Anda di halaman 1dari 3

Winter

Layar handphone nokia N15 ku masih menyala. Pesan singkat itu masih
belum ku keluarkan ke menu awal. Mataku mulai berkaca-kaca, hawa dingin
di luar sana menambah beku di hatiku.

24 jam yang lalu kami masih baik-baik saja, percakapan masih mengalir
hangat dari pesan yang terkirim lewat surel selepas shalat isya waktu
Istanbul.

Apa kau sehat di Istanbul Raina? Notifikasi pesan darinya menghiasi layar
handphone tua milikku.

Yeah, Im oke here. Kamu gimana di sana? Aku membalas dengan cepat
pesan singkat darinya.

Sorry, sudah hampir 5 bulan ini nggak berkabar. Im busy Rai. Iya kembali
membalas pesanku.

Ah nggak apa. O iya, lusa aku pulang. Urusan di sini sudah selesai. Aku
tersenyum meletakan handphoneku di atas meja.

Ku tunggu bermenit-menit belum juga ada balasan hingga aku terlelap di


atas sajadah dan baru tersadar mendekati subuh. Usai shalat subuh aku
buru-buru meraih handphone yang tergeletak di atas meja, aku sudah tak
sabar ingin membaca pesan darinya.

Raina, aku minta maaf. Hanya itu balasan singkat dari orang di seberang
sana. Tanganku dengan cepat mengetik huruf-huruf di keybord handphoneku

Maaf buat apa? Hey bukankah kita memang ingin bertemu?

Raina, sorry. Lagi-lagi balasan singkat itu menghiasi kotak pesan yang
masuk.

Ya tapi maaf untuk apa? Aku lagi-lagi dibuatnya bingung

Aku harus bilang ini Rai. Minggu depan aku akan menikah dengan Rindu.
Maafkan aku ya Rai undangannya lewat email begini tapi Rindu sudah
pernah bilangkan? Nanti datang ya, sekalian ketemu for the first time. Aku
tunggu loh Rai.
Aku tak tahu harus membalas apalagi untuk pernyataan yang baru saja aku
baca. Rindu?Tidak pernah Rindu menyinggung masalah pernikahan, sama
sekali. Bahkan saat pertama kali datang ke Istanbul, Rindu yang
mengenalkan aku pada laki-laki yang baru saja menggundangku ke acara
pernikahannya. Rindu yang selalu aktif menanyakan perkembangan
komunikasi kami yang hanya sebatas pesan-pesan email, Rindu juga yang
selalu semangat memintaku untuk mendoakan laki-laki itu. Tapi kenapa
Rindu yang justru bersanding dengannya bukan aku? Kenapa Rindu tega
sekali mencabik-cabik harapanku. Kenapa laki-laki itu pernah faham dengan
semua bahasa tulisanku.

Air mataku mengalir deras, tumpah ruah membasahi mukenaku. Ada sesak
yang merambah di dada. Ada banyak pertanyaan yang muncul di pikiranku,
aku lelah menjawabnya sendiri.

***

Dingin di luar sana makin menyergap masuk, padahal aku sudah menyetel
penghangat ruangan sedemikian rupa. Tetap saja dingin ini begitu menusuk.
Kurapatkan switer abu-abu tua ditemanai segelas latte hangat pagi ini aku
duduk di atas kursi kecil di dekat tempat tidur sambil memandang ke arah
luar dari jendela kamar.

Raina. Suara Salma mengangetkanku. Sejak percakapan itu, orang


pertama yang kuhubungi adalah Salma. Teman satu flat sekaligus teman
sekelas ku ini selalu menjadi tempatku bercerita selama di Istanbul.

Aku tersenyum, memintanya masuk.

Matamu lucu sekali. Iya tertawa melihatku.

Ah kenapa dia tertawa, harusnya dia prihatin dengan kondisi hatiku. Aku
bergumam.

Raina, apa yang kau sedihkan? Bukankah kalian belum memulai apapun?
Salma menatapku yang masih terdiam memegang segelas latte hangat.

Rai, kau termakan harapanmu sendiri selama ini. Kali ini ia memegang
tanganku. Air mataku kembali tumpah tak beraturan.

Tidak ada yang salah Rai, hanya saja hatimu terbungkus oleh banyak mimpi
tentangnya. Raina, cinta seharusnya tak begitu. Cinta tak seharunya sekedar
berharap dan memberi harapan. Mungkin kau hanya sebatas mengagumi.
Aku terdiam. Mungkin Salma benar. Cinta tak seharusnya begini. Menyiksa
rasa yang terperangkap.

Raina, hati juga perlu nutrisi agar kuat. Kesakitan ini yang akan membuat
hatimu kuat. Kau harus tahu Raina, bahwa berharap lebih pada selain Sang
Pencipta hanya akan meninggalkan luka.

Kau, Rindu dan dia tidak ada yang salah Rai. Percayalah ini adalah cara agar
kita mampu melihat hidup ke depannya. Rai, percayalah semua sudah Tuhan
atur. Tak perlu mengutuk diri, mengutuk yang telah terjadi. Salma
memelukku erat, menghapus sisa-sisa air mataku.

Aku tahu selama ini aku salah. Harapanku tentangnya begitu besar, aku lupa
kepada siapa aku harus berharap sesungguhnya. Selama ini aku termakan
tulisan-tulisannya, aku jatuh cinta dengan kalimat-kalimatnya, tapi nyatanya
ia tak begitu padaku. Biarlah ku terbangkan rasa ini hingga hilang
mengudara layaknya tulisan-tulisannya yang pelan-pelan ku delet dari
memoryku.

Seperti kisahku, musim dingin ini akan segera berlalu, berganti musim semi.

Anda mungkin juga menyukai