Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya


permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan
submukosa.(1-6) Hal ini pertama kali diungkapkan pada tahun 1586. Istilah lainnya
seperti giant urticaria, Quincke edema, dan angioneurotic edema telah digunakan
sejak dulu untuk menggambarkan kondisi seperti ini.(1)
Angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Faktanya, sebanyak 50%
pasien dengan urtikaria juga mengalami angioedema. Pada banyak kasus, angioedema
sangat mirip dengan urtikaria berdasarkan etiologi dan strategi penatalaksanaannya.(1)
Urtikaria timbul akibat masuknya antigen ke area kulit yang spesifik dan
menimbulkan reaksi setempat yang mirip reaksi anafilaksis. Histamin yang
dilepaskan setempat akan menimbulkan vasodilatasi yang menyebabkan timbulnya
red flare (kemerahan) dan peningkatan permeabilitas kapiler setempat sehingga
dalam beberapa menit kemudian akan terjadi pembengkakan setempat yang berbatas
jelas.(7)
Angioedema paling sering terlihat mempengaruhi bibir dan mata (periorbital).
Daerah lain yang sering dilibatkan meliputi wajah, tangan, kaki, dan genitalia.
Namun, kondisi ini tidak selalu terlihat, seperti pada kasus saluran gastrointestinal
(GI). Bergantung pada area pembengkakan, rasa sakit tidak bisa ada atau ringan,
seperti pada kebanyakan pembengkakan di perifer atau wajah, atau bisa sangat parah,
seperti pada angiodema GI.(10)
Di sisi lain, angioedema cukup berbeda dengan urtikaria. Angioedema selalu
melibatkan lapisan dermis yang lebih dalam atau jaringan submukosa atau
subkutaneus, sementara urtikaria melibatkan lapisan dermis yang lebih superficial.(1)

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Angioedema adalah pembengkakan jaringan dermis dalam, subkutan, atau


submukosa karena kebocoran vaskular.

B. SINONIM

Angioedema, quinckes edama giant urticaria angioneurotic edema (4)

C. ETIOLOGI

Angioedema dengan etiologi yang dapat diidentifikasi meliputi hal-hal berikut:

Hipersensitivitas (misalnya makanan, obat-obatan terlarang, atau sengatan


serangga)
Rangsangan fisik (misalnya, dingin atau getaran)
Penyakit autoimun atau infeksi
ACE inhibitor
NSAID
Defisiensi C1-INH (turun-temurun dan didapat)
Angioedema dengan etiologi yang tidak teridentifikasi meliputi angioedema
idiopatik (histaminergik atau non histaminergik).
Angioedema juga telah dikaitkan dengan kondisi atau sindrom tertentu, seperti
berikut ini:
Sindrom angioedema terkait sitokin (yaitu sindrom Gleich atau angioedema
episodik dengan eosinofilia)
Sindrom sumur atau selulitis eosinofilik (yaitu, dermatitis granulomatosa dengan
eosinofilia

2
D. EPIDEMIOLOGI

Angioedema dapat mempengaruhi orang dari segala umur. Orang yang


cenderung mengalami angioedema memiliki peningkatan frekuensi serangan setelah
masa remaja, dengan kejadian puncak pada dekade ketiga kehidupan. Ada
peningkatan terus menerus pada tingkat penerimaan rumah sakit untuk angioedema
(3,0% per tahun). [14] Tingkat rawat inap paling tinggi pada orang berusia 65 tahun
ke atas.

Tingkat kejadian internasional diyakini serupa dengan yang dilaporkan di


Amerika Serikat. Namun, dalam survei populasi Denmark, prevalensi angioedema
seumur hidup adalah 7,4%, dan sekitar 50% kasus adalah angioedema kronis (non-
HAE). [medscape]

E. PATOFISIOLOGI

Pembengkakan yang terjadi pada angioedema merupakan hasil dari peningkatan


permeabilitas vaskuler lokal pada jaringan submukosa dan subkutaneus.(1)
Angioedema dapat diklasifikasikan menjadi allergic angioedema, pseudoallergic
angioedema, non-allergic angioedema dan idiopathic angioedema.(1)

a. Allergic angioedema
Berdasarkan studi yang dilakukan, angioedema paling sering disebabkan oleh
alergi. Sekitar 48 orang pasien dengan allergic angioedema, sebanyak 41.7% kasus
disebabkan oleh makanan, 39.6% oleh obat-obatan, 8.3% oleh binatang, dan sekitar
10.4% dipengaruhi oleh aeroalergen. Makanan yang paling sering mencetuskan
angioedema adalah makanan laut (70%). Sedangkan obat-obatan yang diduga
menjadi penyebab angioedema adalah antibiotik (12 dari 19 kasus; 63.2%), paling
sering amoxisilin (3 dari 12 kasus; 25%).(8)
Allergic angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Angioedema
biasanya akan mucul dalam waktu 30 menit sampai 2 jam setelah terpajan alergen
(seperti makanan, obat-obatan, dan bahan latex). Brown melaporkan sebanyak 142

3
pasien dengan anafilaksis yang dirawat di IRD, didapatkan angioedema pada sekitar
40% kasus.(1)
Mast cell merupakan sel efektor utama terjadinya urtikaria dan angioedema,
meskipun sel-sel lainnya juga tidak diragukan kontribusinya.(2)
Alergen makanan yang masuk akan mengakibatkan terjadinya cross-linking IgE
yang melekat pada permukaan mast cell atau basofil. Akibat keadaan tersebut, terjadi
pelepasan mediator, misalnya histamin, leukotrien, dan prostaglandin, yang
selanjutnya akan mengakibatkan gejala klinis.(9)
Pelepasan mediator oleh mast cell, terutama histamin, mengakibatkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular.(10)
b. Pseudoallergic angioedema
Pseudoallergic angioedema tidak dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas IgE.
Akan tetapi gejala yang ditimbulkan sangat mirip dengan allergic angioedema.
Contohnya angioedema yang diinduksi oleh penggunaan NSAIDs seperti aspirin.(1)
Angioedema akibat induksi NSAIDs didapatkan pada sekitar 20% kasus. Obat-
obatan yang bertanggung jawab terhadap angioedema adalah ibuprofen (57%),
aspirin (19%), diklofenat (9.5%), asam mefenamat (4.8%), naproxen (4.8%) dan
meloxicam (4.8%).(7)
Angioedema terjadi akibat blokade jalur pembentukan prostaglandin oleh
penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan NSAIDs lainnya. Sehingga terjadi
akumulasi leukotrien vasoaktif.(10)

c. Non-allergic angioedema
Non-allergic angioedema merupakan angioedema yang tidak melibatkan IgE
atau histamin dan umumnya tidak berhubungan dengan terjadinya urtikaria, termasuk
diantaranya:(1)

4
1. Angioedema Herediter (Hereditary Angioedema (HAE))
Angioedema herediter terdiri atas dua subtipe, yaitu:
Angioedema herediter tipe 1 (85%) adalah kelainan yang diturunkan secara
autosomal dominan akibat mutasi pada gen sehingga terjadi supresi C1-
inhibitor sebagai akibat sekresi abnormal ataupun degradasi intraseluler.(2)
Angioedema herediter tipe 2 (15%) adalah kelainan yang juga diturunkan
yang ditandai dengan mutasi yang menyebabkan pembentukan protein
yang abnormal. Kadar protein C1-inhibitor bisa normal atau meningkat.(2)
Kurangnya C1-inhibitor merangsang aktivasi jalur pembentukan kinin. Kinin
merupakan peptida dengan berat molekul yang rendah, berpartisipasi dalam
proses inflamasi dengan mengaktivasi sel endotel. Akibatnya terjadi vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas vaskular, dan mobilisasi asam arakhidonat. Reaksi
radang seperti kemerahan, rasa panas, edema, dan nyeri merupakan hasil dari
pembentukan kinin.(2)

Gambar 1. Angioedema herediter. Kiri: Edema berat yang terjadi di daerah


wajah. Kanan: Angioedema menghilang dalam beberapa jam, tampak wajah
kembali normal.(2)

5
2. Angioedema yang didapat (Acquired Angioedema (AAE))
Angioedema yang didapat (AAE) juga terdiri atas dua jenis. AAE-I berkaitan
dengan limpoma sel-B atau penyakit jaringan konektif yang berhubungan dengan
penggunaan C1-inhibitor. Sedangkan AAE-2 merupakan kelainan autoimun, yaitu
adanya produksi autoantibody IgG terhadap C1-inhibitor.(2)

3. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor-induced angioedema (AIIA)


Frekuensi terjadinya angioedema setelah pemberian terapi ACE-inhibitor
sekitar 0.1% sampai 0.7%. AIIA biasanya melibatkan kepala dan leher, termasuk
mulut, lidah, faring, dan laring. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) merupakan
enzim utama yang bertanggung jawab pada degradasi bradikinin. Pemberian ACE-
inhibitor dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat angioedema
idiopatik, HAE, dan defisiensi C1-inhibitor yang didapat.(2) Kebanyakan AIIA
muncul pada minggu pertama setelah pengobatan dimulai, hanya sekitar 30% kasus
AIIA muncul setelah beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah dimulainya
terapi.(1)
d. Idiopathic angioedema
Istilah idiopatik merujuk pada suatu penyakit atau kondisi tanpa diketahui
penyebabnya. Berdasarkan respon terhadap terapi, beberapa kasus mungkin saja
dimediasi oleh aktivasi mast cell. Hal yang menjadi pemicu paling sering adalah
panas, dingin, stress emosional, dan latihan. Aktivasi dan degranulasi mast cell
dianggap menjadi penyebabnya.(1)
Diagnosis angioedema idiopatik ditegakkan apabila terdapat angioedema,
tidak ditemukan adanya urtikaria dan tidak ada penyebab eksogen yang ditemukan.(2)

6
F. DIAGNOSIS

Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis, diagnosis urtikaria dan
angioedema mudah ditegakkan, namun beberapa pemeriksaan diperlukan untuk
membuktikan penyebabnya, misalnya:(3)
1. Pemeriksaaan darah, urin rutin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya
infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.
2. Pemeriksaan gigi, teling-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk
menyingkirkan adanya infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.
4. Tes kulit, meskipun terbatas penggunaannya dapat digunakan dalam
menentukan diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test),
serta tes intradermal dapat dipergunakan untuk mencari allergen inhalan,
makanan dermatofit dan kandida.
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.
6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat
membantu diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di
papilla dermis, geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak.
Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi selular dan pada tingkat
lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutama di sekitar pembuluh darah.
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
8. Suntikan mecholyl intradermal dapat dilakukan pada diagnosis urtikaria
kolinergik.
9. Tes dengan es (ice cube test).
10. Tes dengan air hangat.(3)
Anamnesis yang komprehensif sangat esensial bagi pasien yang menderita urtikaria,
yang meliputi durasi serangan, frekuensi serangan, durasi munculnya lesi, penyakit

7
yang disertai, pengobatan sebelumnya, efek samping yang terjadi, riwayat penyakit
keluarga, pekerjaan, dan dampak penyakit terhadap aktivitas pasien sehari-hari.
Pemeriksaan fisis yang lengkap untuk mencari morfologi dan durasi (dengan
memberikan tanda disekeliling lesi), luka, dan tanda-tanda penyakit sistemik harus
diperhatikan, walaupun biasanya normal. Biasanya pasien diambil gambarnya saat
dilakukan pemeriksaan karena biasanya lesi menghilang atau berkurang pada
kunjungan berikutnya.(3)

Gambar 2. Algoritme dalam mendiagnosis angioedema(11)

8
G. DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan gejala yang ditimbulkan, angioedema di diagnosis banding dengan
beberapa penyakit lainnya, seperti eritema multiforme, vaskulitis urtikarial, dan
dermatitis herpetiformis:(6,10)
1. Eritema multiforme
Eritema multiforme adalah kelainan pada kulit yang dimediasi oleh sistem
imun, dengan karakteristik target lesion pada tangan dan kaki.(10) Penyebab yang
pasti belum diketahui, namun faktor-faktor penyebab selain alergi terhadap obat
sistemik ialah peradangan oleh bakteri dan virus tertentu, rangsangan fisik, misalnya
sinar matahari, hawa dingin, faktor endokrin seperti kehamilan dan haid, dan penyakit
keganasan. Gejala khas ialah bentuk iris (target lesion) yang terdiri atas tiga bagian,
yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh
lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah.(12)
Eritema multiforme paling sering terjadi pada usia dewasa muda
dibandingkan anak-anak. Herpes Simplex Virus (HSV) diduga menjadi faktor
pencetus utama timbulnya penyakit ini. Eritema multiforme biasanya terjadi pada
kulit yang sering terkena paparan sinar matahari. Mungkin pula ditemukan adanya
fenomena Koebner.(13)
Eritema multiforme juga berupa urtika pada mulanya, namun jika lesi
menetap lebih dari 48 jam, maka diagnosis angioedema dapat disingkirkan.(10)

Gambar 3. Eritema multiforme. Tampak adanya target lesion pada punggung


tangan.(10)

9
2. Vaskulitis urtikarial
Vaskulitis urtikarial adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat
berupa palpable purpura yang mengenai kapiler, berbentuk purpura multiple, bila
dipalpasi terasa papul-papul, lesi juga dapat berupa plaque, urtika, angioedema,
pustul, vesikel, ulkus, nekrosis, dan livido retikularis. Kadang terdapat edema
subkutan di bawah lesi. Tempat predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah.
Lama lesi antara 1-4 minggu. Pada waktu timbul, dapat disertai demam, malaise,
arthralgia, dan mialgia. Vakulitis urtikarial berbeda dengan urtikaria yang cepat
hilang. Pada penyakit ini lama urtika lebih dari 24 jam. Rasanya seperti terbakar atau
nyeri.(14)

Gambar 4. Vaskulitis dengan purpura dan nekrosis kulit.(10)

3. Dermatitis Herpetiformis
Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kronik dan berlangsung seumur
hidup, dapat terjadi pada usia anak-anak maupun dewasa, tetapi biasanya dimulai
pada usia dekade dua sampai empat.(15)

10
Ruam bersifat polimorfik berupa eritema, papulo-vesikel, vesikel/bula,
tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa sangat gatal. Mulainya penyakit
biasanya perlahan-lahan, perjalanannya kronik dan residif.(15) Tempat predileksinya
ialah dipunggung, daerah sakrum, bokong, daerah ekstensor di lengan atas, sekitar
siku, dan lutut. Kelainan yang utama ialah vesikel, oleh karena itu disebut
herpetiformis yang berarti seperti herpes zoster. Dinding vesikel atau bula tegang.(16)
Dermatitis herpetiformis juga diawali dengan papul atau plak urtikaria, akan
tetapi munculnya bula akan menyingkirkan diagnosis tersebut.(6)

Gambar 5. Pola distribusi dermatitis herpetiformis(4)

Gambar 6. Dermatitis herpetiformis pada siku(10)

11
H. PENATALAKSANAAN
Pengobatan urtikaria atau angioedema, terdiri atas terapi medikamentosa dan
non-medikamentosa.(11)
1. Non-medikamentosa
Pasien sebaiknya diberi penjelasan dan informasi tentang faktor pencetus,
pengobatan dan prognosis penyakit.(11) Pengobatan yang paling ideal tentu saja adalah
mengobati penyebab atau bila mungkin menghindari penyebab yang dicurigai. Bila
tidak mungkin, paling tidak mencoba mengurangi penyebab tersebut, minimal tidak
menggunakan atau tidak melakukan kontak dengan penyebabnya.(3) Pengobatan lokal
di kulit dapat diberikan secara simptomatik, misalnya anti pruritus (calamine atau
menthol 1%). Pasien juga diminta untuk menghindari penggunaan obat-obatan seperti
aspirin, NSAIDs, kodein dan morfin. Selain itu, mengindari faktor pencetus seperti
stress, konsumsi alkohol, dan pajanan terhadap panas secara berlebihan juga penting
untuk dilakukan.(11) Eliminasi diet dicobakan pada pasien yang sensitif terhadap
makanan.(3)
2. Medikamentosa
Di samping terapi non-medikamentosa, pasien perlu mendapatkan intervensi
tambahan, termasuk pengobatan sistemik yaitu:(11)
- First line therapies
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja
antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin pada reseptor-
reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu antagonis reseptor H1 (antihistamin 1, AH1) dan reseptor H2
(AH2).(3)
Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema bergantung pada efek
antagonis terhadap histamin pada reseptor H1, namun efektivitas tersebut acapkali
berkaitan dengan efek samping farmakologik, yaitu sedasi. Dalam perkembangannya

12
terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi
nonsedasi, golongan ini disebut sebagai antihistamin non-klasik.(3)
Pada umumnya, antihistamin H1 cepat diabsorbsi, dan mencapai puncak
dalam 2 jam.(5)
Biasanya antihistamin golongan AH1 yang klasik menyebabkan kontraksi otot
polos, vasokonstriksi, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan sekresi dan
penekanan pruritus. Selain efek ini terdapat pula efek yang tidak berhubungan dengan
antagonis reseptor H1, yaitu efek antikolinergik atau menghambat reseptor alfa-
adrenergik.(3)
Antihistamin H1 klasik, contohnya hydroxyzine, diphenhydramine, dan
cyproheptadine. Hydroxyzine ternyata lebih efektif daripada antihistamin lain untuk
mencegah urtikaria, dermografisme, dan urtikaria kolinergik.(3) Obat ini merupakan
antihistamin short-acting, dosis 10-25 mg setiap 6 jam. Hydroxyzine juga dapat
dikombinasi dengan antihistamin long-acting seperti chlorpheniramine maleate.
Chlorpheniramine atau diphenhydramine seringkali diberikan pada wanita hamil
karena lebih aman, tetapi pemberian cetirizine, loratidine, dan mizolastine sebaiknya
dihindari.(6,11)
Antihistamin H1 yang non-klasik contohnya terfenadine, astemizole,
loratadine, dan mequitazine. Golongan ini diabsorpsi lebih cepat dan mencapai kadar
puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek
maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadine), sedangkan astemizole dalam
waktu 96 jam setelah pemberian oral. Efektivitasnya berlangsung lebih lama
berbanding AH1 klasik, bahkan astemizole masih efektif hingga 21 hari setelah
pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai
antihistamin yang long-acting.(3) Loratadine (dosis dewasa 10 mg/hari) merupakan
derivat azatadine. Cetirizine (dosis dewasa 10 mg/hari) hanya dimetabolisme di hati
dalam jumlah sedikit, dan lebih banyak diekskresikan dalam bentuk urin. Cetirizine
lebih bersifat sedatif dibandingkan plasebo pada beberapa studi dan paling baik
digunakan di malam hari.(5)

13
Keunggulan lain AH1 non-klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi
karena tidak dapat menembus sawar darah otak. Di samping itu golongan ini tidak
memberi efek antikolinergik, tidak menimbulkan potensiasi dengan alkohol, dan
tidak terdapat penekanan pada SSP serta relatif non-toksik.(3)
Obat antihistamin mampu menembus plasenta. Namun tidak ada sumber
yang dapat dipercaya yang mengatakan bahwa antihistamin bersifat teratogenik,
tetapi sebaiknya penggunaannya dihindari pada wanita hamil, khususnya pada
trimester pertama.(5)
- Second line therapies
Doxepin adalah suatu antidepressant trisiklik dengan aktivitas antihistamin
yang kuat, dimulai dengan dosis 10-30 mg, sangat berguna pada pasien yang sering
merasa cemas di malam hari.(5)
Pemberian kortikosteroid sistemik oral lebih efektif pada urtikaria berat
dengan pemberian prednisolon dosis tinggi yaitu 0.5-1.0 mg/kgBB/hari.(5)
Untuk kasus darurat pada angioedema non-herediter yang menyebabkan angioedema
orofaring-laring, diberikan epinefrin. Epinefrin bekerja secara cepat dengan
menstimulasi -adrenoreceptor sehingga terjadi vasokonstriksi dan stabilisasi mast
cell.(5) Angioedema pada orofaring sangat membahayakan dan harus ditangani
secepatnya dengan memberikan epinefrin (adrenalin) 0.5-1.0 mg secara
intramuskular. Pemberian dapat diulang setiap 10-15 menit, tergantung pada tekanan
darah dan nadi yang harus dipantau sampai terjadi perbaikan klinis.(17) Efek samping
epinefrin adalah takikardi, kecemasan, dan sakit kepala. Oleh karena itu,
penggunaannya harus berhati-hati pada pasien dengan hipertensi, penyakit
serebrovaskular, penyakit jantung iskemik dan diabetes mellitus.(11)

- Third line therapies


Pasien urtikaria berat yang tidak berespon dengan pemberian antihistamin
menunjukkan adanya penyebab autoimun, sehingga perlu diberikan imunoterapi.
Cyclosporine dan plasmapheresis berhasil digunakan untuk mengobati urtikaria.
Cyclosporine (35 mg/kgBB/hari) sebaiknya menjadi pilihan pertama. Jika respon

14
pasien terhadap cyclosporine kurang, bisa diberikan immunoglobulin intravena atau
plasmapheresis.(11,17)
Respon angioedema herediter terhadap pengobatan konvensional untuk
urtikaria sangat kurang.(5) Pada angioedema herediter, pemberian kortikosteroid,
antihistamin, dan norepinefrin tidak memiliki efek. Pada serangan yang bersifat akut,
diberikan plasma C1-esterase inhibitor. Jika tidak tersedia, dapat diberikan infus
dengan fresh frozen plasma 500-2000 ml. Untuk tindakan profilaksis, bisa diberikan
Androgen (Danzol 200-600 mg/hari), diatur berdasarkan gambaran klinis dan
inhibitor levels. C4 tidak perlu distabilisasikan.(18)

I. KOMPLIKASI
Angioedema bisa mengancam nyawa bila melibatkan laring dan saluran napas
bagian atas. Hal ini dapat menyebabkan masalah pernapasan, asfiksia, dan bahkan
kematian. Nyeri tenggorokan atau ketidaknyamanan, dysphonia, dan dysphasia dapat
mengindikasikan keterlibatan laring. Asfiksia akibat edema laring menyebabkan
mortalitas 3-40%. (19)

Pembengkakan saluran napas bisa membuat intubasi sulit. Hal ini dapat
meningkatkan risiko kerusakan pita suara saat intubasi. Pada pasien dengan
angioedema yang hadir ke gawat darurat, 10-25% kasus semacam itu dianggap
mengancam jiwa. (20)
Angioedema umumnya terkait dengan nyeri dan kerusakan parah. Hal ini dapat
mengganggu fungsi sehari-hari dan berdampak buruk terhadap kualitas hidup pasien.

J. PENCEGAHAN
Idealnya, episode pembengkakan harus dicegah dengan profilaksis jangka
panjang atau jangka pendek. Begitu episode angioedema terjadi, mediator yang
meningkatkan permeabilitas vaskular telah dilepaskan, dan tindakan intervensi
hanya dapat (mungkin) mengurangi keparahan atau durasi serangan.

15
Karena itu, pengobatan ditujukan untuk mencegah serangan. Pendekatan
farmakologis yang berhasil mencakup pencegahan aktivasi enzim pelepas kinin atau
meningkatkan tingkat darah C1INH normal. Androgens dan agen antifibrinolitik
sering digunakan untuk mencapai tujuan ini. Konsentrat C1INH (Cinryze) untuk
profilaksis, terutama sebelum operasi, telah digunakan. [med scape]

K. PROGNOSIS

Prognosis untuk pasien dengan angioedema bergantung pada etiologi dan


bervariasi sebagai berikut:

Angioedema dengan penyebab yang dapat di identifikasi:


Jika pemicu dapat di identifikasi dan dihindari, maka angioedema dapat dicegah
Angioedema tanpa penyebab yang dapat di identifikasi:
Ada rangkaian klinis yang sangat bervariasi, mulai dari yang ringan hingga berat
dan beberapa hari sampai bertahun-tahun; Respon terhadap pengobatan
konvensional kurang dapat diprediksi HAE (Hereditary Angiodema) Pengobatan
seumur hidup sering dibutuhkan AAE (Acquired Angioedema), Hasil tergantung
pada pengobatan gangguan lymphoproliferative atau autoimun yang mendasarinya.

16
BAB III

PENUTUP

Terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada dr. Berny M.


Prawiro, Sp.KK sebagai pembimbing yang telah memberikan masukan dan
bimbingan dalam pembuatan referat ini dan kami juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan secara langsung maupun tidak
langsung sehingga referat ini dapat terselesaikan.

Akhir kata, kami penyusun menyadari bahwa referat ini masih jauh dari
sempurna, baik pemikiran, pengetahuan, penyusunan bahasa, maupun sistematika.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang
membaca referat ini sangat diharapkan guna menjadi pembelajaran bagi penyusun
dalam menyusun referat di waktu yang akan datang. Semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Li HH. Angioedema. [online]. 2012. [cited 2013, Feb 4]. Available from:
http://www.medscape.com/article/135208 .
2. Kaplan AP. Urticaria and angioedema. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2009. p. 330-42.
3. Aisah S. Urtikaria. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 169-75.
4. Buxton PK. Urticaria. ABC of Dermatology. 4th ed. London: BMJ Books;
2003. p. 38-9.
5. Grattan CEH, Black AK. Urticaria and mastocytosis. In: Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of Dermatology. 7th ed.
Oxford: Blackwell Science; 2004. p. 47.12-47.27.
6. Hunter JAA, Savin JA, Dahl MV. Reactive erythemas and vasculitis.
Clinical Dermatology. 3rd ed. Oxford: Blackwell Science; 2002. p. 94-9.
7. Guyton AC, Hall JE. Urtikaria. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed.
Jakarta: EGC; 2008. p. 471.
8. Kulthanan K, Jiamton S, Boochangkool K, Jongjarearnprasert K. Clinical
and etiological aspects. [online]. 2007. [cited 2013, Feb 4]. Available from:
http://ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12639808 .
9. Soebaryo RW, Effendi EH, Noegrohowati T. Kelainan kulit akibat alergi
makanan. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 159.

18
10. Gawkrodger DJ. Urticaria and angioedema. Dermatology: An Illustrated
Colour Text. 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2003. p. 72-8.
11. Grattan CE, Black AK. Urticaria and angioedema. In: Bolognia JL, Jorizzo
JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby Elsevier; 2008.
12. Hamzah M. Eritema multiforme. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 162.
13. Mallory SB, Bree A, Chern P. Hypersensitivity disorders/unclassified
disorders. Illustrated Manual of Pediatric Dermatology: Diagnosis and Management.
1st ed. London: Taylor & Francis; 2005. p. 179-80.
14. Djuanda A. Vaskulitis kutis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 337-8.
15. Brehmer E, Andersson. Acute allergic urticaria/angioedema.
Dermatopathology: A Resident's Guide. Berlin: Springer; 2006. p. 195-7.
16. Wiryadi BE. Dermatosis vesikobulosa kronik. In: Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p.
211.
17. Greaves MW. Drug therapy of urticaria. Drug Therapy in Dermatology.
London. p. 323-9.
18. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Allergic diseases. Dermatology: Thieme
Clinical Companions. 5th ed. New York: Thieme; 2006. p. 173-4.
19. Epstein TG,Bernstein JA, Current and emerging management options for
hereditary angio dema in US. Drugs. 2008. 68(18):2561-73
20. Benerji A, Sheffer AL. The spectrum of chronic angioedema. Allergy
Asthma Proc. 2009-Feb. 30(1): 11-6

19

Anda mungkin juga menyukai