Diagnosis Terapi Komplikasi
Diagnosis Terapi Komplikasi
Diagnosis tuberkulosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis,
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan radiologis.
1. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada
atau tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama
adalah batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.
Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak
nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat
badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam
walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan (Depkes
RI, 2006).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada
pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimtomatik. Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai
pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan
terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak,
auskultasi memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama
sekali. Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit
baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada
pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).
3. Pemeriksaan radiologis
1
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini
lebih memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB
milier yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi
lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus
bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat
lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya
berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak
tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes RI,
2006).
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat
dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas
dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus
maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat
berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh
lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan
bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis
fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan emfisema (Bahar,
2007).
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen
dada di bawah ini :
(Bahar, 2007)
Gambar 2.2
4. Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan
dengan ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara
mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-
Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan
pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan
spesimen SPS diulang. 1). Kalau hasil rontgen mendukung
tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB
BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka
pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik
spektrum luas (misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama
1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis
mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. 1). Kalau hasil
SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA positif.
2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen
dada, untuk mendukung diagnosis TB.
Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai
penderita TB BTA negatif rontgen positif
Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut
bukan TB.
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2016),
sebagaimana bisa dilihat di bawah ini
Terduga TB
Pasien baru, tidak ada riwwayat pengobatan TB, tidak Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien degan
ada riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien riwayat kontak erat dengan TB RO, pasien dengan
dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya HIV(+)
Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskopik atau Tes Cepat Molekuler (TCM)
Foto t
Foto Toraks Terapi AB non
(mengik
OAT Ulangi px TB RR yang
TCM
TB Terkonfirmasi denga
Sensitive pada
pemer
Gambaran Tidak mendukung Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan mikrosko
mendukung TB TB; bukan TB; Cari pemeriksaan Biakan dan uji
Pengobatan TB lini 1 (-
kemungkinan Kepekaan OAT lini 1 dan lini 2
penyebab penyakit
lain
Bukan TB;
cari
kemungkinan
Lanjutkan Pengobatan TB RO dengan
penyebab
Pengobatan panduan baru
penyakit lain
TB RO
TB terkonfirmasi klinis
Pengobatan TB lini 1
Gambar 2
Alur Diagnosis TB paru
Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991
memberikan kriteria pada pasien TB paru menjadi : a). Pasien
dengan sputum BTA positif adalah pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang
kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif
disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif
/1 sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif. b). Pasien
dengan sputum BTA negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali,
tetapi pada biakannya positif (Bahar, 2007).
b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah
leukosit yang sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke
kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah
(LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah
leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED
mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga
didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom
normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah
menurun (Depkes RI, 2006).
c. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita).
Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin hanya untuk menyatakan
apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi
Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen lainnya
(Depkes RI, 2006).
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc
tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) secara intrakutan.
Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-
72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Cara
penyuntikan tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di bawah ini
(Bahar, 2007):
(Bahar, 2007)
Gambar 3
B. Pengobatan TB
1. Tujuan pengobatan TB adalah
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualita
hidup
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d. Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat (Kemenkes RI,
2014)
2. Prinsip Pengobatan TB
Obat Anto Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya
paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip :
- Pengobatan diberikan dalam padua OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
- Diberikan dalam dosis yang tepat
- Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(Pengawas Minum Obat) sampai selesai pengobatan
- Pengobatan diberikan dalam jagka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta lanjutan untuk mencegah kekambuhan (Kemenkes
RI, 2014)
3. Tahapan Pengobatan TB
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan dengan maksud:
- Tahap awal : Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan
pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan
jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir
pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten
sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap
awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada
umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya
penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan
selama 2 minggu.
- Tahap lanjutan : pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang
penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dala
tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2014).
4. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Paket Kompipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT
KDT sebelumnya.
Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDY). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuakan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien.
Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk (1) pasien dalam satu
(1) masa pengobatan.
OAT disediakan dalam bentuk KDT mempunyai beberapa keuntungan
dalam pengobatan TB yaitu :
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan risiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan
penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
(Kemenkes RI, 2014).
Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-1000.
Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.