Anda di halaman 1dari 4

Kampung Bonti, salah satu pemukiman masyarakat yang berada pada

koridor
Flying Fox padamenara
Kawasankarst kawasan
Wisata TN Bantimurung Bulusaraung
Bantimurung,
Taman Nasional Bantimurung
Foto: Iskandar Bulusaraung

Foto: Iskandar
PENDAHULUAN

Kebijakan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya


terutama ditopang oleh tiga pilar konservasi. Salah satu pilar tersebut adalah
perlindungan sistem penyangga kehidupan, yang biasanya secara singkat tanpa
mengurangi maknanya disebut pilar perlindungan. Pilar perlindungan ini penting
peranannya untuk mendukung kedua pilar lainnya, sehingga biasanya mendapat
perhatian yang lebih baik dari pilar lain. Jika tahapan upaya pencapaian tujuan
dari pilar perlindungan dibuat menurut tingkatan progresnya, maka upaya
pengamanan represif adalah upaya dasar atau yang paling awal yang
seharusnya dilakukan. Namun kemudian, kesadaran masyarakat akan
pentingnya upaya konservasi dan pelestarian (sebagai tahapan selanjutnya)
jauh lebih penting. Masyarakat harus diberikan pemahaman secara bertahap
tanpa tekanan fisik maupun psikis (soft action) atau lebih dikenal dengan istilah
pengamanan hutan persuasif. Ukuran keberhasilan upaya perlindungan
kemudian dianggap sudah sepenuhnya berhasil dilakukan apabila masyarakat
secara sadar dan berswadaya dalam berpartisipasi secara aktif terhadap upaya
konservasi dan pelestarian alam. Pada beberapa negara maju, kesadaran dan
partisipasi aktif masyarakat terhadap pelestarian alam sudah demikian baiknya
sehingga upaya represif sudah jarang dilakukan oleh pemerintah setempat. Hal
ini tentu saja menghemat banyak sumberdaya pemerintah yang seharusnya
dialokasikan untuk kepentingan perlindungan lingkungan.
Tekanan dan gangguan terhadap kawasan konservasi, atau kawasan
hutan secara umum, apabila dicermati dengan baik menggunakan statistik yang
disusun secara cermat, maka dapat ditarik kesimpulan umum bahwa penyebab
utama degradasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya adalah
antroposentrisme. Tentu saja, masyarakat yang terdekat dari kawasan
konservasi berperan sangat vital dalam hal ini, apakah sebagai barrier terhadap
tekanan ke dalam kawasan ataukah sebaliknya menjadi penyokong bahkan
pelaku utama tekanan terhadap kawasan konservasi. Untuk itulah kemudian
mengapa pengelola kawasan konservasi juga dibebani tugas pembinaan dan
pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga.
Daerah penyangga kawasan konservasi merupakan kawasan yang secara
geografis berdampingan dengan kawasan konservasi, yang secara langsung
maupun tidak langsung berpengaruh terhadap keseimbangan proses ekologi di
Profil Daerah Penyangga TN Bantimurung Bulusaraung

dalam kawasan. Keberadaan daerah penyangga berperan vital terhadap


kelestarian kawasan konservasi, terutama dari segi pembatasan efek
antropogenik ke dalam kawasan. Daerah penyangga kawasan konservasi perlu
dikelola dengan baik dan terencana terutama untuk tujuan harmonisasi proses-
proses yang tersistem di dalam ekosistem alami (di dalam kawasan konservasi)
dengan proses-proses yang berlangsung di sekitarnya, yang terutama
berhubungan dengan aktifitas peradaban manusia.
Banyak istilah yang digunakan dan definisi atau batasan yang dibuat
sehubungan dengan keberadaan daerah penyangga kawasan perlindungan
ekosistem alami. UNESCO, Man and Biosphere Indonesia (MAB-Indonesia)
dalam pengelolaan cagar biosfer menggunakan istilah zona penyangga (buffer
zone), yaitu wilayah yang mengelilingi atau berdampingan dengan area inti dan
teridentifikasi, untuk melindungi area inti dari dampak negatif kegiatan manusia,
dimana hanya kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan tujuan konservasi yang
dapat dilakukan. Sumarwoto (1985) juga menyampaikan bahwa daerah
penyangga merupakan area yang berada di sekeliling kawasan perlindungan
alam yang berfungsi untuk membatasi aktifitas manusia di dalam kawasan
perlindungan agar tidak mengganggu keseimbangan proses ekologi pada
wilayah yang masih alami.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengamanatkan
bahwa wilayah yang berbatasan dengan kawasan konservasi ditetapkan sebagai
daerah penyangga untuk menjaga keutuhan kawasan konservasi. Selanjutnya,
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (KSA dan KPA) disampaikan
bahwa daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga KSA dan KPA dari
segala bentuk gangguan yang berasal dari luar dan/atau dari dalam kawasan
yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan/atau perubahan fungsi
kawasan. Penetapan daerah penyangga dilakukan secara terpadu dengan tetap
menghormati hak-hak yang dimiliki oleh pemegang hak. Daerah penyangga
dapat berupa kawasan hutan lindung, hutan produksi, serta hutan hak, tanah
negara bebas atau tanah yang dibebani hak.
Dalam hal pengurusannya, pengelolaan daerah penyangga dilakukan
melalui: penyusunan rencana pengelolaan daerah penyangga; rehabilitasi,
pemanfaatan, perlindungan, dan pengamanan; serta pembinaan fungsi daerah
penyangga. Adapun pembinaan fungsi daerah penyangga dilaksanakan dalam
batas-batas: peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; peningkatan pengetahuan dan
keterampilan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya; serta
peningkatan produktivitas lahan.
Taman Nasional (TN) Bantimurung Bulusaraung dikelilingi oleh 45 desa
dan kelurahan sebagai daerah penyangganya. Seluruh desa dan kelurahan
tersebut berada di lingkup wilayah administrasi 10 kecamatan dan 3 kabupaten.
Kondisi seluruh desa dan kelurahan tersebut sangat beragam dalam hal sosial,
ekonomi dan budaya masyarakatnya. Karena keberagaman tersebut maka
upaya-upaya pengelolaan daerah penyangga kawasan TN Bantimurung
Bulusaraung juga tidak dapat dilakukan secara seragam, melainkan harus
dilakukan sesuai dengan kondisi masyarakat masing-masing desa dan kelurahan
serta potensi sumberdaya yang tersedia. Oleh karena kondisi yang demikian

2 Pendahuluan
Profil Daerah Penyangga TN Bantimurung Bulusaraung

beragam, diperlukan pemetaan secara spesifik terhadap kondisi-kondisi


tersebut di setiap tempat, sebagai input penyusunan strategi pengelolaan,
terutama dalam menentukan prioritas.
Profil daerah penyangga kawasan TN Bantimurung Bulusaraung disusun
untuk kepentingan penggambaran kondisi wilayah di sekitar kawasan beserta
aktifitas masyarakatnya. Potret yang dibuat dan disusun pada setiap desa ini
diperlukan dalam pengelolaan kawasan taman nasional, terutama dalam
merumuskan rancang tindak harmonisasi proses-proses yang tersistem di dalam
ekosistem TN Bantimurung Bulusaraung dengan aktifitas peradaban manusia
yang hidup di sekitarnya. Profil ini juga bermanfaat sebagai bahan informasi bagi
para pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan taman nasional, terutama
para penggiat upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Deskripsi yang dibuat juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan analisis
penyelesaian konflik yang terjadi di daerah penyangga, yang biasanya lebih
banyak berkaitan dengan masalah penguasaan dan pendudukan lahan.

Apabila dicermati dengan baik


menggunakan statistik yang disusun
secara cermat, maka dapat ditarik
kesimpulan umum bahwa penyebab
utama degradasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya adalah
antroposentrisme

Pendahuluan 3

Anda mungkin juga menyukai