Anda di halaman 1dari 12

Musim panen di Desa Tompobulu Kabupaten Pangkep

Foto: Iskandar
DESKRIPSI TAMAN NASIONAL

Sejarah Kawasan
Alfred Russel Wallace, adalah naturalis berkebangsaan Inggris yang
pernah menjelajah Kepulauan Nusantara (The Malay Archipelago) dari tahun
1856 sampai dengan 1862. Sejak kembalinya ke Inggris sampai dengan tahun
1886, Wallace menerbitkan delapan belas dokumen, baik berupa catatan
maupun proceeding untuk Linnaean Zoological and Entomological Societies yang
menggambarkan atau mendeskripsikan koleksi speciemennya. Setelah itu, ia
kemudian menuliskan dan menerbitkan jurnal perjalanan eksplorasi selama
enam tahunnya yang berjudul "The Malay Archipelago". Deskripsi yang dibuat
oleh Wallace pada saat itu menjadi pembuka tabir keunikan khasanah
keanekaragaman hayati Nusantara dan menggugah kekaguman para ilmuwan
dan naturalis. Wallace sangat terpesona oleh keunikan ekosistem Sulawesi dan
pulau-pulau satelitnya, dan memberinya inspirasi pencetusan teori biogeografi
(Neo-Darwinism) yang menjadi sumbangan sangat berharga buat sang pencetus
teori evolusi Charles Robert Darwin. Wallace melakukan eksplorasi flora dan
fauna di kawasan Maros dari tanggal 11 Juli 1857 sampai dengan awal Nopember
1857 dan berhasil mengumpulkan cukup banyak koleksi speciemen di wilayah
Maros. Wallace sendiri memberikan julukan "The Kingdom of Butterfly" untuk
kawasan Bantimurung dan sekitarnya.
Hal lain yang menarik dari kawasan ini adalah bentang alam karst yang
berbangun menara. "The Spectacular Tower Karst", begitu kemudian orang-
orang memberikan nama pada kawasan Karst Maros-Pangkep. Memang berbeda
dengan kebanyakan kawasan karst di tempat-tempat lain yang pada umumnya
berbentuk Conicall Hill Karst, Karst Maros-Pangkep berbentuk menara-menara
yang berdiri sendiri maupun berkelompok membentuk gugusan pegunungan
batu gamping. Ko (2001) menginformasikan bahwa kawasan Karst Maros-
Pangkep sudah dikenal oleh dunia internasional sejak sebelum perang dunia II.

Celebes must be one of the oldest parts


of The Malay Archipelago
(Alfred R. Wallace)
Profil Daerah Penyangga TN Bantimurung Bulusaraung

Kawasan ini antara lain juga dikenal melalui publikasi ahli geografi Danes.
Kawasan ini dikatakan memiliki geomorfologi yang amat khas dan tidak dijumpai
di tempat lain. Karst Maros-Pangkep menjadi kawasan karst yang paling terkenal
di Indonesia karena landsekapnya yang spesifik dan ornamen gua terindah (ACS,
1989; Deharveng dan Bedos, 1999; McDonald, 1976; Whitten dkk, 1987;
Suhardjono dkk, 2007). Di samping itu, Maros juga terkenal memiliki
keanekaragaman hayati tertinggi di Asia Tropika (Deharveng dan Bedos, 1999
dalam Suhardjono dkk, 2007).
Dari segi arkeologi, kawasan Karst Maros-Pangkep dikenal karena temuan
Frits Sarasin dan Paul Sarasin. Di awal abad kedua puluh, tepatnya pada tahun
1902-1903, mereka menemukan sisa-sisa peralatan manusia prasejarah berupa
serpih, bilah, mata panah dan alat-alat yang terbuat dari tulang di Gua Cakondo,
Ulu Leba dan Balisao Kabupaten Maros. Berdasarkan temuan-temuan tersebut,
para ahli menyimpulkan bahwa pada masa prasejarah, Sulawesi merupakan
salah satu daerah lintasan yang strategis bagi perpindahan penduduk dari
daratan Asia Tenggara ke kawasan Pasifik. Dalam perjalanan migrasi tersebut,
gua-gua payung atau rock shelter merupakan satu-satunya tempat yang ideal
untuk berlindung, baik sebagai tempat tinggal maupun sekedar transit bagi para
imigran (Gunadi, 1997 dalam Achmad, 2001). Pada tahun 2007 Balai
Peninggalan Prasejarah dan Purbakala (BP3) Sulawesi Selatan melaporkan 27
Situs Purbakala yang dilindungi di kawasan Karst Maros-Pangkep dari total 89
gua prasejarah yang ada.
Seluruh kawasan yang dideskripsikan tersebut di atas, kemudian
ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan
Menteri Pertanian Nomor : 760/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982,
menyempurnakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Tahun 1976, walaupun
sebelumnya telah dilakukan penetapan kawasan hutan secara parsial oleh
Pemerintah Hindia Belanda pada dekade awal abad ke-20. Karena kebutuhan
akan lahan budidaya yang semakin meningkat, Departemen Kehutanan mulai
melakukan penyesuaian antara TGHK dan rencana tata ruang wilayah (RTRW)
pada tahun 1997. Provinsi Sulawesi Selatan berhasil menyelesaikan Paduserasi
TGHK-RTRWP pada tahun 1999 dengan diterbitkannya Keputusan Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor: 276/IV/Tahun 1999 tanggal 1 April 1999 tentang
Penetapan Hasil Paduserasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Tata
Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Paduserasi
ditindaklajuti dengan penerbitan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Nomor: 890/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999 tentang Penunjukan
Kembali Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Selatan seluas 3.879.771 Ha.
Berdasarkan seluruh dokumen tersebut, kawasan Karst Maros-Pangkep dan
sekitarnya merupakan kawasan hutan.
Antara dekade 1970-1980, di kawasan Karst Maros-Pangkep telah
ditunjuk dan/atau ditetapkan 5 unit kawasan konservasi seluas 11.906,9 Ha.
Air terjun Bantimurung yang terkenal sejak kunjungan Wallace dijadikan
kawasan konservasi sejak tahun 1919 dengan luas 18 Ha berdasarkan
Gouvernements Besluits tanggal 21-2-1919 No. 6 Staatblad No. 90. Kawasan
Bantimurung karena potensi wisata tirta, panorama alam dan gua-gua alamnya,
ditunjuk kembali menjadi kawasan konservasi taman wisata alam dengan nama
TWA. Bantimurung seluas 118 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 237/Kpts/Um/3/1981 tanggal 30 Maret 1981.

5 Deskripsi Taman Nasional


Profil Daerah Penyangga TN Bantimurung Bulusaraung

Kawasan hutan di sekitar Pattunuang Asue ditetapkan menjadi kawasan


konservasi taman wisata alam dengan nama TWA. Gua Pattunuang seluas
1.506,25 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 59/Kpts-
II/1987 tanggal 12 Maret 1987. Penunjukan kawasan ini didasarkan pada
potensi wisata tirta wilayah tersebut, keanekaragaman hayatinya, panorama
alamnya, fenomena tebing-tebing karstnya yang ideal untuk wisata alam minat
khusus, legenda tentang perahu yang membatu (Biseang Labboro) di Sungai
Pattunuang, serta gua-gua alamnya.
Sebagian kawasan karst Bantimurung, karena mempunyai
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, kondisi alam, baik biota maupun
fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia, ciri khas
potensi yang merupakan contoh ekosistem karst yang keberadaannya
memerlukan upaya konservasi, komunitas tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya yang langka, ditunjuk menjadi kawasan konservasi cagar alam
dengan nama CA. Bantimurung seluas 1.000 Ha berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian Nomor : 839/Kpts/Um/11/1980 tanggal 23 Nopember 1980. Tidak
jauh berbeda dengan pertimbangan tersebut di atas, kawasan karst dan hutan
pamah primer di wilayah sebelah Timur Bantimurung ditunjuk menjadi kawasan
konservasi cagar alam dengan nama CA. Karaenta seluas 1.000 Ha berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 647/Kpts/Um/10/1976 tanggal 15 Oktober
1976. Berdasarkan hasil penataan batas CA. Karaenta yang dilaksanakan pada
tahun 1979/1980, luasnya definitifnya bertambah menjadi 1.226 Ha.
Kawasan konservasi yang lainnya adalah CA. Bulusaraung. Kawasan ini
memiliki komunitas tumbuhan dan satwa beserta ekosistem yang memerlukan
upaya konservasi. Kawasan ini terletak di wilayah paling Utara Kabupaten Maros
yang berbatasan dengan wilayah administratif Kabupaten Bone. Kawasan seluas
5.690 Ha yang merupakan bagian dari gugusan Pegunungan Bulusaraung ini
ditunjuk menjadi kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 607/Kpts/Um/8/1980 tanggal 20 Agustus 1980. Berdasarkan hasil
penataan batas CA. Bulusaraung yang dilaksanakan pada tahun 1999/2000,
luasnya definitifnya berubah menjadi 8.056,65 Ha.
Pada tahun 1989, seluruh kawasan konservasi di Kabupaten Maros
tersebut beserta kawasan karst dan kawasan hutan lainnya di wilayah Kabupaten
Maros dan Kabupaten Pangkep diusulkan oleh Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan untuk dirubah fungsinya menjadi taman
nasional, dengan nama Taman Nasional Hasanuddin. Nama tersebut diambil dari
nama pahlawan nasional Sulawesi Selatan. Dalam proses berikutnya, nama
calon taman nasional ini berulang kali dirubah berdasarkan berbagai
pertimbangan. Menindaklanjuti usulan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan
Propinsi Sulawesi Selatan tersebut, Direktur Jenderal PHKA Departemen
Kehutanan kemudian mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk melakukan
perubahan fungsi kawasan hutan di Kabupaten Maros dan Pangkep menjadi
Taman Nasional Hasanuddin dengan terlebih dahulu melakukan pengkajian
terhadap lokasi yang diusulkan.
National Conservation Plan for Indonesia Volume 6D Sulawesi Selatan
Province (Juni 1995) yang merupakan review dan updating NCP 1982,
menguraikan bahwa pada tahun 1993, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan menetapkan gabungan dari CA.
Bulusaraung, TWA. Bantimurung, CA. Bantimurung, CA. Karaenta, TWA Gua

Deskripsi Taman Nasional 6


Profil Daerah Penyangga TN Bantimurung Bulusaraung

Pattunuang serta Hutan Lindung di sekitarnya sebagai calon kawasan konservasi


Taman Nasional Hasanuddin seluas 86.682 Ha (termasuk seluruh kawasan Dry
Lowland Forest on Limestone seluas 47.000 Ha dan Wet Lowland Forest on
Limestone seluas 1.000 Ha) dengan pertimbangan perlindungan flora dan fauna,
perlindungan fungsi hydrologis, pengembangan wisata alam serta membatasi
perluasan perladangan di kawasan tersebut. Tujuan utama NCP 1995, yaitu
untuk mengevaluasi dan menentukan prioritas pengembangan kawasan
konservasi, dan Calon Taman Nasional Hasanuddin mendapatkan prioritas
pertama. Hasil skoring yang dilakukan memberikan genetic value 115 dan socio-
economic justification 10.
International Union of Speleology menyelenggarakan Kongres
Internasional ke-11 di Beijing pada tanggal 8 Agustus 1993. Kongres ini dihadiri
oleh para ilmuwan dan pemerhati kawasan karst dan gua dari 34 negara.
Kongres ini secara aklamasi menyatakan Karst Maros-Pangkep memiliki nilai
keunikan yang mendunia. Dalam rapat pleno, Presiden dan Sekretaris Jenderal
International Union of Speleology mengesahkan surat himbauan kepada
Pemerintah Indonesia agar kawasan Karst Maros-Pangkep dikonservasi dan
diusulkan sebagai bentukan alam Warisan Dunia (Ko, 2001; Palaguna, 2001).
Dukungan datang dari berbagai pihak dengan pertimbangan adanya asosiasi
secara langsung antara karst dengan kepurbakalaan serta antara karst dengan
keanekaragaman hayatinya. Pusat Studi Lingkungan Universitas Hasanuddin
yang menyelenggarakan Seminar Lingkungan Karst di Makassar pada tanggal 19
Desember 1997 juga menekankan pentingnya perlindungan ekosistem karst
Maros-Pangkep dan melaporkan sedikitnya terdapat 29 gua di kawasan Karst
Maros-Pangkep yang layak dilindungi.
Melanjutkan dan menindaklajuti usulan Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan dan NCP 1995, Unit KSDA Sulawesi Selatan
I bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin melakukan penilaian potensi
calon taman nasional pada tahun 1999, dan memberikan rekomendasi
kelayakannya. Berdasarkan rekomendasi tersebut, Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan kembali mengajukan usulan
penunjukan taman nasional di kawasan Maros-pangkep dengan nama Taman
Nasional Karaenta.
Pada bulan Mei 2001, IUCN Asia Regional Office dan UNESCO World
Heritage Centre mengadakan The Asia-Pasific Forum on Karst Ecosystems and
World Heritage di Gunung Mulu, Serawak, Malaysia. Forum ini dihadiri oleh para
ahli dari berbagai disiplin ilmu serta dihadiri pula oleh para pejabat tinggi
UNESCO dan World Bank. Forum ini bertekad menyatakan kawasan Karst Maros-
Pangkep sebagai Warisan Dunia. Forum ini memberikan rekomendasi kepada
Pemerintah Indonesia agar mengkonservasi kawasan-kawasan karst, termasuk
kawasan Karst Maros-Pangkep. Nilai-nilai warisan dunianya akan ditinjau
kemudian dan kelayakan status perlindungannya akan diidentifikasi kemudian
guna mendapatkan pengakuan internasional (Ko, 2001; Nitta, 2001; Samodra,
2003).
Tanggal 12-13 Nopember 2001, Bapedal Regional III di Makassar
menyelenggarakan Simposium Karst Maros-Pangkep yang bertema "Menuju
Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World
Heritage di Era Otonomi Daerah". Melalui acara ini, Bapedal Regional III
berusaha membangun kembali komitmen dan menggalang kerjasama dengan

7 Deskripsi Taman Nasional


Profil Daerah Penyangga TN Bantimurung Bulusaraung

berbagai pihak terkait dalam upaya mewujudkan kawasan Karst Maros-Pangkep


sebagai kawasan taman nasional dan situs warisan dunia. Beberapa kesimpulan
dari simposium ini adalah bahwa kawasan Karst Maros-Pangkep memiliki
berbagai potensi sumberdaya yang perlu mendapat perlindungan dan
pengelolaan secara seksama, terpadu dan menyeluruh; Pemerintah Sulawesi
Selatan, Maros dan Pangkep mendukung dan berkomitmen terhadap pengajuan
kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai taman nasional maupun world heritage
site; serta membentuk tim terpadu untuk menyusun rencana aksi dalam
mewujudkan penetapan kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai taman nasional
dan world heritage site. Untuk mempercepat proses penunjukan kawasan Karst
Maros-Pangkep menjadi taman nasional diadakan pertemuan pada tanggal 15
Januari 2002 dan membentuk tim terpadu yang terdiri dari Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten Maros dan Pangkep, Unit KSDA
Sulawesi Selatan I, Bapedal Regional III dan Universitas Hasanuddin.
Pada tanggal 5 Januari 2004, Gubernur Sulawesi Selatan mengusulkan
kembali kawasan Karst Maros-Pangkep untuk ditetapkan menjadi Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Direktur Jenderal PHKA pada tanggal 25
Pebruari 2004 mengusulkan kembali perubahan fungsi kawasan hutan di
Kabupaten Maros dan Pangkep menjadi taman nasional melalui Sekretaris
Jenderal Departemen Kehutanan dan Kepala Badan Planologi Kehutanan.
Tanggal 29 April 2004, Gubernur Sulawesi Selatan sekali lagi mendesak Menteri
Kehutanan agar memproses penetapan kawasan Karst Maros-Pangkep menjadi
taman nasional.
Dalam proses koordinasi yang berjalan lamban tersebut, Kepala Pusat
Pembentukan Wilayah Pengelolaan dan Perubahan Kawasan Hutan Badan
Planologi Kehutanan mengundang seluruh anggota tim terpadu dan pihak terkait
untuk hadir pada tanggal 8 Oktober 2004 dengan agenda pengkajian dan
pembahasan oleh Tim Terpadu Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Bantimurung
Bulusaraung. Pertemuan ini menyimpulkan bahwa perubahan fungsi Kawasan
Hutan Bantimurung dan Bulusaraung memenuhi syarat untuk dirubah menjadi
kawasan pelestarian alam dengan fungsi taman nasional berdasarkan : (1)
Laporan Hasil Pengkajian Tim Terpadu yang dipaparkan oleh Amran Achmad
(Universitas Hasanuddin) selaku Ketua Tim Terpadu Daerah; (2) Surat Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor 660/27/Set tanggal 5 Januari 2004 dan Rekomendasi
nomor 660/472/SET tanggal 7 Pebruari 2003; (3) Rekomendasi Bupati Maros
nomor 660.1/532/Set tanggal 13 Nopember 2002; (4) Surat Bupati Pangkep
nomor 430/13/DLHK tanggal 15 Maret 2003; (5) Keputusan DPRD Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 27 Tahun 2003 tanggal 19 Desember 2003; (6)
Rekomendasi DPRD Kabupaten Maros nomor 660.1/347/DPRD/2002 tanggal 17
Desember 2002; serta (7) Surat Ketua DPRD Kabupaten Pangkep nomor
005/194/Sek-DPRD tanggal 30 Juli 2003.
Pada tanggal 18 Oktober 2004, Menteri Kehutanan menerbitkan
Keputusan Nomor SK.398/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan
Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung-Bulusaraung seluas 43.750 Ha
terdiri dari Cagar Alam seluas 10.282,65 Ha, Taman Wisata Alam seluas
1.624,25 Ha, Hutan Lindung seluas 21.343,10 Ha, Hutan Produksi Terbatas
seluas 145 Ha, dan Hutan Produksi Tetap seluas 10.335 Ha yang terletak di
Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Deskripsi Taman Nasional 8


Profil Daerah Penyangga TN Bantimurung Bulusaraung

Karakteristik Penunjukan Taman Nasional


Wilayah yang saat ini merupakan kawasan TN Bantimurung Bulusaraung
merupakan sebagian dari kawasan Karst Maros-Pangkep yang sudah terkenal ke
seluruh dunia. Samodra (2003) menyampaikan bahwa singkapan batu gamping
yang luas di Sulawesi Selatan ini membentuk tipe karst tersendiri. Bukit-bukit
berlereng terjal yang sebagian besar genesanya dipengaruhi oleh struktur
geologi, sebelum diperlebar dan diperluas oleh proses pelarutan (karstifikasi)
membentuk bangun menara yang sangat khas (tower karst). Bukit-bukit menara
Karst Maros-Pangkep serupa dengan karst yang ada di China Selatan dan
Vietnam.
Tipe Karst Maros-Pangkep memang berbeda dengan karst yang ada di
tempat lain yang pada umumnya berbentuk Conicall Hill Karst atau perpaduan
dari keduanya. Karakteristik eksokarstnya dikatakan sebagai bentukan karst
yang terindah kedua setelah kawasan karst yang telah ditetapkan sebagai
warisan alam dunia di Halong Bay Vietnam. Karst Maros-Pangkep juga
merupakan kawasan karst terluas kedua setelah karst yang ada di China Selatan.
Selain keindahan eksokarst, kawasan Karst Maros-Pangkep sebagaimana pada
umumnya kawasan karst juga dihiasi oleh endokarst yang tak ternilai. Tidak
kurang dari 400 gua di kawasan ini yang dapat menyajikan keindahan bentukan
ornamen gua (speleothem).
Gua-gua di kawasan Karst Maros-Pangkep, terutama gua fosil mempunyai
nilai arkeologi yang tinggi. Di dalamnya banyak dijumpai lukisan gua (rock
painting) manusia prasejarah yang dapat menguak kehidupan manusia
prasejarah dan budayanya (Samodra, 2003). Karst Maros-Pangkep menjadi
kawasan karst yang paling terkenal di Indonesia karena landsekapnya yang
spesifik dan ornamen gua terindah (ACS, 1989; Deharveng and Bedos, 1999;
McDonald, 1976; Whitten dkk, 1987; Suhardjono dkk 2007). Di samping itu,
Maros juga terkenal memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di Asia Tropika
(Deharveng and Bedos, 1999 dalam Suhardjono dkk, 2007).
Dari segi keanekaragaman hayati, TN
Macaca maura Bantimurung Bulusaraung dikenal dengan
Kera Hitam Sulawesi potensi Kupu-kupunya yang beranekaragam.
Selama berada di wilayah Maros, Wallace
menemukan Rusa (Cervus timorensis), Babi
(Sus celebensis), Kera Hitam Sulawesi
Cynopthecus nigrescens (sekarang Macaca
maura), Rangkong (Rhyticeros cassidix),
Trichoglossus ornatus, burung Punai, Corvus
advena, Idea tondana, Kumbang Macan
(Therates flavilabris) dan berbagai jenis
kumbang lainnya, tiga species Ornithoptera
yang sayapnya berukuran 7 8 inchi (17 20
Cm), Papilio miletus, P. telephus, P. macedon,
Papilio rhesus (sekarang Graphium rhesus),
Papilio gigon, Tachyris zarinda (sekarang
Foto: Iskandar

Appias zarinda), dan banyak lagi yang lainnya.


Hal yang paling berkesan bagi Wallace di
Bantimurung adalah pertemuannya dengan
"The Magnificent Butterfly" Papilio androcles

9 Deskripsi Taman Nasional


Profil Daerah Penyangga TN Bantimurung Bulusaraung

(sekarang Graphium
androcles), salah satu jenis
Kupu-kupu Swallow Tailed
terbesar dan terjarang
ditemukan.
Banyak yang kemudian
mengikuti jejak Wallace untuk
menapaki kawasan
Bantimurung. 25 tahun

Foto: Iskandar
kemudian, di tahun 1882
Graphium androcles tidak
ditemukan dan dilaporkan Lamproptera meges
punah walaupun species-
species lain tetap ada
(Guillemard, 1889 dalam Whitten, 2002). Hal ini mungkin merupakan pengaruh
iklim, sebab 45 tahun kemudian Kupu-kupu ini kembali banyak ditemukan
(Leefmans, 1927 dalam Whitten, 2002). Wallace (1890) dalam Whitten dkk
(2002) melaporkan bahwa ia menemukan 256 species Kupu-kupu dari kawasan
Bantimurung. Berbeda dengan laporan tersebut, Mattimu (1977) melaporkan
bahwa ada 103 jenis kupu-kupu yang ia temukan di hutan wisata Bantimurung,
dengan jenis endemik antara lain adalah : Papilio blumei, P. polites, P. sataspes,
Troides haliphron, T. helena, T. hypolitus, dan Graphium androcles. Achmad
(1998) telah meneliti secara khusus habitat dan pola sebaran kupu-kupu jenis
komersil di hutan wisata Bantimurung selama satu tahun. Ia juga
menginformasikan bahwa kupu-kupu Troides haliphron dan Papilio blumei
adalah dua jenis endemik yang mempunyai sebaran yang sangat sempit, yakni
hanya pada habitat berhutan di pinggiran sungai.
Kawasan TN Bantimurung Bulusaraung juga terkenal sebagai habitat
beberapa species penting lain yang kondisi populasinya sudah semakin menurun
di alam. Dare atau Kera Hitam Sulawesi (Macaca maura) adalah salah satu jenis
primata endemik Sulawesi yang habitatnya meluas hampir di seluruh kawasan.
Kuskus Beruang (Ailurops ursinus) dan Kuskus Kecil (Stigocuscus celebensis)
juga dapat ditemukan di dalam kawasan ini. Salah satu primata terkecil di dunia,
Tarsius fuscus atau oleh masyarakat setempat diberikan nama Balao-cengke
atau Passipassi tersebar di beberapa lokasi di dalam kawasan. Namun,
keberadaan T. fuscus hanya diketahui di kawasan TN Bantimurung Bulusaraung,
tidak ada yang melaporkan keberadaannya di tempat lain.
Dari aspek tata air, kawasan karst merupakan reservoir air raksasa yang
sangat strategis kedudukannya dalam menunjang berbagai kepentingan.
Kemampuan bukit karst dan mintakat epikarst pada umumnya mampu
menyimpan air selama tiga hingga empat bulan setelah berakhirnya musim
penghujan, sehingga sebagian besar sungai bawah tanah dan mata air di
kawasan karst mengalir sepanjang tahun dengan kualitas air yang baik. Dengan
formasi geologi utama berupa batuan kapur, kawasan TN Bantimurung
Bulusaraung merupakan catchment area bagi beberapa sungai besar di Sulawesi
Selatan. Beberapa sungai menghulu di kawasan ini, antara lain sungai Walanae
yang merupakan salah satu sungai yang mempengaruhi sistem hidrologi Danau
Tempe. Sungai lainnya adalah Sungai Pangkep, Sungai Pute dan Sungai
Bantimurung/Maros. Di samping itu juga ditemukan beberapa mata air dan

Deskripsi Taman Nasional 10


Profil Daerah Penyangga TN Bantimurung Bulusaraung

sungai kecil, terutama di kawasan Karst, serta air bawah tanah pada sistem
perguaan, seperti di Gua Salle dan Gua Salukang Kallang.
Dari segi keunikan dan fenomena alam untuk kepentingan pariwisata dan
rekreasi alam, kawasan TN Bantimurung Bulusaraung tidak kekurangan potensi.
Bantimurung dengan air terjunnya sudah dikenal luas sampai ke seluruh belahan
dunia. Endokarst dengan keheningan, kegelapan abadinya serta berbagai
bentukan ornamen gua merupakan daya tarik tersendiri bagi sebagian besar
wisatawan maupun para penggiat perguaan (speleolog/ caver). Tebing-tebing
batu gamping yang berdiri vertikal atau bahkan overhang menjadi tantangan
tersendiri yang mengasyikkan bagi para penggiat panjat tebing. Untuk aktifitas
pendakian gunung, Pegunungan Bulusaraung menjadi pilihan yang tepat dan
biaya yang tidak mahal. Dari seluruh potensi petualangan itulah maka kawasan
TN Bantimurung Bulusaraung kemudian diberikan julukan "Surga bagi Para
Petualang" (The Adventurer Paradise).
Apabila seluruh karakteristik dan keunikan utama TN Bantimurung
Bulusaraung tersebut ingin diungkapkan dengan beberapa kalimat, maka
setidaknya terdapat tiga jargon atau gelar yang dapat diberikan, yaitu: (1) The
Kingdom of Butterfly; (2) The Spectacular Tower Karst; dan (3) The Adventurer
Paradise.

Bantimurung Bulusaraung National Park


The Kingdom of Butterfly
The Spectacular Tower Karst
The Adventurer Paradise

Kondisi Fisik Kawasan


Secara administrasi pemerintahan, kawasan TN Bantimurung
Bulusaraung terletak di wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene
Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis kawasan ini
terletak antara 119 34' 17" 119 55' 13" Bujur Timur dan antara 4 42' 49"
5 06' 42" Lintang Selatan. Secara kewilayahan, batas-batas TN Bantimurung
Bulusaraung adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Barru dan Bone;
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten Bone;
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros;
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep.

Kawasan TN Bantimurung Bulusaraung berbatasan atau berhimpitan


dengan Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Bone. Kawasan
taman nasional ini terletak di dalam 10 wilayah administrasi kecamatan dan 45
wilayah administrasi kelurahan/ desa. Wilayah-wilayah administrasi inilah yang
merupakan daerah penyangga kawasan TN Bantimurung Bulusaraung.

11 Deskripsi Taman Nasional


Profil Daerah Penyangga TN Bantimurung Bulusaraung

Tabel 1 : Daerah Penyangga TN Bantimurung Bulusaraung


Kabupaten Kecamatan Desa/ Kelurahan

I. Maros A. Bantimurung 1. Kalabbirang


2. Leang-Leang
B. Simbang 3. Jenetaesa
4. Samangki
5. Sambueja
C. Cenrana 6. Laiya
7. Lebbotengae
8. Labuaja
9. Baji Pamai
10. Rompe Gading
11. Limampoccoe
D. Tompobulu 12. Toddolimae
13. Bonto Manai
14. Bonto Matinggi
15. Bonto Somba
E. Camba 16. Pattanyamang
17. Pattiro Deceng
18. Cempaniga
19. Timpuseng
20. Mario Pulana
F. Mallawa 21. Wanua Waru
22. Gattareng Matinggi
23. Batu Putih
24. Uludaya
25. Samaenre
26. Bentenge
27. Barugae
II. Pangkep G. Balocci 28. Kassi
29. Balocci Baru
30. Balleangin
31. Tompobulu
32. Tonasa
H. Minasa Tene 33. Kalabbirang
34. Minasa Tene
35. Bontokio
36. Kabba
37. Panaikang
38. Bontoa
I. Tondong Tallasa 39. Malaka
40. Bantimurung
41. Tondong Kura
42. Bonto Birao
43. Lanne
III. Bone J. Tellu Limpoe 44. Bonto Masunggu
45. Polewali

Sumber: Data Primer setelah diolah (2012)

Deskripsi Taman Nasional 12


Profil Daerah Penyangga TN Bantimurung Bulusaraung

Berdasarkan perhitungan data curah hujan yang dikumpulkan dari


beberapa stasiun yang ada di sekitar kawasan taman nasional, ditemukan bahwa
pada wilayah bagian selatan terutama bagian yang berdekatan dengan ibukota
Kabupaten Maros, seperti Bantimurung termasuk beriklim tipe D (Schmidt dan
Ferguson), sedangkan Bengo-Bengo, Karaenta, Biseang Labboro, Tonasa dan
Minasa Te'ne beriklim tipe C, sementara pada bagian utara, terutama wilayah
Kecamatan Camba dan Mallawa termasuk kedalam tipe B.
Peta curah hujan TN Bantimurung Bulusaraung memperlihatkan adanya
empat zona curah hujan, yakni curah hujan 2.250 mm, 2.750 mm, 3.250 mm
dan 3.750 mm. Peta curah hujan memperlihatkan bahwa curah hujan 2.250 mm
sampai 2.750 mm berada di bagian timur kawasan taman nasional, dimana di
wilayah inilah masyarakat banyak memanfaatkan kawasan hutan. Sebaliknya,
curah hujan yang lebih tinggi yakni 3.250 mm sampai 3.750 mm, berada di
bagian barat taman nasional dimana sekitar 75 % wilayah cakupannya
merupakan arael karst. Di wilayah ini, pemanfaatan lahan oleh masyarakat
dalam kawasan hutan relatif kecil karena kondisi lahan yang tidak
memungkinkan. Sisanya 25 % yang berupa ekosistem non karst dan menyebar
di bagian selatan, juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan
pertanian. Tingginya pemanfaatan lahan areal taman nasional oleh masyarakat
pada wilayah yang mempunyai curah hujan tinggi, adalah merupakan ancaman
terhadap sumberdaya lahan di wilayah taman nasional, terutama kaitannya
dengan erosi tanah.
Kawasan TN Bantimurung Bulusaraung merupakan bagian dari hulu
beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan. Sisi sebelah timur antara lain
merupakan hulu Sungai Walanae yang merupakan salah satu sungai yang
mempengaruhi sistem Danau Tempe. Pada bagian barat terdapat Sungai
Pangkep dan Sungai Bone di Kabupaten Pangkep, Sungai Pute dan Sungai
Bantimurung di Kabupaten Maros. Sungai Bantimurung merupakan sumber
pengairan persawahan di Kabupaten Maros serta dimanfaatkan untuk
pemenuhan air bersih bagi masyarakat Kota Maros. Disamping itu, juga
ditemukan beberapa mata air dan sungai-sungai kecil, terutama di wilayah karst,
serta aliran air bawah tanah/danau bawah tanah pada sistem perguaan. Mata air
berdebit besar dijumpai pada batu gamping pejal dengan debit 50 - 250 l/dtk,
sedang mata air yang muncul di batuan sedimen terlipat dan batuan gunung api
umumnya kurang dari 10 l/dtk. Fluktuasi debit air sungai-sungai besar dari
dalam kawasan TN Bantimurung Bulusaraung sampai saat ini masih relatif stabil
sepanjang tahun, namun berbeda dengan debit pada sungai di permukaan karst.
Formasi geologi kawasan TN Bantimurung Bulusaraung dikelompokkan
menurut jenis batuan, yang didasarkan pada ciri-ciri litologi dan dominasi dari
setiap satuan batuan, dengan uraian sebagai berikut:
Formasi Balang Baru, terdiri dari perselingan serpih dengan batu pasir, batu
lanau dan batu lempung, dengan struktur batuan berlapis, menyerpih dan
turbidit. Bentuk formasi ini menyebar di bagian utara yaitu di Kecamatan
Mallawa. Satuan batuan ini adalah batuan sedimen.
Batuan Gunung Api Terpropilitkan, terdiri dari breksi dan lava, menyebar pada
bagian selatan, yaitu Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros. Lava umumnya
bersifat andesitik, sebagian trakit dan basal.

13 Deskripsi Taman Nasional


Profil Daerah Penyangga TN Bantimurung Bulusaraung

Formasi Mallawa, terdiri atas batu pasir kuarsa, batu lanau, batu lempung dan
konglomerat, dengan sisipan atau lensa batubara. Penyebarannya berada di
Kecamatan Watang Mallawa, di daerah Ammasangeng, dan Kecamatan
Bantimurung. Batu pasir kuarsa umumnya bersifat rapuh dan kurang
kompak, berlapis tipis. Batubara pada satuan batuan ini mempunyai
ketebalan antara 0,5 - 1,5 meter.
Formasi Tonasa, terdiri dari batu gamping pejal, bioklastik, kalkarenit, koral
dan kalsirudit bersisik. Di wilayah Kecamatan Watang Mallawa, batu gamping
formasi tonasa ditemukan mengandung mineral glauconit dan napal dengan
sisipan breksi batu gamping.
Formasi Camba, terdiri dari perselingan batuan sedimen laut dan batuan
gunung api, yaitu batu pasir tufaan berselingan dengan tufa, batu pasir, batu
lanau dan batu lempung. Di beberapa tempat dijumpai sisipan napal, batu
gamping dan batu bara.
Batuan Gunung Api Formasi Camba, terdiri dari breksi, lava dan konglomerat.
Breksi dan konglomerat terdiri dari pragment andesit dan basal, matriks dan
semen tufa halus hingga pasiran.
Batuan Gunungapi Baturape-Cindako, terdiri dari lava dan breksi gunung api,
bersisipan tufa dan konglomerat. Breksi gunung api umumnya berkomponen
kasar berupa basal dan sedikit andesit dengan ukuran fragment 15-60 cm,
tersemen oleh tufa berbutir kasar hingga lapilli dan banyak mengandung
firoksin.
Batuan Terobosan, terdiri dari granodiorit, andesit, diorit, trakit dan basal
piroksin. Batuan ini menyebar secara parsial dan menerobos batuan yang
lebih tua di sekitarnya berupa retas, sill dan stok.
Endapan aluvium, terdiri dari endapan aluvium sungai. Endapan aluvium
sungai berupa bongkah, kerakal, kerikil, pasir dan lempung.

Ada dua jenis tanah yang umum ditemukan pada kawasan karst Maros-
Pangkep, dimana keduanya kaya akan Calsium dan Magnesium. Tanah jenis
Rendolls mempunyai warna kehitaman karena tingginya kandungan bahan
organik, ditemukan pada dasar lembah lereng yang landai, terutama di bagian
selatan dari Karst Maros. Eutropepts merupakan jenis tanah turunan dari
inceptisol, umumnya ditemukan pada daerah yang mempunyai kelerengan yang
terjal dan puncak bukit kapur. Tanah ini sangat dangkal dan berwarna terang.
Sebagaimana pada umumnya kawasan dengan landsekap karst, bentuk
permukaan kawasan TN Bantimurung Bulusaraung bervariasi dari datar,
bergelombang, berbukit sampai dengan bergunung. Bagian kawasan yang
bergunung terletak pada sisi timur laut kawasan atau terletak pada blok
Pegunungan Bulusaraung di Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros dan Gunung
Bulusaraung sendiri di Kecamatan Balocci Kabupaten Pangkep. Puncak tertinggi
terletak pada ketinggian 1.565 m.dpl di sebelah utara Pegunungan Bulusaraung.
Puncak Gunung Bulusaraung sendiri terletak pada ketinggian 1.353 m.dpl. Sisi
ini dicirikan oleh kenampakan topografi relief tinggi, bentuk lereng yang terjal
dan tekstur topografi yang kasar.

Deskripsi Taman Nasional 14

Anda mungkin juga menyukai