalah masalah lain yang sering menjadi pemicu, karena
penduduk setempat beranggapan bahwa lahan yang berikan kepala para trasmigrasi
merupakan lahan mereka yang seharusnya dimaksimal untuk kesejahteraan masyarakat
setempat. Lahan ini kemudian menjadi bersertifikat sementara lahan penduduk tempatan
hanya bersadarkan pengakuan dan saling percaya diantara mereka.
3. Para transmigrasi hampir bisa dipastikan tidak mengerti adat dan kebiasaan setempat,
perbeaan ini kemudian bisa menimbulkan sikap antipati karena para pendatang dianggap
tidak menghargai penduduk tempatan.
4. Arogansi Budaya, kenyataan dilapangan tidak bisa kita pungkiri, penduduk dari jawa
sangat-sangat jarang yang mau belajar bahasa setempat, jikapun dia menikah dengan
penduduk setempat pasangannya akan diajarkan dan diminta menggunakan bahasa
jawa. Ini kemudian memantik rasa ego pada sebagian orang, akibatnya pendatang
dianggap sombong dan tidak mau menyatu dengan masyarakat setempat, sederhana tapi
bisa jadi petaka.

Hal-hal tersebut diatas bisa ditanggulangi oleh Pemerintah Pusat bersama-sama dengan
pemerintah Daerah setempat, para transmigrasi tidak cukup hanya dibekali dengan pengetahuan
dan keterampilan pekerjaan, tetapi sisipkan sedikit tentang adat dan budaya setempat agar kelak
datang dilokasi baru tidak gagap budaya.

Selain itu pemerintah perlu sedikit mendengarkan adanya keluhan-keluhan dari penduduk, para
pemuka agama, tokoh-tokoh adat setempat dan bila dianggap perlu masyarakat sekitar
mendapatkan perlakuan yang sama dari pemerintah. Apa tidak menyakitkan hati, para
transmigaran mendapatkan fasilitas perumahan yang cukup baik, sementara penduduk setempat
masih tinggal digubuk.

[caption caption="Rumah Trans di Kolehatang | Kompas.com" ][/caption]

Setelah cukup lama meredup, pemerintah akhirnya akan memulai kembali program transmigrasi
dan pada bulan Oktober 2015 yang akan datang pemerintah akan memberangkatkan 100 orang
transmigrasi dari Jawa Tengah ke Kalimantan Utara. Dan sebanyak 15 belas kepala keluarga dari
Yogyakarta di berangkatkan ke Kabupaten Bulungan Kalimantan yang juga berada di Kaltara.
Saat ini Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah memulai
tahapan rekruitmen, pelatihan, serta penyiapan lokasi transmigrasi yang bagus untuk
dikembangkan.

Dalam keterangannya pada Minggu (28/6/2015), Menteri Marwan Jafar menilai bahwa
masyarakat yang mau transmigrasi ini adalah masyarakat cerdas yang siap maju. Selain itu
Menteri juga menjanjikan akan terus mempromosikan daerah transmigrasi agar investor tertarik
menanamkan modalnya disana.

Dalam penjelasan tambahan, menteri Marwan menyebutkan saat ini terdapat hampir 140
kawasan transmigrasi di seluruh Indonesia. Namun yang yang menjadi prioritas saat ini adalah
wilayah perbatasan serta kawasan yang dekat dengan perbatasan. Ini sesuai Nawa Cita ketiga,
membangun Indonesia dari pinggiran, yakni, perbatasan dan kampung-kampung.

Pelaksanaan transmigrasi didukung dengan payung hukum yang sangat baik, berupa Undang-
undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-undang nomor 15 tahun 1997 tentang
Ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2014, tentang pelaksanaan undang-
undang Ketransmigrasian.

Secara umum pengembangan transmigrasi dilakukan melalui pembentukan/pembangunan satuan


pemukiman (SP) tetapi untuk Wilayah Kalimantan akan menerapkan konsep Satuan Pemukiman
Pemugaran (SP-Pugar). Ini artinya, para transmigrasi langsung diintegrasikan dengan masyarat
setempat. Pemukiman yang dibangun termasuk untuk masyarakat setempat sehingga mencapai
jumlah 300-500 Kepala Keluarga dan menjadi kelompok pemukiman baru.

Bagi pulau yang sudah padat seperti pulau jawa serta sulitnya mencari sumber penghidupan baru,
transmigrasi merupakan salah satu peluang untuk mengubah nasib/peruntungan. Karena ditempat
yang baru, peluang berusaha (untuk tahap awal) tidak perlu dicari karena pemerintah sudah
menyediakan lahan pertanian dan perkebunan yang siap untuk digarap.

Masing-masing kepala keluarga akan mendapatkan rumah dan lahan perkarangan seluas 0,25 Ha
diberikan secara cuma-cuma, lahan pertanian seluas 3 Ha per kepala keluarga yang
pembayarannya dicicil dengan harga sangat terjangkau, jika sudah lunas status lahan
perkarangan dan lahan pertanian bersertifikat hak milik (SHM). Bantuan perbekalan sebesar 3,5
juta/perbulan selama 18 bulan yang konversi dalam bentuk bahan makan seperti beras, lauk-pauk
dan jenis barang konsumsi lainnya.

Pemerintah juga membangun berbagai fasilitas umum seperti rumah ibadah, sekolah, sarana
medis serta sarana dan prasarana pendukung lainnya. Semua kebutuhan dasar dilengkapi oleh
pemerintah. Semua sarana dan prasarana ini juga dimanfaatkan oleh masyarakat setempat baik
itu yang terintegrasi maupun yang tidak.
Pro dan Kontra. Janji manis untuk para transmigran kadang menjadi bumerang untuk mereka
sendiri, harapan yang diletakan terlalu tinggi akhirnya susah dijangkau dan jika ini yang terjadi,
setelah bantuan perbekalan tidak lagi diberikan, mereka akan pergi dari lahan transmigrasi,
bermigrasi ke kota dan terjadilah penumpukan penduduk yang pada akhirnya melahirkan
kecemburuan sosial yang dapat menjadi pemantik masalah dibelakang hari.

Tidak semua penduduk tempatan dapat menerima kehadiran transmigrasi dengan tangan terbuka,
ada kalanya mereka menerima dengan keterpaksaan, ini dikarenakan:

1. Adanya anggapan bahwa para transmigran diperlakukan istimewa oleh pemerintah


dengan berbagai fasilitas yang mereka dapatkan. Sementara penduduk setempat berjibaku
dengan kondisi yang lebih memprihatinkan. Mereka sebagai tuan rumah pada kondisi
nyata ternyata lebih miskin dari orang luar yang datang dan mendiami wilayah mereka.
2. Akar tradisi dan budaya adalah masalah lain yang sering menjadi pemicu, karena
penduduk setempat beranggapan bahwa lahan yang berikan kepala para trasmigrasi
merupakan lahan mereka yang seharusnya dimaksimal untuk kesejahteraan masyarakat
setempat. Lahan ini kemudian menjadi bersertifikat sementara lahan penduduk tempatan
hanya bersadarkan pengakuan dan saling percaya diantara mereka.
3. Para transmigrasi hampir bisa dipastikan tidak mengerti adat dan kebiasaan setempat,
perbeaan ini kemudian bisa menimbulkan sikap antipati karena para pendatang dianggap
tidak menghargai penduduk tempatan.
4. Arogansi Budaya, kenyataan dilapangan tidak bisa kita pungkiri, penduduk dari jawa
sangat-sangat jarang yang mau belajar bahasa setempat, jikapun dia menikah dengan
penduduk setempat pasangannya akan diajarkan dan diminta menggunakan bahasa
jawa. Ini kemudian memantik rasa ego pada sebagian orang, akibatnya pendatang
dianggap sombong dan tidak mau menyatu dengan masyarakat setempat, sederhana tapi
bisa jadi petaka.

Hal-hal tersebut diatas bisa ditanggulangi oleh Pemerintah Pusat bersama-sama dengan
pemerintah Daerah setempat, para transmigrasi tidak cukup hanya dibekali dengan pengetahuan
dan keterampilan pekerjaan, tetapi sisipkan sedikit tentang adat dan budaya setempat agar kelak
datang dilokasi baru tidak gagap budaya.
Selain itu pemerintah perlu sedikit mendengarkan adanya keluhan-keluhan dari penduduk, para
pemuka agama, tokoh-tokoh adat setempat dan bila dianggap perlu masyarakat sekitar
mendapatkan perlakuan yang sama dari pemerintah. Apa tidak menyakitkan hati, para
transmigaran mendapatkan fasilitas perumahan yang cukup baik, sementara penduduk setempat
masih tinggal digubuk.

[caption caption="Seorang anak bermain di depan rumah transmigran di Desa Tanjung Pule,
Kota Terpadu Mandiri Sungai Rambutan Parit, Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan
Ilir, Sumatera Selatan | Kompas.com" ]

Bahkan ketika masa pemerintahan ordebaru, ada yang menilai para transmigaran dianggap
sebagai duta Jawanisasi penduduk setempat dan itu terbukti bahwa penduduk setempat banyak
yang fasih berbahasa jawa, sementara mereka para transmigram hampir tidak ada yang berbahasa
daerah setempat. Yang lebih ekstrim, kedatangan mereka dianggap sebagai perampok kekayaan
masyarakat setempat dan menganggap transmigrasi merupakan bentuk penjajahan antar suku
diabad modern.

Mungkin anggapan dan penilian tersebut terlalu berlebihan, tetapi tidak ada salahnya pemerintah
melakukan kajian lagi, bukan hanya membekali para transmigran tetapi juga memberikan
pembekalan kepada penduduk setempat, bukan hanya ditanya bersedia atau tidak menerima
kedatangan transmigrasi.

Sangat disayangkan jika manfaat nyata transmigrasi yang selama ini sudah kelihatan, akan
menjadi redup kembali dan malah berakhir dengan pertentangan. Ada baiknya pemerintah sedikit
berhati-hati dalam hal ini karena setiap wilayah memiliki karakter budayanya sendiri. Janganlah
memaksakan karakter dan budaya pendatang untuk diterapkan pada penduduk setempat. Cara
yang paling baik adalah mengawinkan kedua budaya dan tradisi, ini bisa dipercepat jika ada
campur tangan pemerintah secara nyata.

Anda mungkin juga menyukai