Foto: Iskandar
DESKRIPSI TAMAN NASIONAL
Sejarah Kawasan
Alfred Russel Wallace, adalah naturalis berkebangsaan Inggris yang
pernah menjelajah Kepulauan Nusantara (The Malay Archipelago) dari tahun
1856 sampai dengan 1862. Sejak kembalinya ke Inggris sampai dengan tahun
1886, Wallace menerbitkan delapan belas dokumen, baik berupa catatan
maupun proceeding untuk Linnaean Zoological and Entomological Societies yang
menggambarkan atau mendeskripsikan koleksi speciemennya. Setelah itu, ia
kemudian menuliskan dan menerbitkan jurnal perjalanan eksplorasi selama
enam tahunnya yang berjudul "The Malay Archipelago". Deskripsi yang dibuat
oleh Wallace pada saat itu menjadi pembuka tabir keunikan khasanah
keanekaragaman hayati Nusantara dan menggugah kekaguman para ilmuwan
dan naturalis. Wallace sangat terpesona oleh keunikan ekosistem Sulawesi dan
pulau-pulau satelitnya, dan memberinya inspirasi pencetusan teori biogeografi
(Neo-Darwinism) yang menjadi sumbangan sangat berharga buat sang pencetus
teori evolusi Charles Robert Darwin. Wallace melakukan eksplorasi flora dan
fauna di kawasan Maros dari tanggal 11 Juli 1857 sampai dengan awal Nopember
1857 dan berhasil mengumpulkan cukup banyak koleksi speciemen di wilayah
Maros. Wallace sendiri memberikan julukan "The Kingdom of Butterfly" untuk
kawasan Bantimurung dan sekitarnya.
Hal lain yang menarik dari kawasan ini adalah bentang alam karst yang
berbangun menara. "The Spectacular Tower Karst", begitu kemudian orang-
orang memberikan nama pada kawasan Karst Maros-Pangkep. Memang berbeda
dengan kebanyakan kawasan karst di tempat-tempat lain yang pada umumnya
berbentuk Conicall Hill Karst, Karst Maros-Pangkep berbentuk menara-menara
yang berdiri sendiri maupun berkelompok membentuk gugusan pegunungan
batu gamping. Ko (2001) menginformasikan bahwa kawasan Karst Maros-
Pangkep sudah dikenal oleh dunia internasional sejak sebelum perang dunia II.
Kawasan ini antara lain juga dikenal melalui publikasi ahli geografi Danes.
Kawasan ini dikatakan memiliki geomorfologi yang amat khas dan tidak dijumpai
di tempat lain. Karst Maros-Pangkep menjadi kawasan karst yang paling terkenal
di Indonesia karena landsekapnya yang spesifik dan ornamen gua terindah (ACS,
1989; Deharveng dan Bedos, 1999; McDonald, 1976; Whitten dkk, 1987;
Suhardjono dkk, 2007). Di samping itu, Maros juga terkenal memiliki
keanekaragaman hayati tertinggi di Asia Tropika (Deharveng dan Bedos, 1999
dalam Suhardjono dkk, 2007).
Dari segi arkeologi, kawasan Karst Maros-Pangkep dikenal karena temuan
Frits Sarasin dan Paul Sarasin. Di awal abad kedua puluh, tepatnya pada tahun
1902-1903, mereka menemukan sisa-sisa peralatan manusia prasejarah berupa
serpih, bilah, mata panah dan alat-alat yang terbuat dari tulang di Gua Cakondo,
Ulu Leba dan Balisao Kabupaten Maros. Berdasarkan temuan-temuan tersebut,
para ahli menyimpulkan bahwa pada masa prasejarah, Sulawesi merupakan
salah satu daerah lintasan yang strategis bagi perpindahan penduduk dari
daratan Asia Tenggara ke kawasan Pasifik. Dalam perjalanan migrasi tersebut,
gua-gua payung atau rock shelter merupakan satu-satunya tempat yang ideal
untuk berlindung, baik sebagai tempat tinggal maupun sekedar transit bagi para
imigran (Gunadi, 1997 dalam Achmad, 2001). Pada tahun 2007 Balai
Peninggalan Prasejarah dan Purbakala (BP3) Sulawesi Selatan melaporkan 27
Situs Purbakala yang dilindungi di kawasan Karst Maros-Pangkep dari total 89
gua prasejarah yang ada.
Seluruh kawasan yang dideskripsikan tersebut di atas, kemudian
ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan
Menteri Pertanian Nomor : 760/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982,
menyempurnakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Tahun 1976, walaupun
sebelumnya telah dilakukan penetapan kawasan hutan secara parsial oleh
Pemerintah Hindia Belanda pada dekade awal abad ke-20. Karena kebutuhan
akan lahan budidaya yang semakin meningkat, Departemen Kehutanan mulai
melakukan penyesuaian antara TGHK dan rencana tata ruang wilayah (RTRW)
pada tahun 1997. Provinsi Sulawesi Selatan berhasil menyelesaikan Paduserasi
TGHK-RTRWP pada tahun 1999 dengan diterbitkannya Keputusan Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor: 276/IV/Tahun 1999 tanggal 1 April 1999 tentang
Penetapan Hasil Paduserasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Tata
Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Paduserasi
ditindaklajuti dengan penerbitan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Nomor: 890/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999 tentang Penunjukan
Kembali Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Selatan seluas 3.879.771 Ha.
Berdasarkan seluruh dokumen tersebut, kawasan Karst Maros-Pangkep dan
sekitarnya merupakan kawasan hutan.
Antara dekade 1970-1980, di kawasan Karst Maros-Pangkep telah
ditunjuk dan/atau ditetapkan 5 unit kawasan konservasi seluas 11.906,9 Ha.
Air terjun Bantimurung yang terkenal sejak kunjungan Wallace dijadikan
kawasan konservasi sejak tahun 1919 dengan luas 18 Ha berdasarkan
Gouvernements Besluits tanggal 21-2-1919 No. 6 Staatblad No. 90. Kawasan
Bantimurung karena potensi wisata tirta, panorama alam dan gua-gua alamnya,
ditunjuk kembali menjadi kawasan konservasi taman wisata alam dengan nama
TWA. Bantimurung seluas 118 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 237/Kpts/Um/3/1981 tanggal 30 Maret 1981.
(sekarang Graphium
androcles), salah satu jenis
Kupu-kupu Swallow Tailed
terbesar dan terjarang
ditemukan.
Banyak yang kemudian
mengikuti jejak Wallace untuk
menapaki kawasan
Bantimurung. 25 tahun
Foto: Iskandar
kemudian, di tahun 1882
Graphium androcles tidak
ditemukan dan dilaporkan Lamproptera meges
punah walaupun species-
species lain tetap ada
(Guillemard, 1889 dalam Whitten, 2002). Hal ini mungkin merupakan pengaruh
iklim, sebab 45 tahun kemudian Kupu-kupu ini kembali banyak ditemukan
(Leefmans, 1927 dalam Whitten, 2002). Wallace (1890) dalam Whitten dkk
(2002) melaporkan bahwa ia menemukan 256 species Kupu-kupu dari kawasan
Bantimurung. Berbeda dengan laporan tersebut, Mattimu (1977) melaporkan
bahwa ada 103 jenis kupu-kupu yang ia temukan di hutan wisata Bantimurung,
dengan jenis endemik antara lain adalah : Papilio blumei, P. polites, P. sataspes,
Troides haliphron, T. helena, T. hypolitus, dan Graphium androcles. Achmad
(1998) telah meneliti secara khusus habitat dan pola sebaran kupu-kupu jenis
komersil di hutan wisata Bantimurung selama satu tahun. Ia juga
menginformasikan bahwa kupu-kupu Troides haliphron dan Papilio blumei
adalah dua jenis endemik yang mempunyai sebaran yang sangat sempit, yakni
hanya pada habitat berhutan di pinggiran sungai.
Kawasan TN Bantimurung Bulusaraung juga terkenal sebagai habitat
beberapa species penting lain yang kondisi populasinya sudah semakin menurun
di alam. Dare atau Kera Hitam Sulawesi (Macaca maura) adalah salah satu jenis
primata endemik Sulawesi yang habitatnya meluas hampir di seluruh kawasan.
Kuskus Beruang (Ailurops ursinus) dan Kuskus Kecil (Stigocuscus celebensis)
juga dapat ditemukan di dalam kawasan ini. Salah satu primata terkecil di dunia,
Tarsius fuscus atau oleh masyarakat setempat diberikan nama Balao-cengke
atau Passipassi tersebar di beberapa lokasi di dalam kawasan. Namun,
keberadaan T. fuscus hanya diketahui di kawasan TN Bantimurung Bulusaraung,
tidak ada yang melaporkan keberadaannya di tempat lain.
Dari aspek tata air, kawasan karst merupakan reservoir air raksasa yang
sangat strategis kedudukannya dalam menunjang berbagai kepentingan.
Kemampuan bukit karst dan mintakat epikarst pada umumnya mampu
menyimpan air selama tiga hingga empat bulan setelah berakhirnya musim
penghujan, sehingga sebagian besar sungai bawah tanah dan mata air di
kawasan karst mengalir sepanjang tahun dengan kualitas air yang baik. Dengan
formasi geologi utama berupa batuan kapur, kawasan TN Bantimurung
Bulusaraung merupakan catchment area bagi beberapa sungai besar di Sulawesi
Selatan. Beberapa sungai menghulu di kawasan ini, antara lain sungai Walanae
yang merupakan salah satu sungai yang mempengaruhi sistem hidrologi Danau
Tempe. Sungai lainnya adalah Sungai Pangkep, Sungai Pute dan Sungai
Bantimurung/Maros. Di samping itu juga ditemukan beberapa mata air dan
sungai kecil, terutama di kawasan Karst, serta air bawah tanah pada sistem
perguaan, seperti di Gua Salle dan Gua Salukang Kallang.
Dari segi keunikan dan fenomena alam untuk kepentingan pariwisata dan
rekreasi alam, kawasan TN Bantimurung Bulusaraung tidak kekurangan potensi.
Bantimurung dengan air terjunnya sudah dikenal luas sampai ke seluruh belahan
dunia. Endokarst dengan keheningan, kegelapan abadinya serta berbagai
bentukan ornamen gua merupakan daya tarik tersendiri bagi sebagian besar
wisatawan maupun para penggiat perguaan (speleolog/ caver). Tebing-tebing
batu gamping yang berdiri vertikal atau bahkan overhang menjadi tantangan
tersendiri yang mengasyikkan bagi para penggiat panjat tebing. Untuk aktifitas
pendakian gunung, Pegunungan Bulusaraung menjadi pilihan yang tepat dan
biaya yang tidak mahal. Dari seluruh potensi petualangan itulah maka kawasan
TN Bantimurung Bulusaraung kemudian diberikan julukan "Surga bagi Para
Petualang" (The Adventurer Paradise).
Apabila seluruh karakteristik dan keunikan utama TN Bantimurung
Bulusaraung tersebut ingin diungkapkan dengan beberapa kalimat, maka
setidaknya terdapat tiga jargon atau gelar yang dapat diberikan, yaitu: (1) The
Kingdom of Butterfly; (2) The Spectacular Tower Karst; dan (3) The Adventurer
Paradise.
Formasi Mallawa, terdiri atas batu pasir kuarsa, batu lanau, batu lempung dan
konglomerat, dengan sisipan atau lensa batubara. Penyebarannya berada di
Kecamatan Watang Mallawa, di daerah Ammasangeng, dan Kecamatan
Bantimurung. Batu pasir kuarsa umumnya bersifat rapuh dan kurang
kompak, berlapis tipis. Batubara pada satuan batuan ini mempunyai
ketebalan antara 0,5 - 1,5 meter.
Formasi Tonasa, terdiri dari batu gamping pejal, bioklastik, kalkarenit, koral
dan kalsirudit bersisik. Di wilayah Kecamatan Watang Mallawa, batu gamping
formasi tonasa ditemukan mengandung mineral glauconit dan napal dengan
sisipan breksi batu gamping.
Formasi Camba, terdiri dari perselingan batuan sedimen laut dan batuan
gunung api, yaitu batu pasir tufaan berselingan dengan tufa, batu pasir, batu
lanau dan batu lempung. Di beberapa tempat dijumpai sisipan napal, batu
gamping dan batu bara.
Batuan Gunung Api Formasi Camba, terdiri dari breksi, lava dan konglomerat.
Breksi dan konglomerat terdiri dari pragment andesit dan basal, matriks dan
semen tufa halus hingga pasiran.
Batuan Gunungapi Baturape-Cindako, terdiri dari lava dan breksi gunung api,
bersisipan tufa dan konglomerat. Breksi gunung api umumnya berkomponen
kasar berupa basal dan sedikit andesit dengan ukuran fragment 15-60 cm,
tersemen oleh tufa berbutir kasar hingga lapilli dan banyak mengandung
firoksin.
Batuan Terobosan, terdiri dari granodiorit, andesit, diorit, trakit dan basal
piroksin. Batuan ini menyebar secara parsial dan menerobos batuan yang
lebih tua di sekitarnya berupa retas, sill dan stok.
Endapan aluvium, terdiri dari endapan aluvium sungai. Endapan aluvium
sungai berupa bongkah, kerakal, kerikil, pasir dan lempung.
Ada dua jenis tanah yang umum ditemukan pada kawasan karst Maros-
Pangkep, dimana keduanya kaya akan Calsium dan Magnesium. Tanah jenis
Rendolls mempunyai warna kehitaman karena tingginya kandungan bahan
organik, ditemukan pada dasar lembah lereng yang landai, terutama di bagian
selatan dari Karst Maros. Eutropepts merupakan jenis tanah turunan dari
inceptisol, umumnya ditemukan pada daerah yang mempunyai kelerengan yang
terjal dan puncak bukit kapur. Tanah ini sangat dangkal dan berwarna terang.
Sebagaimana pada umumnya kawasan dengan landsekap karst, bentuk
permukaan kawasan TN Bantimurung Bulusaraung bervariasi dari datar,
bergelombang, berbukit sampai dengan bergunung. Bagian kawasan yang
bergunung terletak pada sisi timur laut kawasan atau terletak pada blok
Pegunungan Bulusaraung di Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros dan Gunung
Bulusaraung sendiri di Kecamatan Balocci Kabupaten Pangkep. Puncak tertinggi
terletak pada ketinggian 1.565 m.dpl di sebelah utara Pegunungan Bulusaraung.
Puncak Gunung Bulusaraung sendiri terletak pada ketinggian 1.353 m.dpl. Sisi
ini dicirikan oleh kenampakan topografi relief tinggi, bentuk lereng yang terjal
dan tekstur topografi yang kasar.