LAPORAN KASUS
PASIEN DENGAN ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE (ADHF)
Oleh :
DENNY HP SAUKOLY
LIEN B IRIORI
Pembimbing :
dr. Darti Pakasi, Sp.JP
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
SMF KARDIORESPIRASI RSU JAYAPURA
JAYAPURA
2015
LAPORAN KASUS CARDIOLOGY
PASIEN DENGAN ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE (ADHF)
I. Identitas
Nama
Jenis Kelamin
Umur Alamat Agama Pekerjaan Suku
Tgl. MRS
II. Anamnesa
2.1 Keluhan Utama
Sesak nafas
2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak napas. Sesak napas yang dirasakan ini sejak 24 Jam
sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak 4 bulan
yang lalu. Sesak disertai dengan keluhan nyeri hulu hati, mual dan muntah. Sesak
dirasakan jika sedang beraktivitas ringan, sesak juga dirasakanya jika tidur terlentang,
dan untuk mengatasinya tidur dengan posisi kepala lebih tinggi dengan menggunakan 2-
3 bantal, atau duduk di tempat tidur dengan posisi tegak baru merasa lebih baik. Pasien
juga beberapa kali terbangun sewaktu tidur malam sekitar jam 1-2 dini hari,
membuatnya harus duduk beberapa saat untuk membuat nyeri dada mereda. Pasien
mengaku harus duduk di depan pintu atau jendela untuk mengurangi sesak.
Rasa berdebar juga sering di rasakan pasien 1 bulan terakhir. Pasien pernah
dirawat di Rumah sakit Angkatan Laut pada tahun 2013 dengan diagnosa
pembengkakan jantung.
8 jam sebelum SMRS pasien berobat ke dr.Sp.JP dan oleh dr.Sp.JP pasien di
rujuk ke RSUD Jayapura dan diterima di IGD dengan tensi waktu masuk 135/100
mmHg, nadi 70x/menit, respirasi 35x/menit, suhu badan afebris.
2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
1) Riwayat darah tinggi sebelumnya (+) sejak 5 tahun lalu, yang tertinggi hingga
sistolik 170 mmHg
2) Riwayat malaria sebelumnya (+)
3) Riwayat sakit tenggorokan sebelumya (+)
4) Riwayat nyeri sendi sebelumnya (+)
5) Riwayat dirawat di rumah sakit lain karena penyakit jantung (+)
6) Riwayat Asam urat dan kolesterol (+) baru diketahui saat di rawat di rumah sakit.
7) Riwayat sakit gula, (-)
2.4 Riwayat Kebiasaan, Sosial, Ekonomi dan Budaya
Pasien seorang Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan Kota Jayapura, dan
bekerja sehari-hari sebagai sopir ambulans. Riwayat merokok sebelumnya 3 bungkus
perhari
2.5 Riwayat Keluarga
Tidak ada catatan di dalam keluarga yang menderita sakit seperti ini.
2.6 Status Pra-esens
Keadaaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran
Nadi
Tekanan Darah
Temperatur
Pernapasan
III. Pemeriksaan Fisik
3.1 Kepala / leher
Mata : Conjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-) Eksoftalmus Endoftalmus (-/-)
Leher : Peningkatan Vena Jugularis (-), Pembesaran KGB colli (-)
Telinga : Dalam batas Normal
Hidung : Dalam batas Normal
Rongga Mulut dan Tenggorokan : dalam batas Normal, Oral candidiasis (-)
3.2 Toraks
a. Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
b. Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
3.3 Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
3.4 Ekstremitas
3.5 Vegetatif
Makan / minum ( baik melalui enteral dan parenteral ), BAB / BAK (baik / baik)
(produksi urine 1500 cc / hari )
IV. Pemeriksaan Penunjang
4.1 Laboratorium
HB : 15,3 g/dL
6 3
Eritrosit : 5.1 x 10 /mm
3 3
Leukosit : x 10 /mm
Hematokrit : 44,8 %
3 3
Trombosit : 195 x 10 /mm
MCV : 88,0 fl
MCH : 30,0 pg
MCHC : 34,1 g/dL
MPV : 8.7 fL
PCT : 0,17%
PDW : 8,7 fl
Hitung Jenis
Limfosit : 24,9%
Monosit : 12,4%
Granulosit : 62,7 %
3
Limfosit absolut : 2,68 x 10 uL
3
Monosit absolut : 1,33 x 10 uL
3
Granulosit absolut : 6,78 x 10 uL Kimia
darah
Gula darah sewaktu
Ureum
Kreatinin
Asam urat
Trigliserida
Kolesterol total
HDL kolesterol
LDL kolesterol
Kalium
Natrium
4.2 Radiologi
Bentuk jantung : Grounded
Hitung CTR : {(a+b)/c}
: {(7+13,5)/27}
: 0,76
(karena nilai CTR > 0,5, maka terdapat pembesaran jantung)
Kesan : Kardiomegali
Pinggang Jantung: Kesan: Melebar
Sisi kanan jantung: melebar hingga > 1/3 yaitu 7 cm dextra dari linea sternalis.
(Jarak 15 cm / 3 = 5 cm)
a
b
c
4.3 Elektrokardiografi
Irama: Sinus?
4.4 Resume
Pasien laki-laki 60 tahun. Keluhan utama sesak napas. Sesak napas yang dirasakan
ini sejak 24 Jam (SMRS). Keluhan lain: nyeri hulu hati, mual dan muntah. Sesak ketika
berbaring hingga terbangun di malam hari. Tensi pada waktu masuk 160/100 mmHg, nadi
70 x/m, RR: 35 x/m., suhu afebris. Pada pemeriksaan auskultasi jantung BJ I-II Irreguler.
EKG, Rontgen (CTR = 0,76). Prognosis pasien ini, Ad vitam:
Serta ditunjang dengan
Decompensated Heart
Dubia; Ad functionam: Dubia ad malam. Diagnosa kerja Acute
Failure, Ischaemic Cardiomyopathy Pulmonary HT
4.4 Diagnosa Kerja
1) Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
2) Pulmonary Hipertension
3) Ischaemic DCM
4.5 Penatalaksanaan Saat Masuk Rumah Sakit
1. Tirah Baring
2. IVFD RL 500 cc/ 24 jam
3. Injeksi Lasik 3 x 1 amp (i.v)
4. Injeksi Fluxum 1x0,6 cc (1x) (i.v)
5. Injeksi Ranitidin 2x1 amp (i.v)
6. Digoxin 1 x 0,25 mg tab (p.o)
7. Spironolakton 2 x 25 mg tab (p.o)
8. ISDN 3x 5 mg tab (p.o)
9. Simvastatin 1x20mg tab (p.o)
10. Trombositopelet 1x80 tab (p.o)
11. Pro Foto Thorax dan Cek Lab
4.6 Prognosa
Ad vitam : Dubia
Ad functionam : Dubia ad malam
Ad sanationam : Dubia
Hari/Tanggal
12 / 03 / 2015
10
10
13 /03 / 2015
14 / 03 / 2015
Jantung: - Tromboaspilet 1x80 mg tab (p.o)
I: IC (-) tidak terlihat - Antasida Sirup 3x1 sendok makan (p.o)
P: IC teraba tidak kuat angkat , thrill (-) P:
Batas kiri jantung 2 jari medial
midlineclavicula sinistra. Batas kanan jantung 1 Pasien Boleh Pulang.
jari medial parasternal line dextra.
A: BJ I-II ireguler, S1-S2
Abdomen:
I: simetris,cembung A: BU (+)
3x/m P:Hepar/Lien/Renal: tidak
teraba P: nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral teraba hangat, sianosis (-),
Vegetatif: ma/mi (+/+), BAB/BAK (+/+)
A: ADHF + Iscemic DCM + PHT
5 PEMBAHASAN
5.4 Gagal Jantung
Heart failure (HF) atau gagal jantung adalah suatu sindroma klinis kompleks, yang
didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke seluruh jaringan
tubuh secara adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung.
1
Pasien dengan HF harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Gejala-gejala (symptoms) dari HF berupa sesak nafas yang spesifik pada saat
istirahat atau saat beraktivitas dan atau rasa lelah, tidak bertenaga.
Tanda-tanda (sign) dari HF berupa retensi air seperti kongesti paru, edema tungkai.
Dan objektif, ditemukannya abnormalitas, dari struktur dan fungsional jantung.
1
Tabel 1. Heart Failure is Clinical Syndrome in Which Patent Have The Following Features
Symptoms typical of Heart failure (breathlessness at rest or on exercise, fatque, tiredness,
ankle, swelling)
And
Sign typical of heart failure (tachycardia, tachypnea, pulmonary rates, pleural effusion, raised
jugular venous pressure, peripheral edema, hepatomegaly)
And
Objectves evidence of a structural or fungtional abnormality of heart at rest (cardiomegaly,
third heart sound, cardiac murmurs, abnormality on the echocardiogram, raised natriuretic
peptide concentration)
3
Klasifikasi yang banyak dipergunakan adalah klasifikasi dari NYHA
3
New York Heart Association 1964
Class I
Penderita penyakit jantung tanpa limitasi aktivitas fsik. Aktivitas fsik sehari-hari tdak menimbulkan sesak napas at
Class II
Penderita penyakit jantung disertai sedikit limitasi dari aktvitas fisik. Saat istirahat tdak ada keluhan. Aktvitas sehar
Class III
Penderita penyakit jantung disertai limitasi aktivitas fisik yang nyata. Saat istrahat tdak ada keluhan.
Aktvitas fisik yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari sudah menimbulkan sesak atau kelelahan.
Class IV
Penderita gagal jantung yang tak mampu melakukan setiap aktvitas fsik tanpa menimbulkan
keluhan. Gejala-gejala gagal jantung bahkan mungkin sudah Nampak saat istirahat. Setiap aktivitas
fisik akan menambah beratnya keluhan.
3
Merujuk kepada Klasifikasi dari New York Heart Association 1964 , pasien Tn.
AP dapat diklasifikasikan ke dalam Class IV. Hal ini menurut anamnesis dari pasien
bahwa pekerjaan nya sebagai supir terganggu akibat sesak napas ini. Bahkan saat
istirahat malam, pasien mengaku beberapa kali terbangun sewaktu tidur malam sekitar
jam 1-2 dini hari, membuatnya harus duduk tegak selama beberapa saat, untuk
membuat nyeri dada mereda. Kadang pasien harus duduk di depan pintu atau jendela
agar nyeri dada berkurang.
6
Sesak napas (Dispnea) merupakan suatu gawat pernapasan yang terjadi akibat
dari meningkatnya usaha pernapasan adalah gejala gagal jantung yang paling umum.
Pada gagal jantung dini, dispnea hanya diamati selama aktivitas, yang mungkin secara
sederhana timbul sebagai memburuknya sesak napas yang terjadi secara normal
dibawah keadaan ini. Namun, semakin berlanjutnya gagal jantung dispneatampak
semakin agresif dengan aktivitas yang tidak begitu berat. Akhirnya, sesak napas timbul
walaupun pasien sedang beristirahat. Dispnea jantung diamati paling sering pada
pasien dengan peningkatan vena pulmonalis dan tekanan kapiler. Pasien tersebut
biasanya mengalami pembendungan pembuluh darah paru dan edema paru
interstisialis, yang mungkin tebukti pada pemeriksaan radiologic dan yang mengurangi
kelenturan paru dan oleh karena itu meningkatkan kerja otot-otot pernapasan untuk
6
mengembangkan paru . Aktivasi reseptor dalam paru menimbulkan pernapasan yang
cepat dan dalam yangkhas dari dispnea jantung. Kebutuhan oksigen pernapasan
ditingkatkan oleh kerja berlebihan dari otot-otot pernapasan. Hal ini dilipatgandakan
dengan berkurangnya pengantaran oksigen ke otot-otot ini, yang terjadi sebagai
konsekuensi berkurangnya curah jantung dan yang mungkin menyebabkan kelelahan
6
otot-otot pernapasan dan sensasi sesak napas .
Kemudian, sesak napas ketika istirahat (berbaring). Merujuk kepada salah satu
sumber referensi Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol 3, 2014; Ortopnea
(Dispnea dalam posisi berbaring) biasanya merupakan manifestasi akhir dari gagal
jantung dibanding dispnea pengerahan tenaga. Ortopnea terjadi karena redistribusi
cairan dari abdomen dan ekstremitas bawah ke dalam dada menyebabkan peningkatan
diafragma. Pasien dengan ortopnea harus meninggikan kepalanya dengan beberapa
bantal pada malam hari (Dispnea paroksismal nokturnal) dan seringkali terbangun
karena sesak napas atau batuk (sehingga disebut batuk malam hari) jika bantalnya
hilang atau jatuh. Sensasi sesak napas biasanya hilang dengan duduk tegak; karena
6
posisi ini mengurangi aliran balik vena dan tekanan kapiler paru.
4
8.2.2 Patofisiologi terjadinya Gagal Jantung
Disfungsi kardiovaskular disebabkan oleh satu atau lebih dari 5 mekanisme utama di
bawah ini:
1. Kegagalan pompa
Terjadi akibat kontraksi otot jantung yang lemah atau inadekuat atau karena relaksasi otot
jantung yang tidak cukup untuk terjadinya pengisian ventrikel.
2. Obstruksi aliran
Terdapat lesi yang mencegah terbukanya katup atau menyebabkan peningkatan tekanan
kamar jantung, misalnya stenosis aorta, hipertensi sistemik, atau koarktasio aorta.
3. Regurgitasi
Regurgitasi dapat meningkatkan aliran balik beban kerja kamar jantung, misalnya ventrikel
kiri pada regurgitasi aorta atau atrium serta pada regurgitasi mitral.
4. Gangguan konduksi yang menyebabkan kontraksi miokardium yang tidak selaras dan
tidak efisien.
5. Diskontinuitas sistem sirkulasi. Mekanisme ini memungkinkan darah lolos, misalnya luka
tembak yang menembus aorta.
Beberapa keadaan di atas dapat menyebabkan overload volume atau tekanan atau
disfungsi regional pada jantung yang akan meningkatkan beban kerja jantung dan
menyebabkan hipertrofi otot jantung dan atau dilasi kamar jantung.
Pressure-overload pada ventrikel (misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta)
menstimulasi deposisi sarkomer dan menyebabkan penambahan luas area cross-sectional
miosit, tetapi tanpa penambahan panjang sel. Akibatnya, terjadi reduksi diameter kamar
jantung. Keadaan ini disebut pressure-overload hypertrophy (hipertrofi konsentrik).
Sebaliknya, volume-overload hypertrophy menstimulasi deposisi sarkomer dengan
penambahan panjang dan lebar sel. Akibatnya, terjadi penebalan dinding disertai dilasi
dengan penambahan diameter ventrikel. Penambahan massa otot atau ketebalan dinding yang
seiring dengan penambahan diameter kamar jantung menyebabkan tebal dinding jantung akan
tetap normal atau kurang dari normal.
Terjadinya hipertrofi dan atau dilatasi disebabkan karena peningkatan kerja mekanik
akibat overload tekanan atau volume, atau sinyal trofik (misal hipertiroidisme melalui
stimulasi reseptor -adrenergik) meningkatkan sintesis protein, jumlah protein di setiap sel,
jumlah sarkomer, mitokondria, dimensi, dan massa miosit, yang pada akhirnya ukuran
jantung. Apakah miosit jantung dewasa memiliki kemampuan untuk mensintesis DNA dan
apakah hal ini memungkinkan terjadinya pembelahan sel masih menjadi perdebatan.
Perubahan molekular, selular, dan struktural pada jantung yang muncul sebagai respons
terhadap cedera dan menyebabkan perubahan pada ukuran, bentuk, dan fungsi yang disebut
remodelling ventricle (left ventricular atau LV remodeling). Terjadinya remodelling ventricle
merupakan bagian dari mekanisme kompensasi tubuh untuk memelihara tekanan arteri dan
perfusi organ vital jika terdapat beban hemodinamik berlebih atau gangguan kontraktilitas
miokardium, melalui mekanisme kompensasi sebagai berikut: 4
1. Mekanisme Frank-Starling, dengan meningkatkan dilasi preload (meningkatkan cross-
bridge dalam sarkomer) sehingga memperkuat kontraktilitas.
2. Perubahan struktural miokardium, dengan peningkatan massa otot (hipertrofi) dengan
4
atau tanpa dilasi kamar jantung sehingga massa jaringan kontraktil meningkat.
3. Meskipun hipertrofi pada awalnya bermanfaat, tetapi cenderung memperlambat pengisian
saat diastolik dan memberi predisposisi iskemia subendokardium. Miosit yang hipertrofi
3
lebih mudah kelelahan dan digantikan jaringan fibrosis.
4. Aktivasi sistem neurohumoral, terutama pelepasan norepinefrin
meningkatkan frekuensi denyut jantung, kontraktilitas miokardium, dan resistensi
vaskular; aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron; dan pelepasan atrial natriuretic
4
peptide (ANP).
5. Kadar katekolamin yang tinggi di samping menambah aferload, juga toksik pada
3
miokardium yang fungsinya sudah menurun.
Presentasi klinis pasien dengan GJA dapat digolongkan ke dalam kategori klinik:
a. Gagal jantung kronik dekompensasi. Biasanya ada riwayat perburukan progresif pada
pasien yang telah diketahui gagal jantung yang sedang dalam pengobatan dan bukti
adanya bendungan paru dan sistemik.
b. Edema paru. Pasien datang dengan distres pernapasan berat, takipnea, dan ortopnea
dengan ronki basah halus seluruh lapangan paru. Saturasi oksigen arteri biasanya <
90% pada udara ruangan sebelum diterapi oksigen.
c. Gagal jantung hipertensif. Tanda dan gejala gagal jantung disertai peningkatan
tekanan darah dan biasanya fungsi ventrikel kiri masih baik. Terdapat bukti
peningkatan tonus simpatis dengan takikardia dan vasokonstriksi. Responnya cepat
terhadap terapi yang tepat dan mortaliti rumah sakitnya rendah.
d. Syok kardiogenik. Adanya bukti hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah
dilakukan koreksi preload dan aritmia mayor. Bukti hipoperfusi organ dan bendungan
paru terjadi dengan cepat.
e. Gagal jantung kanan terisolasi. Ditandai oleh sindrom low output dengan peningkatan
tekanan vena sentral tanpa disertai kongesti paru.
f. SKA dan gagal jantung. Terdapat gambaran klinis dan bukti laboratoris SKA. Kira-
kira 15% pasien dengan SKA memiliki tanda dan gejala gagal jantung.
g. GJA akibat Curah Jantung Tinggi.Ditandai dengan tingginya curah jantung, umumnya
disertai laju jantung yang sangat cepat (penyebabnya, antara lain aritmia,
tirotoksikosis, anemia, penyakit paget, iatrogenik), dengan perifer hangat, kongesti
pulmoner, dan terkadang tekanan darah yang rendah seperti pada syok septik.
8.4 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung akut ditegakkan berdasarkan gejala, penilaian klinis, serta
pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan EKG, foto toraks, laboratorium, dan
ekokardiografi Doppler.4
Tabel 2-2. Kriteria Framingham
Kriteria Mayor
Berdasarkan gejala dan penemuan klinis, diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan
bila pada pasien didapatkan paling sedikit 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dari Kriteria
4
Framingham.
- Melihat kasus yang dialami oleh pasien Tn.AP, bahwa pasien datang dengan Kriteria
Mayor yaitu Paroxysmal Nocturnal Dyspnea, Kardiomegali atas foto Roentgen
(CTR>0,76), adanya Kriteria minor berupa batuk malam hari dan Dyspnea deffort.
Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan bila pada pasien didapatkan 1 Kriteria Mayor
dan 2 Kriteria Minor dari Kriteria Framingham. Merujuk pada hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik, pasien Tn.AP akan mendapat planning terapi Gagal jantung akut.
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi mengenai denyut, irama, dan konduksi
jantung, serta seringkali etiologi, misalnya perubahan ST segmen iskemik untuk kemungkinan
4
STEMI atau non-STEMI.
- Pada pemeriksaan Elektrokardiogram jantung informasi mengenai denyut dan irama
yang irregular
Pemeriksaan foto toraks harus dikerjakan secepatnya untuk menilai derajat kongesti
paru dan untuk menilai kondisi paru dan jantung yang lain. Kardiomegali merupakan temuan
yang penting. Pada paru, adanya dilatasi relatif vena lobus atas, edema vaskular, edema
4
interstisial, dan cairan alveolar membuktikan adanya hipertensi vena pulmonal.
EKG abnormal?
AGD abnormal?
Kongest pada foto thorax?
Natriuretic peptde meninggi?
Riwayat sakit jantung atau gagal
jantung
Pertmbangkan penyakit paru /
diagnosis lain
2
Bagan 1. Alogaritma diagnosis GJA (Dikutp dari Funarow et al. Clin Cardiol 2004; 27 (suppl V)V1-V9)
20
20
Evaluasi berkala
4
Bagan 2. Alogaritma tatalaksana GJA berdasarkan perfusi dan tekanan pengisian
Dikutip dari: Kalim H, Irmalita, Idham I, Purnomo H, Harsunarti N, Siswanto BB,
et al. Pedoman praktis tatalaksana gagal jantung kronis dan akut. Jakarta: Divisi critical care
dan kardiologi klinik departemen kardiologi dan kedokteran vaskular FKUI; 2008. p.35-48.
Oksigen/NIV
Loop diuretics +/- vasodilator
Evaluasi klinis
TDS > 100 mmHg TDS 90-100 mmHg TDS < 90 mmHg
NIV= non invasive ventilation, TDS= tekanan darah sistolik, NTG= nitrogliserin,
PDEI=phospodiesterase inhibitor, ACEI=angiotensin converting enzyme inhibitor, ARB=
angiotensin receptor blocker
Dikutip dari: Kalim H, Irmalita, Idham I, Purnomo H, Harsunarti N, Siswanto BB, et al.
Pedoman praktis tatalaksana gagal jantung kronis dan akut. Jakarta: Divisi critical care dan
kardiologi klinik departemen kardiologi dan kedokteran vaskular FKUI; 2008. p.35-48.
4,6
b. Nesiritid
Nesiritid merupakan rekombinan peptida otak manusia yang identik dengan hormon
endogen yang diproduksi ventrikel, yaitu B-type natriuretic peptides dalam merespon
peningkatan tegangan dinding, peningkatan tekanan darah, dan volume overload. Kadar B-
type natriuretic peptides meningkat pada pasien gagal jantung dan berhubungan dengan
keparahan penyakit. Efek fisiologis BNP mencakup vasodilatasi, diuresis, natriuresis, dan
antagonis terhadap sistem RAA dan endotelin. Nesiritid memiliki efek vasodilator vena,
arteri, dan pembuluh darah koroner untuk menurunkan preload dan afterload, serta
meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik langsung. Nesiritid terbukti mampu
mengurangi dispnea dan kelelahan dibandingkan plasebo. Nesiritid juga mengurangi
tekanan kapiler baji paru (PCWP).
4
c. Nitropusid
Nitroprusid bekerja dengan merangsang pelepasan nitrit oxide (NO) secara nonenzimatik.
Nitroprusid juga memiliki efek yang baik terhadap perbaikan preload dan after load.
Venodilatasi akan mengurangi pengisian ventrikel sehingga preload menurun. Obat ini
juga mengurangi curah jantung dan regurgitasi mitral yang diikuti dengan penurunan
resistensi ginjal. Hal ini akan memperbaiki aliran darah ginjal sehingga sistem RAA tidak
teraktivasi secara berlebihan. Nitroprusid tidak mempengaruhi sistem neurohormonal.4
4,6
8.4.2 Loop Diuretik
Diuretik kuat diindikasikan bagi pasien GJA dekompensasi yang disertai gejala retensi
cairan. Pemakaian secara intravena loop diuretic, seperti furosemid, bumetanid, dan
torasemid, dengan efek cepat dan kuat, lebih disukai pada GJA.12,16,17 Terapi dapat
diberikan dengan aman sebelum pasien tiba di rumah sakit dan dosis harus dititrasi sesuai
dengan respon terhadap diuretik. Pemberian loading dose furosemid atau torasemid yang
diikuti dengan infus berkelanjutan terbukti lebih efektif dibanding hanya bolus saja.
Kombinasi loop diuretic dengan tiazid, spironolakton, dobutamin, atau nitrat dapat
diberikan.4,6 Pemberian loop diuretic yang berlebihan dapat menyebabkan hipovolemia
dan hiponatremia, dan meningkatkan kemungkinan hipotensi saat pemberian ACEI
(angiotensin converting enzyme inhibitor) atau ARB (angiotensin receptor blocker).4,6
- Jika melihat terapi yang diberikan pada kasus Tn.PA, salah satu obat golongan
5
Loop Diuretic adalah Lasix, yang merupakan merek dagang dari Furosemid .
Furosemid merupakan salah satu diuretik kuat dalam pengobatan edema paru akibat
7
gagal jantung ventrikel kiri. Diuretika kuat kadang-kadang digunakan untuk
menurunkan tekanan darah terutama pada hipertensi yang resisten terhadap terapi
7
tiazid. Furosemid bekerja dalam waktu satu jam setelah pemberian oral dan efek
diuresisnya berakhir dalam 6 jam.
Sehingga dapat diberikan 2 kali dalam sehari tanpa mengganggu waktu tidur.
Pasien Tn.AP mendapat Lasix dengan sediaan ampul 20 mg/2 ml, injeksi intravena
dengan dosis 2 kali 1 ampul. Hal ini sesuai dengan aturan penggunaan obat
Lasix pada referensi IONI.
8.4.3 Inotropik
Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda-tanda hipoperfusi perifer (hipotensi)
dengan atau tanpa kongesti atau edema paru yang refrakter terhadap diuretika dan
vasodilator pada dosis optimal. Pemakaiannya berbahaya, dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen dan calcium loading sehingga harus diberikan secara hati-hati.16 Yang
termasuk inotropik, antara lain:
a) Dobutamin. Dobutamin merupakan simpatomimetik amin yang mempengaruhi reseptor
-1, -2, dan pada miokard dan pembuluh darah. Walaupun mempunyai efek inotropik
positif, efek peningkatan denyut jantung lebih rendah dibanding dengan agonis -
adrenergik. Obat
ini juga menurunkan Systemic Vascular Resistance (SVR) dan tekanan pengisian
ventrikel
4
kiri. Dosis pemberian iv: 2,5-10 mcg/kgBB/menit.
b) Dopamin. Dopamine merupakan agonis reseptor -1 yang memiliki efek inotropik dan
kronotropik positif. Pemberian dopamin terbukti dapat meningkatkan curah jantung dan
menurunkan resistensi vaskular sistemik.6 Dosis individual, kecepatan pemberian mulai pada
2-
5 ug/kgBB/menit.
c) Milrion. Milrinone merupakan inhibitor phosphodiesterase-3 (PDE3) sehingga terjadi
akumulasi cAMP intraseluler yang berujung pada inotropik dan lusitropik positif. Obat
ini juga vasodilator poten untuk sirkulasi sistemik dan pulmoner. Penurunan tekanan
pengisian ventrikel kiri lebih tinggi daripada dobutamin dan curah jantung yang dihasilkan
lebih besar daripada nitroprusid. Obat ini biasanya digunakan pada individu yang dengan
curah jantung rendah dan tekanan pengisian ventrikel yang tinggi serta resistensi vaskular
sistemik yang tinggi.
d) Epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin menstimulasi reseptor adrenergik -1 dan -2 di
miokard sehingga menimbulkan efek inotropik kronotropik positif. Epinefrin bermanfaat
pada individu yang curah jantungnya rendah dan atau bradikardi.
e) Digoxin. Digoksin digunakan untuk mengendalikan denyut jantung pada pasien gagal
jantung dengan penyulit fibrilasi atrium dan atrial flutter. Amiodarone atau ibutilide dapat
4
ditambahkan pada pasien dengan kondisi yang lebih parah.
6
Farmakokinetik. Tanpa adanya malabsorbsi berat. Kebanyakan glikosida digitalis
diabsorbsi secara adekuat dari saluran makanan dalam keadaan kongesti vaskuler
sekunder terhadap gagal jantung. Absorbsi oral hampir lengkap dalam 2 jam.
- Pada pasien Tn. SA, salah satu terapi yang pertama diberi saat masuk perawatan
bangsal adalah Digoxin. Dengan pemberian 1 kali 1 tablet (0,25mg) perhari.
6
Penggunaan digoxin pada gagal jantung . Dengan merangsang kontraktilitas
miokard secara cukup, digitalis memperbaiki pengosongan ventrikel, yaitu dengan
meningkatkan
curah jantung, memperkuat fraksi ejeksi, membuat diuresis dan menurunkan volume
dan tekanan diastolik yang meningkat serta menurunkan volume akhir sistolik
ventrikel yang gagal dengan akibat pengurangan gejala karena bendungan pembuluh
darah paru dan peningkatan tekanan vena sistemik. Pemberian obat ini terutama
sangat menolong pada pengobatan gagal jantung yang disertai kepak atrium (atrium
flutter) dan fibrilasi serta
denyut ventrikel
6
cepat.
8.4.4 Angiotensin Converting Enzime-Inhibitor dan Angiotensin II Receptor Blocker
Pasien gagal jantung kronik dekompensasi akut yang sebelumnya mendapat
ACEI/ARB sedapat mungkin harus meneruskan penggunaan obat tersebut. Jika pasien
sebelumnya juga menggunakan penghambat beta, dosisnya mungkin perlu diturunkan
atau dihentikan untuk sementara. Pengobatan dapat ditunda atau dikurangi bila terdapat
komplikasi berupa bradikardia, blok AV lanjut, bronkospasme berat, atau syok
kardiogenik, atau pada kasus GJA yang berat dan respons yang tidak adekuat terhadap
pengobatan awal.4
Penghambat ACE bekerja dengan menghambat konversi angiotensin I
menjadi
angiotensin II. Penggunaan pada gagal jantung kronis bertujuan mengurangi gejala,
meningkatkan daya tahan saat berolah raga, mengurangi insiden eksaserbasi akut dan
menurunkan tingkat kematian. Penghambat ACE digunakan pada semua tingkat keparahan
gagal jantung, biasanya dikombinasikan dengan diuretika. Suplemen kalium dan
diuretic hemat kalium sebaiknya dihentikan penggunaannya sebelum memulai
penggunaan penghambat ACE karena risiko hiperkalemia.
- Meninjau kepada salah satu terapi medikamentosa yang diberikan kepada pasien
Tn.PA, yaitu Valsartan merupakan salah satu golongan ARB (Angiotensin II
Receptor Blocker) yaitu Valsartan dengan dosis 1x80 mg tablet. Sumber referensi
Informatorium Obat Nasional Indonesia, 2008 menyebutkan bahwa Indikasi
penggunaan Valsartan adalah hipertensi (dapat digunakan tunggal maupun
kombinasi dengan obat antihipertensi lain); yaitu gagal jantung pada pasien yang
tidak dapat mentoleransi obat penghambat ACE (penghambat enzim pengubah
7
angiotensin). melihat dari segi interaksi, penggunaan Valsartan dengan
penghambat ACE dan beta-blocker tidak dianjurkan.
8.4.5 Penghambat Beta Penghambat beta merupakan kontraindikasi pada GJA kecuali bila
GJA sudah stabil.4
8.4.5 Antikoagulan Antikoagulan terbukti dapat digunakan untuk SKA dengan atau tanpa gagal
4
jantung. Namun, tidak ada bukti manfaat heparin atau LMWH pada GJA.
- Salah satu terapi medikamentosa Antikoagulan yang pasien Tn. AP dapatkan
adalah Injeksi Fluxum (Alfa Wassermann/Pratapa Nirmala) 1x0,6 ml. Fluxum
disini adalah suatu obat jenis antikoagulan parenteral jenis Parnaparin paten,
dengan indikasi sebagai profilaksis vena-dalam, terapi gangguan vena akibat
6
kondisi trombotik . Namun, hal yang sangat menjadi perhatian adalah salah satu
interaksi obat ini jika penggunaannya bersamaan dengan antiplatelet, asetosal dan
7
AINS adalah peningkatan risiko perdarahan. Sehingga penggunaan Fluxum bersama
dengan antiplatelet, tidak terlalu dianjurkan mengingat risiko perdarahan akan
meningkat juga.
- Terapi berikut yang akan dibahas adalah salah satu Diuretika Hemat Kalium yang
diberikan sebagai terapi pada kasus Tn.AP. Indikasi penggunaan Spironolakton 2x50
mg tablet (p.o) salah satunya adalah gagal jantung kongestif. Spironolakton
merupakan golongan Diuretik Hemat Kalium dengan mekanisme sebagai antagonis
kerja aldosteron dan meningkatkan retensi kalium dan ekskresi natrium di tubulus
distal. Namun menurut referensi IONI,2008 pada kasus Tn.AP, penggunaan
Spironolakton kurang dianjurkan. Hal ini terkait sudah digunakannya terapi
medikamentosa lain, yakni Valsartan yang merupakan Angiotensin II Receptor
Blocker. Yang mana referensi IONI menyebutkan, suplemen kalium tidak boleh
diberikan bersama diuretika hemat kalium. Juga penting untuk diingat bahwa
pemberian diuretika hemat kalium pada seorang pasien yang menerima suatu
penghambat ACE atau antagonis reseptor angiotensin II dapat menyebabkan
hiperkalemia berat. (IONI, 2008; h.138)
- Thrombo Aspilet kandungan Asetosal 80 mg. Indikasi sebagai pengobatan dan
pencegahan proses pembekuan dalam pembuluh (agregasi platelet) darah seperti
pada infarkmiokardia akut dan pasca stroke.
- Terapi medikamentosa lain yang didapatkan adalah injeksi Ranitidin 2x1 ampul.
Ranitidin adalah suatu Antagons reseptor-H2. Semua antagonis reseptor-H2
mengatasi tukak lambung dan duodenum dengan cara mengurangi sekresi asam
lambung sebagai akibat penghambatan reseptor histamine H2. (IONI, 2008; h.48)
Indikasi penggunaan pada kasus pasien Tn.AP adalah nyeri perut di daerah
epigastrium. Terapi antagonis reseptor-H2 dapat membantu proses penymbuhan
7
tukak yang disebabkan oleh AINS (terutama duodenum) . Penggunaan profilaksis
dapat mengurangi frekuensi perdarahnn dari erosi gastroduodenum. (IONI, 2008;
h.46)
4,6
8.5 Prognosis
Prognosis gagal jantung tergantung secara primer pada sifat penyakit jantung yang
6
mendasari dan pada ada atau tidaknya factor pencetus yang dapat diobati. Jika salah satu
dari yang terakhir dapat diidentifikasi dan dibuang, hasil kelangsungan hidup segera jauh
lebih baik daripada jika gagal jantung terjadi tanpa penyebab pencetus yang terlihat.
Dalam situasi terakhir ini, kelangsungan hidup biasanya berkisar antara 6 bulan sampai 4
6
tahun tergantung pada keparahan gagal jantung. Pasien GJA memiliki prognosis yang
sangat buruk. Sekitar 45% pasien GJA akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15%
paling
tidak dua kali dalam 12 bulan pertama.4
- Jika melihat kasus pasien Tn. AP, setidaknya ada lebih dari 2 faktor pencetus, dalam
kutipan referensi (Manurung D. 2006. Gagal jantung akut) dan Buku Ilmu Ajar Penyakit
Dalam (PAPDI, 2009) seperti Krisis hipertensi, Aritmia akut, Pelaksanaan terhadap
pengobatan kurang, Overload dan penggunaan alkohol. Pasien ini sudah memiliki
riwayat Hipertensi yang sudah sejak beberapa tahun lalu. Sudah mendapat terapi obat
Hipertensi oral, namun melihat kepada kepatuhan minum obat dan tindakan
pengontrolan tekanan darah yang secara teratur harus dilaksanakan, seperti
memeriksakan tekanan darah, tentunya dapat mempengaruhi prognosis ke depannya.
- Kebiasaan meminum alcohol juga menurut sumber referensi di atas menjadi factor
pencetus yang harus dihindari. Memperbaiki kualitas hidup pasien Tn.PA adalah tujuan
terapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, dkk. 2009. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM PAPDI Jilid II Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing
2. Rilantoro, Lily. 2013. Penyakit Kardiovaskular (PKV) 5 Rahasia. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
3. 2010. PEDOMAN DIAGNOSIS DAN TERAPI Dept/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah Edisi V. Surabaya: Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo
4. Widy, Dewi Krisna. 2009. Hubungan Antara Literatur Gagal Jantung Akut.
5. Bambang., dkk. 2011. EIMED PAPDI Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing
6. Kasim, Fauzi. 2014. Informasi Spesialite Obat volume 49. Jakarta: IAI
7. Isselbacher., Braunwald et al. 2014. Harrison PRINSIP-PRINSIL ILMU PENYAKIT
DALAM Edisi 13 Volume 3
8. IKAPI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: Badan POM RI,
KOPERKOM dan CV Sagung Seto