Anda di halaman 1dari 20

A.

Malaria
1.1. Pengertian Malaria

Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari
genus plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Istilah
malaria diambil dari dua kata bahasa Italia yaitu mal (buruk) dan area (udara) atau
udara buruk karena dahulu banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang mengeluarkan
bau busuk. Penyakit ini juga mempunyai nama lain, seperti demam roma, demam
rawa, demam tropik, demam pantai, demam charges, demam kura dan paludisme
(Prabowo, 2008). Soemirat (2009) mengatakan malaria yang disebabkan oleh
protozoa terdiri dari empat jenis species yaitu plasmodium vivax menyebabkan
malaria tertiana, plasmodium malariae menyebabkan malaria quartana, plasmodium
falciparum menyebabkan malaria tropika dan plasmodium ovale menyebabkan
malaria ovale. Menurut Achmadi (2010) di Indonesia terdapat empat spesies
plasmodium, yaitu:

1. Plasmodium vivax, memiliki distribusi geografis terluas, mulai dari wilayah


beriklim dingin, subtropik hingga daerah tropik. Demam terjadi setiap 48 jam atau
setiap hari ketiga, pada siang atau sore. Masa inkubasi plasmodium vivax antara 12
sampai 17 hari dan salah satu gejala adalah pembengkakan limpa atau splenomegali.

2. Plasmodium falciparum, plasmodium ini merupakan penyebab malaria tropika,


secara klinik berat dan dapat menimbulkan komplikasi berupa malaria celebral dan
fatal. Masa inkubasi malaria tropika ini sekitar 12 hari, dengan gejala nyeri kepala,
pegal linu, demam tidak begitu nyata, serta kadang dapat menimbulkan gagal ginjal.

3. Plasmodim ovale, masa inkubasi malaria dengan penyebab plasmodium ovale


adalah 12 sampai 17 hari, dengan gejala demam setiap 48 jam, relatif ringan dan
sembuh sendiri.

4. Plasmodium malariae, merupakan penyebab malaria quartana yang memberikan


gejala demam setiap 72 jam. Malaria jenis ini umumnya terdapat pada daerah
gunung, dataran rendah pada daerah tropik, biasanya berlangsung tanpa gejala, dan
ditemukan secara tidak sengaja. Namun malaria jenis ini sering mengalami
kekambuhan (Achmadi, 2010).

1.2. Etiologi

Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium. Pada manusia


plasmodium terdiri dari 4 spesies, yaitu plasmodium falciparum, plasmodium vivax,
plasmodium malariae, dan plasmodium ovale. Akan tetapi jenis spesies plasmodium
falciparum merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian
(Harijanto, dkk 2010).

a. Siklus Hidup Plasmodium

Parasit malaria (plasmodium) mempunyai dua siklus daur hidup, yaitu pada
tubuh manusia dan didalam tubuh nyamuk Anopheles betina (Soedarto, 2011).

Gambar 1. Siklus hidup plasmodium penyebab malaria.

1. Siklus didalam tubuh manusia

Pada waktu nyamuk Anopheles spp infeksi menghisap darah manusia,


sporozoit yang berada dalam kelenjar ludah nyamuk Anopheles masuk kedalam
aliran darah selama lebih kurang 30 menit. Setelah itu sporozoit menuju ke hati dan
menembus hepatosit, dan menjadi tropozoit. Kemudian berkembang menjadi skizon
hati yang terdiri dari 10.000 sampai 30.000 merozoit hati. Siklus ini disebut siklus
eksoeritrositik yang berlangsung selama 9-16 hari. Pada plasmodium falciparum dan
plasmodium malariae siklus skizogoni berlangsung lebih cepat sedangkan
plasmodium vivax dan plasmodium ovale siklus ada yang cepat dan ada yang lambat.
Sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, akan tetapi ada
yang menjadi bentuk dorman yang disebut bentuk hipnozoit. Bentuk hipnozoit dapat
tinggal didalam sel hati selama berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun yang
pada suatu saat bila penderita mengalami penurunan imunitas tubuh, maka parasit
menjadi aktif sehingga menimbulkan kekambuhan.
2. Siklus didalam tubuh nyamuk Anopheles betina

Apabila nyamuk Anopheles betina mengisap darah yang mengandung


gematosit, didalam tubuh nyamuk gematosit akan membesar ukurannya dan
meninggalkan eritrosit. Pada tahap gematogenesis ini, mikrogamet akan mengalami
eksflagelasi dan diikuti fertilasi makrogametosit. Sesudah terbentuknya ookinet,
parasit menembus dinding sel midgut, dimana parasit berkembang menjadi ookista.
Setelah ookista pecah, sporozoit akan memasuki homokel dan pindah menuju
kelenjar ludah. Dengan kemampuan bergeraknya, sporozoit infektif segera
menginvasi sel-sel dan keluar dari kelenjar ludah.

Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk kedalam tubuh
sampai timbulnya gejala klinis berupa demam. Lama masa inkubasi bervariasi
tergantung spesies plasmodium. Masa prapaten adalah rentang waktu sejak sporozoit
masuk sampai parasit dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan mikroskopik.

b. Tahapan Siklus Plasmodium

Dalam tahapan siklus plasmodium dapat berlangsung keadaan-keadaan


sebagai berikut:

1. Siklus preeritrositik: periode mulai dari masuknya parasit ke dalam darah sampai
merozoit dilepaskan oleh skizon hati dan menginfeksi eritrosit.

2. Periode prepaten: waktu antara terjadinya infeksi dan ditemukannya parasit


didalam darah perifer.

3. Masa inkubasi: waktu antara terjadinya infeksi dengan mulai terlihatnya gejala
penyakit.

4. Siklus eksoeritrositik: siklus yang terjadi sesudah merozoit terbetuk di skizoit


hepatik, merozoit menginfeksi ulang sel hati dan terulangnya kembali skizogoni.

5. Siklus eritrositik: waktu yang berlangsung mulai masuknya merozoit kedalam


eritrosit, terjadinya reproduksi aseksual didalam eritrosit dan pecahnya eritrosit yang
melepaskan lebih banyak merozoit.

6. Demam paroksismal: Serangan demam yang berulang pada malaria akibat


pecahnya skizoit matang dan masuknya merozoit kedalam aliran darah.

7. Rekuren: Kambuhnya malaria sesudah beberapa bulan tanpa gejala.


Tabel 2.1. Tahapan-Tahapan Siklus Spesies plasmodium

1.3. Gejala Malaria

Malaria adalah penyakit dengan gejala demam, yang terjadi tujuh hari sampai
dua minggu sesudah gigitan nyamuk yang infektif. Adapun gejala-gejala awal adalah
demam, sakit kepala, menggigil dan muntah-muntah (Soedarto, 2011). Menurut
Harijanto, dkk (2010) gejala klasik malaria yang umum terdiri dari tiga stadium (trias
malaria) yaitu:

1. Periode dingin. Mulai menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering
membungkus diri dengan selimut atau sarung dan saat menggigil seluruh tubuh sering
bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan.
Periode ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan peningkatan
temperatur.

2. Periode panas. Penderita berwajah merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan
panas badan tetap tinggi dapat mencapai 400 C atau lebih, respirasi meningkat, nyeri
kepala, terkadang muntah-muntah, dan syok. Periode ini lebih lama dari fase dingin,
dapat sampai dua jam atau lebih diikuti dengan keadaan berkeringat.

3. Periode berkeringat. Mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah,
temperatur turun, lelah, dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat
dan dapat melaksanakan pekerjaan seperti biasa. Menurut Anies (2006) malaria
komplikasi gejalanya sama seperti gejala malaria ringan, akan tetapi disertai dengan
salah satu gejala dibawah ini:
- Gangguan kesadaran (lebih dari 30 menit).

- Kejang.

- Panas tinggi disertai diikuti gangguan kesadaran.

- Mata kuning dan tubuh kuning.

- Pendarahan dihidung, gusi atau saluran pencernaan.

- Jumlah kencing kurang (oliguri).

- Warna air kencing (urine) seperti air teh.

- Kelemahan umum.

- Nafas pendek.

1.4. Diagnosis Malaria

Soerdarto (2011) mengatakan diagnosis malaria ditegakkan setelah dilakukan


wawancara (anamnesis), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Akan
tetapi diagnosis pasti malaria dapat ditegakkan jika hasil pemeriksaan sediaan darah
menunjukakan hasil yang positif secara mikroskopis atau Uji Diagnosis Cepat (Rapid
Diagnostic Test= RDT).

a. Wawancara (anamnesis)

Anamnesis atau wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang


penderita malaria yakni, keluhan utama: demam, menggigil, dan berkeringat yang
dapat disertai sakit kepala, mual muntah, diare, nyeri otot, pegal-pegal, dan riwayat
pernah tinggal di daerah endemis malaria, serta riwayat pernah sakit malaria atau
minum obat anti malaria satu bulan terakhir, maupun riwayat pernah mendapat
tranfusi darah.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik terhadap penderita dapat ditemukan mengalami demam


dengan suhu tubuh dari 37,50 C sampai 400 C, serta anemia yang dibuktikan dengan
konjungtiva palpebra yang pucat, pambesaran limpa (splenomegali) dan pembesaran
hati (hepatomegali).
c. Pemerikasaan laboratorium

Pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan darah yang


menurut teknis pembuatannya dibagi menjadi preparat darah (SDr, sediaan darah)
tebal dan preparat darah tipis, untuk menentukan ada tidaknya parasit malaria dalam
darah. Tes diagnostik cepat Rapid Diagnostic Test (RDT) adalah pemeriksaan yang
dilakukan bedasarkan antigen parasit malaria dengan imunokromatografi dalam
bentuk dipstick. Test ini digunakan pada waktu terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa)
atau untuk memeriksa malaria pada daerah terpencil yang tidak ada tersedia sarana
laboratorium. Dibandingkan uji mikroskopis, tes ini mempunyai kelebihan yaitu hasil
pengujian cepat diperoleh, akan tetapi Rapid Diagnostic Test (RDT) sebaiknya
menggunakan tingkat sentitivity dan specificity lebih dari 95% (Soerdato, 2011).

d. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi umum penderita,


meliputi pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah leukosit, eritrosit dan
trombosit (Widoyono, 2008).

1.5. Pengobatan Malaria

Pengobatan malaria hendaknya dilakukan setelah diagnosis malaria


dikonfirmasi melalui pemeriksaan klinis dan laboratorium. Pengobatan sebaiknya
memperhatikan tiga faktor utama, yaitu spesies plasmodium, status klinis penderita
dan kepakaan obat terhadap parasit yang menginfeksi. Obat anti malaria yang dapat
digunakan untuk memberantas malaria diantaranya malaria falcifarum adalah
artemisinin dan deriviatnya, chinchona alkaloid, meflokuin, balofantrin,
sulfadoksinpirimetamin, dan proguanil. Sedangkan untuk mengobati malaria vivax
dan malaria ovale, menggunakan obat anti malaria klorokuin. Namun bila digunakan
sebagai terapi radikal pemberian klorokuin diikuti dengan pemberian primakuin,
tidak terkecuali infeksi yang disebabkan plasmodium malariae, jenis obat klorokuin
tetap digunakan.

B. Imunosupresan
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon
imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan
mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat
sitotokis dan digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan merupakan zat-zat yang
justru menekan aktivitas sistem imun dengan jalan interaksi di berbagai titik dari
sistem tersebut. Titik kerjanya dalam proses-imun dapat berupa penghambatan
transkripsi dari cytokin, sehingga mata rantai penting dalam respon-imun diperlemah.
Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensial limfosit, yang dapat
dihambat pula oleh efek sitostatis langsung. Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau
dimusnahkan dengan pembentukan antibodies terhadap limfosit.

2.1 Mekanisme imunosupresi

Pada mahkluk tingkat tinggi seperti manusia, terdapat dua sistem pertahanan
(imunitas), yaitu imunitas nonsepesifik (innate immunity) dan imunitas spesifik (
adaptive imunity).

1. Imunitas nonspesifik

Merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliputi komponen fisik


berupa keutuhan kulit dan mukosa; komponen biokimiawi seperti asam lambung,
lisozim, komploment ; dan komponen seluler nonspesifik seperti netrofil dan
makrofag. Netrofil dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan
memproduksi berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain di daerah
infeksi. Selanjutnya benda asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi.

2. Imunitas spesifik

Memiliki karakterisasi khusus antara lain kemampuannya untuk bereaksi


secara spesifik dengan antigen tertentu; kemampuan membedakan antigen asing
dengan antigen sendiri (nonself terhadap self) ; dan kemampuan untuk bereaksi lebih
cepat dan lebih efesien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respon
imun spesifik ini terdiri dari dua sistem imun , yaitu imunitas seluler dan imunitas
humoral. Imunitas seluer melibatkan sel limposit T, sedangkan imunitas humoral
melibatkan limposit B dan sel plasma yang berfungsi memproduksi antibodi.

Aktivitas sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang


disebut sebagai antigen presenting sel. Prinsip umum penggunaan imunosupresan
untuk mencapai hasil terapi yang optimal adalah sebagai berikut:

1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan


dengan respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup: pengolahan
antigen oleh APC, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun.
Tahap ini merupakan yang paling sensitif terhadap obat imunosupresan.
Sebaliknya, begitu terbentuk sel memori, maka efektifitas obat imunosupresan
akan jauh berkurang.
2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang
berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu
antigen berbeda dengan dosis untuk antigen lain.

3.Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan


sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua penyakit autoimun
baru bisa dikenal setelah autoimuitas berkembang, sehingga relatif sulit di
atasi. jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya untuk melindungi tubuh
juga berkurang, membuat patogen, termasuk virus yang menyebabkan penyakit.
Penyakit defisiensi imun muncul ketika sistem imun kurang aktif daripada
biasanya, menyebabkan munculnya infeksi. Defisiensi imun merupakan penyebab
dari penyakit genetik, seperti severe combined immunodeficiency, atau
diproduksi oleh farmaseutikal atau infeksi, seperti sindrom defisiensi imun
dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus HIV. Penyakit autoimun
menyebabkan sistem imun yang hiperaktif menyerang jaringan normal seperti
jaringan tersebut merupakan benda asing. Penyakit autoimun yang umum
termasuk rheumatoid arthritis, diabetes melitus tipe 1 dan lupus erythematosus.
Peran penting imunologi tersebut pada kesehatan dan penyakit adalah bagian dari
penelitian.

2.2 Prinsip umum terapi imunosupresan

Prinsip umum penggunaan imunosupresan untukmencapai hasil terapi yang


optimal adalah sebagai berikut:

1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan
respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup: pengolahan antigen oleh
APC, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini merupakan
yang paling sensitif terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu terbentuk sel
memori, maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.

2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang


berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu antigen
berbeda dengan dosis untuk antigen lain.

3. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan


sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua penyakit autoimun baru
bisa dikenal setelah autoimuitas berkembang, sehingga relatif sulit di atasi.
2.3 implementasi Imunisupresan

1. Transplantasi organ

Penggunaannya.Immunosupresan banyak digunakan untuk mencegah reaksi


penolakan pada transplantasi organ, karena tubuh membentuk antibodies terhadap
sel-sel asing yang diterimanya. Guna mencegah penolakan transplantat selalu
diberikan :

Kortikisteroida

Azatriopin, siklofosfanida, atau mycofenolat

Siklosporin-A dan tacrolimus

Limfositimunoglobulin (Limfoglobulin)

2. Penyakit autoimun

Guna menekan aktivitas penyakit auto imun sering digunakan zat-zat


imunosupresif. Misalnya, pada rematik dan penyakit radang usus (colitis ulcerosa, M.
Crohn) diberikan sulfasalazin dan sitostatika (MTX, azatioprin).

3. Pencegahan hemolisis rhesus pada neonates

Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya untuk melindungi tubuh juga


berkurang, membuat patogen, termasuk virus yang menyebabkan penyakit. Penyakit
defisiensi imun muncul ketika sistem imun kurang aktif daripada biasanya,
menyebabkan munculnya infeksi. Defisiensi imun merupakan penyebab dari penyakit
genetik, seperti severe combined immunodeficiency, atau diproduksi oleh
farmaseutikal atau infeksi, seperti sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang
disebabkan oleh retrovirus HIV. Penyakit autoimun menyebabkan sistem imun yang
hiperaktif menyerang jaringan normal seperti jaringan tersebut merupakan benda
asing. Penyakit autoimun yang umum termasuk rheumatoid arthritis, diabetes melitus
tipe 1 dan lupus erythematosus. Peran penting imunologi tersebut pada kesehatan dan
penyakit adalah bagian dari penelitian.
C. Klorokuin

Rumus bangun dari klorokuin adalah sebagai berikut :

7-Kloro-4-[[4-(dietilamino)-1-metil butyl)]amino] kuinolin BM = 319,88 klorokuin


mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0% C18H26CIN3,
dihitung terhadap zat yang dikeringkan.

3.1 Klorokuin Sebagai Antimalria

Obat Antimalaria adalah senyawa yang digunakan untuk pencegahan dan


pengobatan malaria yang disebabkan oleh protozoa yaitu Plasmodiunm sp yang
masuk ke dalam tubuh tuan rumah (host) melalui gigitan nyamuk Anopheles betina
(Siswandono,M,S.,1995).

Berdasarkan struktur kimianya klorokuin fosfat merupakan turunan dari 4-


aminokuinolin. Turunan 4-aminokuinolin mempunyai aktifitas antimalaria yang
relatif tinggi disbandingkan kinin. Toksisitasnya relatif rendah, pemakaian jangka
panjang dengan dosis besar dapat mempengaruhi pendengaran dan penglihatan.
Klorokuin fosfat merupakan obat pilihan untuk pencegahan dan pengobatan serangan
akut malaria. Kombinasi dengan primakuin digunakan untuk pencegahan serangan
semua jenis malaria. Klorokuin juga digunakan untuk pengobatan chlonorchiasis dan
infeksi amuba hepatic berhubungan dengan keradangan, seperti rematik arthritis.
Penyerapan obat dalam saluran cerna cepat dan hampir sempurna, kadar serum
tertinggi dicapai dalam 1-2 jam, kemudia obat akan dikumpulkan pada jaringan
tertentu, seperti hati, paru dan ginjal dan tetap tinggal dalam waktu yang lama karena
terikat secara kuat dalam sel-sel yang mengandung melanin. Pelepasan obat ke
peredaran darah sangat pelan, dengan waktu paro antara 70-120 jam. Dosis oral untuk
pencegahan malaria : 300 mg/hari. Dimulai 2 minggu sebelum ke daerah yang diduga
adanya malaria, dan dilanjutkan 8 minggu setelah meninggalkan daerah tersebut.
Untuk pengobatan malaria dosis awal : 600 mg, diikuti dengan 300 mg pada jam ke
6,24 dan 48. (Siswandono,M.S.,1995).

Cara kerja obat klorokuin adalah dengan menghancurkan bentuk eritrosit


seksual (gametosit) dari parasit malaria sehingga mencegah penyebaran plasmodia ke
nyamuk anopheles. (Siswandono,M.S., 1995). Masa inkubasi malaria antara 12-30
hari. Dengan gejala penyakit yaitu : penderita merasa sakit kepala, lesu diikuti
demam tinggi seringkali disertai menggigil, diakhiri berkeringat banyak.Plasmodium
sp dapat pula menyerang otak menyebabkan malaria cerebralis dengan gejala-gejala
kaku kuduk, kesadaran yang menurun seperti pada gejala radang otak yang lain.
(Entjang, I,2000).

Obat bebas yang berada di pasaran untuk malaria termasuk dalam obat yang
berfungsi untuk menyembuhkan atau mencegah demam, yaitu :

1. Klorokuin, contoh nama merek obat : Duraquin, Cendoquine, Maralex,


Riboquin,Resorchin, Nivaquin.

2. Kinina, contoh nama merek obat : kina Kedua macam obat tersebut tersedia obat
generiknya. Untuk malaria yang termasuk jenis falciparum, infeksi campuran / yang
menyebabkan infeksi tidak diketahui maka sebaiknya menggunakan kinina.
Sedangkan Klorokuin digunakan untuk pencegahan dan pengobatan malaria, bekerja
kuat dan cepat. (Widodo, R, 2004).

3.2. Farmakokinetik

Absorpsi klorokuin setelah pemberian oral terjadi lengkap dan cepat, dan
makanan mempercepat absorpsi ini. Kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 1-2
jam. Kira-kira 55% dari jumlah obat dalamplasma diikat pada nondifussible plasma
constituent. Klorokuin lebih banyak diikat di jaringan. Metabolisme klorokuin dalam
tubuh berlangsung lambat sekali dan metabolitnya, monodesetilklorokuin dan
bisdesetilklorokuin, diekskresi melalui urin. Sejumlah kecil klorokuin masih
ditemukan dalam urin bertahun-tahun setelah pemberian dihentikan. Dosis harian 300
mg menyebabkan kadar mantap kira-kira 125 g/l, sedangkan dengan dosis oral 0,5
gram tiap minggu dicapai kadar plasma antara150-250 g/l dengan kadar lembah
antara 20-40 g/l. Jumlah ini berada dalam batas kadar terapi untuk P. Falciparum
yang sensitive dan P. vivax, yaitu 30 dan 15 g/l. Metabolisme klorokuin dihambat
oleh SKF 525-A, amodiakuin, hidroksiklorokuin, dan pamakuin. (Ganiswara, 1995).

3.3. Farmakodinamik

Aktivitas malaria. Klorokuin hanya efektif terhadap parasit dalam fase


eritrosit, sama sekali tidak efektif terhadap parasit di jaringan. Efektifvitasnya sangat
tinggi terhadap P. vivax dan P. falciparum. Selain itu, klorokuin juga efektif terhadap
gamet P. vivax. Efek supresi terhadap P. vivax lebih kuat dibandingkan dengan kina
dan kuinakrin. Gejala klinik serangan akut malaria menghilangkan 24-48 jam setelah
pengobatan, sedangkan parasit umumnya tidak ditemukan lagi di apus darah tepi
setelah 48-72 jam. Klorokuin menyembuhkan infeksi P. falciparum dengan
sempurna. Tetapi kambuhnya ifeksi P. vivax tidak dapat dihindari, hanya interval
relepsnya yang diperpanjang.

Mekanisme kerja obat ini diduga berhubungan dengan sintesis asam nukleat
dan nucleoprotein yaitu dengan menghambat DNA polymerase. Secara fisik terjadi
interkalasi klorokuin dengan guanine rantai DNA. Hal ini terjadi juga dengan
primakuin dan kuinin, tetapi tidak dengan meflokuin. Parasit yang menginfeksi
eritrosit akan segera mengambil dan mengakumulasi obat tersebut di dalam
badannya. Parasit ini juga menggumpalkan pigmen yang dihasilkan dari
penghancuran hemoglobin. Kepekaan plasmodia intraerosit terhadap klorokuin
berhubungan dengan kemampuannya untuk menumpuk didalam eritrosit. Proses
ambilan obat dan pengumpulan pigmen oleh parasit dihambat secara bersaing oleh
amodiakuin, kuinin, dan meflokuin. Ambilan klorokuin oleh plasmodia ini bersifat
butuh energi (energi dependent), terjenuhkan (saturable), dan berlangsung dengan
bantuan carrier. Ada dugaan bahwa pigmen dilepaskan dari degradasi Hb bertindak
sebagai reseptor untuk klorokuin dan turunannya. Pigmen ini atau kompleksnya dan
klorokuin dapat menyebabkan lisis parasit. (Ganiswara, 1995).
REVIEW JURNAL

Pengobatan awal dengan Klorokuin Menghambat Immune Response


Terhadap Infeksi Plasmodium yoelii pada mencit

1. Pendahuluan

Malaria tetap menjadi salah satu penyakit menular dan mematikan yang
paling umum menginfeksi manusia, lebih dari 200 juta kasus di seluruh dunia dan
lebih dari 655.000 kasus kematian per tahun (WHO 2011). Sampai saat ini, belum
ada vaksin yang berkhasiat untuk malaria; dengan demikian, penggunaan obat anti-
malaria masih salah satu metode primer mengendalikan penyakit ini. Klorokuin (CQ)
pernah disintesis oleh Hans Andersag pada tahun 1934 (Slater 1993), obat pilihan
pertama untuk pengobatan malaria karena ia aman, efektif, ditoleransi dengan baik,
dan murah (Baird 2004;Vijaykadga et al. 2004; Srivastava et al. 2008; Harga et al.
2009; Awab et al. 2010). Ekstensif penggunaan CQ pada pasien malaria secara
epidemiologi sebagian besar berkurang sejak resisten Plasmodium falciparum
terhadap klorokuin ditemukan pada tahun 1950-an (Harinasuta et al. 1965). Namun,
CQ masih obat pilihan di beberapa daerah dengan infeksi malaria Plasmodium vivax
dan daerah lain di mana CQ masih tetap efektif (Baird 2009). Dalam beberapa tahun
terakhir, adanya penemuan agen yang dapat membalikkan resistensi CQ serta laporan
terkait pemulihan sensitivitas CQ setelah ditarik mundur, CQ diharapkan digunakan
kembali sebagai lini pertama pengobatan antimalaria sebagai obat yang tak
tertandingi keuntungannya (Kublin et al 2003;. Mita et al 2003; Mwai et
Al. 2009; Kamugisha et al. 2012).
2. Bahan dan Metode

Mencit, parasit, dan infeksi Py 17XL

Mencit perempuan DBA/2 6- 8-minggu dibeli dari Beijing Animal


Institute. Infeksi ini diberikan secara intraperitoneal (ip) injeksi 1 106 Py 17XL
terparasit sel darah merah permencit.mencit yang digunakan dalam setiap percobaan
yang cocok untuk usia dan jenis kelamin. Parasitemia dipantau dengan menggunakan
mikroskop cahaya dari Giemsa-stained metode. Parasitemia dihitung dengan
menghitung jumlah eritrosit terinfeksi parasit per 1.000 eritrosit. Kematian diperiksa
setiap hari. Semua percobaan dilakukan sesuai dengan persyaratan komite etik hewan
lokal dan disetujui oleh Komite Etika Institutional Hewan di CinaUniversity Medical.

pengobatan CQ

CQ dibeli dari Shanghai Zhongxin Pharmaceuticals dan dilarutkan dalam


garam normal sebelum digunakan. Mencit DBA / 2 dibagi menjadi tiga kelompok:
mencit pada kelompok kontrol menerima garam, sementara mencit di pos-6h dan
pasca-3d kelompok menerima secara gavage administration 50 mg / kg CQ pada 6
jam setelah dan 3 d setelah infeksi Py 17XL, masing-masing.

kultur splenocyte

kultur splenocyte dilakukan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (Su dan


Stevenson 2002). Secara singkat, limpa mencit dibersihkan secara aseptis dan ditekan
dengan kawat halus steril dengan 10 ml RPMI 1640 dilengkapi dengan 10% serum
panas janin anak sapi yang dilemahkan (FCS),25 mM Hepes, 0,12% gentamisin, dan
2 mM glutamin. Suspense sel disentrifugasi pada 350 g selama 10 menit.

Eritrosit dilisis dengan 0,17 M NH4Cl dingin dan sel-sel dicuci 2 kal dengan
medium segar. Viabilitas sel ditentukan oleh uji eksklusi tripan biru dan> 90%.
Aliquot (500ml ) dari suspensi sel (1 107 / ml) diinkubasi di 24 jam pada plate datar
kultur jaringan dalam tiga rangkap selama 48 jam pada suhu 37 C dalam
dilembabkan dengan 5% CO2 dalam inkubator. fraksi supernatan dikumpulkan dan
disimpan pada -80 C untuk analisis sitokin dan oksida nitrat (NO) .

Analisis Flow cytometry

Untuk menilai DC, splenocytes dikumpulkan dari mencit di berbagai waktu


setelah infeksi (pi) diblokir dengan anti-CD16 / 32(Fc III / II reseptor; Clone 2.4G2;
BD Biosciences) dan kemudian diwarnai ganda dengan FITC terkonjugasi CD11c
mAb (Clone HL3; BD Biosciences), konjugasi PE anti-CD11b (Clone M1 / 70; BD
Biosciences), atau PerCP-terkonjugasi anti-CD45R / B220 mAb (Clone RA3-
6B2; BD Biosciences) dan PE-terkonjugasi anti-MHC II mAb (clone M5 / 114.15.2;
ebioscience). Untuk menilai ekspresi TLR9 di CD11c + DC, setelah fiksasi dan
Permeabilisasi, sel-sel di inkubasi dengan terbiotinilasi anti-TLR9 mAb (clone 5G5;
Hycult biotek) diikuti oleh PE-conjugated streptavidin (BioLegend, San Diego,
CA,USA).

Untuk menilai aktivasi sel CD4 + T, splenocytes dikumpulkan dari mencit


pada waktu yang berbeda pi yang diwarnai ganda dengan FITC-terkonjugasi anti-
CD4 (clone H1.2F3; BD Biosciences) dan anti-CD69 (clone H1.2F3; BD
Biosciences). Untuk menganalisis makrofag, splenocytes diwarnai dengan konjugasi
FITC anti-F4 / 80 (clone BM8;ebioscience). Untuk mengukur IgG mensekresi sel B,
sel-sel yang pertama diwarnai pada permukaan dengan PerCP-terkonjugasi anti-
CD45R / B220 (clone RA3-6B2; BD Biosciences); kemudian difixkan, permeabel,
dan diwarnai dengan konjugasi FITC anti-IgG (BD Biosciences). Setelah pewarnaan,
sel-sel kemudian dicuci dua kali dengan PBS yang mengandung 1% FCS dan
ditangguhkan di 300 l dari PBS. Data dianalisis di FACSCalibur cytometer
menggunakan software CellQuest.

Kuantifikasi sitokin dan produksi NO

Level dari IFN- , TNF, dan IL-4 diukur menggunakan kit commercial
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) menurut protokol pabrik (R & D
Systems, Minneapolis, MN). Untuk menentukan produksi NO, konsentrasi NO2 Di
sel supernants diukur dengan menggunakan reaksi Griess.

Analisis statistik

Perbedaan Signifikansi statistik dianalisis menggunakan t-test (SPSS


17.0). Nilai P <0,05 dianggap signifikan.

3. Hasil Penelitian

a. Pengobatan CQ mempengaruhi jalannya infeksi pada mencit DBA / 2 terinfeksi Py


17XL

CQ diberikan kepada mencit di enam jam pi (post-6h) dan pada tiga hari pi (post-3d),
masing-masing, untuk menentukan jangka waktu dari aksinya. Hasil ini menunjukkan
bahwa pemberian CQ pasca-6h kurang efektif dibandingkan dengan aplikasi pasca-3d
dalam pengobatan Infeksi py 17XL.

b. Pengobatan CQ menghambat imunitas seluler host


Sel T CD4 + dari kelompok pasca-6h menunjukkan secara signifikan
mengurangi efektivitas CD69 pada hari 3 hari 5 pi dibandingkan dengan kelompok
kontrol (Gambar. 1B-D). produksi spenocite dari proimflamasi sitokin seperti TNF
dan IFN- juga menurun pada kelompok pasca 6h pada hari 3 dan 5 pi (Gambar. 1E,
F). Tidak ada perubahan seperti yang diamati dalam Kelompok pasca-3d. Data ini
menunjukkan bahwa bahwa sel lebih sedikit mengaktifkan CD4 + T dan kurangnya
produksi pro-inflamasi sitokin dalam limpa ketika pengobatan CQ dimulai lebih
awal setelah infeksi.

selanjutnya dilakukan penilaian jumlah dan fungsi makrofag yang terkait


dengan reaksi pro-inflamasi dalam limpa mencit yang terinfeksi
Py 17XL. Ditemukan pada mencit dari kelompok pasca-6h yang kurang signifikan
F4 / 80 + makrofag di limpa pada hari 3 dan 5 pi. Dan juga dilakukan pengukuran
tingkat NO dalam supernatan pada kultur splenocytes; NO diproduksi dalam jumlah
besar oleh makrofag setelah diaktivasi dan berkontribusi terhadap pembunuhan
parasites (Ahvazi et al. 1995). Seperti yang diharapkan, splenocytes dari mencit pada
kelompok pasca-6h kurang memproduksi NO daripada kelompok kontrol (Gambar.
2D). Dengan demikian, mencit yang diobati dengan CQ awal setelah infeksi malaria
menunjukkan kurangnya aktivasi makrofag di limpa.

Data yang dilaporkan di atas menunjukkan bahwa pengobatan dengan CQ


segera setelah infeksi malaria mengakibatkan ditekannya imunitas seluler
selama infeksi Py 17XL.

c. Pengobatan CQ menghambat kekebalan humoral tubuh

Untuk menyelidiki apakah ada pengaruh pengobatan CQ pada kekebalan


humoral terhadap parasit Plasmodium, dilakukan analisa jumlah sel B220 + IgG + sel
B di splenocytes dengan flow cytometry. Penemuan menunjukkan bahwa persentase
dan jumlah absolute sekresi IgG sel B dan tingkat IL-4 itu secara signifikan
berkurang pada kelompok pasca-6h pada hari 8 p.i dibandingkan dengan kelompok
kontrol, tetapi tidak ada perbedaan signifikan antara pasca-3d CQ dan kelompok
kontrol yang diamati. Hasil ini menunjukkan bahwa pengobatan dini dengan CQ
memiliki efek penekan pada induksi respon Th2 dan kekebalan humoral mencit yang
terinfeksi Py 17XL.

d. Pengobatan CQ menghambat aktivasi dan pematangan DC

Untuk memperjelas apakah penurunan selular dan kekebalan humoral pada


kelompok pasca-6h dari pemberian CQ pada mencit dikaitkan dengan penghambatan
pematangan dan aktivasi DC, dilakukan penilaian jumlah dan fenotip DC subset di
limpa. infeksi Py 17XL mengakibatkan ekspansi yang signifikan dari kedua
CD11c + CD11b + DC (myeloid DC, MDC) dan CD11c + B220 + DC
(plasmatocytoid DC, PDC), di limpa dari mencit kontrol. Namun, mencit dari
kelompok pasca-6h memiliki penurunan secara signifikan jumlah pDCs pada hari 3 pi
dan menurun pada mDCs dan pDCs pada hari 5 pi. Sebaliknya, Ekspansi DC pada
mencit dari kelompok pasca-3d menyerupai mencit kontrol. DC Dewasa
menunjukkan peningkatan ekspresi histocompatibility complex molecul (MHC) dan
co-stimulasi molekul. DC matang dan DC aktif dapat diidentifikasi oleh ekspresi
tingkat yang sangat tinggi dari MHC molekul II (Reis e Sousa 2006).Persentase dan
jumlah absolut dari MHC II + CD11c + sel dalam splenocytes dari mencit dari
kelompok pasca-6h secara signifikan lebih rendah dari mencit kelompok kontrol pada
hari 3 dan 5 pi, sementara tidak ada perbedaan di populasi pada mencit dari kelompok
pasca-3d. Secara bersama-sama, data ini menunjukkan bahwa pematangan dan
aktivasi DC ditekan pada mencit yang diadministrasikan CQ segera
setelah infeksi Py 17XL, yang mungkin berkontribusi sampai batas aktivasi dari sel
adaptif dan imunitas humoral pada mencit.

e. CQ menurunkan ekspresi TLR9

TLR9 adalah salah satu reseptor Toll-like paling penting yang menengahi
aktivasi DC selama proses Infeksi Plasmodium. Hal ini melaporkan bahwa
keterlibatan TLR9 dengan ligan secara langsung dipengaruhi oleh pengobatan CQ
(Zhu et al. 2012). Untuk menentukan apakah TLR9 terlibat dalam disfungsi DC
dalam percobaan ini, dilakukan pemeriksaan ekspresi TLR9 di DC dengan pewarnaan
intraseluler. Ditemukannya bahwa infeksi Py 17XL signifikan mengangkat jumlah
TLR9 + CD11c + DC di limpa pada hari ke 5 pi di kelompok kontrol dan kelompok
pasca-3d. Namun, pada kelompok pasca-6h, pengobatan CQ mengakibatkan
perubahan Ekspresi TLR9 signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol di
titik waktu yang sama. Data ini menunjukkan bahwa pemberian awal CQ
mempengaruhi ekspresi TLR9 di DC selama infeksi Py 17XL. Efek ini dapat
berkontribusi secara parsial terhadap pematanga DC yang terlihat dalam percobaan
ini.

4. Diskusi

Obat anti malaria diresepkan untuk populasi besar untuk profilaksis tanpa
skrining parasitemia (Fidock et al. 2004). Obat ini telah diberikan bahkan untuk
kelompok berisiko tinggi, seperti bayi, anak-anak, dan wanita.Sementara CQ secara
signifikan dapat mengurangi angka kematian, tapi apakah itu akan mengganggu
sistem kekebalan tubuh hostnya secara umum atau memberikan efek samping pada
tubuh terhadap infeksi malaria khususnya untuk saat ini masih belum diketahui. Pada
penelitian ini menunjukkan bahwa dosis tunggal CQ diberikan segera setelah Infeksi
malaria (kelompok pasca-6h) secara signifikan menekan baik imunitas seluler
maupun humoral dari hostnya, mungkin melalui modifikasi fungsi DC. Penelitian ini
menunjukkan pentingnya penggunaan CQ yang rasional untuk pengobatan dan
profilaksis malaria. Percobaanini juga menunjukkan bahwa dosis tunggal CQ segera
setelah infeksi malaria (kelompok pasca-6h) tidak mempengaruhi tingkat awal
parasitemia dibandingkan dengan kelompok kontrol, tetapi tidak memperpendek
perjalanan penyakit. Ini dapat dijelaskan dengan efek anti-malaria dari CQ yang
bertindak secara eksklusif pada siklus intra-erythrocytic parasit malaria (Yayon et al.
1984). Selain itu hasil menunjukkan bahwa mencit yang diberi pengobatan CQ
pasca-6h tunggal mengambil lebih banyak waktu untuk membersihkan infeksi
daripada mereka yang diobati dengan CQ pada hari 3 pi Meskipun Perbedaan ini bisa
dikaitkan dengan ketidaksamaan efisiensi antimalaria CQ yang diberikan pada waktu
yang berbeda-beda. kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa respon
kekebalan tubuh terhadap infeksi yang berbeda-beda dipengaruhi oleh beragam
pengobatan CQ. Kemungkinan ini dikonfirmasi oleh hasil penelitian ini bahwa
respon protektif imun dalam Kelompok pasca-6h mencit ditekan dibandingkan
dengan Kelompok kontrol sedangkan kelompok pasca-3d tidak mengalami
imunosupresi yang sama. Data ini menunjukkan bahwa waktu intervensi CQ sangat
penting untuk efek immunomodulator dalam kasus mencit malaria Hanya pengobatan
CQ lebih awal setelah hasil infeksi pada inhibisi respon protektif imun, yang
menunjukkan peran potensial dari CQ pada fungsi APC.

Beberapa laporan telah menunjukkan bahwa CQ dapat mengatur fungsi


kekebalan tubuh bawaan dengan cara TLR9-dependent (Dia et al. 2004; Hong et
al. 2004; Coban et al. 2005; Huang et Al. 2005). Selain itu, penelitian awal defisit
TLR9 pada mencit menunjukkan bahwa TLR9 tidak hanya diperlukan untuk produksi
sitokin pro-inflamasi, tetapi juga untuk menginduksi respon imun berbasis Th1 dan
proliferasi sel B (Liu et al 2003;. Dia et al 2004;. Iwasaki dan Medzhitov
2004). Sampai saat ini, hanya TLR2, 4 dan 9 telah dilaporkan untuk
mengenali komponen Plasmodium seperti hemozoin, glikosil fosfatidil inositol, dan
DNA kompleks protein yang menyebabkan aktivasi imunitas bawaan (Coban et al
2005;. Krishnegowda et al 2005;. Parroche et al. 2007; Wu et al. 2010). Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa variasi yang luar biasa dalam DC pada kelompok
pasca-6h kemungkinan berkaitan dengan perubahan fungsi TLR9.

penurunan ekspresi dari TLR9 pada DC dari kelompok pasca-6h pada hari 5
pi mungkin peristiwa sekunder dari pematangan Dc yang rendah. Namun, tidak bisa
mengecualikan kontribusi awal perubahan sinyal TLR9 untuk pematangan dan
aktivasi DC. Data ini adalah yang pertama untuk menunjukkan bahwa efek dari CQ
pada respon kekebalan pada tikus DBA/2 yang terinfeksi Py 17XL dikaitkan dengan
waktu administrasi obat. Pengobatan CQ pada tahap sangat awal infeksi secara
signifikan menghambat baik seluler dan humoral respon imun terhadap malaria, yang
menunjukkan bahwa CQ dapat memperburuk parasitemia yang terjadi karena
kekebalan tubuh. Namun demikian, setelah titik waktu kritis , CQ tidak mengerahkan
peran depresi nya. CQ tetap merupakan obat penting untuk saat ini dan masa depan
dalam pengobatan malaria, penemuan kami memberikan informasi penting tentang
mekanisme kerja CQ, yang memiliki implikasi kritis untuk terapi malaria.

5. Analisis jurnal

Pada jurnal ini penelitian yang dilakukan adalah melihat fungsi atau efek
pemberian lebih awal chloroquin sebagai imunosupresan pada penyakit antimalaria
dimana penelitian ini dilakukan dengan pengujian pada mencit yang dikondisikan
sebagai mencit yang terinfeksi malaria. Sebagaimana yang diketahui CQ merupakan
obat antimalaria yang digunakan beberapa dekade ini. Dalam hal ini mencit dibagi
menjadi 3 kelompok uji yaitu kelompok kontrol, kelompok pasca 6h dan pasca 3hari.
mencit dari kelompok pasca-6h butuh waktu lebih lama untuk membunuh parasit
dibandingkan dengan mencit dari kelompok pasca-3d. Aktivasi sel T helper,
makrofag, dan sel B secara signifikan ditekan pada mencit dengan pengobatan CQ
pasca-6h dibandingkan dengan mencit kontrol pada hari ke 3 dan hari 5 setelah
infeksi. Sebaliknya, tidak ada perubahan seperti yang ditemukan pada mencit dari
post-3d kelompok. Sel dendritik (DC) dari mencit pasca-6h yang diberikan CQ
kurang matang dibandingkan dengan mencit kontrol serta kelompok pasca-3d. Data
dari penelitian ini menunjukkan bahwa efek dari CQ pada respon kekebalan
pada tikus DBA/2 yang terinfeksi Py 17XL dikaitkan dengan waktu administrasi
obat. sehingga penelitian ini berguna menunjukkan bahwa perlunya pemberian CQ
yang rasional dalam penanganan kasus malaria agar sifat imunosupresi dari CQ
dapat bekerja dengan baik dalam penyembuhan malaria, namum karena adanya
kompleksitas respon imun terhadap malaria maka perlunya penyelidikan lebih lanjut
terkait mekanisme imunosupresan CQ.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. 2010. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: UI Press

Anis. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan. Jakatra: PT Elex Media Komputindo.

Entjang, I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Cetakan ketiga belas, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti

Ganiswara, G.S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru

Harijanto, P. N., Nugroho. A., & Gunawan, C. A. 2010. Malaria dari Molekuler Ke
Klinis. Jakarta: EGC

Prabowo, A. 2008. Malaria Mencegah dan Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara

Siswandono, M.S. 1995, Kimia Medisinal, cetakan pertama. Surabaya: Airlangga


University Press

Soedarto. 2011. Malaria Epidemilogi Global-Plasmodium-Anopheles-


Penatalaksanaan Penderita Malaria. Jakarta: Sugeng Seto

Sudarto. 1992. Penyakit-Penyakit Infeksi Di Indonesia. Surabaya: Widya Medika

Sumirat, J. 2009. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Suyanto. 2011. Metodologi dan Aplikasi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Muha


medika.

Widodo, R. 2004. Panduan Keluarga Memilih dan Menggunakan Obat, cetakan


Pertama. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Widoyodo. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasanya. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai