Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Rawat Gabung

1.1 Pengertian

Rawat gabung adalah suatu cara perawatan dimana ibu dan bayi yang baru

dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan di tempatkan dalam sebuah ruangan

kamar atau tempat bersama-sama selama 24 jam penuh dalam seharinya

(Maryuni, 2009; Rukiyah, 2010).

1.2 Tujuan rawat gabung

Tujuan rawat gabung adalah agar ibu dapat menyusui bayinya sedini

mungkin kapan saja dibutuhkan, ibu dapat melihat dan memahami cara

perawatan bayi yang benar seperti yang dilakukan oleh petugas, ibu

mempunyai pengalaman dalam merawat bayinya sendiri selagi ibu masih di

rumah sakit dan ibu memperoleh bekal keterampilan merawat bayi serta

menjalankannya setelah pulang dari rumah sakit. Rawat gabung juga

memungkinkan suami dan keluarga dapat terlibat secara aktif untuk mendukung

dan membantu ibu dalam menyusui dan merawat bayinya secara baik dan

benar, selain itu ibu mendapatkan kehangatan emosional karena ibu dapat

selalu kontak dengan buah hati yang sangat dicintainya, demikian pula

sebaliknya bayi dengan ibunya (Maas, 2004; Mappiwali, 2008).

Universitas Sumatera Utara


1.3 Syarat ibu dan bayi yang dapat di rawat gabung

Bayi dan ibunya yang dapat dirawat gabung harus memenuhi syarat atau

kriteria antara lain : usia kehamilan >34 minggu dan berat lahir >1800

gram (berarti berarti refleks menelan dan menghisapnya sudah membaik), nilai

APGAR pada lima menit pertama minimal 7, tidak ada kelainan kongenital yang

memerlukan perawatan khusus, tidak ada trauma lahir atau morbiditas lain yang

berat, dan bayi yang lahir dengan sectio caesarea yang menggunakan pembiusan

umum, rawat gabung dilakukan setelah ibu dan bayi sadar, misalnya 4-6 jam

setelah operasi selesai. Apabila pembiusan secara spinal, bayi dapat segera

disusui. Apabila ibu masih mendapat infus, bayi tetap dapat disusui dengan

bantuan petugas, dan ibu dalam keadaan sehat (Prawirohardjo, 2008;

Maryuni,

2009).

1.4 Kontraindikasi Rawat Gabung

Kegiatan rawat gabung dimulai sejak ibu bersalin di kamar bersalin dan

di bangsal perawatan pasca persalinan. Akan tetapi, tidak semua bayi atau ibu

dapat segera dirawat gabung. Ibu yang tidak dapat melaksanakan rawat gabung

adalah ibu dengan kelainan jantung yang ditakutkan menjadi gagal jantung, ibu

dengan preklamsia dan eklamsia berat, ibu dengan penyakit akut yang berat, ibu

dengan karsionoma payudara, dan ibu dengan psikosis. Sedangkan bayi yang

tidak dapat di rawat gabung adalah bayi dengan berat lahir sangat rendah,

bayi dengan kelainan kongenital yang berat, bayi yang memerlukan

observasi atau terapi khusus (bayi kejang, sakit berat) (Prawirohardjo, 2008).

Universitas Sumatera Utara


1.5 Manfaat Rawat Gabung
Kontak dini antara ibu dan bayi yang telah dibina sejak dari kamar

bersalin seharusnya tetap dipertahankan dengan merawat bayi bersama ibunya.

Secara fisik, rawat gabung bermanfaat memudahkan ibu untuk menjangkau

bayinya untuk melakukan perawatan sendiri dan menyusui setiap saat, kapan

saja bayinya menginginkan. Perawatan sendiri dan menyusui sedini

mungkin, akan mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi silang dari pasien

lain atau petugas kesehatan (Mappiwali, 2008; Suradi dan Kristina, 2004).

Secara fisiologis, rawat gabung memberikan kesempatan pada ibu untuk

dekat dengan bayinya, sehingga bayi dapat segera disusui dan frekuensi

ibu memberi ASI akan lebih sering. Proses ini merupakan proses fisiologis yang

alami, di mana bayi mendapat nutrisi alami yang paling sesuai dan baik. Hal ini

akan menimbulkan refleks prolaktin yang akan memacu proses produksi ASI.

Selain itu, ibu dengan menyusui akan mengalami refleks oksitosin yang akan

membantu proses fisiologis involusi rahim (Mappiwali, 2008; Suradi dan

Kristina, 2004).

Secara psikologis, Ibu dan bayi akan segera terjalin proses lekat (early

infant-mother bonding) karena adanya sentuhan badan antara ibu dan

bayinya. Hal ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan

psikologis bayi karena kehangatan tubuh ibu merupakan stimulasi

mental yang mutlak dibutuhkan oleh bayi (Mappiwali, 2008; Suradi dan

Kristina, 2004). Rawat gabung juga akan memberikan kepuasan pada ibu

karena ibu dapat melaksanakan tugasnya sebagai seorang ibu dalam

memenuhi kebutuhan nutrisi bagi bayinya dan keadaan ini akan memperlancar

produksi ASI karena seperti

Universitas Sumatera Utara


telah diketahui, refleks let-down bersifat psikosomatis. Sebaliknya bayi

akan mendapatkan rasa aman dan terlindung, merupakan dasar bagi

terbentuknya rasa percaya pada diri anak. Ibu akan merasa bangga karena

dapat menyusui dan merawat bayinya sendiri dan bila suaminya berkunjung,

akan terasa adanya suatu ikatan kesatuan keluarga (Prawirohardjo, 2008).

Secara edukatif, ibu akan diajari cara menyusui yang benar, cara merawat

payudara, merawat tali pusat, memandikan bayi (Mappiwali, 2008).

Keterampilan ini diharapkan dapat menjadi modal bagi ibu untuk merawat bayi

dan dirinya sendiri setelah pulang dari rumah sakit dan di samping pendidikan

bagi ibu, dapat juga dipakai sebagai sarana pendidikan bagi keluarga, terutama

suami, dengan cara mengajarkan suami cara merawat ibu dan bayi. Suami akan

termotivasi untuk memberi dorongan moral bagi istrinya agar mau menyusui

bayinya (Prawirohardjo, 2008).

Secara ekonomi, rawat gabung memungkinkan ibu untuk memberikan

ASI sedini mungkin. Bagi rumah bersalin terutama rumah sakit pemerintah, hal

tersebut merupakan suatu penghematan anggaran pengeluaran untuk pembelian

susu formula, botol susu, dot serta peralatan lain yang dibutuhkan. Lama

perawatan ibu menjadi lebih pendek karena involusi rahim terjadi lebih cepat

dan infeksi nosokomial dapat dicegah atau dikurangi, berarti penghematan biaya

bagi rumah sakit maupun keluarga ibu (Mappiwali, 2008; Suradi dan Kristina,

2004).

Secara medis, pelaksanaan rawat gabung akan menurunkan terjadinya

infeksi nosokomial pada bayi serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas

ibu maupun bayi (Mappiwali, 2008; Prawirohardjo, 2008).

Universitas Sumatera Utara


2. Konsep Pasca Salin

2.1 Defenisi Pasca Salin

Pasca salin atau yang sering disebut masa nifas (puerperium) adalah masa

pulih kembali seperti sebelum hamil, mulai dari persalinan selesai sampai alat-

alat kandungan kembali seperti sebelum hamil dan lama masa nifas yaitu 6-8

minggu (Mochtar, 1998). Bobak (2004) menyatakan bahwa periode pasca

salin adalah masa enam minggu sejak bayi baru lahir sampai organ-organ

reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil.

2.2 Adaptasi Fisiologis Pasca Salin

Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas, walaupun dianggap

normal, dimana proses proses pada kehamilan berjalan terbalik. Perubahan

fisiologis yang terjadi antara lain (Bobak, 2004) :

2.2.1. Sistem reproduksi

Uterus akan mengalami suatu proses kembali ke keadaan sebelum hamil

setelah melahirkan yang disebut involusi. Proses ini dimulai segera setelah

plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot polos. Uterus yang pada waktu hamil

penuh beratnya 11 kali berat sebelum hamil, berinvolusi menjadi kira-kira

500 gram dalam satu minggu setelah melahirkan dan berada di dalam panggul

sejati lagi.

Servik menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan. Delapan belas

(18) jam pascapartum, servik memendek dan konsistensinya menjadi lebih padat

dan kembali ke bentuk semula.

Universitas Sumatera Utara


Estrogen pascapartum yang menurun berperan dalam penipisan mukosa

vagina dan hilangnya rugae. Vagina yang semula sangat teregang akan kembali

secara bertahap ke ukuran sebelum hamil, 6-8 minggu setelah bayi lahir..

Apabila wanita memilih untuk tidak menyusui dan tidak

menggunakan obat antilaktogenik, kadar prolaktin akan turun dengan cepat.

Sekresi dan ekskresi colostrum menetap selama beberapa hari pertama setelah

wanita melahirkan.

Ibu yang menyusui ketika laktasi terbentuk, teraba suatu masa (benjolan),

tetapi kantong susu yang terisi berubah posisi dari hari ke hari. Sebelum laktasi

dimulai, payudara teraba lunak dan suatu cairan kekuningan, yakni

colostrum dikeluarkan dari payudara.

2.3 Adaptasi Psikologis Pasca Salin

Periode pasca salin menggambarkan suatu waktu stress emosional bagi

ibu baru dan menjadi lebih sulit dengan perubahan fisiologis besar yang terjadi.

Adaptasi psikologis setelah melahirkan menurut Rubin (1997, dalam

Stright,

2004; Maryuni, 2009) mengatakan bahwa ibu akan melalui fase-fase

sebagai berikut :

a. Fase Taking-In

Fase ini merupakan periode ketergantungan dimana ibu

mengharapkan segala kebutuhannya dipenuhi orang lain. Fase ini berlangsung 1-

2 hari setelah melahirkan, ibu biasanya lebih mudah tersinggung dan cenderung

bersifat pasif terhadap lingkungannya disebabkan faktor kelelahan; energi

difokuskan pada

Universitas Sumatera Utara


perhatian tubuhnya. Ibu akan sering mengulang kembali pengalaman

persalinan dan melahirkan.

b. Fase Taking-Hold

Fase ini berlangsung 3-10 hari setelah melahirkan, ibu menaruh perhatian

pada kemampuannya untuk menjadi orangtua yang berhasil dan menerima

peningkatan tanggung jawab terhadap bayinya. Ibu berfokus pada pengembalian

kontrol terhadap fungsi tubuhnya, fungsi usus, kandung kemih, kekuatan,

dan daya tahan. Ibu juga berusaha untuk terampil dalam perawatan bayi baru

lahir (misalnya, memeluk, menyusui ASI atau dengan botol, memandikan, atau

mengganti popok).

c. Fase Letting-Go

Fase ini umumnya terjadi setelah ibu baru kembali ke rumah. Ibu sudah

menerima tanggung jawabnya untuk merawat bayinya dan ibu sudah harus

mampu beradaptasi terhadap kebutuhan ketergantungan bayinya dan beradaptasi

terhadap penurunan otonomi, kemandirian dan interaksi sosial.

3. Konsep Air Susu Ibu (ASI)

3.1 Defenisi

Air Susu Ibu adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktose

dan garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar payudara ibu,

sebagai makanan utama bagi bayi (Kristiyanasari, 2009).

Universitas Sumatera Utara


3.2 Fisiologi Laktasi

Laktasi atau menyusui adalah suatu proses produksi/pembentukan

ASI (refleks prolaktin) dan pengeluaran ASI (refleks let down) (Suradi dan

Kristina,

2004). Pembentukan ASI (refleks prolaktin) dimulai sejak kehamilan. Pada masa

kehamilan terjadi perubahan-perubahan payudara terutama besarnya

payudara, yang disebabkan oleh adanya proliferasi sel-sel duktus laktiferus dan

sel-sel kelenjar pembentukan ASI serta lancarnya peredaran darah pada payudara.

Proses proliferasi ini dipengaruhi oleh hormon-hormon yang dihasilkan oleh

plasenta yaitu laktogen, prolaktin, kariogona dotropin, estrogen dan progesteron

(Maryuni,

2009). Selama kehamilan, hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI

biasanya belum keluar karena dihambat oleh kadar estrogen yang tinggi (Suradi

dan Kristina, 2004).

Setelah persalinan, kadar estrogen dan progesteron menurun dengan

lepasnya plasenta, sedangkan prolaktin tetap tinggi sehingga tidak ada lagi

hambatan terhadap prolaktin oleh estrogen. Hormon prolaktin ini merangsang

sel- sel alveoli yang berfungsi untuk membuat air susu (Maryuni, 2009).

Produksi prolaktin yang berkesinambungan disebabkan oleh bayi

yang selalu menyusui. Prolaktin akan berada di peredaran darah selama 30

menit setelah dihisap, sehingga prolaktin dapat merangsang payudara

menghasilkan ASI untuk minum berikutnya. Sedangkan untuk minum

yang sekarang, bayi mengambil ASI yang sudah ada. Makin banyak ASI yang

dikeluarkan dari gudang ASI (sinus laktiferus), makin banyak produksi ASI atau

dengan kata lain, makin sering bayi menyusui makin banyak ASI diproduksi

Universitas Sumatera Utara


(IDAI, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Pengeluaran ASI merupakan suatu interaksi yang kompleks antara

rangsangan mekanik, saraf dan bermacam-macam hormon. Proses pelepasan ASI

atau refleks letdown dikendalikan oleh neuroendokrin, dimana bayi yang

menghisap payudara ibu akan merangsang produksi oksitosin yang menyebabkan

kontraksi sel-sel mioepitel. Kontraksi dari sel-sel mioepitel akan memeras air

susu yang telah dibuat dan keluar dari alveoli, masuk ke sistem duktulus yang

selanjutnya mengalir melalui duktus laktiferus dan masuk ke mulut bayi

sehingga ASI tersedia bagi bayi (Maryuni, 2009).

Faktor-faktor yang memicu peningkatan refleks letdown yaitu pada

saat ibu melihat bayi, mendengar suara bayi, mencium bayi, dan memikirkan

untuk menyusui bayi. Sementara faktor-faktor yang menghambat refleks letdown

adalah kondisi ibu yang stress, keadaan bingung (psikis kacau), takut, cemas,

lelah, malu dan merasakan nyeri (Maryuni, 2009).

Oksitosin juga memacu kontraksi otot rahim sehingga involusi rahim

makin cepat dan membantu mengurangi terjadinya perdarahan. Tidak

jarang, perut ibu akan terasa sangat mulas pada hari-hari pertama menyusui.

Hal ini merupam mekanisme alamiah yang baik untuk kembalinya uterus ke

bentuk semula (Maryuni, 2009 ; Suradi dan Krsitina, 2004).

3.3 Manfaat ASI bagi Bayi

Manfaat ASI bagi bayi adalah ASI mengandung protein yang

spesifik untuk melindungi bayi dari alergi, secara alamiah ASI memberikan

kebutuhan yang sesuai dengan usia kelahiran bayi (seperti untuk bayi

prematur), ASI

Universitas Sumatera Utara


memiliki kandungan protein lebih tinggi, bebas kuman karena diberikan secara

langsung, suhu ASI sesuai dengan kebutuhan bayi, lebih muda dicerna dan

diserap oleh usus bayi, mengandung banyak kadar selenium yang melindungi

gigi dari kerusakan dan menyusui akan melatih daya isap bayi dan membantu

membentuk otot pipi yang baik serta memberikan keuntungan

psikologis (Maryuni, 2009).

3.4 Manfaat Menyusui Bagi Ibu

Manfaat menyusui bagi ibu antara lain mengurangi perdarahan setelah

melahirkan, mengurangi terjadinya anemia karena kekurangan zat besi akibat

perdarahan, menjarangkan kehamilan, mengecilkan rahim, ibu lebih

cepat langsing kembali, mengurangi kemungkinan menderita kanker pada ibu

yang memberikan ASI eksklusif dan lebih ekonomis serta mudah karena

menghemat pengeluaran untuk susu formula, perlengkapan untuk menyusui

dan persiapan untuk pembuatan susu formula (Roesli, 2000).

3.5 Masalah-Masalah yang Dihadapi Ibu


Menyusui

Adapun masalah yang sering terjadi pada saat menyusui adalah sebagai

berikut :

a. Puting Susu Datar/ Terbenam

Pada awalnya bayi akan mengalami kesulitan, tetapi setelah beberapa

minggu dengan usaha yang ekstra, putting susu yang datar akan menonjol keluar

sehingga bayi dapat menyusu dengan mudah. Usaha untuk mengeluarkan

puting

Universitas Sumatera Utara


susu yang terbenam ini dapat dilakukan dengan cara menyusui bayi segera

setelah lahir. Menyusui bayi sesering mungkin (misal 2-2 jam) akan

menghindarkan payudara terisi terlalu penuh dan memudahkan bayi

untuk menyusu. Mengeluarkan ASI secara manual sebelum menyusui dapat

membantu bila kandungan payudara dan puting susu tertarik ke dalam. Pompa

ASI yang efektif (bukan yang berbentuk terompet atau bentuk squeeze dan

bulb) dapat dipakai untuk mengeluarkan putting susu pada waktu menyusui

(Depkes RI, 2001).

b. Puting Susu Nyeri

Pada umumnya ibu akan mengalami sakit pada waktu awal

menyusui. Rasa nyeri ini akan berkurang setelah ASI keluar dan bila posisi mulut

bayi pada saat menyusui benar, perasaan nyeri ini akan menghilang. Cara

menanganinya adalah dengan memastikan posisi menyusui sudah benar dan

memulai menyusui pada puting susu yang tidak sakit untuk membantu

mengurangi rasa sakit pada puting susu yang sedang sakit. Segera setelah

minum, keluarkan sedikit ASI, oleskan di puting susu dan biarkan payudara

terbuka untuk beberapa waktu sampai puting susu kering dan jangan

membersihkan puting susu dengan sabun. Hindarkan puting susu menjadi lembab

(Depkes RI, 2001).

c. Puting Susu Lecet

Puting susu yang nyeri, bila tidak segera ditangani dengan benar

akan menjadi lecet, sehingga menyusui akan terasa menyakitkan dan dapat

mengeluarkan darah. Puting susu yang lecet dapat disebabkan oleh posisi

menyusui yang salah, tapi dapat pula disebabkan oleh thrush (candidiasis) atau

dermatitis. Hal ini dapat diatasi dengan cara mengobati puting susu yang lecet

Universitas Sumatera Utara


dan

Universitas Sumatera Utara


memperhatikan posisi menyusui. Apabila sangat menyakitkan, berhenti

menyusui pada payudara yang sakit untuk sementara untuk memberi kesempatan

lukanya sembuh dan keluarkan ASI dari payudara yang sakit dengan tangan

(jangan dengan pompa ASI) untuk tetap mempertahankan kelancaran

pembentukan ASI serta berikan ASI perah dengan sendok atau gelas tetapi

jangan dengan dot. Setelah terasa membaik, mulai menyusui kembali dan mula-

mula dengan waktu yang lebih singkat. Apabila lecet tidak sembuh dalam 1

minggu, rujuk ke Puskesmas (Depkes RI, 2001).

d. Payudara Bengkak

Pada hari pertama (sekitar 2-4 jam), payudara sering terasa penuh

dan nyeri disebabkan bertambahnya aliran darah ke payudara bersamaan dengan

ASI yang mulai diproduksi dalam jumlah banyak. Penyebab payudara bengkak

adalah posisi mulut bayi dan puting susu ibu yang salah, poduksi ASI berlebih,

terlambat menyusui, pengeluaran ASI yang jarang, dan waktu menyusui yang

terbatas. Cara mengatasinya adalah dengan menyusui bayi sesering mungkin

tanpa terjadwal tanpa batas waktu. Bila bayi sukar menghisap, keluarkan ASI

dengan bantuan tangan/ pompa ASI yang efektif sebelum menyusui. Sebelum

menyusui dapat dilakukan dengan kompres hangat untuk mengurangi rasa sakit

dan setelah menyusui dikompres dengan air dingin untuk mengurangi oedema

(Depkes RI,

2001).

Universitas Sumatera Utara


4. Konsep Motivasi

4.1 Pengertian

Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti

bergerak (move). Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang melakukan

sesuatu, membuat mereka tetap melakukannya, dan membantu mereka dalam

menyelesaikan tugas-tugas atau dapat dikatakan motivasi adalah keinginan yang

terdapat pada seorang individu yang merangsangnya untuk melakukan sesuatu

(Terry, 1986) atau disebut juga sebagai penggerak perilaku (Irwanto, 2008).

Hal ini berarti bahwa konsep motivasi digunakan untuk menjelaskan keinginan

berperilaku, arah perilaku (pilihan), intensitas perilaku (usaha, berkelanjutan),

dan penyelesaian yang sesungguhnya (Pintrich, 2003).

Menurut Stevenson (dalam Sunaryo, 2004) motivasi adalah semua

hal verbal, fisik, atau psikologi yang membuat seseorang melakukan sesuatu

sebagai respon. Motivasi menunjuk pada proses gerakan termasuk situasi yang

mendorong diri individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan

tujuan atau akhir dari pada gerakan atau perbuatan (Sarwono, 2000) sehingga

motivasi dapat dikatakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-

kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila

tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan

tidak suka itu (Sadirman, 2007).

Defenisi motivasi yang lain adalah suatu proses psikologi. Namun

demikian bukan berarti bahwa motivasi adalah satu-satunya unsur yang bisa

menjelaskan adanya perilaku seseorang. Banyak unsur lain yang

dapat

Universitas Sumatera Utara


menerangkan terjadinya perilaku, dimana persepsi, kepribadian dan lingkungan

adalah unsur-unsur lain yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku tersebut

(Mifthah, 2003).

4.2 Fungsi Motivasi

Dalam memahami peranan motivasi serta fungsinya, maka akan

dikemukakan beberapa fungsi motivasi sebagai berikut (Sadirman, 2007) :

a. Mendorong manusia untuk berbobot, jadi fungsi motivasi sebagai


penggerak.

b. Menentukan gerak perbuatan yaitu dapat mencapai tujuan yang

hendak dicapai.

c. Menyeleksi perbuatan yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang

harus dijalankan dengan serasi guna mencapai tujuan.

4.3 Jenis-Jenis Motivasi

Achmad (2006), mengklasifikasikan motivasi menjadi dua jenis motivasi

instrinsik dan ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motivasi internal yang timbul

dari dalam diri pribadi seseorang itu sendiri, seperti sistem nilai yang

dianut, harapan, minat, cita-cita, dan aspek lain yang secara internal melekat pada

seseorang. Sedangkan motivasi ekstrinsik yaitu motivasi eksternal yang muncul

dari luar diri pribadi seseorang, seperti kondisi lingkungan, adanya

ganjaran berupa hadiah (reward) bahkan karena merasa takut oleh hukuman

(punishment) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi.

Universitas Sumatera Utara


Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan

terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar,

bekerja maupun dalam kehidupan lainnya. Motivasi yang timbul dari dalam diri

individu sendiri tanpa ada paksaan, dorongan orang lain, tetapi atas dasar

kemauan sendiri disebut motivasi intrinsik. Sedangkan motivasi yang berasal

dari luar yaitu perangsang ataupun stimulus dari luar (sebagai contohnya ialah

nilai, hadiah serta bentuk-bentuk penghargaan lainnya) adalah motivasi

ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu,

apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga

dengan keadaan demikian seseorang mau melakukan sesuatu atau belajar (Muba,

2009).

4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Ibu dalam Menyusui

Menurut Handoko (1998), ada dua faktor yang dapat mempengaruhi

motivasi yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal atau intrinsik adalah

motivasi yang timbul dari diri manusia, biasanya timbul dari perilaku yang dapat

memenuhi kebutuhan sehingga manusia menjadi puas, sedangkan faktor

eksternal atau ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar yang merupakan

pengaruh dari orang lain atau lingkungan.

Faktor internal atau intrinsik meliputi :

a. Fisik

Faktor fisik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kondisi fisik

atau kelainan seputar menyusui misal, puting lecet karena digigit, payudara

bengkak,

Universitas Sumatera Utara


mastitis atau abses. Selain itu juga status kesehatan dan status gizi ibu

menyusui akan mempengaruhi kondisi fisik ibu (Bobak,dkk., 2004).

b. Proses mental

Motivasi merupakan suatu proses yang tidak terjadi begitu saja, tetapi

ada kebutuhan yang mendasari munculnya motivasi tersebut. Ibu menyusui yang

mengalami gangguan pada proses mental akan sulit untuk memberikan ASI pada

bayinya. Hal ini karena proses laktasi akan berhasil bila hormon oksitosin keluar,

hormon ini sangat mempengaruhi kinerja myoepitel dalam memompa ASI keluar

dari alveoli sedangkan oksitosin keluar jika secara mental dan psikologis

ibu merasa tenang, mampu dan mendapatkan dukungan.

c. Faktor kematangan usia

Kematangan usia akan mempengaruhi proses berpikir dan pengambilan

keputusan dalam pemberian ASI. Ibu usia muda akan cenderung untuk

tidak memberikan ASI, karena takut bentuk payudara akan rusak apabila

menyusui dan kecantikannya akan hilang, serta takut ditinggalkan oleh pergaulan

teman sebayanya sedangkan ibu yang berhasil menyusui anak sebelumnya,

dengan pengetahuan dan pengalaman cara pemberian ASI secara baik dan benar

akan menunjang laktasi berikutnya. Sebaliknya, kegagalan menyusui di masa lalu

akan mempengaruhi pula sikap seorang ibu terhadap penyusuan sekarang

(Bobak,

2004).

Universitas Sumatera Utara


d. Keinginan dalam diri sendiri

Setiap individu memiliki kemampuan, keterampilan, kebiasaan yang akan

menunjukkan kondisi orang untuk melaksanakan pekerjaan yang mungkin

dimanfaatkan sepenuhnya atau mungkin tidak.

e. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman

orang lain. Tingkat pengetahuan seseorang mempengaruhi perilaku individu,

semakin tinggi pengetahuan seseorang maka akan memberikan respon yang lebih

rasional dan makin tinggi kesadaran untuk berperan serta, dalam hal ini

memberikan ASI. Thaib et. al (dalam Afifah, 2007) menyatakan bahwa tingkat

pengetahuan, pendidikan, status kerja ibu, dan jumlah anak dalam keluarga

berpengaruh positif pada frekuensi dan pola pemberian ASI.

Sedangkan faktor eksternal atau ekstrinsik meliputi :

a. Lingkungan

Lingkungan saat berpengaruh terhadap motivasi ibu menyusui terutama

lingkungan yang tidak mendukung dan kurang kondusif akan membuat

stress bertambah misalnya lingkungan fisik, konstruksi bentuk bangunan,

penataan ruangan akan meningkatkan ataupun mengurangi stress dan

lingkungan sosial yaitu dukungan keluarga khususnya dukungan suami.

b. Budaya

Budaya adalah hasil cipta manusia dan terkandung kebiasaan. Kebiasaan

adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, kebiasaan

mempunyai kekuatan mengikat, kebiasaan diperoleh dari budaya

yang

Universitas Sumatera Utara


mengandung nilai-nilai kepercayaan tentang segala sesuatu (Tripranoto, 2004).

Banyak ibu-ibu yang mempunyai kebiasaan malu-malu serta sembunyi-sembunyi

menyusui bayinya karena mereka menganggap menyusui tidak sopan. Hal

ini mempengaruhi tabiat gadis-gadis disekitarnya untuk berbuat sama, dan

menyusui anak merupakan sesuatu hal yang harus dihindarkan (Siregar, 2004).

c. Dukungan sosial suami

Dukungan sosial suami sangat berpengaruh dalam memotivasi ibu untuk

menyusui karena suami merupakan bagian yang vital dalam keberhasilan atau

kegagalan menyusui. Banyak suami yang berpendapat bahwa menyusui adalah

urusan ibu dan bayinya. Mereka menganggap cukup menjadi pengamat yang

pasif saja. Sebenarnya suami mempunyai peran yang sangat menentukan dalam

keberhasilan menyusui karena suami akan turut menentukan kelancaran refleks

pengeluaran ASI yang sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi atau perasaan ibu.

Dukungan ini bisa berwujud perhatian, informasi, finansial dan emosional.

(Roesli, 2000).

d. Petugas kesehatan

Petugas kesehatan adalah orang yang mengerjakan suatu pekerjaan di

bidang kesehatan atau orang yang mampu melakukan pekerjaan di bidang

kesehatan (Dani, 2002). Pada umumnya para ibu mau patuh dan menuruti nasehat

petugas kesehatan, oleh karena itu petugas kesehatan diharapkan untuk

memberikan informasi tentang kapan waktu yang tepat memberikan

ASI eksklusif, manfaat ASI eksklusif dan resiko yang dialami jika tidak

memberikan ASI eksklusif pada bayi (Roesli, 2005).

Universitas Sumatera Utara


4.5 Klasifikasi Motivasi

Menurut Irwanto (2008) motivasi diklasifikasikan atas tiga kelompok

yaitu :

1. Motivasi kuat

Motivasi dikatakan kuat apabila dalam diri seseorang dalam kegiatan-

kegiatan sehari-hari memiliki keinginan yang positif, mempunyai harapan yang

tinggi, dan memiliki keyakinan yang tinggi dalam melakukan aktivitasnya

berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi.

2. Motivasi sedang

Motivasi dikatakan sedang apabila dalam diri manusia memiliki keinginan

yang positif, mempunyai harapan yang tinggi, namun memiliki keyakinan yang

rendah bahwa dirinya dapat bersosialisasi dan mampu menyelesaikan persoalan

yang dihadapi.

3. Motivasi lemah

Motivasi dikatakan lemah apabila di dalam diri manusia memiliki harapan

dan keyakinan yang rendah, bahwa dirinya dapat berprestasi.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai