Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

Hubungan Antara Faktor Agama dan Budaya Dengan


Skizofrenia

Disusun Oleh :
Atvionita Sinaga
(112015398)

Dokter Pembimbing : dr. Elly Tania Sp.KJ

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510. Telephone : (021)5694-2061,
fax : (021) 563-1731
atvionitasinaga14@yahoo.com

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan
pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri
sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan. Pengertian seseorang tentang penyakit gangguan
jiwa berasal dari apa yang diyakini sebagai faktor penyebabnya yang berhubungan dengan
biopsikososial). Gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik
yang berhubungan dengan fisik,maupun dengan mental.

Skizofrenia menurut Eugen Bleuler merupakan istilah yang menandakan adanya


perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pada pasien yang terkena. Meyer
berpendapat bahwa skizofrenia dan gangguan mental lainnya adalah reaksi terhadap berbagai
stress kehidupan, yang dinamakan sindrom suatu reaksi skizofrenik.1

Skizofrenia adalah penyakit mental yang diderita oleh 7/1.000 dari populasi orang dewasa,
terutama kelompok usia 15-35 tahun. Insidensi ini meskipun rendah namun prevalensinya tinggi
karena sifatnya yang kronik.2 Prevalensi skizofrenia sekitar 1% di seluruh dunia. 10 % orang
dengan skizofrenia memiliki risiko untuk bunuh diri. Kematian juga meningkat karena penyakit
medis, gaya hidup yang tidak sehat, efek samping obat dan sedikitnya perawatan terhadap
kesehatan.3
Lebih dari 50 % pasien skizofrenia tidak menerima perawatan yang tepat. 90% pasien
skizofrenia di negara berkembang tidak diobati. Pengobatan efektif dari skizofrenia yang kronis
sekitar 2 dollar per bulan dimana semakin cepat pengobatan dimulai akan lebih efektif. Di
Indonesia sendiri penderita skizofrenia dikucilkan oleh lingkungan hingga menjadi tuna wisma
bahkan hidup dalam pemasungan dikarenakan keterbatasan akses masyarakat terhadap informasi
dan layanan kesehatan jiwa. Dari 9000 Puskesmas di Indonesia hanya 70 puskesmas yang
mampu melayani penderita gangguan kejiwaan.4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas,
serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik, sosial dan
budaya.1
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pemikiran dan persepsi, serta oleh efek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted).
Kesadaran yang jernih (clear conciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.1
B. Faktor Penyebab
Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etilogi) yang pasti mengapa seseorang
menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak. Ternyata dari penelitian-penelitian yang telah
dilakukan tidak ditemukan faktor tunggal.1
Untuk mengetahui penyebab yang asli dan yang bukan perlu diketahui dua istilah:
1. Sebab yang memberikan predisposisi adalah faktor yang menyebabkan seseorang
menjadi rentan atau peka terhadap suatu gangguan jiwa (genetik, fisik atau latar belakang
keluarga atau sosial).
2. Sebab yang menimbulkan langsung atau pencetus adalah faktor traumatis langsung
menyebabkan gangguan jiwa (kehilangan harta pekerjaan atau kematian, cedera berat,
perceraian dan lain-lain).
Faktor Faktor Penyebab Skizofrenia dan Gangguan Psikotik
1. Faktor Penyebab Skozofrenia
Adapun faktor faktor penyebab skozofrenia antara lain :
a. Faktor biologis yaitu faktor gen yang melibatkan skizofrenia, obat-obatan, anak keturunan dari
ibu skizofrenia, anak kembar yang indentik ataupun frental dan abnormalitas cara kerja otak.

3
b. Faktor psikologis yaitu faktor faktor yang berhubungan dengan gangguan pikiran,
keyakinan, opini yang salah, ketidakmampuan membina, mempertahankan hubungan sosial,
adanya delusi dan halusinasi yang abnormal dan gangguan afektif.
c. Faktor lingkungan yaitu pola asuh yang cenderung skizofrenia, adopsi keluarga skizofrenia
dan tuntunan hidup yang tinggi.
d. Faktor organis yaitu ada perubahan atau kerusakkan pada sistem syaraf sentral juga terdapat
gangguan gangguan pada sistem kelenjar adrenalin dan piluitari (kelenjar dibawah otak).
Kadang kala kelenjar thyroid dan adrenal mengalami atrofi berat. Dapat juga disebabkan oleh
proses klimakterik dan gangguan menstruasi. Semua ganguan tadi menyebabkan degenerasi pada
energi fisik dan energi mentalnya.

2. Faktor Penyebab Gangguan Psikotik


Adapun faktor faktor penyebab gangguan psikotik antara lain :
a. Faktor organo biologik
1) Genetik (heredity)
Adanya kromosom tertentu yang membawa sifat gangguan jiwa (khususnya pada skizofrenia).
Hal ini telah dipelajari pada penelitian anak kembar, dimana pada anak kembar monozigot
(satu sel telur) kemungkinan terjadinya skizofrenia persentase tertinggi 86,2%, sedangkan
pada anak kembar dengan dua sel telur (heterozigot) kemungkinannya hanya 14,5%.
2) Bentuk Tubuh (konstitusi)
Kretschmer dan Sheldon, meneliti tentang adanya hubungan antara bentuk tubuh dengan
emosi, temperamen dan kepribadian (personality).
Contohnya, orang yang berbadan gemuk emosinya cendrung meledak ledak, ia bisa lompat
kegirangan ketika mendapat hal yang menyenangkan baginya dan sebaliknya.
3) Terganggunya Otak Secara Organik
Contohnya, Tumor, trauma (bisa disebabkan karena gagar otak yang pernah dialami karena
kecelakaan), infeksi, gangguan vaskuler, gangguan metabolisme, toksin dan gangguan
cogenital dari otak
4) Pengaruh Cacat Cogenital
Contohnya, Down Syndrome (mongoloid).

4
5) Pengaruh Neurotrasmiter
Yaitu suatu zat kimia yang terdapat di otak yang berfungsi sebagai pengantar implus antar
neuron (sel saraf) yang sangat terkait dengan penelitian berbagai macam obat obatan yang
bekerja pada susunan saraf.
Contohnya, perubahan aktivitas mental, emosi, dan perilaku yang disebabkan akibat
pemakaian zat psikoaktif.

b. Faktor Psikologik
1) Hubungan Intrapersonal
Inteligensi.
Keterampilan
Bakat dan minat
Kepribadian.

2) Hubungan Interpersonal
Interaksi antara kedua orang tua dengan anaknya
Orang tua yang over protektif
Orang tua yang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri
Peran ayah dalam keluarga.
Persaingan antar saudara kandung.
Kelahiran anak yang tidak diharapkan.

c. Faktor Sosio Agama


1) Pengaruh Rasial
Contohnya, adanya pengucilan pada warga berkulit hitam di negara Eropa.
2) Golongan Minoritas
Contohnya, pengucilan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang menderita
penyakit HIV.
3) Masalah Nilai Nilai yang Ada dalam Masyarakat.
4) Masalah Ekonomi
Contohnya, karena selalu hidup dalam kekurangan seorang ibu menganiyaya anaknya.

5
5) Masalah Pekerjaan.
6) Bencana Alam.
7) Perang.
Contohnya, karena perang yang berkepanjangan seorang anak menjadi stress.
8) Faktor Agama atau religius baik masalah intra agama ataupun inter agama.
Contoh, perasaan bingung dalam keyakinan yang dialami seorang anak karena perbedaan
keyakinan dari orang tuanya.

B. Hubungan Faktor Agama dan Budaya Dengan Skzofrenia


Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah penderita gangguan jiwa di dunia pada
tahun 2001 adalah 450 juta jiwa. Satu dari empat keluarga sedikitnya mempunyai seorang
anggota keluarga dengan gangguan kesehatan jiwa. Setiap empat orang yang membutuhkan
pelayanan kesehatan, seorang diantaranya mengalami gangguan jiwa dan sering kali tidak
terdiagnosa secara tepat sehingga tidak memperoleh perawatan dan pengobatan dengan tepat
(WHO). Hal tersebut menunjukan masalah gangguan jiwa di dunia memang sudah menjadi
masalah yang sangat serius dan menjadi masalah kesehatan global. Dan data tersebut diatas, kini
jumlah itu di perkirakan sudah meningkat.

Di Indonesia berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2007 bahwa prevalensi gangguan jiwa
berat sebesar empat sampai lima penduduk dari 1000 penduduk Indonesia menderita gangguan
jiwa berat. Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia yang berusia lebih dari

6
15 tahun sebesar 11,6%. Masalah kesehatan jiwa dengan pasien gangguan jiwa terbesar (70%)
adalah skizofrenia, angka kejadian skizofrenia didunia 0,1 permil tanpa memandang perbedaan
status sosial budaya. Tahun 2009 berdasarkan data dari 33 rumah sakit jiwa di Indonesia
menyebutkan bahwa penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang.3

Kemudian berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, prevalensi gangguan jiwa
berat atau dalam istilah medis disebut psikosis/skizofrenia di daerah pedesaan ternyata lebih
tinggi dibanding daerah perkotaan. Di daerah pedesaan, proporsi rumah tangga dengan minimal
salah satu anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa berat dan pernah dipasung mencapai
18,2 persen. Sementara di daerah perkotaan, proporsinya hanya mencapai 10,7 persen.

FAKTOR BUDAYA
Penduduk Indonesia masih banyak yang tidak tahu bahwa skizofrenia adalah gangguan
medis. Banyak orang yang mengira bahwa gejala pada skizofrenia terjada karena hal-hal gaib.
Yang umum ditemui, penderita skizofrenia atau keluarga penderita mengira mendapatkan guna-
guna dari luar sehingga penderita biasanya dibawa ke orang pintar atau penyembuh alternatif.
Mereka menganggap gejala-gejala seperti halusinasi, ilusi, waham, dan proses pikir yang
terganggu bukanlah gangguan medis.. Banyak dari masyarakat, terutama di pedesaan masih
belum mengerti bahwa penyebab dari gejala-gejala psikotik tersebut muncul akibat
ketidakseimbangan neurotransmitter berupa dopamin di otak.

7
Sudut pandang terhadap suatu permasalahan seringkali dipengaruhi oleh budaya yang melatar
belakangi, baik dalam proses memahami masalah atau pun dalam menyelesaikan masalah.
Banyak hal dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh budaya, kesehatan mental dan gerakan
kesehatan mental adalah salah satu contohnya. Terjadi pergeseran paradigma dalam pemahaman
gerakan kesehatan mental, yang mana saat ini gerakan kesehatan mental lebih mengedepankan
pada aspek pencegahan gangguan mental serta bagaimana peran komunitas dalam membantu
optimalisasi fungsi mental individu.
Dalam kesehatan mental, faktor kebudayaan juga memegang peran penting. Apakah seseorang
itu dikatakan sehat atau sakit mental bergantung pada kebudayaannya. Hubungan kebudayaan
dengan kesehatan mental dikemukakan oleh meliputi :
1). Kebudayaan yang mendukung dan menghambat kesehatan mental.
2). Kebudayaan memberi peran tertentu terhadap penderita gangguan mental.
3). Berbagai bentuk gangguan mental karena faktor kultural, dan
4). Upaya peningkatan dan pencegahan gannguan mental dalam telaah budaya.
Selain itu budaya juga mempengaruhi tindakan penanganan yang dilakukan terhadap gangguan
mental itu sendiri. Misalnya banyak riset-riset dalam psikiatri dan psikologi cenderung bias,
karena tidak memperhitungkan faktor budaya. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa pengalaman
sakit (illness experience) adalah bersifat Interpretive, artinya ia dikonstruksi pada suatu situasi
sosial tertentu, karenanya harus dipahami lewat premis-premis yang berlaku pada suatu budaya
tertentu. Dengan kata lain konsep kesehatan mental pada suatu budaya tertentu harus dipahami
dari hal-hal yang dianggap mempunyai arti dan bermakna pada suatu budaya tertentu, sehingga
harus dipahami dari nilai-nilai dan falsafah suatu budaya tertentu.
Salah satu contoh adanya pengaruh budaya dalam kesehatan mental adalah melalui
penelitian yang dilakukan oleh Hamdi Muluk (Psikologi UI) dan J. Murniati (Psikologi Unpad)
yang membahas teoretik tentang konsepsi kesehatan mental menurut konsepsi kultural etnik
Jawa dan Minangkabau. Kerangka pembahasan memakai tentatif hipotesis oleh Naim tentang
dua pola kebudayaan, yakni J (Jawa) dan M (Minangkabau). Pola J yang dicirikan oleh hirarkis,
feodalistis, dan paternalisitik, sementara pola M berciri masyarakat yang tribal, bersuku-suku,
demokratis, fraternalistik dan desentralistis. Analisis terhadap isi prinsip kebudayaan yang ideal
(ideal culture) memperlihatkan perbedaan yang mendasar dalam melihat konsep kesehatan
mental. Jawa mengartikan keselarasan sebagai sesuatu yang harus dibatinkan, dimana konflik-

8
konflik yang timbul diredam dan dialihkan, bahkan disublimasi kedalam bentuk lain, antara lain
dengan laku batin atau kebatinan.
Melalui kebatinan ini manusia Jawa berusaha mencapai manuggaling kawulo-gusti; suatu
keadaan yang sempurna. Kondisi demikian mencerminkan keadaan yang fit dari psikis seseorang
yaitu kondisi mental yang sangat sehat. Sementara etnik Minangkabau tidaklah memandang
konflik sebagai hal yang harus dipendam, sebaliknya malah dibiarkan terbuka dan harus dicari
penyelesaian dengan mufakat terbuka. Ketegangan diperbolehkan, untuk mendorong kompetisi
asal masih dalam prinsip alua jo patuik dan raso jo pareso. Pemecahan konflik tidak harus
dibatinkan, tapi harus dicari dalam dialog yang intens. Disamping hal tersebut ukuran yang
dipakai untuk menentukan sehat mental seseorang adalah: kepintaran menyesuaikan diri
terutama untuk survive dengan pergulatan dengan kehidupan keras dirantau, kemampuan
menyembunyikan aib (terutama aib pribadi dan keluarga), kemashuran, ketenaran, kemegahan
(ego pribadi dan meyangkut harga diri), serta kemampuan menyumbang secara nyata bagi
masyarakatnya. Karenanya seorang individu terus didorong untuk terus berkompetisi dan
mencari prestasi setinggi-tingginya.

FAKTOR AGAMA
Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama
sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seorang terhadap
suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah serupa itu akan memberikan sikap optimis
pada seseorang sehingga akan muncul perasaan positif seperti bahagia, rasa senang, puas, merasa
sukses, merasa dicintai atau rasa aman.
Salah satu pandangan yang paling terkenal mengenai interaksi keyakinan beragama
dengan mental health adalah dari Viktor Frankl, pendiri logoterapi. Victor Frankl dalam bukunya
The Doctor and the Soul, menunjukkan tiga bidang kegiatan secara potensial mengandung nilai-
nilai yang memungkinkan seseorang memperoleh makna dalam hidupnya, yaitu nilai-nilai kreatif
(creative values), nilai-nilai penghayatan (experiental values), dan nilai-nilai bersikap
(attitudinal values). Dengan merealisasikan nilai-nilai tersebut, diharapkan seseorang mampu
menemukan dan mengembangkan makna hidupnya, sehingga mengalami hidup secara lebih
bermakna (the meaningful life) yang merupkan pintu menuju kebahagiaan (happiness). Agama
dapat digolongkan pada nilai-nilai penghayatan, salah satu nilai yang dapat menjadi sumber

9
makna hidup. Walaupun menurut victor Frankl, antara keyakinan beragama dengan kesehatan
mental tidak ada hubungan kausalitas secara langsung.
Walaupun tidak ada hubungan kausalitas langsung, tetapi berdasarkan penelitian para ahli
psikologi dan kesehatan, ternyata bahwa komitmen keagamaan, pada kasus-kasus gangguan
mental, mampu mencegah dan melindungi seseorang dari berbagai macam penyait mental.
The experiental values adalah religious commitment, yaitu hidup secara Islami. Maka untuk
hidup secara islami bibutuhkan konsep dan prinsip-prinsip Islam untuk kesehatan jiwa. Pertama,
melalui pendekatan training bercorak psiko-edukasi, yaitu sadar akan keunggulan dan
kelemahan, sehingga terus-menerus melakukan evaluasi diri untuk mampu mengaktualisasikan
potensi-potensi dirinya, yakni mampu mengembangkan fitrahnya. Kedua, berusaha untuk selalu
mampu menyesuaikan dirinya, berusaha untuk menentukan arti dan tujuan hidup (hanya semata-
mata untuk beribadah dan memperoleh ridho-Nya). Ketiga, pelatihan disiplin (meningkatkan
kualitas pribadi) yang berorientasi Spiritual Religius, misalnya dengan dzikir, puasa, salat dan
ritual-ritual keagamaan lainnya.

SOSIAL EKONOMI
Menurut Patel, Swartz, & Cohen faktor-faktor sosial ekonomi seperti: kemiskinan, kekurangan
pendidikan dan kekurangan lapangan kerja menjadi faktor resiko dari kesehatan mental. Artinya,
orang yang mengalami keadaan sosial dan ekonomi yang buruk beresiko mengalami
ketidaksehatan mental. Dalam bagan yang digambarkan di A Public Health Approach to Mental
Health, hubungan antara faktor ekonomi khususnya kemiskinan dengan kesehatan mental adalah
seperti lingkaran setan yang berketerusan.

10
Berikut beberapa data yang pernah di temukan terkait dengan hubungan sosial ekonomi dengan
permasalahan kesehatan mental :
a. Gangguan mental (neurosis) yang dialami masyarakat miskin 2 kali lebih tinggi jika
dibandingkan dengan masyarakat yang tidak.
b. Masyarakat yang mempunyai persoalan dengan kelaparan dan berhutang, memiliki potensi
yang besar untuk mengalami gangguan mental-neurosis.
c. Gangguan mental (neurosis) pada umumnya dialami oleh masyarakat yang tinggal di daerah
pemukiman yang miskin dan padat.
d. Gangguan mental (neurosis) juga pada umumnya dijumpai pada masyarakat yang tingkat
penganggurannya tinggi dan berpenghasilan.
e. Khusus gangguan mental psikosis masyarakat yang memiliki status social ekonomi terendah
mempunyai kecenderungan resiko schizophrenia 8 kali lebih tinggi ketimbang masyrakat yang
memiliki status sosial tertinggi bandingkan dengan penelitian yang dilakukan pada tahun 1964
oleh Holingshead ditemukan hasil bahwa masyarakat kelas sosial ekonomi rendah memiliki
prevalensi yang tinggi mengalami psikotik, sedangkan prevalensi neurotik lebih banyak dialami
oleh kelompok sosial ekonomi tinggi. Kesimpulan ini tidak berlaku untuk psikosis jenis depresi,
karena prevalensinya lebih tinggi dialami oleh kelompok ekonomi tinggi.

FAKTOR SEJARAH
Sejak zaman dahulu di Indonesia sudah dikenal adanya gangguan jiwa. Namun demikian
tidak diketahui secara pasti bagaimana mereka diperlakukan pada saat itu.Beberapa tindakan
terhadap pasien gangguan jiwa sekarang dianggap merupakan warisan nenek moyang kita,maka
dapat dibayangkan tindakan yang dimaksud adalah dipasung,dirantai atau diikat lalu ditempatkan
tersendiri di rumah atau hutan apabila gangguan jiwanya berat dan membahayakan. Bila pasien
tidak membahayakan maka dibiarkan berkeliaran di desa sambil mencari makan sendiri dan
menjadi bahan tontonan masyarakat. Ada juga yang diperlakukan sebagai orang sakti atau
perantara Roh dan manusia. Jika belajar dari sejarah,usaha kesehatan jiwa dan perawatannya di
Indonesia dibagi menjadi dua, yakni zaman kolonial dan setelah kemerdekaan.
1). Zaman Kolonial.
Sebelum didirikan Rumah sakit jiwa di Indonesia pasien gangguan jiwa ditampung di Rumah
Sakit Sipil atau militer di Jakarta,Semarang dan Surabaya.Pasien yang ditampung adalah mereka

11
yang sakit jiwa berat saja.Perawatan yang dijalankan saat iu hanya bersifat penjagaan saja.Tahun
1862 pemerintah Hindia Belanda melakukan sensus pasien gangguan jiwa diseluruh
Indonesia.Di Pulau Jawa dan Madura ditemukan pasien sekita 600 orang,sedangkan didaerah
lain ditemukan sekitar 200 orang.Berdasarkan temuan tersebut pemerintah mendirikan Rumah
sakit jiwa bagi pasien gangguan jiwa.

Suasana Rumah Sakit Jiwa di Cilendek Pada Zaman Kolonial


Pada tanggal 1 Juli 1882 didirikan rumah sakit jiwa pertama di Indonesia, di Cilendek Bogor
Jawa Barat dengan kapasitas 400 tempat tidur.Rumah sakit jiwa yang kedua didirikan di
Lawang Jawa timur tanggal 23 Juni 1902. Rumah Sakit jiwa ini adalah terbesar di Asia tenggara
dengan kapasitas 3300 tempat tidur.Rumah sakit jiwa yang ke-3 didirikan di Magelang pada
tahun 1923,dengan kapasitas 1400 tempat tidur.Rumah sakit jiwa di Sabang tahun
1927.Menyusul didirikannya rumah sakit jiwa lainnya di Grogol
Jakarta,Padang,Palembang,Banjarmasin dan manado,masing-masing memikili kapasitas yang
berbeda. Era Pemerintah Hindia Belanda mengenal empat macam tempat perawatan pasien
gangguan jiwa yakni 1. Rumah Sakit Jiwa (di Bogor, Magelang, Lawang dan Sabang),
perawatan bersifat isolasi dan penjagaa, 2. Rumah Sakit Sementara yakni tempat penampungan
sementara bagi pasien Psikotik akut yang dipulangkan setelah sembuh, 3. Rumah Perawatan,
berfungsi sebagai Rumah sakit jiwa, dikepalai oleh seorang perawat berijazah dibawah
penugasan Dokter umum, 4. Koloni yakni tempat penampungan pasien yang sudah tenang dan
mereka bekerja dilahan pertanian.

12
2). Zaman Setelah Kemerdekaan.
Perkembangan usaha kesehatan jiwa di Indonesia meningkat,ditandai terbentuknya jawatan
urusan penyakit jiwa pada bulan Oktober 1947.Usaha kesehatan jiwa tetap berjalan walaupun
lambat. Pada saat itu masih terjadi revolusi fisik,tetapi pembinaan dan penyelenggaraan
kesehatan jiwa tetap dilaksanakan. Pada tahun 1951 dibuka sekolah perawat jiwa untuk orang
Indonesia. Perawatan kesehatan jiwa mulai dikerjakan secara modern dan tidak lagi ditempatkan
secara tertutup. Pasien dirawat diruangan dan bebas berinteraksi dengan orang lain. Pasien
dihargai martabatnya sama dengan manusia lainnya. Jawatan urusan kesehatan jiwa bernaung
dibawah Departemen Kesehatan terus membenahi sistem pengelolaan dan pelayanan
kesehatan.Tahun 1966 dirubah menjadi Direktorat Kesehatan jiwa dan sampai sekarang dipimpin
oleh Kepala direktorat Kesehatan jiwa. Pada tahun yang sama ditetapkan Undang-Undang
kesehatan jiwa no.3 tahun 1966 oleh pemerintah,sehingga membuka peluang untuk
melaksanakan modernisasi semua sistem RSJ dan pelayanannya.
Kesehatan jiwa terus berkembang pesat pada abat ke-20 ini.Metode perawatan dan pengobatan
bersifat ilmiah.Pengobatan disesuaikan dengan perkembangan Iptek,menggunakan obat-obatan
psikofarmaka,terapi shock/ECT dan terapi lainnya.Demikian juga dengan Praktek keperawatan
menggunakan metode ilmiah proses keperawatan,komunikasi terapeutik dan terapi modalitas
keperawatan dengan kerangka ilmu pengetahuan yang mendasari praktek profesional.
Peran dan fungsi perawat jiwa dituntut lebih aktif dan profesional untuk melaksanakan pelayanan
keperawatan kesehatan jiwa. Pada saat ini pelayanan keperawatan kesehatan jiwa berorientasi
pada pelayanan komunitas. Komitmen ini sesuai dengan hasil Konferensi Nasional I
Keperawatan jiwa pada bulan Oktober 2004,bahwa pelayanan keperawatan diarahkan pada
tindakan preventif dan promotif. Hal ini juga sejalan dengan paradigma sehat yang digariskan
WHO dan dijalankan departemen kesehatan RI, bahwa upaya proaktif perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya gangguan jiwa. Upaya proaktif ini melibatkan banyak profesi termasuk
psikiater dan perawat. Penanganan kesehatan jiwa bergeser pada upaya kuratif/perawatan rumah
sakit menjadi perawatan kesehatan jiwa masyarakat. Pusat kesehatan jiwa masyarakat akan
memberikan pelayanan dirumah berdasarkan wilayah kerjanya,diharapkan pasien dekat dengan
keluarganya sebagai sistem pendukung yang dapat membantu pasien mandiri dan boleh
berfungsi sebagai individu yang berguna.

13
Gangguan jiwa secara umum ditimbulkan oleh keterbatasan pemahaman masyarakat mengenai
etiologi gangguan jiwa, di samping karena nilai-nilai tradisi dan budaya yang masih kuat
berakar, sehingga gangguan jiwa sering kali dikaitkan oleh kepercayaan masyarakat yang
bersangkutan.

Stigma Gangguan Jiwa


Stigma berasal dari kecenderungan manusia untuk menilai (judge) orang lain. Berdasarkan
penilaian itu, kategorisasi atau stereotip dilakukan tidak berdasarkan keadaan yang sebenar nya
atau berdasarkan fakta, tetapi pada apa yang kita (masyarakat) anggap sebagai tidak pantas,
luar biasa,memalukan dan tak dapat diterima. Stigmatisasi terjadi pada semua aspek
kehidupan manusia. Seseorang dapat dikenai stigma oleh karena segala sesuatu yang
berhubungan dengan penyakit, cacat sejak lahir, gangguan jiwa, pekerjaan dan status ekonomi,
hingga preferensi seksual. Gangguan jiwa yang lebih m emiliki kemungkinan untuk dikenai
stigma adalah jenis gangguan jiwa yang menunjukkan abnormalitas atau penyimpangan (deviasi)
pada pola perilakunya. Stigma yang lebih memberatkan adalah gangguan jiwa yang
mempengaruhi penampilan (performance) fisik seseorang daripada gangguan jiwa yang tidak
berpengaruh pada penampilan fisik seseorang.
Pada beberapa orang yang istimewa, mereka tidak mengalami masalah dalam berinteraksi
dengan lingkungannya, akan tetapi dalam saat-saat tertentu mereka mengalami apa yang
dinamakan dengan penampakan, atau bisikan ghaib. Penampakan dan bisikan ghaib ini
hasil kekacauan otak dan tidak nyata, akan tetapi bagi orang tersebut itu adalah hal yang benar-
benar nyata.Mengenai kenapa orang lain tidak bisa melihat yang ia lihat dan tak bisa mendengar
apa yang ia dengar, itu adalah bukti meyakinkan bahwa ia adalah orang yang istimewa. Pada
masyarakat-masyarakat tradisional, dimana alam ghaib dianggap sebagai realitas yang
mempesona atau suci, maka orang ini dianggap sebagai penghubung atau utusan dari alam ghaib.
Ia adalah shaman, dukun, utusan dewa, atau bahkan Nabi.

Shaman dari suku pedalaman Brazil. Ia menyampaikan pesan-pesan dari dunia ghaib, ia
membaca masa lalu dan meramalkan masa depan, ia menyampaikan harapan masyarakatnya
kepada yang ghaib. Pada masyarakat kuno, ia adalah aset berharga masyarakat. Jika
penampakan dan bisikan ghaib itu adalah hasil dari kekacauan otak, bagaimana mungkin

14
sosok ghaib yang muncul dan pesan-pesan ghaibnya begitu konsisten dan koheren?
Sesungguhnya tidak semua pembawa pesan ini menyampaikan pesan secara konsisten dan
koheren. Kebanyakan mereka hanya meracau, dan akibatnya mereka hanya dianggap sebagai
orang aneh yang tidak bisa dimengerti. Akan tetapi beberapa diantaranya sungguh benar-benar
bisa menyampaikan pesan-pesan yang konsisten dan koheren. Merekalah yang biasanya
memperoleh status shaman, dukun, bahkan nabi.

Kesehatan jiwa masih menjadi persoalan serius kesehatan global. Demikian pula di
Indonesia, persoalan kesehatan jiwa dari tahun ke tahun semakin serius. Data Riset Kesehatan
Dasar 2013 mencatat prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 per mil. Artinya,
1-2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Masalah gangguan
dan kesehatan jiwa memiliki dimensi cukup kompleks. Kesehatan jiwa tidak hanya terkait
masalah medis atau psikologis semata, tetapi juga mempunyai dimensi sosial budaya sampai
dimensi spiritual dan religius.

Faktor budaya bisa memberikan pengaruh terhadap timbulnya dan kekambuhan gangguan
jiwa,jelasnya saat menyampaikan Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang
Psikologi Klinis Fakultas Psikologi UGM di Balai Senat UGM

Menyampaikan pidato berjudul Kesehatan Jiwa Dalam Perspektif Budaya dan Agama,
Subandi mengatakan faktor budaya juga berperan penting dalam proses kesembuhan dan
pemulihan penderita gangguan jiwa. Hasil penelitian lintas budaya yang dilakukan WHO
menunjukkan bahwa proses perjalanan gangguan jiwa skizofrenia di negara berkembang jauh
lebih baik dibandingkan negara maju, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

15
Berbagai dugaan muncul terkait hasil tersebut, salah satunya karakter masyarakat negara maju
yang bersifat indiviudalistik sehingga kurang memberikan dukungan sosial dibandingkan
masyarakat negara berkembang yang bersifat kolektif. Sementara itu di negara berkembang
banyak ditemukan onset (proses munculnya) gangguan jiwa yang cenderung cepat
mempengaruhi kesembuhan dengan cepat.

Ia menjelaskan hingga saat ini belum ada penelitian empiris terkait kesembuhan gangguan
psikosis di Indonesia. Namun, dari cerita rakyat masyarakat Jawa yang mengamati fenomena
gangguan jiwa, seperti Suminten Edan, bisa diketahui stresor terbanyak penyebab gangguan jiwa
adalah masalah keluarga, termasuk gagal menikah. Dari penelitian yang dilakukan Godd dan
Subandi diketahui dari 391 kasus yang ditemukan stresor yang paling banyak berasal dari
keluarga, kemudian diikuti masalah pendidikan, hubungan lawan jenis, dan masalah pekerjaan.
Selain itu, onset yang timbul pada kasus Suminten sangat cepat dengan proses kesembuhan yang
relative cepat pula.
Subandi menyampaikan dalam proses penyembuhan penderita gangguan jiwa, munculnya rasa
malu atau isin menjadi sebuah penanda awal dalam proses kesembuhan. Pasalnya, orang yang
mengalami gangguan jiwa dapat dikatakan sebagai orang yang telah kehilangan rasa malu.

Begitu penderita mulai merasa malu berarti muncul kesadaran diri dan lingkungannya serta bisa
mengontrol perilakunya,jelasnya.

Dimensi budaya Jawa lain yang terkait dengan kesembuhan dari gangguan jiwa di masayarakat
Jawa adalah nilai budaya ngemong. Ngemong dalam hal ini menunjukkan sikap toleran, penuh
perhatian, penuh kasih sayang, dan penerimaan positif atas perilaku agresif dan impulsif pada
keluarga dan masyarakat luas. Menurut Subandi, konsep ngemong ini bisa dipakai sebagai salah
satu nilai dasar sistem pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Hal ini
dilakukan dengan mengintegrasikan berbagai profesi kesehatan jiwa dalam sebuah sistem yang
saling memahami dan menghargai dalam menangani penderita gangguan jiwa. Dengan demikian,
dapat mengurangi rehospitalisasi dan meningkatkan fungsi sosial penderita.

Ngemong hubungan antar profesi kesehatan jiwa, ngemong antar institusi untuk ngemong
penderita ganguan jiwa dan keluarga,katanya.

16
Lebih lanjut Subandi mengatakan dalam sistem perawatan kesehatan jiwa juga perlu
memperhatikan dimensi keberagamaan. Dalam setiap agama terdapat tradisi spiritualitas yang
dapat berkontribusi pada pengembangan konsep dan praktik kesehatan jiwa. Misalnya, tradisi
tasawuf dalam Islam yang banyak dipraktikkan di masyarakat hingga sekarang. Dalam tasawuf,
konsep penyakit hati ditengarai dengan adanya perasaan iri, benci, curiga, cemburu, marah,
dendam, sombong, pamer dan lainnya. Konsep tersebut sangat dekat dengan konsep psikologi
Barat, yakni emosi negatif. Karenanya, upaya untuk menyandingkan kedua ilmu dari kedua
tradisi tersebut perlu dikembangkan. Ilmu tasawuf akan menjadi aktual apabila menggunakan
pendekatan-pendekatan psikologi modern.Sementara perspektif tasawuf bagi psikologi dapat
mengarahkan psikologi kepada nilai-nilai kebaikan yang bermanfaat untuk kesejahteraan orang
banyak.

17
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas,
serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik, sosial dan
budaya. Faktor agama dan budaya merupakan faktor yang mempengaruhi timbulnya kesehatan
jiwa terutama Skizofrenia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hamdi Muluk dan J Muniarti. Konsep Kesehatan Mental menurut Masyarakat Etnik
Jawa dan minangkabau
2. Djumhana, H.B (1997) Integrasi Psikologi dengan islam menuju Psikologi Islami
cetakan ke2 hlm.131, Pustaka Pelajar
3. https://psychosystem.wordpress.com/2011/02/09/hello-world/
4. Jalaluddin (2010) Psikologi Agama hlm 170-172, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
5. Mukhtar GZ. Materi Kuliah Psikologi Agama II. Jurusan PA, Fakultas Ushuluddin, UIN
SGD
6. Patel, V., Swartz, L., & Cohen, A. (2005). Chapter 14: The Evidence for Mental Health
Promotion in Developing Countries. Dalam H. Herrman, S. Saxena, & R. Moodie.
Promoting Mental Health: Concepts, Emerging Evidence, Practice. Geneva: World
Health Organization & Victorian Health Promotion Foundation.

18

Anda mungkin juga menyukai