Anda di halaman 1dari 24

BAB I.

PERTAMBANGAN RAKYAT di BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan
Oleh: Iskandar Zulkarnain

Latar Belakang

September 2008, pada awal bulan Ramadhan, masyarakat di sekitar aliran sungai Tahi Ite,
Kecamatan Rarowatu, sekitar 30km dari Kasipute (Rumbia) ibukota Kabupaten Bombana,
Provinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 1) dikejutkan oleh berita ditemukannya emas oleh
seorang warga masyarakat lokal yang mendulang di sungai itu. Berita itu menyebar dengan
cepat bagaikan virus dan menimbulkan medan magnet yang sangat kuat yang menyebabkan
puluhan ribu orang dari berbagai daerah di tanah air mengalir ke Bombana untuk ikut mengais
rejeki dengan melakukan pendulangan. Penemuan ini direspon oleh pemerintah kabupaten
Bombana dengan statement pro rakyat yang dinyatakan secara eksplisit oleh Bupati Bombana
bahwa semua itu adalah berkah untuk rakyat Bombana dan oleh karena itu pertambangan
emas ini akan diprioritaskan sebagai pertambangan rakyat. Inilah awal munculnya berbagai
persoalan yang harus dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat Bombana, baik persoalan
lingkungan yang serius maupun persoalan sosial, ekonomi dan budaya akibat strategi
pemerintah yang kurang efektif dalam menangani persoalan rakyat yang menambang tersebut.

Kabupaten Bombana adalah kabupaten baru yang merupakan pemekaran dari


kabupaten Buton yang dibentuk berdasarkan UU No. 29 tahun 2003 tertanggal 18 Desember
2003. Secara geografis, kabupaten ini terletak di jazirah paling selatan dari semenanjung
Sulawesi Tenggara dan dapat dicapai dengan mobil dari Kendari dengan waktu tempuh sekitar
4 jam. Secara geologi, sebagian besar kawasan ini ditutupi oleh batuan malihan atau
metamorfosa yang pembentukannya tidak terkait dengan proses mineralisasi atau
pengendapan mineral emas. Oleh karena itu, fenomena ditemukannya emas di wilayah ini
merupakan suatu hal yang tidak lazim dan memerlukan penjelasan geologis yang khusus.

1
Gambar 1. Peta geologi daerah Bombana yang menunjukkan posisi geografis dan batuan penyusunnya
(warna merah tua adalah batuan metamorfosa).

Tersebarnya berita penemuan emas di Bombana1 telah menyebabkan sejumlah


persoalan bagi pemerintah dan masyarakat setempat. Bagi masyarakat lokal, besarnya
penghasilan yang dapat diperoleh dari kegiatan menambang emas tersebut adalah sebuah
harapan untuk mengubah nasib mereka dan keluar dari persoalan kemiskinan yang membelit.
Bukti yang terlihat dari besarnya hasil pendulangan yang diperoleh setiap hari 2 merupakan
alasan utama yang menyebabkan banyak diantara warga masyarakat lokal meninggalkan
profesinya. Sebagian besar dari mereka adalah petani yang memang tidak dapat melakukan
kegiatan pertanian sepanjang tahun, baik karena ketiadaan irigasi untuk persawahan sehingga
mereka sangat tergantung pada musim hujan, maupun karena kebun yang mereka miliki
(jambu mente, coklat) tidak terlalu memerlukan perawatan hingga datangnya masa panen.
Alih profesi dari kalangan petani tersebut tidak membawa dampak yang signifikan bagi
pemenuhan kebutuhan masyarakat karena mereka tidak terkait langsung dengan aktivitas

1
Emas di Bombana dikategorikan sebagai endapan emas sekunder atau letakan (placer) yang terdapat di dalam
endapan sungai purba yang biasanya terkonsentrasi pada bagian-bagian tertentu alur sungai purba tersebut.
Dengan demikian penggalian yang dilakukan oleh masyarakat selalu diarahkan untuk mencari pasir endapan
sungai purba yang biasanya terdapat pada kedalaman yang relatif dangkal (3-6 meter).
2
Pada awal ditemukannya emas di Bombana, para pendulang di Sungai Tahi Ite dapat memperoleh emas rata-
rata antara 10 hingga 50 gram, namun setelah semakin banyaknya penambang yang ikut mendulang, penghasilan
mereka menurun hingga rata-rata 1 hingga 5 gram. Ketika kemudian, terjadi penggunaan mesin dalam proses
penggalian maka pendapatan mereka yang mendulang semakin kecil hingga rata-rata kurang dari 0.5 gram.

2
publik. Namun demikian, alih profesi akibat gemerlapnya hasil pertambangan tersebut juga
terjadi pada tenaga kerja yang langsung terkait dengan pemenuhan kebutuhan umum, antara
lain seperti buruh, nelayan, pelaku transportasi dan pedagang sembako. Beralihnya mereka
semua dari profesi aslinya telah menyebabkan kelangkaan tenaga kerja buruh sehingga banyak
kegiatan pembangunan yang terbengkalai. Ikan menjadi langka di pasar karena nelayan tidak
lagi melaut melainkan berduyun-duyun ke tambang, transportasi laut terganggu karena
pemilik kapal menjual kapalnya dan membawa awak kapalnya untuk menambang dan
sebagian pedagang juga mengalihkan perhatiannya ke lokasi penambangan. Semua
kelangkaan tersebut berujung pada naiknya harga-harga sembako di kabupaten Bombana
sehingga menambah beban hidup masyarakat. Kondisi ini menyebabkan masyarakat lokal
yang tadinya tidak tertarik untuk ikut melakukan penambangan menjadi tidak memiliki pilihan
lain selain ikut terlibat dalam aktivitas tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Semua masyarakat lokal tersebut di atas pada dasarnya bukan penambang dan mereka
belajar bagaimana caranya menambang dari para pendatang yang pada umumnya adalah
penambang sejati. Bagi para pendatang ini, menambang bukan hanya lagi sebagai sebuah
profesi, tetapi sudah menjadi hidup mereka, yaitu hidup yang mereka jalani dari satu tempat ke
tempat lain untuk melakukan penambangan.

Persoalan Pada Kegiatan Rakyat yang Menambang

Pertambangan Rakyat (PR) dalam pengertian yang sesungguhnya adalah sebuah fenomena
yang menggambarkan aktivitas rakyat yang legal untuk mendapatkan penghasilan dengan
melakukan penambangan dengan peralatan yang sederhana, terutama untuk komoditi yang
mudah diperoleh atau dieksploitasi, tetapi dapat mendatangkan hasil yang besar dalam waktu
singkat. Namun dalam pengertian yang berkembang secara umum di masyarakat, telah terjadi
distorsi makna dalam terminologi ini yang menganggap semua kegiatan penambangan yang
dilakukan oleh warga masyarakat tanpa melihat sifatnya, langsung digolongkan sebagai
pertambangan rakyat. Oleh karena itu, kegiatan masyarakat yang menambang saat ini yang
umumnya masih bersifat ilegal, tidak dapat disebut atau disamakan dengan PR. Walaupun
demikian, kegiatan tersebut di tengah masyarakat tetap saja dikenal dengan sebutan kegiatan
pertambangan rakyat.

3
Kegiatan masyarakat yang menambang adalah fenomena yang dapat ditemui hampir di
seluruh wilayah tanah air, terutama di daerah tempat beroperasinya perusahaan tambang
Belanda pada masa lalu, atau bekas wilayah konsesi perusahaan pertambangan yang sudah
ditinggalkan pada era setelah kemerdekaan. Lokasi tempat beroperasinya perusahaan
pertambangan era pasca kemerdekaan tersebut dapat berada di wilayah yang belum pernah di
tambangseperti di Hampalit, Kalimantan Tengah,3 tetapi dapat juga berlokasi di bekas
tambang Belanda, seperti di Lebong Tandai, Bengkulu.4Tetap berlangsungnya kegiatan
masyarakat yang menambang ini secara menerus dan cenderung turun temurun, seringkali
disebabkan oleh sifat kegiatan tersebut yang dapat menghasilkan uang secara cepat (instant
money) dan kadangkala dalam jumlah yang cukup signifikan.Sementara itu, kegiatan tersebut
tidak memerlukan keahlian yang tinggi tetapi cukup hanya bermodalkan tenaga dan
keberanian, sehingga menjadi salah satu pilihan yang sangat menarik untuk dijadikan mata
pencaharian, terutama bagi mereka yang berpendidikan terbatas tetapi memiliki kondisi fisik
yang cukup kuat.

Walaupun kegiatan masyarakat yang menambang ini, pada satu sisi telah menimbulkan
banyak kerugian, baik nyawa, ekonomi serta lingkungan, tetapi pada sisi lain ternyata juga
belum mampu menyejahterakan masyarakat penambang secara signifikan. Hal ini terlihat di
hampir semua lokasi tempat masyarakat melakukan penambangan, mulai dari Sumatera di
barat hingga Papua di timur. Memang terdapat sejumlah kecil penambang yang menunjukkan
kenaikan tingkat kesejahteraan yang cukup mencolok karena lobang galian atau hasil yang
mereka peroleh pada suatu ketika (dalam rentang waktu yang pendek atau hanya beberapa
minggu waktu produksi) sangat besar, tetapi kemudian masa panen tersebut akan berakhir dan
hasil yang sudah diperoleh tersebut perlahan-lahan akan kembali habis dipergunakan untuk
memodali usaha mereka menggali pada lobang-lobang yang baru. Siklus ini terus terjadi dan
berlangsung karena masyarakat penambang tersebut pada umumnya tidak memiliki keahlian
dan kemampuan dalam melakukan eksplorasi sehingga usaha mereka yang menyedot biaya
besar tersebut hanya dilandaskan pada insting dan pengalaman belaka yang pada ujungnya
menghabiskan modal ekonomi mereka.

3
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Peran dan Dinamika Pertambangan Rakyat di Indonesia, Program Kompetitif
LIPI, Jakarta, 2007.
4
Ibid.

4
Kegiatan penuh spekulasi itu ternyata tetap dilakonkan oleh para penambang sejak
ratusan tahun yang lalu karena harapan yang selalu mereka bangun dalam diri mereka, bahwa
suatu saat mereka akan dapat menemukan hasil yang akan membuat mereka memiliki banyak
uang. Kondisi tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa bagi para penambang kegiatan
menambang tersebut bukan lagi hanya sekedar mencari penghidupan secara logis, tetapi sudah
menjadi kehidupan bagi mereka karena disana ada harapan yang tidak pernah padam walau
seringkali apa yang mereka lakukan itu sudah tidak lagi dapat dianggap sebagai sesuatu yang
rasional.5

Kondisi ekonomi penambang yang sangat terbatas, sebenarnya merupakan faktor yang
dapat menghentikan kegiatan tersebut, karena dengan sifat kegiatan yang spekulatif itu, maka
sudah bisa dipastikan modal mereka akan segera habis sebelum memperoleh hasil. Namun
6
adanya aktor lain yang juga memiliki cara pandang yang mirip dengan para penambang
tersebut dan mereka memiliki kemampuan ekonomi yang kuat, menyebabkan kegiatan ini
terus berlanjut karena terjadinya suatu simbiose mutualistis antara keduanya. Kerjasama antara
kedua pihak ini, yakni penambang dan pemodal dapat dijumpai di setiap lokasi penambangan
masyarakat di seluruh Indonesia. Sulit untuk dikatakan siapa yang tergantung pada siapa,
karena pada satu sisi, jelas para penambang tergantung pada pemodal untuk dapat melanjutkan
usaha mereka, namun di sisi lain para pemodal juga tergantung pada penambang karena
mereka mengharapkan hasil dari kegiatan penambangan tersebut. Tidak jarang para pemodal
ini kehilangan uang modal mereka dalam jumlah besar karena kegiatan penambangan tersebut
tidak berhasil, sementara itu mereka tidak dapat menuntut kerugian tersebut dari para
penambang yang nyata-nyata tidak memiliki uang atau modal. Oleh karena itu, kegiatan
penambangan tersebut hanya akan dapat meningkatkan kesejahteraan para pelakunya bila
pemerintah setempat berupaya mengatur kegiatan tersebut sebagai sebuah kebijakan untuk

5
Apa yang dilakukan para penambang tersebut nyaris dapat dikatakan tidak rasional karena data observasi di
lapangan menunjukkan bahwa dalam rentang waktu penambangan yang bertahun-tahun, mereka memperoleh
hasil yang banyak hanya dalam waktu tidak lebih dari dua bulan. Seringkali dalam setahun tidak sekalipun
mereka memperoleh hasil yang memadai, sementara biaya yang harus mereka keluarkan semakin mahal dengan
bertambah dalamnya lobang galian.
6
Cara pandang para penambang dengan pemodal bisa dikatakan sama karena mereka sama-sama menyimpan
harapan yang besar untuk memperoleh hasil dan sangat berani berspekulasi. Sangat sering terjadi penambang
dan pemodal menghabiskan modal hingga ratusan juta rupiah tanpa hasil tetapi mereka tidak mengalami depresi
seperti layaknya masyarakat umum.

5
memberdayakan masyarakatnya. Namun hingga saat ini pemerintah belum memberikan
perhatian yang cukup memadai terhadap persoalan ini walau kasus ini dapat ditemui hampir di
seluruh wilayah tanah air.

Terminologi Pertambangan Rakyat (PR)

Terminologi PR hanya dikenal di Indonesia dan tidak digunakan dalam lingkup regional
apalagi global. Di dunia internasional, kegiatan pertambangan rakyat diekspresikan dengan
sebutan artisanal (pendulangan) dan atau Small Scale Mining (SSM atau Penambangan Skala
Kecil/PSK). Kedua peristilahan tersebut pada dasarnya juga tidak berada pada level atau
hirarki pengertian yang sama, karena artisanal hanya menunjukkan sebuah kegiatan secara
deskriptif yakni suatu aktivitas pendulangan tanpa adanya gambaran informasi lainnya tentang
siapa yang melakukannya, bagaimana dan dimana melakukannya, prosedur dan peralatan yang
digunakan, apalagi tentang organisasi dan mekanisme yang mengatur kegiatan tersebut.
Sementara itu, istilah SSM atau PSK memiliki pengertian yang melekat padanya sebagai
sebuah kegiatan penambangan yang memenuhi kaidah-kaidah penambangan yang baik dan
benar tetapi memiliki skala yang terbatas atau kecil, baik dalam modal yang dimiliki, jumlah
tenaga kerja yang terlibat maupun jumlah produksi yang dihasilkan. Kegiatan SSM atau PSK
ini diatur dengan jelas dan rinci dalam peraturan perundang-undangan di negara-negara lain,
seperti di Zimbabwe, Afrika Selatan, Bolivia dan Filipina. 7 Sedangkan di Indonesia, aturan-
aturan yang diterbitkan tentang kegiatan PSK tersebut masih belum ada, walaupun istilah PSK
tersebut telah diperkenalkan sejak tahun 1986 namun belum diakomodir secara spesifik dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah diterbitkan hingga saat ini.8

Terminologi PR ini juga sesungguhnya keluar dari aturan umum tata bahasa Indonesia
karena bila dianalogikan dengan kata pertambangan emas yang berarti aktivitas penambangan
untuk memperoleh emas, maka pertambangan rakyat bukan berarti aktivitas penambangan
untuk memperoleh rakyat tetapi bermakna aktivitas penambangan yang dilakukan oleh rakyat.
Dalam hal ini, terminologi PR tersebut merupakan sebuah idiom, atau sebuah terminologi
yang keluar dari ketentuan bahasa yang umum.

7
Lihat Peran dan Dinamika Pertambangan Rakyat di Zimbabwe, Afrika Selatan, Bolivia dan Filipinan pada
Iskandar Zulkarnain dkk., Peran dan Dinamika Pertambangan Rakyat di Indonesia, Jakarta: LIPI, 2007
8
Ibid.

6
Di kalangan masyarakat luas, seringkali terjadi pemahaman yang bias tentang PR.
Pertambangan rakyat, seringkali disamakan dengan kegiatan rakyat yang menambang padahal
hampir seluruh kegiatan tersebut berstatus ilegal, sehingga lebih sering dikenal dengan sebutan
Penambangan Tanpa Ijin (PETI)9. Namun kemudian, terjadi distorsi pengertian dalam
terminologi PETI itu sendiri ketika istilah tersebut lebih ditekankan pada aspek ilegalnya tanpa
melihat siapa pelakunya, apa teknologi yang dipergunakan dan berapa besarnya modal yang
ditanamkan. Akibatnya, istilah PETI tidak lagi identik dengan kegiatan masyarakat yang
menambang tanpa izin, tetapi digunakan untuk semua kegiatan penambangan yang dilakukan
tanpa izin oleh siapapun.10

Pertambangan Rakyat yang sebenarnya, seperti yang tercantum dalam UU No.11 tahun
1967, didefinisikan sebagai suatu kegiatan penggalian atau penambangan yang dilakukan oleh
masyarakat dengan menggunakan peralatan atau teknologi sederhana untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Lebih tepatnya pada pasal 2 UU tersebut di atas disebutkan:

yang dimaksud dengan Pertambangan Rakyat adalah suatu usaha pertambangan bahan-bahan
galian dari semua golongan a,b,c ... yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan
atau secara gotong royong dengan alat sederhana untuk pencaharian sendiri.Dengan demikian
kegiatan PETI yang menggunakan teknologi tinggi dengan melibatkan modal yang besar dan
bertujuan komersil tidak termasuk ke dalam batasan kegiatan pertambangan rakyat.

Terlepas dari berbagai hal di atas, terminologi PR juga mengundang perdebatan dalam
konteks penggunaan kata pertambangan. Menurut kalangan atau masyarakat penambangan
yang mewakili perusahaan-perusahaan pertambangan, kegiatan pertambangan bermakna
sebagai suatu rangkaian proses penambangan yang mencakup kegiatan penggalian komoditi
tambang dari dalam bumi, pengangkutan, pemurnian hingga penjualan produk. Dengan

9 Istilah PETI pada awalnya ditujukan hanya kepada para penambang yang melakukan penambangan komoditi
emas, dan karena status mereka yang umumnya illegal maka disebut Penambang Emas Tanpa Ijin atau PETI.
Namun kemudian istilah PETI dipakai untuk seluruh penambangan tanpa ijin dengan tidak melihat lagi kepada
komoditi yang ditambang.
10
Sebagai ilustrasi, pada era sebelum tahun 2006 kegiatan PETI sangat marak di kawasan penambangan batubara
di Kalimantan Selatan. PETI dalam kasus ini dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yakni: (i) PETI berupa
perusahaan yang melakukan penambangan tetapi tidak memiliki Kuasa Penambangan (KP); (ii) PETI berupa
perusahaan yang memiliki KP tetapi menambang di luar wilayah KP nya dan (iii) Masyarakat pemilik lahan yang
menambang secara illegal dengan bekerjasama dengan pemodal.

7
demikian, kegiatan pertambangan rakyat yang hanya berfokus pada kegiatan penggalian
belum dapat disebut sebagai suatu kegiatan penambangan.

Sementara itu, UU No.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara menegaskan bahwa
istilah PR tidak hanya menyangkut pertambangan logam saja, tetapi juga bahan tambang non-
logam dan batuan,11 namun UU tersebut tidak memuat batasan atau definisi PR. Hal ini dapat
dimengerti karena terminologi PR yang diacu oleh UU ini didasarkan pada pelakunya, yakni
masyarakat yang umumnya masyarakat lokal atau rakyat setempat dan skalanya yang kecil.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertambangan rakyat yang dimaksud oleh UU
tersebut dapat disamakan dengan Pertambangan Skala Kecil (TSK) yang konsepnya sudah
dikenal sejak tahun 1986. Dalam konteks ini, usaha pertambangan tersebut umumnya
dijalankan oleh suatu badan usaha yang berbadan hukum dengan modal tertentu dan umumnya
bertujuan komersil. Tetapi diperbolehkannya Izin Pertambangan Rakyat (IPR) oleh UU ini
diberikan kepada perseorangan dan bukan hanya kepada suatu badan usaha membuka peluang
untuk tidak tercapainya suatu usaha pertambangan yang baik dan benar berdasarkan konsep
good mining practice. Hal itu disebabkan lebih sulitnya menuntut pertanggungjawaban dari
perseorangan daripada perusahaan dalam kewajiban, baik kewajiban ekonomi (pajak, royalti
dan sebagainya) maupun kewajiban reklamasi. Dengan demikian, UU ini dapat dikatakan
belum mengatur sepenuhnya atau pengaturannya belum berdasarkan persoalan riil masyarakat
yang menambang walaupun telah menggunakan terminologi Wilayah Pertambangan Rakyat
(WPR) untuk wilayah pertambangannya dan menggunakan Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
untuk perizinannya.

Fakta dan Persoalan pada Kegiatan Rakyat yang Menambang

Bila didasarkan pada batasan atau definisi seperti disebutkan di atas, maka dengan statusnya
yang ilegal semua kegiatan masyarakat yang menambang saat ini tidak dapat dikategorikan
sebagai PR. Namun karena yang melakukannya adalah masyarakat, maka kegiatan tersebut

11
Pada UU No. 11 tahun 1967, bahan galian tambang dibagi menjadi tiga Golongan, yakni Golongan A, B dan C
yang mengklasifikasikan minyak bumi, gas alam, aspal, batubara, nikel, timah putih dan uranium sebagai bahan
galian strategis yang disebut Golongan A, sedangkan besi, bauksit, tembaga, seng, emas, platina, perak dan intan
dimasukkan ke dalam Golongan B sebagai bahan galian vital dan Golongan C disebut sebagai mineral industri
dan terdiri dari batu permata, pasir kuarsa, marmer, granit, tanah liat dan pasir. Sementara itu, dalam UU No.4
tahun 2009 pembagian ini tidak dipakai lagi dan diubah menjadi Mineral Logam, Non-Logam dan Batuan.

8
seringkali di tengah masyarakat maupun oleh pemerintah disebut sebagai kegiatan PR
sehingga pengertian PR yang sesungguhnya menjadi kabur.

Berbagai persoalan yang muncul di sekitar kegiatan masyarakat yang menambang ini
dapat dikatakan semuanya bersumber dari persoalan keilegalan kegiatan tersebut, karena
dengan statusnya yang ilegal, kegiatan itu menjadi tidak terkontrol atau luput dari pembinaan
maupun pengawasan pemerintah, baik dari aspek kewajiban maupun hak yang seharusnya
dilindungi oleh peraturan yang berlaku.

Bila dicermati kegiatan masyarakat yang menambang ini dengan seksama, maka pada
semua lokasi kegiatan tersebut akan terlihat persoalan-persoalan yang sama, walaupun dengan
tingkat intensitas yang beragam. Persoalan-persoalan tersebut dapat dibedakan menjadi
persoalan sosial budaya, politik dan keamanan, persoalan kesehatan, kerugian ekonomi serta
kerugian lingkungan (Gambar 2). Persoalan-persoalan ini akan mencapai puncaknya pada
kondisi dan waktu tertentu karena tidak adanya pengaturan dan pengawasan oleh pemerintah
setempat sebagai pemegang otoritas wilayah.

Persoalan sosial budaya yang terjadi di kawasan masyarakat yang menambang,


terutama akan dialami oleh masyarakat lokal yang pada dasarnya bukan penambang, mungkin
sebelumnya mereka itu petani atau nelayan. Budaya produktif dan kerja keras dalam waktu
panjang yang tertanam dalam diri mereka sebagai petani, secara perlahan akan tererosi
menjadi budaya konsumtif akibat pola pekerjaan menambang yang cenderung memberikan
penghasilan yang cepat dan relatif lebih banyak. Namun dari perspektif lain, persoalan budaya
juga dapat terjadi pada masyarakat lokal melalui interaksi mereka dengan penambang
pendatang yang memiliki budaya beragam dan nilai-nilai yang relatif longgar. Tidak jarang
benturan budaya ini bermuara pada persoalan keamanan dan ketegangan sehingga dapat saja
berujung pada konflik fisik berupa kerusuhan, seperti yang terjadi antara penduduk setempat
dengan penambang pendatang di desa Cisarua, Pongkor sekitar tahun 1998.12 Pada kondisi
tertentu, seringkali kehadiran penambang pendatang dalam jumlah banyak di suatu lokasi akan
diikuti oleh kehadiran praktek-praktek prostitusi dan perdagangan minuman keras. Kondisi

12
Pada waktu itu, timbul ketegangan antara penambang pendatang yang tinggal di desa tersebut dengan
penduduk lokal karena berbagai perbedaan norma dan perilaku sehingga berujung pada pembakaran sejumlah
rumah di desa tersebut oleh para penambang pendatang. Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Potensi Konflik di
Kawasan Pertambangan: Kasus Pongkor dan Cikotok, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2003.

9
tersebut akan dapat mempengaruhi budaya masyarakat lokal, seperti terjadinya degradasi
nilai-nilai susila, terutama pada kalangan generasi muda atau bahkan dapat menimbulkan
ketegangan antara masyarakat lokal yang menentang situasi tersebut dengan para pendatang di
lokasi itu, seperti yang terjadi di lokasi Air Nona, Koba, Bangka.13
Tidak membayar pajak
Perolehan tidak optimal
Tergantung pada dan
menguntungkan
pemodal
Pemborosan sumber
daya tambang

Kerugian Ekonomi

Kegiatan
rakyat yang
menambang
secara ilegal

Kerugian SosBudPol Kerugian Lingkungan


Perubahan budaya produk- Kerusakan lahan yang serius
tif menjadi konsumtif (degradasi kualitas lahan,
Degradasi norma susila dan berubahnya tata air tanah)
ketegangan relasi serta Rusak dan tercemarnya
rentan terhadap penyakit ekosistem (hilangnya alur
Para penambang menjadi sungai, meningkatnya
alat politik para elit kekeruhan dan pencemaran
air, hilangnya biota lokal)
Gambar 2. Skema yang menunjukkan terjadinya kerugian ekonomi, sosial budaya politik dan
lingkungan akibat berlangsungnya kegiatan masyarakat yang menambang secara
ilegal.

Sementara itu, kehadiran para penambang pendatang di suatu wilayah akan dapat
menjadi alat politik bagi kalangan tertentu untuk memenangkan pertarungan perebutan
kekuasaan di wilayah tersebut, seperti yang terjadi pada Pilkada Propinsi Kepulauan Bangka
Belitung pada tahun 2007.14 Ketidakpuasan para penambang TI (Tambang Inkonvensional)
terhadap Gubernur Hudarni Rani telah memicu penyerangan Kantor Gubernur oleh para

13
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik Timah di Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif Solusi, Program
Kompetitif LIPI, Jakarta, 2005.
14
Ibid.

10
penambang TI pada Agustus 2006 sehingga menjadi isu yang menguntungkan bagi calon yang
lainnya sehingga dapat memenangkan Pilkada tersebut.

Kegiatan masyarakat yang menambang secara ilegal jelas tidak tersentuh oleh
pembinaan dan pengawasan dari pemerintah sehingga seringkali para penambang tersebut
terancam keselamatannya, baik karena potensi ancaman longsor yang dapat mengubur mereka
hidup-hidup di dalam lobang tambang mereka maupun karena ancaman penyakit karena
mereka tidak mengetahui dan menerapkan tata cara penambangan yang baik dan benar. Tidak
kurang dari 100 orang penambang telah terkubur akibat lobang galian mereka ambruk dan
mengubur mereka di lokasi penambangan SP8 di Bombana, sementara itu hampir semua
penambang yang beraktivitas di Lebong Tandai, Bengkulu telah mengidap penyakit TBC
akibat buruknya sirkulasi udara di dalam lobang galian mereka.15

Seperti telah disinggung sebelumnya, kerugian ekonomi yang dialami oleh negara juga
terjadi karena sifat kegiatan tersebut yang ilegal alias tidak berizin sehingga telah
menyebabkan masyarakat yang melakukan penambangan itu tidak terikat oleh kewajiban
apapun, baik kewajiban ekonomi berupa pajak-pajak dan royalti terhadap negara maupun
berupa tanggungjawab untuk menjaga kelestarian lingkungan. Hal tersebut tentu saja
menyebabkan negara kehilangan sumber ekonomi yang seharusnya diterima dari setiap
kegiatan eksploitasi sumber daya tambang di negeri ini. Kerugian negara dari tidak
dibayarkannya pajak-pajak dan royalti tersebut semakin besar ketika terjadi pemborosan
sumber daya tambang akibat tidak efisiennya teknik penggalian dan pengolahan yang
diterapkan oleh masyarakat penambang tersebut. Kondisi ini terjadi khusus untuk
penambangan komoditi tertentu yang membutuhkan tahapan eksplorasi untuk menemukannya,
seperti emas primer. Seperti pada umumnya terjadi, bahwa masyarakat yang menambang
secara ilegal tersebut tidaklah dibekali dengan data dan pengetahuan yang memadai karena
mereka tidak memiliki kemampuan, baik secara finansial maupun pengetahuan untuk
melakukan eksplorasi (mencari dan menemukan bahan galian tambang). Akibatnya, semua
rangkaian proses pencarian sumber daya tambang tersebut mereka lakukan berdasarkan
perkiraan dan pengalaman semata. Oleh karena itu, pada wilayah penambangan masyarakat,

15
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Peran dan Dinamika Pertambangan Rakyat di Indonesia, Program Kompetitif
LIPI, Jakarta, 2007.

11
khususnya untuk komoditi emas primer ataupun sekunder, akan banyak ditemukan lobang-
lobang galian tidak berpola atau tidak beraturan karena sistem penggalian yang bersifat
spekulatif.16 Keadaan ini mengakibatkan tidak semua sumber daya tambang di kawasan
tersebut dapat dipastikan telah terambil, sedangkan kondisi wilayah tersebut sudah menjadi
porak poranda akibat penggalian-penggalian yang tidak sistematis tersebut. Dengan demikian,
sumber daya tambang yang masih tertinggal di wilayah itu tidak dapat lagi ditambang secara
ekonomis karena kondisi yang sudah rusak tersebut akan meningkatkan biaya eksploitasi dan
kewajiban reklamasi.

Selain itu, penerapan teknik amalgamasi dalam proses ekstraksi logam emas oleh para
penambang telah menyebabkan sejumlah komoditi tersebut tertinggal pada ampas proses
tersebut (disebut tailing), karena tingkat perolehan proses ini (recovery rate) masih rendah,
yakni hanya sekitar 60%. Kedua hal inilah yang dikategorikan sebagai terjadinya pemborosan
sumber daya tambang dan ini merupakan kerugian bagi negara karena negara kehilangan
sumber daya tambangnya yang seharusnya dapat memberikan pendapatan atau income kepada
negara.

Sementara itu, kerugian ekonomi yang dialami oleh para penambang akibat sifat
aktivitas mereka yang ilegal berpangkal pada hilangnya peluang untuk mendapatkan
bimbingan dan bantuan dari pemerintah dalam melakukan eksploitasi sumber daya tambang
tersebut. Dengan demikian, para penambang melakukan kegiatannya hanya berdasarkan
pengetahuan sederhana dan pengalaman yang mereka miliki yang sudah diwariskan sejak
ratusan tahun yang lalu. Oleh karena itu, seringkali penggalian yang mereka lakukan tidak
mendapatkan hasil seperti yang diharapkan. Akibatnya jumlah penghasilan yang mereka
peroleh tidak sebanding dengan biaya yang sudah mereka keluarkan untuk melakukan
penggalian tersebut. Selain itu, rendahnya tingkat perolehan (khususnya logam emas) dari
teknik ekstraksi yang mereka terapkan telah menyebabkan rendahnya kuantitas emas yang
mereka peroleh dari kegiatan tersebut sehingga membuat penghasilan mereka juga menjadi

16
Untuk endapan emas primer, biasanya para penambang tersebut hanya mengikuti urat-urat emas yang mereka
temukan di permukaan. Bila urat-urat itu menghilang pada kedalaman tertentu dan mereka tidak tahu lagi kemana
urat tersebut menerusnya, maka mereka akan meninggalkan lobang itu dan menggali lobang baru di lokasi lain
yang mereka perkirakan akan menemukan urat emas lainnya. Jadi, semua kegiatan penggalian tersebut sangat
bersifat spekulatif.

12
lebih kecil. Semua itu merupakan kerugian ekonomi yang menimpa para penambang itu
sendiri.

Hal lain yang merupakan kerugian ekonomi para penambang adalah keterlibatan
mereka dalam kerjasama dengan para pemodal atau tengkulak atau cukong yang umumnya
merugikan mereka. Sebagai komunitas miskin yang mencoba memperbaiki kesejahteraannya,
tentunya mereka tidak memiliki uang yang banyak atau modal yang kuat untuk membiayai
kegiatan mereka tersebut. Akibatnya ketika hasil yang diperoleh tidak mampu menutupi biaya
operasional mereka, maka tiada jalan lain bagi mereka selain membuat perjanjian kerjasama
dengan para pemodal. Secara umum pola kerjasama tersebut akan memberikan setengah
bagian dari batu atau material yang diperoleh kepada pemilik modal dan sisanya baru dibagi
rata diantara para penambang. Kemudian batu tersebut harus diproses dengan menyewa
peralatan yang dimiliki pemodal tersebut dan hasilnya harus dijual kepada sang pemilik modal
dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar. Kondisi ini jelas sangat merugikan para
penambang secara ekonomi dan mereka menjadi tergantung pada sang pemodal. Namun
pernah juga terjadi sang pemodal menjadi bangkrut karena hasil yang diperoleh penambang
tidak mampu menutupi biaya yang sudah dikeluarkannya. Dalam hal ini sang pemodal tidak
dapat menuntut ganti rugi dari penambang karena para penambang juga tidak memperoleh
hasil yang berarti.

Pada sisi lain, sifat ilegal kegiatan masyarakat yang menambang ini juga menimbulkan
kerugian lingkungan yang sangat serius, karena tidak adanya persyaratan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dipersiapkan seperti juga rencana reklamasi ataupun
kewajiban untuk menyetor dana jaminan reklamasi. Tidak adanya kajian AMDAL yang
dilakukan mengindikasikan tidak adanya rencana penambangan yang disusun berdasarkan
prinsip-prinsip penambangan yang baik dan benar, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa
akan terjadi kerusakan lahan yang serius, baik berupa terjadinya degradasi kualitas lahan
(lahan produktif berubah menjadi hamparan butiran pasir dan kerikil) maupun berubahnya tata
air tanah karena terganggu dan rusaknya sistem air tanah di wilayah tersebut. Tidak cukup
sampai disitu, proses penambangan yang dilakukan dengan menggunakan mesin semprot dan
hisap untuk komoditi logam sekunder (seperti emas dan timah) akan menimbulkan kolam-
kolam atau genangan air yang keruh, hilangnya alur atau badan sungai, meningkatnya

13
kekeruhan air permukaan dan punahnya biota lokal di sungai tersebut.17 Akibatnya sungai itu
akan kehilangan fungsinya untuk menopang sistem kehidupan dalam ekosistem wilayah
setempat. Kondisi ini akan memerlukan upaya yang mahal dan kerja ekstra keras untuk dapat
memulihkan keadaan tersebut sehingga kawasan itu dapat kembali menjadi lahan produktif
dan mampu menopang ekosistem sekitarnya.

Semua kerugian yang diuraikan di atas akan dapat ditemui di seluruh wilayah
Indonesia pada lokasi dimana terdapat kegiatan masyarakat yang menambang walau intensitas
kerugiannya akan dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.

Pemikiran Ke Depan

Persoalan masyarakat yang menambang secara ilegal seperti diuraikan di atas, hingga saat ini
belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Memang adalah suatu kenyataan bahwa kegiatan tersebut tidak akan
pernah menjanjikan pemasukan yang berarti bagi pemerintah untuk menambah modal
pembangunan fisik dalam lingkup daerah apalagi nasional. Namun demikian, membiarkan
kegiatan tersebut berlangsung tanpa pengaturan dan penataan yang efektif dan efisien
bukanlah sebuah sikap dan kebijakan yang tepat dan bijak. Persoalan ini hendaknya dilihat
sebagai suatu tanggungjawab yang diemban oleh pemerintah daerah dalam memberdayakan
masyarakatnya. Fakta hingga saat ini menunjukkan bahwa keberadaan kegiatan masyarakat
yang menambang tersebut bukanlah sesuatu yang dapat diingkari terus menerus karena
mereka eksis dan kegiatan itu mendatangkan berbagai kerugian bagi berbagai pihak serta
merupakan persoalan yang sampai saat ini tidak dapat diatasi oleh pemerintah daerah. Oleh
karena itu, diperlukan suatu political will dari pemerintah untuk mengatur dan menata
kegiatan masyarakat tersebut agar dapat memberikan manfaat baik bagi negara, masyarakat
penambang itu sendiri maupun masyarakat lokal yang bukan penambang serta meminimalisir
dampak lingkungan yang terjadi.

Untuk mengubah sifat kegiatan masyarakat tersebut dari yang merugikan menuju ke
arah suatu kegiatan yang bermanfaat ekonomi dan berwawasan lingkungan, maka pemerintah
17
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik Timah di Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif Solusi, Program
Kompetitif LIPI, Jakarta, 2005.

14
terkait perlu mengaturnya secara sistematis, efektif dan efisien dalam sebuah konsep yang
komprehensif. Konsep ini haruslah melibatkan semua pemangku kepentingan yang terkait
dalam kegiatan masyarakat yang menambang tersebut, yakni pemerintah daerah (Pemda),
masyarakat penambang dan masyarakat lokal. Pola kegiatan penambangan yang selama ini
dilakukan masyarakat dalam kelompok kecil, tanpa organisasi, bersifat spekulatif dan ilegal
harus diubah dan diatur secara khusus, sesuai dengan keterbatasan kemampuan mereka, baik
keterbatasan keahlian maupun finansial. Konsep seperti itu telah dihasilkan melalui penelitian
program kompetitif LIPI pada tahun 2008.18

Berdasarkan konsep tersebut, setidaknya diperlukan pengaturan dalam empat aspek


utama yang harus diterapkan secara bersamaan dan konsisten, yakni: (1) Aspek Kebijakan; (2)
Aspek Modalitas; (3) Aspek Kelembagaan serta (4) Aspek Teknologi dan Pengelolaan
Lingkungan. Ke empat aspek tersebut (Gambar 3) harus diterapkan secara simultan karena
kalau hanya salah satu yang dilaksanakan maka kegiatan PR tersebut tidak akan memberikan
dampak ekonomi yang optimal ataupun dampak lingkungan yang minimal.

Gambar 3. Empat aspek utama dalam Konsep PR yang harus dilaksanakan secara simultan.
Pada aspek kebijakan diperlukan kebijakan yang komprehensif dari Pemda agar usaha
penambangan yang mereka lakukan akan dapat memberikan penghasilan yang pasti dan
memadai kepada para penambang dan juga semua pemangku kepentingan terkait, sehingga
kegiatan tersebut cukup layak dijadikan mata pencaharian. Selain itu, kebijakan tersebut
haruslah juga akan dapat menjamin terlindunginya lingkungan sekitar dari dampak kerusakan

18
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konsep Pertambangan Rakyat dalam Kerangka Pengelolaan Sumber Daya
Tambang yang Berkelanjutan, LIPI, Jakarta, 2008.

15
dan pencemaran yang akan merugikan masyarakat untuk jangka waktu yang lama. Oleh
karena itu, kebijakan dalam pengaturan pertambangan rakyat ke depan haruslah difokuskan
setidaknya pada lima hal, yakni; (i) Kebijakan dalam penetapan Wilayah Pertambangan
Rakyat (WPR); (ii) Kebijakan untuk Izin Pertambangan Rakyat (IPR); (iii) Kebijakan
pembentukan badan pengelola WPR; (iv) Kebijakan dalam penentuan iuran produksi atau
royalti dan (v) Kebijakan dalam pelaksanaan reklamasi. Semua kebijakan tersebut dalam
implementasinya harus dituangkan ke dalam Peraturan Daerah (Perda).

Dalam penetapan WPR, pemerintah hendaknya menetapkan suatu kawasan menjadi


WPR untuk komoditi tertentu (emas, timah, intan) haruslah berdasarkan pada data dan
informasi geologi dalam bentuk model tiga dimensi dari potensi cadangan bahan galian
tersebut berdasarkan hasil eksplorasi. Jadi, bukan hanya penetapan wilayah geografis semata
tanpa mengetahui berapa cadangan tambang yang dapat dieksploitasi dari wilayah tersebut.
Kegiatan eksplorasi dimaksud haruslah dilakukan oleh pemkab/kota terkait dan direncanakan
dalam APBD. Pemilihan wilayah yang akan dieksplorasi dapat mengacu pada keberadaan
aktual masyarakat yang menambang, seperti tambang peninggalan Belanda atau bekas
perusahaan tambang besar, ataupun lokasi-lokasi lain yang sudah ditemukan oleh masyarakat
sebelumnya.

Bila hasil analisis data menyimpulkan lokasi tersebut bernilai ekonomis, maka dilakukan
penyusunan disain penambangan komoditi tersebut yang didasarkan pada informasi tentang
teknik dan jarak penggalian yang harus dilakukan, serta waktu dan biaya yang dibutuhkan
untuk melaksanakannya. Semua variabel tersebut haruslah bermuara pada tingkat efisiensi
tertinggi, sehingga nilai keuntungan ekonomi yang diperoleh akan maksimal. Perhitungan
berdasarkan disain penambangan yang sudah disusun itulah yang akan menjadi pijakan dalam
menentukan apakah lokasi tersebut dapat diajukan untuk ditetapkan sebagai sebuah WPR.
Usulan ini kemudian disampaikan oleh Pemkab/Kota kepada Gubernur untuk diajukan kepada
Menteri.

Dalam kasus adanya lokasi di dalam area konsesi suatu perusahaan yang tidak ekonomis
bila ditambang dalam skala perusahaan, tetapi masih ekonomis bila ditambang dalam skala
masyarakat, maka pemkab/kota dapat mengajukan usulan kepada perusahaan tersebut untuk
menjadikan lokasi tersebut sebagai WPR dengan pengawasan dan bimbingan dari perusahaan.

16
Konsep WPR di dalam konsesi suatu perusahaan adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk
ditolak oleh perusahaan, mengingat sejarah panjang pertambangan di Indonesia yang hampir
selalu diwarnai oleh benturan antara perusahaan dengan masyarakat penambang. Namun
demikian, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil selama terdapat relasi yang baik antara
pemerintah, perusahaan dan masyarakat.

Dalam konteks kebijakan IPR, pemerintah idealnya menentukan IPR tidak berdasarkan
satuan luas wilayah, tetapi berdasarkan potensi bahan tambang yang dapat diambil. Penentuan
wilayah IPR berpijak pada disain tambang yang sudah dibuat oleh pemkab/kota. Kebijakan
IPR yang berlaku saat ini didasarkan pada luas wilayah (satu IPR luasnya maksimum 5 ha)
tanpa adanya suatu kepastian bahwa wilayah IPR tersebut akan memberikan hasil yang
menguntungkan bagi pemegang IPR. Dalam kebijakan ini, pengelola WPR akan membagi
wilayah WPR tersebut ke dalam sejumlah IPR yang akan menghasilkan keuntungan yang
relatif sama bagi setiap pemegang IPR. Dengan demikian, setiap pemegang IPR dijamin akan
dapat memperoleh hasil dalam jumlah tertentu dari kegiatan penambangan yang mereka
lakukan. IPR dalam kebijakan ini tidak memberikan ketentuan tentang masa berlakunya,
karena IPR tersebut secara otomatis akan berakhir dengan selesainya pelaksanaan proses
penambangan yang sudah direncanakan dalam disain tambang. Selanjutnya, harus ditegaskan
bahwa IPR hanya dapat diberikan kepada suatu badan usaha berupa koperasi atau yayasan
yang anggotanya adalah para penambang setempat dan tidak dapat diberikan kepada
perseorangan karena akan sangat sulit dalam pembinaan dan pengawasannya.

Berbeda dengan kondisi WPR saat ini, konsep ini mengusulkan agar pengelola WPR
tidak diperankan oleh pemkab/kota melalui dinas terkait, melainkan dikelola oleh suatu
lembaga ekonomi yang dijalankan secara profesional dan bersifat komersil namun tetap
memiliki pertimbangan sosial yang rasional. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi benturan
kepentingan antara dinas sebagai institusi penerbit IPR dan dinas sebagai pengelola WPR yang
harus berperan secara professional dan komersil walaupun harus mempertimbangkan aspek
sosial yang rasional. Pembentukan lembaga ini difasilitasi oleh pemkab/kota terkait dan ia
berkewajiban untuk memberikan bimbingan teknis dan bantuan permodalan kepada para
pemegang IPR dalam suatu hubungan kerjasama timbal balik yang saling menguntungkan.

17
Dalam konteks iuran produksi, kewajiban royalti bagi para pemegang IPR harus
disesuaikan dengan penghasilan yang akan mereka peroleh, sehingga setidaknya mereka
memperoleh keuntungan tidak kurang dari dua puluh persen agar mereka dapat menjadi
berdaya (empowered).19 Jadi, tidak seperti dalam KepMen pertambangan tahun 1986 maupun
UU Minerba (2008), yang menyatakan bahwa iuran produksi atau royalti yang harus
dikeluarkan oleh PR diatur sesuai dengan aturan tentang royalti yang berlaku untuk
perusahaan pertambangan.

Sementara itu, seperti yang juga berlaku saat ini bahwa semua usaha PR juga terkena
kewajiban untuk melaksanakan reklamasi terhadap bekas lahan tambang mereka. Dalam
konsep ini, lembaga pengelola WPR yang bertanggungjawab untuk melakukan reklamasi
terhadap bekas penambangan di WPR. Dana yang akan dipergunakan untuk melakukan
reklamasi terhadap lahan bekas penambangan di lokasi WPR, dihimpun oleh lembaga
pengelola WPR melalui iuran dari setiap pemegang IPR sesuai dengan beban reklamasi yang
ditimbulkannya.

Aspek kedua yang penting dalam konsep PR ini adalah Aspek Modalitas. Dalam aspek
Modalitas, setidaknya ada lima hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan
para penambang rakyat dalam meningkatkan kesejahteraan mereka melalui kegiatan
penambangan yang efektif dan efisien. Hal yang pertama adalah mengembangkan relasi yang
seimbang antar pemangku kepentingan. Seperti diketahui, terdapat empat aktor yang berperan
di wilayah pertambangan rakyat, yakni pemerintah, pengelola WPR, pemegang IPR dan para
penambang. Hubungan atau relasi yang terjadi antar aktor tersebut dapat dijabarkan sbb:

Pemerintah Pengelola WPR


Hubungan antara pemerintah dengan pengelola WPR merupakan hubungan
pembinaan dan pengawasan karena pengelola WPR harus menjalankan WPR
tersebut sesuai dengan disain yang sudah dirancang oleh pemerintah ketika
akan ditetapkan.

Pemerintah Pemegang IPR

19
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konsep Pertambangan Rakyat dalam Pengelolaan Sumber Daya Tambang
yang Berkelanjutan, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2008.

18
Pemerintah sebagai regulator menerbitkan izin bagi para pemegang IPR.
Dalam relasi ini, pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap
semua pemegang IPR dalam melaksanakan semua kewajiban mereka.

Pengelola WPR Pemegang IPR


Pengelola WPR berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan kepada
para pemegang IPR. Tindak pengawasan dilakukan untuk pelaksanaan
kewajiban pemegang IPR sedangkan pembinaan difokuskan kepada upaya
peningkatan efektifitas dan efisiensi kegiatan penambangan.

Pemegang IPR Penambang


Hubungan yang dibangun antara pemegang IPR dengan penambang diikat
dengan Perjanjian Kerja yang memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak
sebagaimana aturan ketenagakerjaan yang ada.

Pada konsep LIPI, selain empat jenis relasi di atas, perlu juga dikembangkan relasi antara
Pemda - Penambang, namun relasi tersebut tidak disarankan disini karena pembinaan
penambang seharusnya tidak dilakukan oleh Pemda, tetapi oleh pemegang IPR dan pengelola
WPR.

Hal yang kedua adalah meningkatkan pengertian tentang kegiatan PR. Pada tahap ini,
pemerintah dan semua pihak berkewajiban mendorong masyarakat penambang untuk
mengubah cara pandang (mind-set) mereka dalam melihat kegiatan pertambangan rakyat.
Perubahan cara pandang ini akan dapat mengubah perilaku mereka dalam melaksanakan
kegiatan penambangan, meskipun perubahan sikap belum tentu dapat mengubah atau
memperkirakan behavior (tindakan aksi) mereka. Upaya meningkatkan pengertian masyarakat
penambang tentang kegiatan PR adalah suatu usaha transformasi cara pandang yang berjalan
melalui proses komunikasi yang kontinyu, baik secara verbal maupun tertulis. Dengan
demikian, dalam proses penyampaian informasi/pesan ini terdapat aspek penting yang
menentukan keberhasilan proses tersebut, antara lain: Jelas Isi Pesannya; Kredibel Sumber
Pesannya; Kredibel Penyampai Pesannya; Cara Menyampaikan Pesan yang tepat serta Waktu
Proses Perubahan yang cukup. Pesan harus disampaikan dalam bentuk contoh dan
perbandingan yang bersifat operasional dan tidak hanya bersifat kualitatif dan normatif.

19
Hal yang ketiga yang perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan modalitas para
penambang adalah membangun keahlian mereka. Keahlian para penambang perlu ditingkatkan
tetapi juga perlu dilakukan diversifikasi keahlian melalui pendidikan dan latihan. Diversifikasi
keahlian (seperti mekanik, elektronik, pertanian, perkebunan dan sebagainya) dipakai sebagai
pemicu dan membuka wawasan mereka untuk tertarik bekerja di sektor lain. Membangun
keahlian ditekankan pada membangun kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship) yang
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam menciptakan lapangan pekerjaan.

Sementara itu, hal yang ke empat adalah penegasan status ketenagakerjaan mereka.
Pentingnya status ketenagakerjaan bagi para penambang adalah untuk memberikan
perlindungan hukum kepada mereka sehingga mereka mengetahui tentang hak dan kewajiban
mereka secara jelas. Kejelasan status hukum inilah yang membuat para penambang
mempunyai posisi tawar dihadapan pemegang IPR. Status ketenagakerjaan ini sangat terkait
dengan Perjanjian Kerja dan Izin Tinggal dan Kerja.

Hal yang terakhir yang perlu dilakukan adalah penguatan perekonomian penambang.
Upaya memperkuat perekonomian penambang dapat dilakukan dengan transformasi struktural
yang meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi
lemah ke ekonomi yang tangguh, dan dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar. Perubahan
struktural ini mensyaratkan langkah-langkah mendasar yang meliputi pengalokasian SDA,
penguatan kelembagaan, serta pemberdayaan SDM. Beberapa langkah strategis yang harus
ditempuh dalam rangka memperkuat perekonomian penambang adalah sebagai:
a. Mendirikan dan membina koperasi yang anggotanya adalah para penambang.
b. Memberikan bantuan modal usaha dan pendampingan kepada penambang
untuk berusaha di sektor lain yang mereka kuasai dan minati.
c. Membuka kesempatan kepada kelompok penambang untuk bermitra dengan
pemerintah atau BUMD atau pengelola WPR dalam melakukan berbagai
kewajiban yang dibebankan kepada pengelola WPR, seperti misalnya
melaksanakan reklamasi.

Aspek yang ketiga dari konsep Pertambangan Rakyat yang dihasilkan dari penelitian
LIPI adalah Aspek Kelembagaan. Dari aspek ini, diperlukan adanya suatu institusi atau

20
lembaga yang mewakili peran dan keberadaan para aktor yang saling berinteraksi di kawasan
pertambangan tersebut. Keempat aktor tersebut dalam implementasi konsep ini harus diwakili
oleh bentuk kelembagaan tertentu, yakni Dinas Pertambangan yang mewakili pemerintah,
suatu badan usaha seperti BUMD atau perusahaan lokal yang mewakili pengelola WPR,
koperasi atau yayasan untuk pemegang IPR serta Serikat atau Asosiasi Pekerja untuk para
penambang. Untuk kasus dimana WPR tersebut berada di dalam wilayah konsesi suatu
perusahaan (Kuasa Pertambangan /KP atau Kontrak Karya /KK), maka pengelola WPR
tersebut adalah perusahaan itu sendiri melalui divisi pemberdayaan masyarakatnya
(Community Relation Division) yang langsung berhubungan dengan Koperasi sebagai lembaga
pelaksana penambangan. Sementara itu, para penambang atau buruh tambang diwakili secara
kelembagaan oleh suatu serikat atau asosiasi pekerja yang memperjuangkan kepentingan
mereka.

Aspek yang terakhir dari konsep ini adalah Aspek Teknologi dan Pengelolaan
Lingkungan. Aspek teknologi adalah yang berhubungan dengan teknik penambangan dan
pengolahan yang diterapkan pada PR dalam memperoleh komoditi mineral logam primer
seperti emas (Au). Sementara itu, untuk komoditi mineral non logam (intan dan batuan) atau
logam sekunder (seperti emas placer, timah/Sn), lebih difokuskan pada teknik penambangan
atau penggaliannya saja. Teknik penambangan diartikan sebagai cara penambangan yang
dilakukan PR dengan tahapan kegiatan mulai dari penggalian atau penyemprotan, pengerukan
dan pengangkutan bijih ke tempat pengolahan. Sementara itu, teknik pengolahan diartikan
sebagai cara untuk memisahkan kumpulan mineral berharga (konsentrat) dari mineral-mineral
pengotornya atau ampas (tailing). Sementara itu, pengelolaan lingkungan yang dimaksud
disini adalah hal-hal yang dilakukan oleh PR yang terkait atau dapat berdampak negatif pada
lingkungan.

Teknik penambangan pada kegiatan PR dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni: (i)
Penambangan dengan sistem tambang bawah tanah (underground mining) dan (ii)
Penambangan dengan sistem terbuka (open pit). Sejumlah hal yang harus diperhatikan dalam
teknik penambangan sistem tambang bawah tanah adalah penyanggaan (timbering), pemilihan
dan penggunaan bahan penyangga secara efisien, prinsip K-3 (Kesehatan dan Keselamatan
Kerja), dimensi lobang tambang dan pola serta arah lobang tambang. Sementara itu, untuk

21
penambangan terbuka yang cenderung berdampak lebih luas, maka kegiatan PR tidak
diperbolehkan menggunakan alat berat (eskavator), wilayah penambangan harus terbebas dari
aktifitas selain penambangan dan lobang galian harus ditutup sebelum beralih lokasi.

Sementara itu, untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan potensi pencemaran yang
minimal, maka teknik pengolahan untuk emas primer yang terbaik adalah dengan metoda
kombinasi antara proses amalgamasi, sianidasi dengan carbon in pulp (ASCP) karena akan
dapat meningkat perolehan emas hingga lebih dari 90%. Sedangkan untuk komoditi sekunder
(emas, timah dan intan) penggunaan metoda sluices box adalah teknik ekstraksi yang terbaik.

Dalam hal pengelolaan lingkungan, untuk menekan seminimal mungkin dampak akibat
proses penggalian, maka perlu dibuat disain tambang serta rencana penutupan lobang tambang
dan reklamasinya secara tepat dan rinci. Sedangkan untuk pengolahan endapan primer,
dilakukan pengelolaan limbah dengan cara sirkulasi air tertutup. Artinya, air yang sudah
digunakan dalam proses pengolahan akan dapat dipergunakan kembali. Sedangkan untuk
endapan sekunder (emas, timah, intan, zirkon), pengelolaan lingkungan harus dilakukan
dengan mendisain suatu tempat penyemprotan material (pemisahan bahan tambang dari
tanah/batuan yang mengandungnya) yang memiliki sistem penampungan yang terpisah antara
limbah padat dan sisa air keruh yang sudah digunakan. Dalam konsep ini, air keruh tersebut
dipisahkan dari lumpur yang terlarut didalamnya dengan cara membiarkan lumpur tersebut
mengendap secara alami sehingga air tersebut menjadi jernih kembali. Dengan demikian air
tersebut akan dapat dipergunakan kembali.

Pada bab-bab berikutnya dalam buku berbentuk bunga rampai ini, akan dimuat bahasan
yang lebih rinci tentang persoalan kegiatan masyarakat yang menambang di Kabupaten
Bombana, baik dari perspektif sosial, ekonomi, budaya, kebijakan atau peraturan maupun
teknik penambangan dan pengelolaan lingkungan. Pada akhirnya akan diuraikan dan dibahas
strategi pengembangan wilayah pertambangan rakyat yang dapat diimplementasikan di
wilayah ini yang dapat memberikan manfaat bagi semua pemangku kepentingan. Secara
sistematis, bab ini akan diikuti oleh:

1. Pembahasan tentang persoalan dalam kebijakan Pertambangan Rakyat dengan kasus


Bombana, yang dipaparkan pada Bab II. Paparan ini akan mengupas persoalan

22
kebijakan yang diambil oleh pemerintah Kabupaten Bombana secara khronologis
dalam menangani semakin maraknya kegiatan masyarakat yang menambang di
wilayah tersebut dan diakhiri dengan sebuah kesimpulan tentang persoalan kebijakan
yang terjadi dalam kurun waktu itu.

2. Pembahasan tentang dampak kegiatan penambangan emas di Bombana terhadap sosial,


budaya dan ekonomi masyarakat, yang diuraikan pada Bab III. Uraian ini akan
menyoroti berbagai dampak sosial budaya dan ekonomi yang dialami oleh masyarakat
Bombana akibat terjadinya kegiatan penambangan di wilayah tersebut. Bab ini juga
akan diakhiri dengan suatu kesimpulan tentang apa yang terjadi pada masyarakat lokal
dan faktor apa saja yang berperan dalam terjadinya dampak tersebut.

3. Pembahasan tentang tipologi penambangan emas di Bombana dan dampaknya, yang


akan dibahas pada Bab IV. Bahasan ini akan fokus pada tipe penambangan yang
dilakukan oleh masyarakat di Bombana, teknik penggalian dan metoda pemisahan bijih
yang mereka pilih serta apa dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Bab ini juga akan
diakhiri dengan sebuah kesimpulan tentang efisiensi proses yang dipilih dan faktor-
faktor apa saja yang menentukan dalam pemilihan teknologi yang tepat.

4. Pembahasan tentang pengaruh penambangan emas letakan (placer) di Bombana


terhadap lingkungan, yang akan dipaparkan pada Bab V. Bab ini akan menyoroti
praktek-praktek penambangan yang dilakukan masyarakat di Bombana dan dampak
langsungnya terhadap lingkungan. Bab ini akan diakhiri dengan kesimpulan apa yang
harus diakukan untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang sudah terlanjur rusak saat
ini dan bagaimana idealnya kegiatan penambangan itu dilakukan agar dampak
lingkungannya seminimal mungkin.

5. Pembahasan tentang strategi pengembangan wilayah pertambangan rakyat di


Kabupaten Bombana, yang akan diuraikan pada Bab VI. Uraian ini akan membahas
strategi yang paling tepat untuk dilakukan dalam pengembangan wilayah
pertambangan rakyat di Bombana khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Bab ini
akan merupakan kristalisasi dari semua pemikiran yang sudah dituangkan dan
dirumuskan dalam bab-bab sebelumnya, sehingga strategi tersebut diyakini akan dapat
memperbaiki berbagai kesalahan yang sudah terjadi dan dapat menciptakan suatu

23
kegiatan pertambangan rakyat yang memberikan manfaat bagi semua pemangku
kepentingan di Kabupaten Bombana.

24

Anda mungkin juga menyukai