Malaria
1.1. Pengertian Malaria
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari
genus plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Istilah
malaria diambil dari dua kata bahasa Italia yaitu mal (buruk) dan area (udara) atau
udara buruk karena dahulu banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang mengeluarkan
bau busuk. Penyakit ini juga mempunyai nama lain, seperti demam roma, demam
rawa, demam tropik, demam pantai, demam charges, demam kura dan paludisme
(Prabowo, 2008). Soemirat (2009) mengatakan malaria yang disebabkan oleh
protozoa terdiri dari empat jenis species yaitu plasmodium vivax menyebabkan
malaria tertiana, plasmodium malariae menyebabkan malaria quartana, plasmodium
falciparum menyebabkan malaria tropika dan plasmodium ovale menyebabkan
malaria ovale. Menurut Achmadi (2010) di Indonesia terdapat empat spesies
plasmodium, yaitu:
1.2. Etiologi
Parasit malaria (plasmodium) mempunyai dua siklus daur hidup, yaitu pada
tubuh manusia dan didalam tubuh nyamuk Anopheles betina (Soedarto, 2011).
Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk kedalam tubuh
sampai timbulnya gejala klinis berupa demam. Lama masa inkubasi bervariasi
tergantung spesies plasmodium. Masa prapaten adalah rentang waktu sejak sporozoit
masuk sampai parasit dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan mikroskopik.
1. Siklus preeritrositik: periode mulai dari masuknya parasit ke dalam darah sampai
merozoit dilepaskan oleh skizon hati dan menginfeksi eritrosit.
3. Masa inkubasi: waktu antara terjadinya infeksi dengan mulai terlihatnya gejala
penyakit.
Malaria adalah penyakit dengan gejala demam, yang terjadi tujuh hari sampai
dua minggu sesudah gigitan nyamuk yang infektif. Adapun gejala-gejala awal adalah
demam, sakit kepala, menggigil dan muntah-muntah (Soedarto, 2011). Menurut
Harijanto, dkk (2010) gejala klasik malaria yang umum terdiri dari tiga stadium (trias
malaria) yaitu:
1. Periode dingin. Mulai menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering
membungkus diri dengan selimut atau sarung dan saat menggigil seluruh tubuh sering
bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan.
Periode ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan peningkatan
temperatur.
2. Periode panas. Penderita berwajah merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan
panas badan tetap tinggi dapat mencapai 400 C atau lebih, respirasi meningkat, nyeri
kepala, terkadang muntah-muntah, dan syok. Periode ini lebih lama dari fase dingin,
dapat sampai dua jam atau lebih diikuti dengan keadaan berkeringat.
3. Periode berkeringat. Mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah,
temperatur turun, lelah, dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat
dan dapat melaksanakan pekerjaan seperti biasa. Menurut Anies (2006) malaria
komplikasi gejalanya sama seperti gejala malaria ringan, akan tetapi disertai dengan
salah satu gejala dibawah ini:
- Gangguan kesadaran (lebih dari 30 menit).
- Kejang.
- Kelemahan umum.
- Nafas pendek.
a. Wawancara (anamnesis)
b. Pemeriksaan fisik
d. Pemeriksaan penunjang
B. Imunosupresan
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon
imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan
mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat
sitotokis dan digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan merupakan zat-zat yang
justru menekan aktivitas sistem imun dengan jalan interaksi di berbagai titik dari
sistem tersebut. Titik kerjanya dalam proses-imun dapat berupa penghambatan
transkripsi dari cytokin, sehingga mata rantai penting dalam respon-imun diperlemah.
Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensial limfosit, yang dapat
dihambat pula oleh efek sitostatis langsung. Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau
dimusnahkan dengan pembentukan antibodies terhadap limfosit.
Pada mahkluk tingkat tinggi seperti manusia, terdapat dua sistem pertahanan
(imunitas), yaitu imunitas nonsepesifik (innate immunity) dan imunitas spesifik (
adaptive imunity).
1. Imunitas nonspesifik
2. Imunitas spesifik
1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan
respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup: pengolahan antigen oleh
APC, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini merupakan
yang paling sensitif terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu terbentuk sel
memori, maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.
1. Transplantasi organ
Kortikisteroida
Limfositimunoglobulin (Limfoglobulin)
2. Penyakit autoimun
Obat bebas yang berada di pasaran untuk malaria termasuk dalam obat yang
berfungsi untuk menyembuhkan atau mencegah demam, yaitu :
2. Kinina, contoh nama merek obat : kina Kedua macam obat tersebut tersedia obat
generiknya. Untuk malaria yang termasuk jenis falciparum, infeksi campuran / yang
menyebabkan infeksi tidak diketahui maka sebaiknya menggunakan kinina.
Sedangkan Klorokuin digunakan untuk pencegahan dan pengobatan malaria, bekerja
kuat dan cepat. (Widodo, R, 2004).
3.2. Farmakokinetik
Absorpsi klorokuin setelah pemberian oral terjadi lengkap dan cepat, dan
makanan mempercepat absorpsi ini. Kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 1-2
jam. Kira-kira 55% dari jumlah obat dalamplasma diikat pada nondifussible plasma
constituent. Klorokuin lebih banyak diikat di jaringan. Metabolisme klorokuin dalam
tubuh berlangsung lambat sekali dan metabolitnya, monodesetilklorokuin dan
bisdesetilklorokuin, diekskresi melalui urin. Sejumlah kecil klorokuin masih
ditemukan dalam urin bertahun-tahun setelah pemberian dihentikan. Dosis harian 300
mg menyebabkan kadar mantap kira-kira 125 g/l, sedangkan dengan dosis oral 0,5
gram tiap minggu dicapai kadar plasma antara150-250 g/l dengan kadar lembah
antara 20-40 g/l. Jumlah ini berada dalam batas kadar terapi untuk P. Falciparum
yang sensitive dan P. vivax, yaitu 30 dan 15 g/l. Metabolisme klorokuin dihambat
oleh SKF 525-A, amodiakuin, hidroksiklorokuin, dan pamakuin. (Ganiswara, 1995).
3.3. Farmakodinamik
Mekanisme kerja obat ini diduga berhubungan dengan sintesis asam nukleat
dan nucleoprotein yaitu dengan menghambat DNA polymerase. Secara fisik terjadi
interkalasi klorokuin dengan guanine rantai DNA. Hal ini terjadi juga dengan
primakuin dan kuinin, tetapi tidak dengan meflokuin. Parasit yang menginfeksi
eritrosit akan segera mengambil dan mengakumulasi obat tersebut di dalam
badannya. Parasit ini juga menggumpalkan pigmen yang dihasilkan dari
penghancuran hemoglobin. Kepekaan plasmodia intraerosit terhadap klorokuin
berhubungan dengan kemampuannya untuk menumpuk didalam eritrosit. Proses
ambilan obat dan pengumpulan pigmen oleh parasit dihambat secara bersaing oleh
amodiakuin, kuinin, dan meflokuin. Ambilan klorokuin oleh plasmodia ini bersifat
butuh energi (energi dependent), terjenuhkan (saturable), dan berlangsung dengan
bantuan carrier. Ada dugaan bahwa pigmen dilepaskan dari degradasi Hb bertindak
sebagai reseptor untuk klorokuin dan turunannya. Pigmen ini atau kompleksnya dan
klorokuin dapat menyebabkan lisis parasit. (Ganiswara, 1995).
REVIEW JURNAL
1. Pendahuluan
Malaria tetap menjadi salah satu penyakit menular dan mematikan yang
paling umum menginfeksi manusia, lebih dari 200 juta kasus di seluruh dunia dan
lebih dari 655.000 kasus kematian per tahun (WHO 2011). Sampai saat ini, belum
ada vaksin yang berkhasiat untuk malaria; dengan demikian, penggunaan obat anti-
malaria masih salah satu metode primer mengendalikan penyakit ini. Klorokuin (CQ)
pernah disintesis oleh Hans Andersag pada tahun 1934 (Slater 1993), obat pilihan
pertama untuk pengobatan malaria karena ia aman, efektif, ditoleransi dengan baik,
dan murah (Baird 2004;Vijaykadga et al. 2004; Srivastava et al. 2008; Harga et al.
2009; Awab et al. 2010). Ekstensif penggunaan CQ pada pasien malaria secara
epidemiologi sebagian besar berkurang sejak resisten Plasmodium falciparum
terhadap klorokuin ditemukan pada tahun 1950-an (Harinasuta et al. 1965). Namun,
CQ masih obat pilihan di beberapa daerah dengan infeksi malaria Plasmodium vivax
dan daerah lain di mana CQ masih tetap efektif (Baird 2009). Dalam beberapa tahun
terakhir, adanya penemuan agen yang dapat membalikkan resistensi CQ serta laporan
terkait pemulihan sensitivitas CQ setelah ditarik mundur, CQ diharapkan digunakan
kembali sebagai lini pertama pengobatan antimalaria sebagai obat yang tak
tertandingi keuntungannya (Kublin et al 2003;. Mita et al 2003; Mwai et
Al. 2009; Kamugisha et al. 2012).
2. Bahan dan Metode
pengobatan CQ
kultur splenocyte
Eritrosit dilisis dengan 0,17 M NH4Cl dingin dan sel-sel dicuci 2 kal dengan
medium segar. Viabilitas sel ditentukan oleh uji eksklusi tripan biru dan> 90%.
Aliquot (500ml ) dari suspensi sel (1 107 / ml) diinkubasi di 24 jam pada plate datar
kultur jaringan dalam tiga rangkap selama 48 jam pada suhu 37 C dalam
dilembabkan dengan 5% CO2 dalam inkubator. fraksi supernatan dikumpulkan dan
disimpan pada -80 C untuk analisis sitokin dan oksida nitrat (NO) .
Level dari IFN- , TNF, dan IL-4 diukur menggunakan kit commercial
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) menurut protokol pabrik (R & D
Systems, Minneapolis, MN). Untuk menentukan produksi NO, konsentrasi NO2 Di
sel supernants diukur dengan menggunakan reaksi Griess.
Analisis statistik
3. Hasil Penelitian
CQ diberikan kepada mencit di enam jam pi (post-6h) dan pada tiga hari pi (post-3d),
masing-masing, untuk menentukan jangka waktu dari aksinya. Hasil ini menunjukkan
bahwa pemberian CQ pasca-6h kurang efektif dibandingkan dengan aplikasi pasca-3d
dalam pengobatan Infeksi py 17XL.
TLR9 adalah salah satu reseptor Toll-like paling penting yang menengahi
aktivasi DC selama proses Infeksi Plasmodium. Hal ini melaporkan bahwa
keterlibatan TLR9 dengan ligan secara langsung dipengaruhi oleh pengobatan CQ
(Zhu et al. 2012). Untuk menentukan apakah TLR9 terlibat dalam disfungsi DC
dalam percobaan ini, dilakukan pemeriksaan ekspresi TLR9 di DC dengan pewarnaan
intraseluler. Ditemukannya bahwa infeksi Py 17XL signifikan mengangkat jumlah
TLR9 + CD11c + DC di limpa pada hari ke 5 pi di kelompok kontrol dan kelompok
pasca-3d. Namun, pada kelompok pasca-6h, pengobatan CQ mengakibatkan
perubahan Ekspresi TLR9 signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol di
titik waktu yang sama. Data ini menunjukkan bahwa pemberian awal CQ
mempengaruhi ekspresi TLR9 di DC selama infeksi Py 17XL. Efek ini dapat
berkontribusi secara parsial terhadap pematanga DC yang terlihat dalam percobaan
ini.
4. Diskusi
Obat anti malaria diresepkan untuk populasi besar untuk profilaksis tanpa
skrining parasitemia (Fidock et al. 2004). Obat ini telah diberikan bahkan untuk
kelompok berisiko tinggi, seperti bayi, anak-anak, dan wanita.Sementara CQ secara
signifikan dapat mengurangi angka kematian, tapi apakah itu akan mengganggu
sistem kekebalan tubuh hostnya secara umum atau memberikan efek samping pada
tubuh terhadap infeksi malaria khususnya untuk saat ini masih belum diketahui. Pada
penelitian ini menunjukkan bahwa dosis tunggal CQ diberikan segera setelah Infeksi
malaria (kelompok pasca-6h) secara signifikan menekan baik imunitas seluler
maupun humoral dari hostnya, mungkin melalui modifikasi fungsi DC. Penelitian ini
menunjukkan pentingnya penggunaan CQ yang rasional untuk pengobatan dan
profilaksis malaria. Percobaanini juga menunjukkan bahwa dosis tunggal CQ segera
setelah infeksi malaria (kelompok pasca-6h) tidak mempengaruhi tingkat awal
parasitemia dibandingkan dengan kelompok kontrol, tetapi tidak memperpendek
perjalanan penyakit. Ini dapat dijelaskan dengan efek anti-malaria dari CQ yang
bertindak secara eksklusif pada siklus intra-erythrocytic parasit malaria (Yayon et al.
1984). Selain itu hasil menunjukkan bahwa mencit yang diberi pengobatan CQ
pasca-6h tunggal mengambil lebih banyak waktu untuk membersihkan infeksi
daripada mereka yang diobati dengan CQ pada hari 3 pi Meskipun Perbedaan ini bisa
dikaitkan dengan ketidaksamaan efisiensi antimalaria CQ yang diberikan pada waktu
yang berbeda-beda. kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa respon
kekebalan tubuh terhadap infeksi yang berbeda-beda dipengaruhi oleh beragam
pengobatan CQ. Kemungkinan ini dikonfirmasi oleh hasil penelitian ini bahwa
respon protektif imun dalam Kelompok pasca-6h mencit ditekan dibandingkan
dengan Kelompok kontrol sedangkan kelompok pasca-3d tidak mengalami
imunosupresi yang sama. Data ini menunjukkan bahwa waktu intervensi CQ sangat
penting untuk efek immunomodulator dalam kasus mencit malaria Hanya pengobatan
CQ lebih awal setelah hasil infeksi pada inhibisi respon protektif imun, yang
menunjukkan peran potensial dari CQ pada fungsi APC.
penurunan ekspresi dari TLR9 pada DC dari kelompok pasca-6h pada hari 5
pi mungkin peristiwa sekunder dari pematangan Dc yang rendah. Namun, tidak bisa
mengecualikan kontribusi awal perubahan sinyal TLR9 untuk pematangan dan
aktivasi DC. Data ini adalah yang pertama untuk menunjukkan bahwa efek dari CQ
pada respon kekebalan pada tikus DBA/2 yang terinfeksi Py 17XL dikaitkan dengan
waktu administrasi obat. Pengobatan CQ pada tahap sangat awal infeksi secara
signifikan menghambat baik seluler dan humoral respon imun terhadap malaria, yang
menunjukkan bahwa CQ dapat memperburuk parasitemia yang terjadi karena
kekebalan tubuh. Namun demikian, setelah titik waktu kritis , CQ tidak mengerahkan
peran depresi nya. CQ tetap merupakan obat penting untuk saat ini dan masa depan
dalam pengobatan malaria, penemuan kami memberikan informasi penting tentang
mekanisme kerja CQ, yang memiliki implikasi kritis untuk terapi malaria.
5. Analisis jurnal
Pada jurnal ini penelitian yang dilakukan adalah melihat fungsi atau efek
pemberian lebih awal chloroquin sebagai imunosupresan pada penyakit antimalaria
dimana penelitian ini dilakukan dengan pengujian pada mencit yang dikondisikan
sebagai mencit yang terinfeksi malaria. Sebagaimana yang diketahui CQ merupakan
obat antimalaria yang digunakan beberapa dekade ini. Dalam hal ini mencit dibagi
menjadi 3 kelompok uji yaitu kelompok kontrol, kelompok pasca 6h dan pasca 3hari.
mencit dari kelompok pasca-6h butuh waktu lebih lama untuk membunuh parasit
dibandingkan dengan mencit dari kelompok pasca-3d. Aktivasi sel T helper,
makrofag, dan sel B secara signifikan ditekan pada mencit dengan pengobatan CQ
pasca-6h dibandingkan dengan mencit kontrol pada hari ke 3 dan hari 5 setelah
infeksi. Sebaliknya, tidak ada perubahan seperti yang ditemukan pada mencit dari
post-3d kelompok. Sel dendritik (DC) dari mencit pasca-6h yang diberikan CQ
kurang matang dibandingkan dengan mencit kontrol serta kelompok pasca-3d. Data
dari penelitian ini menunjukkan bahwa efek dari CQ pada respon kekebalan
pada tikus DBA/2 yang terinfeksi Py 17XL dikaitkan dengan waktu administrasi
obat. sehingga penelitian ini berguna menunjukkan bahwa perlunya pemberian CQ
yang rasional dalam penanganan kasus malaria agar sifat imunosupresi dari CQ
dapat bekerja dengan baik dalam penyembuhan malaria, namum karena adanya
kompleksitas respon imun terhadap malaria maka perlunya penyelidikan lebih lanjut
terkait mekanisme imunosupresan CQ.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. 2010. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: UI Press
Entjang, I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Cetakan ketiga belas, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti
Harijanto, P. N., Nugroho. A., & Gunawan, C. A. 2010. Malaria dari Molekuler Ke
Klinis. Jakarta: EGC