Anda di halaman 1dari 28

1

LAPORAN KASUS
PASIEN DENGAN ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE (ADHF)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Kardiology Rumah Sakit Umum Jayapura

Oleh :
DENNY HP SAUKOLY
LIEN B IRIORI

Pembimbing :
dr. Darti Pakasi, Sp.JP

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
SMF KARDIORESPIRASI RSU JAYAPURA
JAYAPURA
2015
LAPORAN KASUS CARDIOLOGY
PASIEN DENGAN ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE (ADHF)

I. Identitas
Nama
Jenis Kelamin
Umur Alamat Agama Pekerjaan Suku
Tgl. MRS

Tgl. Keluar RS No. Dm

II. Anamnesa
2.1 Keluhan Utama
Sesak nafas
2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak napas. Sesak napas yang dirasakan ini sejak 24 Jam
sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak 4 bulan
yang lalu. Sesak disertai dengan keluhan nyeri hulu hati, mual dan muntah. Sesak
dirasakan jika sedang beraktivitas ringan, sesak juga dirasakanya jika tidur terlentang,
dan untuk mengatasinya tidur dengan posisi kepala lebih tinggi dengan menggunakan 2-
3 bantal, atau duduk di tempat tidur dengan posisi tegak baru merasa lebih baik. Pasien
juga beberapa kali terbangun sewaktu tidur malam sekitar jam 1-2 dini hari,
membuatnya harus duduk beberapa saat untuk membuat nyeri dada mereda. Pasien
mengaku harus duduk di depan pintu atau jendela untuk mengurangi sesak.
Rasa berdebar juga sering di rasakan pasien 1 bulan terakhir. Pasien pernah
dirawat di Rumah sakit Angkatan Laut pada tahun 2013 dengan diagnosa
pembengkakan jantung.
8 jam sebelum SMRS pasien berobat ke dr.Sp.JP dan oleh dr.Sp.JP pasien di
rujuk ke RSUD Jayapura dan diterima di IGD dengan tensi waktu masuk 135/100
mmHg, nadi 70x/menit, respirasi 35x/menit, suhu badan afebris.
2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
1) Riwayat darah tinggi sebelumnya (+) sejak 5 tahun lalu, yang tertinggi hingga
sistolik 170 mmHg
2) Riwayat malaria sebelumnya (+)
3) Riwayat sakit tenggorokan sebelumya (+)
4) Riwayat nyeri sendi sebelumnya (+)
5) Riwayat dirawat di rumah sakit lain karena penyakit jantung (+)
6) Riwayat Asam urat dan kolesterol (+) baru diketahui saat di rawat di rumah sakit.
7) Riwayat sakit gula, (-)
2.4 Riwayat Kebiasaan, Sosial, Ekonomi dan Budaya
Pasien seorang Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan Kota Jayapura, dan
bekerja sehari-hari sebagai sopir ambulans. Riwayat merokok sebelumnya 3 bungkus
perhari
2.5 Riwayat Keluarga
Tidak ada catatan di dalam keluarga yang menderita sakit seperti ini.
2.6 Status Pra-esens
Keadaaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran

Nadi

Tekanan Darah

Temperatur

Pernapasan
III. Pemeriksaan Fisik
3.1 Kepala / leher
Mata : Conjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-) Eksoftalmus Endoftalmus (-/-)
Leher : Peningkatan Vena Jugularis (-), Pembesaran KGB colli (-)
Telinga : Dalam batas Normal
Hidung : Dalam batas Normal
Rongga Mulut dan Tenggorokan : dalam batas Normal, Oral candidiasis (-)

3.2 Toraks
a. Paru

Inspeksi

Palpasi

Perkusi

Auskultasi

b. Jantung

Inspeksi

Palpasi
Perkusi

Auskultasi

3.3 Abdomen

Inspeksi
Auskultasi
Palpasi

Perkusi

3.4 Ekstremitas

a. Akral : Teraba hangat


b. Superior : Capillary refill time <1 detik; Sianosis (-), Clubbing fingers(-)
c. Inferior : Nyeri tungkai (-), jejas (-), deformitas sendi (-), edema tungkai (-)

3.5 Vegetatif

Makan / minum ( baik melalui enteral dan parenteral ), BAB / BAK (baik / baik)
(produksi urine 1500 cc / hari )
IV. Pemeriksaan Penunjang
4.1 Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap (CBC) (11-03-2015)

HB : 15,3 g/dL
6 3
Eritrosit : 5.1 x 10 /mm
3 3
Leukosit : x 10 /mm
Hematokrit : 44,8 %
3 3
Trombosit : 195 x 10 /mm
MCV : 88,0 fl
MCH : 30,0 pg
MCHC : 34,1 g/dL
MPV : 8.7 fL
PCT : 0,17%
PDW : 8,7 fl
Hitung Jenis
Limfosit : 24,9%
Monosit : 12,4%
Granulosit : 62,7 %
3
Limfosit absolut : 2,68 x 10 uL
3
Monosit absolut : 1,33 x 10 uL
3
Granulosit absolut : 6,78 x 10 uL Kimia
darah
Gula darah sewaktu
Ureum
Kreatinin
Asam urat
Trigliserida
Kolesterol total
HDL kolesterol
LDL kolesterol
Kalium
Natrium
4.2 Radiologi
Bentuk jantung : Grounded
Hitung CTR : {(a+b)/c}
: {(7+13,5)/27}
: 0,76
(karena nilai CTR > 0,5, maka terdapat pembesaran jantung)
Kesan : Kardiomegali
Pinggang Jantung: Kesan: Melebar
Sisi kanan jantung: melebar hingga > 1/3 yaitu 7 cm dextra dari linea sternalis.
(Jarak 15 cm / 3 = 5 cm)

a
b

c
4.3 Elektrokardiografi

Hasil Interpretasi EKG :

Irama: Sinus?

Laju : Normal (78bpm)

Regularitas : Ireguler . Jarak interval gelombang puncak R-R tidak sama.

4.4 Resume
Pasien laki-laki 60 tahun. Keluhan utama sesak napas. Sesak napas yang dirasakan
ini sejak 24 Jam (SMRS). Keluhan lain: nyeri hulu hati, mual dan muntah. Sesak ketika
berbaring hingga terbangun di malam hari. Tensi pada waktu masuk 160/100 mmHg, nadi
70 x/m, RR: 35 x/m., suhu afebris. Pada pemeriksaan auskultasi jantung BJ I-II Irreguler.
EKG, Rontgen (CTR = 0,76). Prognosis pasien ini, Ad vitam:
Serta ditunjang dengan
Decompensated Heart
Dubia; Ad functionam: Dubia ad malam. Diagnosa kerja Acute
Failure, Ischaemic Cardiomyopathy Pulmonary HT
4.4 Diagnosa Kerja
1) Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
2) Pulmonary Hipertension
3) Ischaemic DCM
4.5 Penatalaksanaan Saat Masuk Rumah Sakit
1. Tirah Baring
2. IVFD RL 500 cc/ 24 jam
3. Injeksi Lasik 3 x 1 amp (i.v)
4. Injeksi Fluxum 1x0,6 cc (1x) (i.v)
5. Injeksi Ranitidin 2x1 amp (i.v)
6. Digoxin 1 x 0,25 mg tab (p.o)
7. Spironolakton 2 x 25 mg tab (p.o)
8. ISDN 3x 5 mg tab (p.o)
9. Simvastatin 1x20mg tab (p.o)
10. Trombositopelet 1x80 tab (p.o)
11. Pro Foto Thorax dan Cek Lab
4.6 Prognosa
Ad vitam : Dubia
Ad functionam : Dubia ad malam
Ad sanationam : Dubia

4.7 Follow-up di Ruang Penyakit Dalam Pria

Hari/Tanggal

12 / 03 / 2015
10
10

13 /03 / 2015

14 / 03 / 2015
Jantung: - Tromboaspilet 1x80 mg tab (p.o)
I: IC (-) tidak terlihat - Antasida Sirup 3x1 sendok makan (p.o)
P: IC teraba tidak kuat angkat , thrill (-) P:
Batas kiri jantung 2 jari medial
midlineclavicula sinistra. Batas kanan jantung 1 Pasien Boleh Pulang.
jari medial parasternal line dextra.
A: BJ I-II ireguler, S1-S2
Abdomen:
I: simetris,cembung A: BU (+)
3x/m P:Hepar/Lien/Renal: tidak
teraba P: nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral teraba hangat, sianosis (-),
Vegetatif: ma/mi (+/+), BAB/BAK (+/+)
A: ADHF + Iscemic DCM + PHT

5 PEMBAHASAN
5.4 Gagal Jantung
Heart failure (HF) atau gagal jantung adalah suatu sindroma klinis kompleks, yang
didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke seluruh jaringan
tubuh secara adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung.
1
Pasien dengan HF harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

Gejala-gejala (symptoms) dari HF berupa sesak nafas yang spesifik pada saat
istirahat atau saat beraktivitas dan atau rasa lelah, tidak bertenaga.
Tanda-tanda (sign) dari HF berupa retensi air seperti kongesti paru, edema tungkai.
Dan objektif, ditemukannya abnormalitas, dari struktur dan fungsional jantung.

1
Tabel 1. Heart Failure is Clinical Syndrome in Which Patent Have The Following Features
Symptoms typical of Heart failure (breathlessness at rest or on exercise, fatque, tiredness,
ankle, swelling)
And
Sign typical of heart failure (tachycardia, tachypnea, pulmonary rates, pleural effusion, raised
jugular venous pressure, peripheral edema, hepatomegaly)
And
Objectves evidence of a structural or fungtional abnormality of heart at rest (cardiomegaly,
third heart sound, cardiac murmurs, abnormality on the echocardiogram, raised natriuretic
peptide concentration)

3
Klasifikasi yang banyak dipergunakan adalah klasifikasi dari NYHA
3
New York Heart Association 1964
Class I
Penderita penyakit jantung tanpa limitasi aktivitas fsik. Aktivitas fsik sehari-hari tdak menimbulkan sesak napas at

Class II
Penderita penyakit jantung disertai sedikit limitasi dari aktvitas fisik. Saat istirahat tdak ada keluhan. Aktvitas sehar

Class III
Penderita penyakit jantung disertai limitasi aktivitas fisik yang nyata. Saat istrahat tdak ada keluhan.
Aktvitas fisik yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari sudah menimbulkan sesak atau kelelahan.
Class IV
Penderita gagal jantung yang tak mampu melakukan setiap aktvitas fsik tanpa menimbulkan
keluhan. Gejala-gejala gagal jantung bahkan mungkin sudah Nampak saat istirahat. Setiap aktivitas
fisik akan menambah beratnya keluhan.

Menurut anamnesa yang dilakukan terhadap pasien, ia mengaku sesak sejak 8


jam sebelum masuk ke rumah sakit (IGD RSU Jayapura). Namun, sesak paling
dirasakan ketika sedang beraktivitas sehari-hari. Pekerjaan nya sebagai supir membuat
Tn. AP kurang istirahat dan sangat cepat merasa lelah (fatique), hal ini berbeda
dengan waktu-waktu sebelumnya. Saat waktu istirahat pun pasien mengalami sesak.

3
Merujuk kepada Klasifikasi dari New York Heart Association 1964 , pasien Tn.
AP dapat diklasifikasikan ke dalam Class IV. Hal ini menurut anamnesis dari pasien
bahwa pekerjaan nya sebagai supir terganggu akibat sesak napas ini. Bahkan saat
istirahat malam, pasien mengaku beberapa kali terbangun sewaktu tidur malam sekitar
jam 1-2 dini hari, membuatnya harus duduk tegak selama beberapa saat, untuk
membuat nyeri dada mereda. Kadang pasien harus duduk di depan pintu atau jendela
agar nyeri dada berkurang.

6
Sesak napas (Dispnea) merupakan suatu gawat pernapasan yang terjadi akibat
dari meningkatnya usaha pernapasan adalah gejala gagal jantung yang paling umum.
Pada gagal jantung dini, dispnea hanya diamati selama aktivitas, yang mungkin secara
sederhana timbul sebagai memburuknya sesak napas yang terjadi secara normal
dibawah keadaan ini. Namun, semakin berlanjutnya gagal jantung dispneatampak
semakin agresif dengan aktivitas yang tidak begitu berat. Akhirnya, sesak napas timbul
walaupun pasien sedang beristirahat. Dispnea jantung diamati paling sering pada
pasien dengan peningkatan vena pulmonalis dan tekanan kapiler. Pasien tersebut
biasanya mengalami pembendungan pembuluh darah paru dan edema paru
interstisialis, yang mungkin tebukti pada pemeriksaan radiologic dan yang mengurangi
kelenturan paru dan oleh karena itu meningkatkan kerja otot-otot pernapasan untuk
6
mengembangkan paru . Aktivasi reseptor dalam paru menimbulkan pernapasan yang
cepat dan dalam yangkhas dari dispnea jantung. Kebutuhan oksigen pernapasan
ditingkatkan oleh kerja berlebihan dari otot-otot pernapasan. Hal ini dilipatgandakan
dengan berkurangnya pengantaran oksigen ke otot-otot ini, yang terjadi sebagai
konsekuensi berkurangnya curah jantung dan yang mungkin menyebabkan kelelahan
6
otot-otot pernapasan dan sensasi sesak napas .
Kemudian, sesak napas ketika istirahat (berbaring). Merujuk kepada salah satu
sumber referensi Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol 3, 2014; Ortopnea
(Dispnea dalam posisi berbaring) biasanya merupakan manifestasi akhir dari gagal
jantung dibanding dispnea pengerahan tenaga. Ortopnea terjadi karena redistribusi
cairan dari abdomen dan ekstremitas bawah ke dalam dada menyebabkan peningkatan
diafragma. Pasien dengan ortopnea harus meninggikan kepalanya dengan beberapa
bantal pada malam hari (Dispnea paroksismal nokturnal) dan seringkali terbangun
karena sesak napas atau batuk (sehingga disebut batuk malam hari) jika bantalnya
hilang atau jatuh. Sensasi sesak napas biasanya hilang dengan duduk tegak; karena
6
posisi ini mengurangi aliran balik vena dan tekanan kapiler paru.

5.5 Gagal Jantung Akut


5.5.1 Definisi dan Etiologi
Gagal jantung akut (GJA) didefinisikan sebagai serangan cepat/rapid/onset
(<24 jam) akibat kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik atau diastolik
atau irama jantung, atau kelebihan beban awal (preload), beban akhir (afterload),
atau kontraktilitas dan keadaan ini dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani
dengan tepat. Atau adanya perubahan pada gejala-gejala atau tanda-tanda
(symptoms dan sign) dari gagal jantung (GJ) yang berakibat diperlukannya
tindakan atau terapi secara urgent. GJA dapat berupa serangan pertama GJ, atau
perburukan dari gagal jantung kronik sebelumnya. Pasien dapat memperlihatkan
kedaruratan medic (medical emergency) seperti edema paru akut. (acute pulmonary
1,2
oedema). ; serangan yang cepat dari gejala dan tanda gagal jantung sehingga
membutuhkan terapi segera. GJA dapat berupa acute de novo (serangan baru dari
gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi
4
akut dari gagal jantung kronik (GJK).
4
Tabel 2-1. Penyebab dan faktor presipitasi GJA
(1) Dekompensasi pada GJK yang sudah ada (kardiomiopati)
(2) Sindrom koroner akut (SKA)
a. Infark miokardial/angina pektoris tidak stabil dengan iskemia yang
bertambah luas dan disfungsi iskemik
b. Komplikasi kronik infark miokard akut
c. Infark ventrikel kanan
(3) Krisis hipertensi
(4) Aritmia akut
(5) Regurgitasi valvular/endokarditis/ruptur korda tendinae, perburukan regurgitasi
katup yang sudah ada
(6) Stenosis katup aorta berat
(7) Miokarditis berat akut
(8) Tamponade jantung
(9) Diseksi aorta
(10) Kardiomiopati pasca melahirkan
(11) Faktor presipitasi non-kardiovaskular
a. Pelaksanaan terhadap pengobatan
kurang b. Overload volume
c. Infeksi, terutama pneumonia atau
septicemia d. Severe brain insult
e. pasca operasi besar
f. penurunan fungsi ginjal
g. asma
h. penyalahgunaan
obat i. penggunaan
alcohol
j. feokromositoma
(12) Sindrom high output (Curah Jantung Tinggi)
Dikutip dari: "Manurung D. Gagal jantung akut. In: Sudoyo AW, Setiyohath B, di Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 Ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006. p. 1505."

4
8.2.2 Patofisiologi terjadinya Gagal Jantung
Disfungsi kardiovaskular disebabkan oleh satu atau lebih dari 5 mekanisme utama di
bawah ini:
1. Kegagalan pompa
Terjadi akibat kontraksi otot jantung yang lemah atau inadekuat atau karena relaksasi otot
jantung yang tidak cukup untuk terjadinya pengisian ventrikel.
2. Obstruksi aliran
Terdapat lesi yang mencegah terbukanya katup atau menyebabkan peningkatan tekanan
kamar jantung, misalnya stenosis aorta, hipertensi sistemik, atau koarktasio aorta.
3. Regurgitasi
Regurgitasi dapat meningkatkan aliran balik beban kerja kamar jantung, misalnya ventrikel
kiri pada regurgitasi aorta atau atrium serta pada regurgitasi mitral.
4. Gangguan konduksi yang menyebabkan kontraksi miokardium yang tidak selaras dan
tidak efisien.
5. Diskontinuitas sistem sirkulasi. Mekanisme ini memungkinkan darah lolos, misalnya luka
tembak yang menembus aorta.
Beberapa keadaan di atas dapat menyebabkan overload volume atau tekanan atau
disfungsi regional pada jantung yang akan meningkatkan beban kerja jantung dan
menyebabkan hipertrofi otot jantung dan atau dilasi kamar jantung.
Pressure-overload pada ventrikel (misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta)
menstimulasi deposisi sarkomer dan menyebabkan penambahan luas area cross-sectional
miosit, tetapi tanpa penambahan panjang sel. Akibatnya, terjadi reduksi diameter kamar
jantung. Keadaan ini disebut pressure-overload hypertrophy (hipertrofi konsentrik).
Sebaliknya, volume-overload hypertrophy menstimulasi deposisi sarkomer dengan
penambahan panjang dan lebar sel. Akibatnya, terjadi penebalan dinding disertai dilasi
dengan penambahan diameter ventrikel. Penambahan massa otot atau ketebalan dinding yang
seiring dengan penambahan diameter kamar jantung menyebabkan tebal dinding jantung akan
tetap normal atau kurang dari normal.
Terjadinya hipertrofi dan atau dilatasi disebabkan karena peningkatan kerja mekanik
akibat overload tekanan atau volume, atau sinyal trofik (misal hipertiroidisme melalui
stimulasi reseptor -adrenergik) meningkatkan sintesis protein, jumlah protein di setiap sel,
jumlah sarkomer, mitokondria, dimensi, dan massa miosit, yang pada akhirnya ukuran
jantung. Apakah miosit jantung dewasa memiliki kemampuan untuk mensintesis DNA dan
apakah hal ini memungkinkan terjadinya pembelahan sel masih menjadi perdebatan.
Perubahan molekular, selular, dan struktural pada jantung yang muncul sebagai respons
terhadap cedera dan menyebabkan perubahan pada ukuran, bentuk, dan fungsi yang disebut
remodelling ventricle (left ventricular atau LV remodeling). Terjadinya remodelling ventricle
merupakan bagian dari mekanisme kompensasi tubuh untuk memelihara tekanan arteri dan
perfusi organ vital jika terdapat beban hemodinamik berlebih atau gangguan kontraktilitas
miokardium, melalui mekanisme kompensasi sebagai berikut: 4
1. Mekanisme Frank-Starling, dengan meningkatkan dilasi preload (meningkatkan cross-
bridge dalam sarkomer) sehingga memperkuat kontraktilitas.
2. Perubahan struktural miokardium, dengan peningkatan massa otot (hipertrofi) dengan
4
atau tanpa dilasi kamar jantung sehingga massa jaringan kontraktil meningkat.
3. Meskipun hipertrofi pada awalnya bermanfaat, tetapi cenderung memperlambat pengisian
saat diastolik dan memberi predisposisi iskemia subendokardium. Miosit yang hipertrofi
3
lebih mudah kelelahan dan digantikan jaringan fibrosis.
4. Aktivasi sistem neurohumoral, terutama pelepasan norepinefrin
meningkatkan frekuensi denyut jantung, kontraktilitas miokardium, dan resistensi
vaskular; aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron; dan pelepasan atrial natriuretic
4
peptide (ANP).
5. Kadar katekolamin yang tinggi di samping menambah aferload, juga toksik pada
3
miokardium yang fungsinya sudah menurun.

Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan jantung memompa


darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya untuk sementara. Perubahan patologik
lebih lanjut, seperti apoptosis, perubahan sitoskeletal, sintesis, dan remodelling
matriks ekstraselular (terutama kolagen) juga dapat timbul dan menyebabkan gangguan
fungsional dan struktural. Jika mekanisme kompensasi tersebut gagal, maka terjadi disfungsi
kardiovaskular
4
yang dapat berakhir dengan gagal jantung.
Kebanyakan gagal jantung merupakan konsekuensi kemunduran progresif fungsi
kontraktil miokardium (disfungsi sistolik) yang sering muncul pada cedera iskemik,
overload tekanan, dan volume atau dilated cardiomyopathy. Penyebab spesifik tersering
adalah penyakit jantung iskemik dan hipertensi. Terkadang kegagalan terjadi karena
ketidakmampuan kamar jantung untuk relaksasi, membesar, dan terisi dengan cukup selama
diastol untuk mengakomodasi volume darah ventrikel yang adekuat (disfungsi diastolik),
yang dapat muncul pada hipertrofi ventrikel kiri yang masif, fibrosis miokardium, deposisi
amiloid, dan perikarditis konstriktif. Apapun yang mendasari, gagal jantung kongestif
dikarakteristikkan dengan adanya penurunan curah jantung (forward failure) atau aliran
balik darah ke sistem vena (backward failure) atau keduanya.
Gagal jantung kiri lebih sering disebabkan oleh penyakit jantung iskemik, hipertensi,
penyakit katup mitral dan aorta, serta penyakit miokardial non-iskemik. Efek morfologis dan
klinis gagal jantung kiri terutama merupakan akibat dari aliran balik darah ke sirkulasi paru
yang progresif dan akibat dari berkurangnya aliran dan tekanan darah perifer.
Gagal jantung kanan yang terjadi tanpa didahului gagal jantung kiri muncul pada
beberapa penyakit. Biasanya gagal jantung kanan merupakan konsekuensi sekunder gagal
jantung kiri akibat peningkatan tekanan sirkulasi paru pada kegagalan jantung kiri.4
Gagal jantung kanan murni paling sering muncul bersama hipertensi pulmoner berat
kronik (cor pulmonale). Pada keadaan ini ventrikel kanan terbebani oleh beban kerja tekanan
akibat peningkatan resistensi sirkulasi paru. Hipertrofi dan dilatasi secara umum terbatas pada
ventrikel dan atrium kanan, walaupun penonjolan septum ventrikel kiri dapat menyebabkan
disfungsi ventrikel kiri.4

8.3 Presentasi Klinis 1,4

Presentasi klinis pasien dengan GJA dapat digolongkan ke dalam kategori klinik:
a. Gagal jantung kronik dekompensasi. Biasanya ada riwayat perburukan progresif pada
pasien yang telah diketahui gagal jantung yang sedang dalam pengobatan dan bukti
adanya bendungan paru dan sistemik.
b. Edema paru. Pasien datang dengan distres pernapasan berat, takipnea, dan ortopnea
dengan ronki basah halus seluruh lapangan paru. Saturasi oksigen arteri biasanya <
90% pada udara ruangan sebelum diterapi oksigen.
c. Gagal jantung hipertensif. Tanda dan gejala gagal jantung disertai peningkatan
tekanan darah dan biasanya fungsi ventrikel kiri masih baik. Terdapat bukti
peningkatan tonus simpatis dengan takikardia dan vasokonstriksi. Responnya cepat
terhadap terapi yang tepat dan mortaliti rumah sakitnya rendah.
d. Syok kardiogenik. Adanya bukti hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah
dilakukan koreksi preload dan aritmia mayor. Bukti hipoperfusi organ dan bendungan
paru terjadi dengan cepat.
e. Gagal jantung kanan terisolasi. Ditandai oleh sindrom low output dengan peningkatan
tekanan vena sentral tanpa disertai kongesti paru.
f. SKA dan gagal jantung. Terdapat gambaran klinis dan bukti laboratoris SKA. Kira-
kira 15% pasien dengan SKA memiliki tanda dan gejala gagal jantung.
g. GJA akibat Curah Jantung Tinggi.Ditandai dengan tingginya curah jantung, umumnya
disertai laju jantung yang sangat cepat (penyebabnya, antara lain aritmia,
tirotoksikosis, anemia, penyakit paget, iatrogenik), dengan perifer hangat, kongesti
pulmoner, dan terkadang tekanan darah yang rendah seperti pada syok septik.
8.4 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung akut ditegakkan berdasarkan gejala, penilaian klinis, serta
pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan EKG, foto toraks, laboratorium, dan
ekokardiografi Doppler.4
Tabel 2-2. Kriteria Framingham

Kriteria Mayor

o Paroxysmal Nocturnal Dyspnea


o Distensi vena leher
o Ronki paru
o Kardiomegali
o Edema paru akut
o Gallop S3
o Peninggian tekanan vena jugularis lebih dari 16 cm H2O
o Refluks hepatojugular
o Penurunan BB > 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Definitif : 2 mayor atau 1 mayor + 2 minor


Sumber: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik FKUI, 2013

Berdasarkan gejala dan penemuan klinis, diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan
bila pada pasien didapatkan paling sedikit 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dari Kriteria
4
Framingham.
- Melihat kasus yang dialami oleh pasien Tn.AP, bahwa pasien datang dengan Kriteria
Mayor yaitu Paroxysmal Nocturnal Dyspnea, Kardiomegali atas foto Roentgen
(CTR>0,76), adanya Kriteria minor berupa batuk malam hari dan Dyspnea deffort.
Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan bila pada pasien didapatkan 1 Kriteria Mayor
dan 2 Kriteria Minor dari Kriteria Framingham. Merujuk pada hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik, pasien Tn.AP akan mendapat planning terapi Gagal jantung akut.
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi mengenai denyut, irama, dan konduksi
jantung, serta seringkali etiologi, misalnya perubahan ST segmen iskemik untuk kemungkinan
4
STEMI atau non-STEMI.
- Pada pemeriksaan Elektrokardiogram jantung informasi mengenai denyut dan irama
yang irregular
Pemeriksaan foto toraks harus dikerjakan secepatnya untuk menilai derajat kongesti
paru dan untuk menilai kondisi paru dan jantung yang lain. Kardiomegali merupakan temuan
yang penting. Pada paru, adanya dilatasi relatif vena lobus atas, edema vaskular, edema
4
interstisial, dan cairan alveolar membuktikan adanya hipertensi vena pulmonal.

Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan:4


a) Anemia
b) Prerenal azotemia
c) Hipokalemia dan hiperkalemia, yang dapat meningkatkan risiko aritmia
d) Hiponatremia, akibat penekanan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron)
e) Peningkatan kadar tiroid, pada tirotoksikosis atau miksedema
f) Peningkatan produksi Brain Natriuretic Peptide (BNP), akibat peningkatan tekanan
intraventrikular, seperti pada gagal jantung

Curiga Gagal Jantung Akut Segera Nilai


Tanda dan Gejala

EKG abnormal?
AGD abnormal?
Kongest pada foto thorax?
Natriuretic peptde meninggi?
Riwayat sakit jantung atau gagal
jantung
Pertmbangkan penyakit paru /
diagnosis lain

Evaluasi dengan ekokardiograf

Terbukti Gagal Jantung


Rencanakan strategi
Nilai tpe, beratnya dan etiologinya
dengan investgasi selektif

2
Bagan 1. Alogaritma diagnosis GJA (Dikutp dari Funarow et al. Clin Cardiol 2004; 27 (suppl V)V1-V9)
20
20

8.3 Terapi Gagal Jantung Akut


Terapi awal GJA bertujuan untuk memperbaiki gejala dan menstabilkan kondisi
hemodinamik, yang meliputi:9,12
1) Oksigenasi dengan sungkup masker atau CPAP (continuous positive airway pressure),
target SaO2 94-96%
2) Pemberian vasodilator berupa nitrat atau nitroprusid
3) Terapi diuretik dengan furosemid atau diuretik kuat lainnya (dimulai dengan bolus IV
dan bila perlu diteruskan dengan infus berkelanjutan
4) Pemberian morfin untuk memperbaiki status fisik, psikologis, dan hemodinamik
5) Pemberian infus intravena dipertimbangkan apabila ada kecurigaan tekanan pengisian
yang rendah (low filling pressure)
6) Pacing, antiaritmia, atau elektroversi jika terjadi kelainan denyut dan irama jantung
7) Mengatasi komplikasi metabolik dan kondisi spesifik organ lainnya. Terapi
spesifik lebih lanjut harus diberikan berdasarkan karakteristik klinis dan
hemodinamik pasien yang tidak responsif terhadap terapi awal.4

Kongest paru dan Vasodilator, diuretc bila


TDS >90 mmHg kelebihan beban cairan

Tekanan pengisian rendah Tantangan cairan

CO cukup, asidosis Inotropik, vasodilator,


terkoreksi, SVO2>65%, tdak
support mekanik,
perfusi organ cukup pertmbangkan pemasangan
ya kateter pulmonal

Evaluasi berkala

CO= cardiac output, SVO2 = mixed venous oxygen saturation

4
Bagan 2. Alogaritma tatalaksana GJA berdasarkan perfusi dan tekanan pengisian
Dikutip dari: Kalim H, Irmalita, Idham I, Purnomo H, Harsunarti N, Siswanto BB,
et al. Pedoman praktis tatalaksana gagal jantung kronis dan akut. Jakarta: Divisi critical care
dan kardiologi klinik departemen kardiologi dan kedokteran vaskular FKUI; 2008. p.35-48.
Oksigen/NIV
Loop diuretics +/- vasodilator
Evaluasi klinis

TDS > 100 mmHg TDS 90-100 mmHg TDS < 90 mmHg

Vasodilator Vasodilator dan Pertmbangkan


(NTG,Nitropusid, atau inotropik koreksi preload
Nesittd, (dobutamin, PDEI, dengan cairan,
Levosimendan levosimendan) inotropik (dopamine)

Respon baik, stabil: Respon buruk: Inotropik,


Terapi oral vasopressor, support
diuretic/ACEI/ARB/Beta mekanik, pertmbangkan
bloker pemasangan kateter
pulmonal

NIV= non invasive ventilation, TDS= tekanan darah sistolik, NTG= nitrogliserin,
PDEI=phospodiesterase inhibitor, ACEI=angiotensin converting enzyme inhibitor, ARB=
angiotensin receptor blocker

Bagan 3. Alogaritma tatalaksana GJA berdasarkan tekanan darah sistolik

Dikutip dari: Kalim H, Irmalita, Idham I, Purnomo H, Harsunarti N, Siswanto BB, et al.
Pedoman praktis tatalaksana gagal jantung kronis dan akut. Jakarta: Divisi critical care dan
kardiologi klinik departemen kardiologi dan kedokteran vaskular FKUI; 2008. p.35-48.

8.4 Pilihan Obat


4
8.4.1 Vasodilator
Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien GJA sebagai terapi lini
pertama pada hipoperfusi yang berhubungan dengan tekanan darah adekuat dan tanda
kongesti dengan diuresis sedikit. Obat ini bekerja dengan membuka sirkulasi perifer dan
4
mengurangi preload . Yang termasuk dalam vasodilator, antara lain:
4,5
a. Nitrat
Nitrat bekerja dengan mengurangi kongesti paru tanpa mempengaruhi stroke volume atau
meningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokardium pada GJA kanan, khususnya pada
pasien SKA. Pada dosis rendah, nitrat hanya menginduksi venodilatasi, tetapi bila dosis
ditingkatkan secara bertahap dapat menyebabkan dilatasi arteri koroner. Dengan
dosis
yang tepat, nitrat membuat keseimbangan dilatasi arteri dan vena sehingga mengurangi
4,5
preload dan afterload ventrikel kiri, tanpa mengganggu perfusi jaringan.
- Pasien Tn.AP mendapat terapi medikamentosa yakni senyawa nitrat. Senyawa nitrat
berguna dalam pengobatan angina. Sumber referensi IONI,2008 menyebutkan bahwa,
walaupun senyawa nitrat merupakan vasodilator koroner yang poten, manfaat
utamanya adalah mengurangi aliran balik vena sehingga mengurangi beban ventrikel
7
kiri.
- Isosorbid dinitrat (ISDN) 5 mg secara sublingual aktif dan merupakan sediaan yang
lebih stabil bagi pasien yang hanya kadang-kadang memerlukan nitrat. Indikasi
penggunaan adalah angina dan profilaksis angina; gagal jantung kiri. Senyawa ini
7
juga efektif secara oral sebagai profilaksis. Melihat kembali kasus Pasien Tn.AP
datang ke IGD dengan keluhan utama sesak napas, tidak disebutkan bahwa ada
keluhan nyeri dada (angina), namun tujuan penggunaan ISDN disini adalah sebagai
profilaksis.
- Dengan dosis sublingual, 5-10 mg, sehari dalam dosis terbagi, angina 30-120 mg;
gagal jantung kiri 40-160 mg, sampai 240 mg bila diperlukan.

4,6
b. Nesiritid
Nesiritid merupakan rekombinan peptida otak manusia yang identik dengan hormon
endogen yang diproduksi ventrikel, yaitu B-type natriuretic peptides dalam merespon
peningkatan tegangan dinding, peningkatan tekanan darah, dan volume overload. Kadar B-
type natriuretic peptides meningkat pada pasien gagal jantung dan berhubungan dengan
keparahan penyakit. Efek fisiologis BNP mencakup vasodilatasi, diuresis, natriuresis, dan
antagonis terhadap sistem RAA dan endotelin. Nesiritid memiliki efek vasodilator vena,
arteri, dan pembuluh darah koroner untuk menurunkan preload dan afterload, serta
meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik langsung. Nesiritid terbukti mampu
mengurangi dispnea dan kelelahan dibandingkan plasebo. Nesiritid juga mengurangi
tekanan kapiler baji paru (PCWP).
4
c. Nitropusid
Nitroprusid bekerja dengan merangsang pelepasan nitrit oxide (NO) secara nonenzimatik.
Nitroprusid juga memiliki efek yang baik terhadap perbaikan preload dan after load.
Venodilatasi akan mengurangi pengisian ventrikel sehingga preload menurun. Obat ini
juga mengurangi curah jantung dan regurgitasi mitral yang diikuti dengan penurunan
resistensi ginjal. Hal ini akan memperbaiki aliran darah ginjal sehingga sistem RAA tidak
teraktivasi secara berlebihan. Nitroprusid tidak mempengaruhi sistem neurohormonal.4
4,6
8.4.2 Loop Diuretik

Diuretik kuat diindikasikan bagi pasien GJA dekompensasi yang disertai gejala retensi
cairan. Pemakaian secara intravena loop diuretic, seperti furosemid, bumetanid, dan
torasemid, dengan efek cepat dan kuat, lebih disukai pada GJA.12,16,17 Terapi dapat
diberikan dengan aman sebelum pasien tiba di rumah sakit dan dosis harus dititrasi sesuai
dengan respon terhadap diuretik. Pemberian loading dose furosemid atau torasemid yang
diikuti dengan infus berkelanjutan terbukti lebih efektif dibanding hanya bolus saja.
Kombinasi loop diuretic dengan tiazid, spironolakton, dobutamin, atau nitrat dapat
diberikan.4,6 Pemberian loop diuretic yang berlebihan dapat menyebabkan hipovolemia
dan hiponatremia, dan meningkatkan kemungkinan hipotensi saat pemberian ACEI
(angiotensin converting enzyme inhibitor) atau ARB (angiotensin receptor blocker).4,6
- Jika melihat terapi yang diberikan pada kasus Tn.PA, salah satu obat golongan
5
Loop Diuretic adalah Lasix, yang merupakan merek dagang dari Furosemid .
Furosemid merupakan salah satu diuretik kuat dalam pengobatan edema paru akibat
7
gagal jantung ventrikel kiri. Diuretika kuat kadang-kadang digunakan untuk
menurunkan tekanan darah terutama pada hipertensi yang resisten terhadap terapi
7
tiazid. Furosemid bekerja dalam waktu satu jam setelah pemberian oral dan efek
diuresisnya berakhir dalam 6 jam.
Sehingga dapat diberikan 2 kali dalam sehari tanpa mengganggu waktu tidur.
Pasien Tn.AP mendapat Lasix dengan sediaan ampul 20 mg/2 ml, injeksi intravena
dengan dosis 2 kali 1 ampul. Hal ini sesuai dengan aturan penggunaan obat
Lasix pada referensi IONI.

8.4.3 Inotropik
Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda-tanda hipoperfusi perifer (hipotensi)
dengan atau tanpa kongesti atau edema paru yang refrakter terhadap diuretika dan
vasodilator pada dosis optimal. Pemakaiannya berbahaya, dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen dan calcium loading sehingga harus diberikan secara hati-hati.16 Yang
termasuk inotropik, antara lain:
a) Dobutamin. Dobutamin merupakan simpatomimetik amin yang mempengaruhi reseptor
-1, -2, dan pada miokard dan pembuluh darah. Walaupun mempunyai efek inotropik
positif, efek peningkatan denyut jantung lebih rendah dibanding dengan agonis -
adrenergik. Obat
ini juga menurunkan Systemic Vascular Resistance (SVR) dan tekanan pengisian
ventrikel
4
kiri. Dosis pemberian iv: 2,5-10 mcg/kgBB/menit.
b) Dopamin. Dopamine merupakan agonis reseptor -1 yang memiliki efek inotropik dan
kronotropik positif. Pemberian dopamin terbukti dapat meningkatkan curah jantung dan
menurunkan resistensi vaskular sistemik.6 Dosis individual, kecepatan pemberian mulai pada
2-
5 ug/kgBB/menit.
c) Milrion. Milrinone merupakan inhibitor phosphodiesterase-3 (PDE3) sehingga terjadi
akumulasi cAMP intraseluler yang berujung pada inotropik dan lusitropik positif. Obat
ini juga vasodilator poten untuk sirkulasi sistemik dan pulmoner. Penurunan tekanan
pengisian ventrikel kiri lebih tinggi daripada dobutamin dan curah jantung yang dihasilkan
lebih besar daripada nitroprusid. Obat ini biasanya digunakan pada individu yang dengan
curah jantung rendah dan tekanan pengisian ventrikel yang tinggi serta resistensi vaskular
sistemik yang tinggi.
d) Epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin menstimulasi reseptor adrenergik -1 dan -2 di
miokard sehingga menimbulkan efek inotropik kronotropik positif. Epinefrin bermanfaat
pada individu yang curah jantungnya rendah dan atau bradikardi.
e) Digoxin. Digoksin digunakan untuk mengendalikan denyut jantung pada pasien gagal
jantung dengan penyulit fibrilasi atrium dan atrial flutter. Amiodarone atau ibutilide dapat
4
ditambahkan pada pasien dengan kondisi yang lebih parah.
6
Farmakokinetik. Tanpa adanya malabsorbsi berat. Kebanyakan glikosida digitalis
diabsorbsi secara adekuat dari saluran makanan dalam keadaan kongesti vaskuler
sekunder terhadap gagal jantung. Absorbsi oral hampir lengkap dalam 2 jam.
- Pada pasien Tn. SA, salah satu terapi yang pertama diberi saat masuk perawatan
bangsal adalah Digoxin. Dengan pemberian 1 kali 1 tablet (0,25mg) perhari.
6
Penggunaan digoxin pada gagal jantung . Dengan merangsang kontraktilitas
miokard secara cukup, digitalis memperbaiki pengosongan ventrikel, yaitu dengan
meningkatkan
curah jantung, memperkuat fraksi ejeksi, membuat diuresis dan menurunkan volume
dan tekanan diastolik yang meningkat serta menurunkan volume akhir sistolik
ventrikel yang gagal dengan akibat pengurangan gejala karena bendungan pembuluh
darah paru dan peningkatan tekanan vena sistemik. Pemberian obat ini terutama
sangat menolong pada pengobatan gagal jantung yang disertai kepak atrium (atrium
flutter) dan fibrilasi serta
denyut ventrikel
6
cepat.
8.4.4 Angiotensin Converting Enzime-Inhibitor dan Angiotensin II Receptor Blocker
Pasien gagal jantung kronik dekompensasi akut yang sebelumnya mendapat
ACEI/ARB sedapat mungkin harus meneruskan penggunaan obat tersebut. Jika pasien
sebelumnya juga menggunakan penghambat beta, dosisnya mungkin perlu diturunkan
atau dihentikan untuk sementara. Pengobatan dapat ditunda atau dikurangi bila terdapat
komplikasi berupa bradikardia, blok AV lanjut, bronkospasme berat, atau syok
kardiogenik, atau pada kasus GJA yang berat dan respons yang tidak adekuat terhadap
pengobatan awal.4
Penghambat ACE bekerja dengan menghambat konversi angiotensin I
menjadi
angiotensin II. Penggunaan pada gagal jantung kronis bertujuan mengurangi gejala,
meningkatkan daya tahan saat berolah raga, mengurangi insiden eksaserbasi akut dan
menurunkan tingkat kematian. Penghambat ACE digunakan pada semua tingkat keparahan
gagal jantung, biasanya dikombinasikan dengan diuretika. Suplemen kalium dan
diuretic hemat kalium sebaiknya dihentikan penggunaannya sebelum memulai
penggunaan penghambat ACE karena risiko hiperkalemia.

- Meninjau kepada salah satu terapi medikamentosa yang diberikan kepada pasien
Tn.PA, yaitu Valsartan merupakan salah satu golongan ARB (Angiotensin II
Receptor Blocker) yaitu Valsartan dengan dosis 1x80 mg tablet. Sumber referensi
Informatorium Obat Nasional Indonesia, 2008 menyebutkan bahwa Indikasi
penggunaan Valsartan adalah hipertensi (dapat digunakan tunggal maupun
kombinasi dengan obat antihipertensi lain); yaitu gagal jantung pada pasien yang
tidak dapat mentoleransi obat penghambat ACE (penghambat enzim pengubah
7
angiotensin). melihat dari segi interaksi, penggunaan Valsartan dengan
penghambat ACE dan beta-blocker tidak dianjurkan.

8.4.5 Penghambat Beta Penghambat beta merupakan kontraindikasi pada GJA kecuali bila
GJA sudah stabil.4

8.4.5 Antikoagulan Antikoagulan terbukti dapat digunakan untuk SKA dengan atau tanpa gagal
4
jantung. Namun, tidak ada bukti manfaat heparin atau LMWH pada GJA.
- Salah satu terapi medikamentosa Antikoagulan yang pasien Tn. AP dapatkan
adalah Injeksi Fluxum (Alfa Wassermann/Pratapa Nirmala) 1x0,6 ml. Fluxum
disini adalah suatu obat jenis antikoagulan parenteral jenis Parnaparin paten,
dengan indikasi sebagai profilaksis vena-dalam, terapi gangguan vena akibat
6
kondisi trombotik . Namun, hal yang sangat menjadi perhatian adalah salah satu
interaksi obat ini jika penggunaannya bersamaan dengan antiplatelet, asetosal dan
7
AINS adalah peningkatan risiko perdarahan. Sehingga penggunaan Fluxum bersama
dengan antiplatelet, tidak terlalu dianjurkan mengingat risiko perdarahan akan
meningkat juga.

- Terapi berikut yang akan dibahas adalah salah satu Diuretika Hemat Kalium yang
diberikan sebagai terapi pada kasus Tn.AP. Indikasi penggunaan Spironolakton 2x50
mg tablet (p.o) salah satunya adalah gagal jantung kongestif. Spironolakton
merupakan golongan Diuretik Hemat Kalium dengan mekanisme sebagai antagonis
kerja aldosteron dan meningkatkan retensi kalium dan ekskresi natrium di tubulus
distal. Namun menurut referensi IONI,2008 pada kasus Tn.AP, penggunaan
Spironolakton kurang dianjurkan. Hal ini terkait sudah digunakannya terapi
medikamentosa lain, yakni Valsartan yang merupakan Angiotensin II Receptor
Blocker. Yang mana referensi IONI menyebutkan, suplemen kalium tidak boleh
diberikan bersama diuretika hemat kalium. Juga penting untuk diingat bahwa
pemberian diuretika hemat kalium pada seorang pasien yang menerima suatu
penghambat ACE atau antagonis reseptor angiotensin II dapat menyebabkan
hiperkalemia berat. (IONI, 2008; h.138)
- Thrombo Aspilet kandungan Asetosal 80 mg. Indikasi sebagai pengobatan dan
pencegahan proses pembekuan dalam pembuluh (agregasi platelet) darah seperti
pada infarkmiokardia akut dan pasca stroke.
- Terapi medikamentosa lain yang didapatkan adalah injeksi Ranitidin 2x1 ampul.
Ranitidin adalah suatu Antagons reseptor-H2. Semua antagonis reseptor-H2
mengatasi tukak lambung dan duodenum dengan cara mengurangi sekresi asam
lambung sebagai akibat penghambatan reseptor histamine H2. (IONI, 2008; h.48)
Indikasi penggunaan pada kasus pasien Tn.AP adalah nyeri perut di daerah
epigastrium. Terapi antagonis reseptor-H2 dapat membantu proses penymbuhan
7
tukak yang disebabkan oleh AINS (terutama duodenum) . Penggunaan profilaksis
dapat mengurangi frekuensi perdarahnn dari erosi gastroduodenum. (IONI, 2008;
h.46)
4,6
8.5 Prognosis
Prognosis gagal jantung tergantung secara primer pada sifat penyakit jantung yang
6
mendasari dan pada ada atau tidaknya factor pencetus yang dapat diobati. Jika salah satu
dari yang terakhir dapat diidentifikasi dan dibuang, hasil kelangsungan hidup segera jauh
lebih baik daripada jika gagal jantung terjadi tanpa penyebab pencetus yang terlihat.
Dalam situasi terakhir ini, kelangsungan hidup biasanya berkisar antara 6 bulan sampai 4
6
tahun tergantung pada keparahan gagal jantung. Pasien GJA memiliki prognosis yang
sangat buruk. Sekitar 45% pasien GJA akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15%
paling
tidak dua kali dalam 12 bulan pertama.4
- Jika melihat kasus pasien Tn. AP, setidaknya ada lebih dari 2 faktor pencetus, dalam
kutipan referensi (Manurung D. 2006. Gagal jantung akut) dan Buku Ilmu Ajar Penyakit
Dalam (PAPDI, 2009) seperti Krisis hipertensi, Aritmia akut, Pelaksanaan terhadap
pengobatan kurang, Overload dan penggunaan alkohol. Pasien ini sudah memiliki
riwayat Hipertensi yang sudah sejak beberapa tahun lalu. Sudah mendapat terapi obat
Hipertensi oral, namun melihat kepada kepatuhan minum obat dan tindakan
pengontrolan tekanan darah yang secara teratur harus dilaksanakan, seperti
memeriksakan tekanan darah, tentunya dapat mempengaruhi prognosis ke depannya.
- Kebiasaan meminum alcohol juga menurut sumber referensi di atas menjadi factor
pencetus yang harus dihindari. Memperbaiki kualitas hidup pasien Tn.PA adalah tujuan
terapi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, dkk. 2009. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM PAPDI Jilid II Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing
2. Rilantoro, Lily. 2013. Penyakit Kardiovaskular (PKV) 5 Rahasia. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
3. 2010. PEDOMAN DIAGNOSIS DAN TERAPI Dept/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah Edisi V. Surabaya: Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo
4. Widy, Dewi Krisna. 2009. Hubungan Antara Literatur Gagal Jantung Akut.
5. Bambang., dkk. 2011. EIMED PAPDI Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing
6. Kasim, Fauzi. 2014. Informasi Spesialite Obat volume 49. Jakarta: IAI
7. Isselbacher., Braunwald et al. 2014. Harrison PRINSIP-PRINSIL ILMU PENYAKIT
DALAM Edisi 13 Volume 3
8. IKAPI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: Badan POM RI,
KOPERKOM dan CV Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai