Anda di halaman 1dari 6

6.1.

4 Strategi Penataan Permukiman Kumuh


Permukiman kumuh berkembang karena beberapa faktor memadatnya kawasan
permukiman di wilayah perkotaan, sehingga beberapa ruang cenderung didominasi oleh
pengembangan permukiman menengah ke atas. Untuk dapat menampung keberadaan
permukiman kumuh dan agar tidak mengganggu kualitas lingkungan serta menurunnya
kualitas masyarakat, maka diperlukan strategi penataan permukiman kumuh.
Pemukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota,
telaah tentang permukiman kumuh (slum), pada umumnya mencakup tiga segi, pertama:
kondisi fisiknya, kedua: kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang bermukim
dipemukiman tersebut, dan ketiga: dampak oleh kedua kondisi tersebut. Kondisi fisik
tersebut antara lain tampak dari kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan kualitas
konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras, sanitasi umum dan
drainase tidak berfungsi serta sampah belum dikelola dengan baik.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada dikawasan pemukiman kumuh
antara lain mencakup tingkat pendapatan rendah, norma sosial yang longgar, budaya
kemiskinan yang mewarnai kehidupannya yang antara lain tampak dari sikap dan
perilaku yang apatis. Kondisi tersebut sering juga mengakibatkan kondisi kesehatan yang
buruk, sumber pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang,
yang berdampak pada kehidupan kota keseluruhannya.
Oleh karena itu kawasan pemukiman kumuh dianggap sebagai penyakit kota yang
harus diatasi. Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mendorong
pertumbuhan permukiman, sedang kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kemampuan
pengelola kota akan menentukan kualitas pemukiman yang terwujud. Permukiman
kumuh adalah produk pertumbuhan penduduk, kemiskinan dan kurangnya pemerintah
dalam mengendalikan pertumbuhan dan menyediakan pelayanan yang memadai.

Dampak Dari Masalah Lingkungan Permukiman Kumuh

Lingkungan permukiman kumuh memberi dampak yang bersifat multi dimensi


diantaranya dalam dimensi penyelenggaraan pemerintahan , tatanan sosial budaya,
lingkungan fisik serta dimensi politis. Di bidang penyelenggaraan pemerintahan,
keberadaan lingkungan permukiman kumuh memberikan dampak citra
ketidakberdayaan, ketidakmampuan dan bahkan ketidakpedulian pemerintah terhadap
pengaturan pelayanan kebutuhan-kebutuhan hidup dan penghidupan warga kota
maupun pendatang dan pelayanan untuk mendukung kegiatan sosial budaya, ekonomi,
teknologi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
Dampak terhadap tatanan sosial budaya kemasyarakatan adalah bahwa
komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh yang secara ekonomi pada
umumnya termasuk golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah, seringkali
dianggap sebagai penyebab terjadinya degradasi kedisiplinan dan ketidaktertiban dalam
berbagai tatanan sosial kemasyarakatan. Di bidang lingkungan/hunian komunitas
penghuni lingkungan permukiman kumuh sebagian besar pekerjaan mereka adalah
tergolong sebagai pekerjaan sektor informal yang tidak memerlukan keahlian tertentu,
misalnya sebagai buruh kasar / kuli bangunan, sehingga pada umumnya tingkat
penghasilan mereka sangat terbatas dan tidak mampu menyisihkan penghasilannya
untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman sehingga mendorong
terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang pada gilirannya munculnya permukiman
kumuh.
Keberadaan komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh ini akan
cenderung menjadi lahan subur bagi kepentingan politis tertentu yang dapat dijadikan
sebagai alat negosiasi berbagai kepentingan. Fenomena ini apabila tidak diantisipasi
secara lebih dini akan meningkatkan eskalasi permasalahan dan kinerja pelayanan kota.

Tujuan Kegiatan Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh


Tujuan penanganan kegiatan ini adalah dalam rangka meningkatkan mutu
kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat, dan martabat masyarakat penghuni
permukiman kumuh terutama golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah
melalui fasilitasi penyediaan perumahan layak dan terjangkau dalam lingkungan
permukiman yang sehat dan teratur; serta mewujudkan kawasan permukiman yang ditata
secara lebih baik sesuai dengan peruntukan dan fungsi sebagaimana ditetapkan dalam
rencana tata ruang kota.
Disamping itu melalui kegiatan ini diharapkan mampu mondorong penggunaan
dan pemanfaatan lahan yang efisien melalui penerapan tata lingkungan permukiman
sehingga memudahkan upaya penyediaan prasarana dan sarana lingkungan
permukiman yang diperlukan serta dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial antar
kawasan permukiman di daerah perkotaan.

Strategi Penanganan Permukiman Kumuh


Selama ini, berbagai upaya penanganan permukiman kumuh telah dikaji
dan sebagiannya telah dilaksanakan, antara lain;

1. Program Perbaikan Kampung, dan Program Uji Coba Peremajaan


Lingkungan Kumuh (Yudohusodo, 1991).
2. Relokasi dan Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh, Penataan
daerah kumuh dengan memasukkan Perumnas dan penghuni lama
menyewa dengan biaya murah, Pembangunan Rumah susun sederhana,
Pembebasan tanah dan melibatkan peran serta swasta, dan Konsolidasi
tanah perkotaan (Komarudin, 1997:98)
3. Peningkatan Kualitas Permukiman Perkotaan, Peremajaan Kota
(Pembangunan Rusunawa),Peningkatan Pelayanan Prasarana Permukiman
Berbasis Masyarakat (Pamsimas/Sanimas), Pengentasan Kemiskinan
(PNPM Mandiri/P2KP), dan Peningkatan Kualitas Permukiman Perdesaan
(Agropolitan dan PPIP) (Kementerian PU RI, 2008)
4. Peningkatan pendapatan masyarakat dengan melegalkan status tempat
tinggal supaya dapat dijadikan jaminan modal usaha, membuka lapangan
kerja baru, dan menciptakan jalan akses untuk mendukung sirkulali
pergerakan dalam kawasan bantaran sungai (Tunreng, 2008).
5. Pendekatan untuk memperbaiki kondisi perumahan secara efektif dengan
transformasi yang berdampak pada pemilik rumah memperoleh tambahan
ruang untuk mengakomodasi aktivitas, menambah penghasilan, dan
mendapatkan status sosial (Sueca, 2004).
6. Strategi pemenuhan perumahan dan permukiman bagi masyarakat miskin
melalui rekayasa bahan bangunan untuk mendapatkan rumah murah yang
layak huni, baik dengan sistem standarisasi konstruksi maupun sistem
koordinasi modular (Putra & Yana, 2007).
7. Penggunaan strategi kelompok marginal dalam perencanaan pembangunan
kota dan kelurahan, sebab kalau kelompok komunitas ini memiliki daya tawar
yang cukup dalam proses perencanaan pembangunan. Selain itu, perlu ada
dukungan asistensi dari pihak luar sebagai fasilitator bagi penguatan
kelompok komunitas ini. Peran asistensi yang dibutuhkan komunitas ini
adalah pencerahan akan hak dan kewajiban mereka sebagai warga
negara/warga kota, dan bagaimana memperjuangkan haknya, dan mematuhi
kewajibannya tersebut (Rahayu, 2007).
8. Pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan kualitas permukiman
kumuh dan melibatkan berbagai komponen masyarakat baik perorangan,
kelompok masyarakat, warga masyarakat desa maupun pemimpin desa
dinas maupun adat. Pemberdayaan yang diharapkan adalah dalam berbagai
wujud fisik maupun non fisik yang bersifat konstruktif, dan mensukseskan
setiap program peningkatan kualitas lingkungan permukiman. Adapun
aktivitas yang dilakukan dalam pemberdayaan adalah dalam berbagai segi
dari pengungkapan insiatif, ide-ide, konsep, sampai realisasi ide tersebut (Alit,
2005).

Konsepsi Penanganan

Kegiatan penataan lingkungan kumuh ini menerapkan konsep dasar Tridaya yang
meliputi aspek penyiapan masyarakat melalui pemberdayaan sosial kemasyarakatan,
pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman serta pemberdayaan
kegiatan usaha ekonomi lokal/masyarakat. Dalam penerapannya, kegiatan ini
menggunakan pemberdayaan masyarakat sebagai inti gerakannya, dengan
menempatkan komunitas permukiman sebagai pelaku utama pada setiap tahapan,
langkah, dan proses kegiatan, yang berarti komunitas pemukim adalah pemilik kegiatan.
Pelaku pembangunan diluar komunitas pemukim merupakan mitra kerja sekaligus
sebagai pelaku pendukung yang berpartisipasi pada kegiatan komunitas pemukim.
Permukiman kumuh dan informal bahkan bisa saja mendominasi proses perumahan
kota. Untuk itu diperlukan upaya memahami permukiman informal ketimbang melakukan
penggusuran yang tidak menyelesaikan masalah. Pertambahan kumuh dan informal
tetap melaju, apalagi juga tidak menyelesaikan masalah warga yang digusur tersebut.
Pemahaman terhadap permukiman informal memiliki potensi dalam penanggulangan
kemiskinan kota karena sifatnya yang dikembangkan secara swadaya, partisipatif, dan
sedikit investasi publik, memberi kontribusi persediaan rumah (housing stock) dan
terjangkau oleh masyarakat miskin. Pemahaman dan pemberdayaan permukiman
informal adalah langkah untuk meningkatkan akses keamanan bermukim. Sejalan
dengan perlindungan hak perumahan warga, maka upaya pemberdayaan permukiman
informal merupakan penanganan mendesak yang paling realistis dan rasional. Dengan
demikian diperlukan langkah sebagai berikut:
1. Percontohan penanganan permukiman informal (liar) melalui berbagai bentuk
program percontohan pemukiman kembali (resettlement). Proyek percontohan
dapat dilakukan di berbagai lokasi permukiman liar seperti di bantaran sungai,
bantaran rel kereta api, di tanah negara maupun di tanah lembaga tertentu.
Berbagai pola dan skenario dapat saja digunakan seperti skenario tetap di tempat
(in situ resettlements) maupun relokasi (ex situ resettlements) maupun
kombinasinya. Sejalan pula, berbagai ragam bentuk status bermukim yang lebih
mendukung keamanan bermukim dikembangkan secara kreatif di dalam skema
percontohan ini.
2. Peningkatan kapasitas dan pengembangan kelembagaan penanganan
permukiman kumuh dan informal (liar) secara progresif terutama di tingkat kota
(city-wide level) melalui unit-unit pemerintah daerah yang terkait. Permukiman
kumuh dan informal di kawasan prioritas perlu dilakukan secara terpadu dengan
mengkaitkannya dengan peningkatan kapasitas kunci:
Pengendalian permukiman informal (squatter control) termasuk kegiatan
penataannya.
Pemukiman kembali (resettlement) yang mirip dengan pola transmigrasi.
Pengembangan kawasan permukiman/kota baru (Kasiba-Lisiba) yang
dilekatkan dengan pengembangan kawasan-kawasan pusat pertumbuhan
baru.

Ketiga pola penanganan ini membentuk segitiga squatter control/urban


renewal resettlement new area development yang perlu dilakukan secara
terpadu, sebagai alternatif yang harus dikembangkan menggantikan pola lama
yang terfragmentasi melalui proyek-proyek peremajaan kawasan kumuh yang
sudah terbukti tidak mampu mengentaskan masalah kumuh dan permukiman
squatter kawasan.

Gambar 6Komperhensif Terpadu : Peremajaan Resettlement-Kasiba/Lasiba

Anda mungkin juga menyukai