Anda di halaman 1dari 22

Diagnosis dan Petatalaksanaan pada GERD

Pendahuluan

Refluks gastroesofagus didefinisikan sebagai gejala atau kerusakan mukosa esofagus

akibat masuknya isi lambung ke dalam esofagus. Refluks gastroesofagus disebabkan jika ada

gangguan pada katup di ujung esophagus sehingga terjadi refluks, yakni asam lambung

mengalir kembali ke pipa makanan ini. Asam lambung inilah yang menyebabkan rasa

terbakar, iritasi suara, dan memicu batuk kronis.1

Beberapa pasien dengan refluks gastroesofagus abnormal memproduksi asam dalam

jumlah besar, tetapi hal ini jarang dan bukan faktor di sebagian besar pasien.

Faktor-faktor yang berkontribusi ke refluks gastroesofagus yaitu Lower Esophageal

Sphincter (LES), hiatal hernias, esophageal contractions, dan endapan dari perut. Pada

beberapa individu, esofagitis refluks dapat merupakan suatu keadaan yang dialami seumur

hidup dan dimulai sejak masa anak. Oleh karena itu, diagnosis dini dan terapi yang tepat pada

masa anak sangat diperlukan untuk menghasilkan kondisi dan kualitas hidup yang lebih baik

pada masa remaja dan

dewasa.1

Anamnesis

Anamnesis adalah wawancara antara dokter dengan pasien dan atau keluarganya guna

memperoleh data-data pasien yang diperlukan untuk proses pengobatannya. Salah satu

masalah yang dialami oleh para dokter adalah sulitnya memperoleh riwayat penyakit dengan

baik. Hal ini disebabkan karena pasien seringkali sudah beradaptasi dengan masalah atau

penyakit yang dialami. Pada kondisi tersebut pada umumnya pasien beradaptasi dengan

penyakitnya malalui mekanisme penyangkalan, pengabaian, atau adaptif.2

1. Identitas

1
Data identitas sangat penting untuk membantu dokter dalam memberikan

penanganan kepada pasien. Ada beberapa penyakit yang berhubungan dengan usia,

pekerjaan, keturunan, lingkungan tempat tinggal dan lain-lain.2

2. Sumber data

Dapat didapatkan dari pasien sendiri (auto anamnese) maupun dari keluarga

atau orang yang mengantar pasien (allo anamnese).2

3. Keluhan utama

Merupakan keluhan yang dirasakan pasien yang menjadi alasan ia datang ke

dokter. Penting sekali bagi dokter untuk mendengarkan secara aktif apa yang

diungkapkan pasien, menelusurinya sehingga didapatkan data yang akurat mengenai

masalah utama pasien. Data hendaknya dirangkum secara jelas menyangkut kronologis

yagn mencakup awitan masalah, keadaan di mana hal tersebut terjadi, manifestasinya,

serta semua pengobatannya.2

Data yang bisa didapat dari hasil anamnesis pada pasien:2

Bila makan cepat kenyang

Perut terasa penuh atau begah

Rasa panas di daerah dada (heartburn) yang disebabkan oleh kontak isi refluks

dengan radang mukosa esophagus

Kembung bila makan agak banyak

4. Riwayat penyakit sekarang

Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, terinci dan

jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien

datang berobat.2

5. Keluhan penyerta

Keluhan yang menyertai keluhan utama. Setiap perubahan dan masalah atau

2
gangguan kesehatan yang dialami oleh usia lanjut akan disertai gejala gejala yang

khas.2

6. Riwayat penyakit dahulu

Mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit

yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang.2

7. Riwayat penyakit dalam keluarga

Penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial, atau penyakit

infeksi.2

8. Status kesehatan terakhir

Penggunaan obat - obatan tradisional, obat obat tanpa resep, suplemen atau vitamin.2

9. Anamnesis susunan sistem

Mengumpulkan data-data positif dan negatif yang berhubungan dengan

penyakit yang diderita pasien berdasarkan alat tubuh yang sakit. Ada atau tidaknya

alergi pada pasien, baik terhadap makanan maupun obat obat tertentu. Penggunaan

obat untuk penyakit yang dideritanya maupun untuk penyakit lain.2

Pemeriksaan fisik

Kelainan yang paling sering ditemukan pada pemeriksaan adalah terabanya massa

atau adanya cairan bebas, atau keduanya. Keduanya relative jarang ditemukan di klinik, di

mana dokter pada umumnya hanya memeriksa pada tempat dengan nyeri tekan yang paling

hebat. Keadaan yang paling sering ditemukan yang cocok dengan tujuan ujian adalah

penyakit kronis yang menyebabkan pembesaran hati atau limpa, seperti leukemia kronis.

Massa lain yang teraba di antara nya adalah pembengkakan ginjal, khusus nya ginjal

polokistik. Pembesaran yang timbul bisa neoplastik atau inflamasi dan biasanya tidak

mungkin membedakan keduanya hanya dengan pemeriksaan fisik. Pasien dengan penyakit

abdomen akut tampaknya tidak pernah dimunculkan pada ujian klinis. Ingat selalu untuk

3
inspeksi dan palpasi, untuk menjaga agar tangan anda tetap hangat dan palpasi dengan lembut

untuk menghindari menyakitinya. Periksa hal ini dengan melihat ke wajah pasien sewaktu-

waktu selama palpasi, terutama jika anda melakukan pemeriksaan nyeri tekan atau nyeri

lepas.3

Pemeriksaan penunjang

Endoskopi saluran cerna bagian atas

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk

diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).

Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari

mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan

gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna

bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive

reflux disease (NERD). Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang

dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa

gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD. Pemeriksaan histopatologi

juga dapat memastikan adanya Barrett's esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti

yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.4

Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari

pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.4

Derajat Gambaran endoskopi

kerusakan

A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm

B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa saling

berhubungan

4
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen

D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen

esophagus)

Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles4

Gambar 1. Endoskopi saluran cerna bagian atas4

Esofagografi dengan barium

Berfungsi untuk mencari perubahan bentuk kerongkongan dan mungkin melihat

abnormalitas dalam lapisan dari kerongkongan. Bentuk perutnya juga dapat dilihat dengan

menggunakan tes ini. Pasien meminum cairan yang mengandung mengandung barium. Dari

pemeriksaan berikut dokter dapat melihat garis besar kerongkongan dan lambung di x-ray.4

Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan sering kali tidak

menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat,

gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau

penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis

GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi,

yaitu pada 1). Stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala

disfagia, 2). Hiatus hernia.4

5
Gambar 2. Esofagografi dengan barium4

Pemantauan pH esofagus

Pemantauan pH esophagus memegang peranan penting dalam diagnosis refluks

gastroesofagus, terutama pada pasien yang sulit untuk diobati. Sampai saat ini pemantauan

pH merupakan standar baku untuk mendiagnosis refluks gastroesofagus dan untuk

menentukan hubungan episode refluks dengan gejala klinis. Dalam keadaan normal pH

esophagus antara 6 sampai 7, dengan ditemukannya penurunan pH di bawah 4 merupakan

petanda terjadinya episode refluks. Pemantauan pH esophagus yang paling baik dengan hasil

yang dapat dipercaya adalah selama 24 jam. Episode refluks gastroesofageal menimbulkan

asidifikasi bagian distal esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan

menetapkan mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada

esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH di bawah

4 pada jarak 5 cm diatas LES dianggap diagnostic untuk refluks gastroesofageal.4

Tes Bernstein

Tes penuangan asam (Bernstein) digunakan untuk menentukan apakah nyeri dada

disebabkan oleh refluks asam. Untuk tes ini, tabung kecil dimasukan melalui satu lubang

hidung, menuruni belakang tenggorokan, dan kedalam bagian tengah dari esofagus. Larutan

6
asam yang diencerkan dan larutan garam normal dituangkan secara bergantian melalui kateter

dan kedalam esofagus. Pasien tidak sadar larutan mana yang sedang diinfuskan. Jika

penuangan dengan asam membangkitkan nyeri pasien yang biasa dan penuangan dari larutan

garam tidak menghasilkan nyeri, kemungkinan adalah bahwa nyeri pasien disebabkan oleh

refluks asam.4

Manometri esophagus

Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan

gejala nyeri epigastrium dan regurgitas yang nyata didapatkan esofagografi

barium dan endoskopi yang normal.4

Sintigrafi gastroesofageal

Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat yang

dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium. Selanjutnya sebuah

penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan memonitor transit dari cairan atau

makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifitas tes ini masih diragukan.4

Tes penghambat pompa proton (Proton Pump Inhibitor/PPI)

Beberapa uji klinis prospektif terkontrol meneliti penggunaan empiris PPI untuk

GERD. Tes PPI adalah pengobatan PPI selama 2 minggu pada pasien yang mempunyai gejala

GERD atau pasien yang mempunyai manifestasi GERD atipikal atau ekstraesofageal. Dalam

tes ini, PPI diberikan dua kali sehari; sensitivitas tes PPI sebesar 68-80% untuk diagnosis

GERD.5

Dewasa ini terapi empirik atau PPI test merupakan salah satu langkah yang dianjurkan

dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama untuk pasien-

pasien yang tidak disertai dengan gejala alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm adalah:

berat badan turun, anemia, hematemesis atau melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga

dengan kanker esofagus atau lambung)dan umur >40 tahun.4

7
Dari penelitian di Asia, terungkap bahwa 93% penderita yang mempunyai gejala

GERD tipikal dan endoskopinya normal ternyata responsif terhadap terapi PPI selama 2

minggu tersebut. Tes PPI merupakan sebuah modalitas diagnostik yang bermanfaat, tetapi

perlu diingat bahwa respons positif terhadap tes PPI tidak selalu sebanding dengan diagnosis

GERD, begitu juga respons negatif tidak serta merta dapat menyingkirkan diagnosis GERD.5

Diagnosis banding

1. Non Erosive Reflux Disease (NERD)

Non Erosive Reflux Disease (NERD) adalah gangguan yang berbeda dari

penyakit Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Hal ini didefinisikan sebagai

subkategori dari GERD yang ditandai dengan gejala refluks terkait tanpa adanya erosi

mukosa esophagus, peradangan mikroskopis, hipersensitivitas viseral (stres dan tidur),

dan kontraksi esofagus berkelanjutan. Gejala pada pasien NERD adalah heartburn dan

regurgitasi. Heartburn umumnya digunakan untuk menunjukkan rasa terbakar di

substernal. Heartburn diperburuk oleh produk makanan tertentu, posisi membungkuk,

posisi terlentang saat tidur, dan lain sebagainya. Regurgitasi juga dapat mempengaruhi

pasien dengan NERD dan dapat menyebabkan rasa pahit atau asam di mulut. Hal ini

diperburuk ketika membungkuk atau posisi terlentang.6

Pilihan pengobatan untuk pasien NERD dapat menggunakan antasida, antagonis

reseptor H2, atau proton pump inhibitors (PPI). Edukasi yang dapat dianjurkan pada

pasien NERD yaitu dengan mengubah gaya hidup seperti berhenti merokok,

menghindari makananpedas, menghindarimakandi malam hari,

mengangkatkepalatempat tidur, menurunkan berat badan, makan dalam porsi kecil dan

menghentikanpenggunaan alkohol.6

2. Dispepsia fungsional

8
Dispepsi fungsional merupakan bagaian dari gangguan pencernaan fungsional

yang memiliki gejala umum gastrointestinal tanpa disertai kelainan atau gangguan

struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi.

Berdasarkan keluhannya, dispepsia fungsional dapat diklasifikasikan menjadi beberapa

subgrup yang didasarkan pada keluhan yang paling dominan antara lain:6

Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari maka

dikategorikan sebagai dispepsia tipe ulkus.

Bila kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat kenyang lebih dominan

maka dikategorikan sebagai dispepsia tipe dismotilitas.

Bila tidak ada keluhan yang dominan, maka dikategorikan sebagai dispepsia

non spesifik.

Diagnosis kerja

GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease) adalah kondisi patologis dimana sejumlah

isi lambung berbalik (refluks) ke esofagus melebihi jumlah normal, dan menimbulkan

berbagai keluhan. Kelainan pada GERD terjadi pada Lower Esophageal Sphincter (LES),

yakni cincin otot antara esofagus saluran makanan dari mulut ke lambung dan lambung.

Banyak orang, termasuk wanita hamil, menderita heartburn yang disebabkan oleh GERD

salah satu penyebabnya adalah hernia hiatus. Dalam kebanyakan kasus, nyeri ulu hati dapat

dikurangi melalui perubahan diet dan gaya hidup, namun beberapa orang mungkin

memerlukan pengobatan atau operasi. Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko

terjadinya GERD adalah obesitas, diabetes, kehamilan, dan merokok.6

Etiologi

Penurunan sfingter esophagus bisa di sebabkan oleh rokok, alkohol dan kopi.7 Esofagus

dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan

oleh kontraksi LES. Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat

9
terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi

pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya

terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3mmHg).4

Epidemiologi

Prevalensi GERD di asia, termasuk Indonesia, relative rendah di banding negara maju.

Di Amerika hampir 7% populasi mempunyai keluhan heartburn, dan 20-40% diantaranya di

perkirakan menderita GERD. Prevalensi esofagitis di Negara barat berkisar antara 10-20%,

sedangkan di asia hanya 3-5%, terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%). Tidak ada predileksi

gender pada GERD, laki-laki dan perempuan mempunyai resiko yang sama, namun insidens

esofagitis pada laki-laki lebih tinggi (2:1-3:1), begitu pula Barretts espphagitis lebih banyak

di jumpai pada anak laki-laki (10:1). GERD dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya

meningkat pada usia di atas 40 tahun.6

Patogenesis

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme: 1). Refluks

spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, 2). aliran retrograd yang mendahului

kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan

demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan

antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk

faktor defensif esofagus adalah:4

Pemisah Antirefluks

Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat

menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan tekanan

intrabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.

10
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES: 1). adanya hiatus hernia, 2). panjang LES

(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), 3). obat-obatan seperti antikolinergik, beta

adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain, 4). faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan

kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.4

Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada

kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses

refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat

spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum

diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada

hubungannya dengan pengosongan lambung lambat (delayedgastric emptying) dan dilatasi

lambung.4

Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak

pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya

sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat

memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan

tonus LES.4

Gambar 3. Pemisahan antirefluks4

Bersihan asam dari lumen esophagus. Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam

dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik, ekresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi

refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik

11
yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang

disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.4

Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan

refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar kemungkinan terjadinya

esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esofagus yang normal

sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik esofagus yang minimal. Refluks

malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esofagus

karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif. 4

Ketahanan epitelial esofagus

Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus yang

melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari:4

Membran sel.

Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan

esofagus.

Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan bikarbonat, serta

mengeluarkan ion H+ dan CO2.

Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan CI"

intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraselular.

Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esofagus, sedangkan

alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud

dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang

menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari HC1, pepsin, garam empedu, enzim

pankreas.4

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat

kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH <2, atau adanya pepsin atau garam

12
empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah

asam.4

Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di

lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain: dilatasi lambung atau

obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.4

Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang

didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori

dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett's esophagus

dan adenokarsinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi H.pylori terhadap GERD merupakan

konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh

eradikasi infeksi H.pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada

pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant

antral gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat menekan munculnya gejala GERD.

Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.pylori

dengan corpus predominant gastritis. Pengaruh eradikasi H.pylori dapat meningkatkan

sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala

GERD pra infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat

memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada

pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H.pylori dengan corpus predominant gastritis,

eradikasi H.pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam

lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat

mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori

dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.4

Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux turut

berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-acid reflux

13
antara lain berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan

ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral.4

Gejala klinis

Gejala dan tanda klinis yang khas beberapa diantaranya yaitu:8

Ketika asam refluks (mengalir balik) kedalam esofagus pada pasien dengan

PRGE/GERD, serat syaraf pada esofagus distimulasi. Stimulasi syaraf ini berakibat

paling umum pada rasa panas atau nyeri di dada (heartburn). Nyeri adalah karakteristik

dari PRGE/GERD. Heartburn biasanya digambarkan sebagai nyeri yang membakar

ditengah dada. Ia mungkin mulai tinggi diatas perut dan mungkin meluas naik kedalam

leher. Pada beberapa pasien, nyerinya mungkin tajam atau seperti tekanan, daripada

rasa terbakar. Nyeri jenis ini dapat meniru nyeri jantung (angina). Pada pasien lain,

nyerinya mungkin meluas ke belakang (punggung). Karena refluks asam lebih umum

setelah makan, heartburn adalah lebih umum setelah makan.

Disfagia (kesulitan menelan makanan) mungkin terjadi karena striktura atau keganasan

yang berkembang dari Barretts esophagus.

Odinorfagia (rasa sakit waktu menelan) bias timbul jika sudah terjadi ulserasi

esophagus yang berat.

Peradangan di kerongkongan (esophagitis) dapat menyebabkan perdarahan yang

biasanya sedikit dapat menjadi besar.

Esophageal ulcers, luka pada lapisan dari kerongkongan. Ulcers dapat menimbulkan

rasa sakit yang biasanya terletak di belakang tulang dada atau di bawahnya, mirip

dengan lokasi mulas.

Narrowing (penyempitan) dari kerongkongan dari surutnya swallowing solid membuat

makan semakin lebih sulit. Narrowing saluran udara yang dapat menyebabkan sesak

nafas dan wheezing.

14
GERD juga dapat menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang atipik dan

sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP), suara

serak, mual, regurgitasi, rasa pahit dilidah, hoarseness, keluar air liur berlebihan, sebuah rasa

benjol di tenggorokan (globus sensasi), laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya

bronkiektasis atau asma. Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor

predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah

gastroesophageal high pressures zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan

tonus LES (misalnya theofilin).4

Penatalaksanaan

- Non Medikamentosa

Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD,

namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat

memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk

mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.4

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup, yaitu:4

Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur

dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks

asam dari lambung ke esophagus. Makan makanan terakhir 3-4 jam sebelum tidur.

Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan

tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel.

Mengurangi konsumsi lemak serta Mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena

keduanya dapat menimbulkan distensi lambung.

Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan.

Menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen.

Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman

15
bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam.

Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti

antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic,

progesterone.

- Medikamentosa

Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada

penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini

GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian

atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam

lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan

motilitas.4

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down.

Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang

kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila

gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi

lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down

pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi

pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2

atau prokinetik atau bahkan antacid.4

Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang

penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD

adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.4

Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi GERD:4

- Antasid

Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD

16
tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat

ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat

golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare

terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang

mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal. Dosis: sehari 4 x 1 sendok makan.4

- Antagonis reseptor H2

Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,

famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif

dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih

tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan

esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis pemberian:4

o Simetidin: 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg

o Ranitidin: 4x l50mg

o Famotidin: 2 x 20 mg

o Nizatidin: 2 x l50mg

Obat-obatan prokinetik

Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit

ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan

GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.4

Metoklopramid

Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah

dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus

kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa

proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan

17
saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia. Dosis: 3 x 10

mg.4

Domperidon

Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang

lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.Walaupun

efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum

banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta

mempercepat pengosongan lambung. Dosis: 3 x 10-20 mg sehari.4

Cisapride

Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat

pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam

menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan

dengan domperidon. Dosis 3 x 10 mg sehari.4

Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)

Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek

langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan

mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin

dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal

(sitoproteksi). Dosis: 4 x 1 gram.4

Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)

Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-

obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H,

K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. Obat-

obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus,

bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonist

18
reseptor H2. Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu:4

Omeprazole: 2 x 20 mg

Lansoprazole: 2 x 30 mg

Pantoprazol: 2 x 40 mg

Rabeprazole: 2 x 10 mg

Esomeprazol: 2 x 40 mg

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat

dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-

demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.4

Efektivitas golongan obat ini semakin bertambah jika dikombinasi dengan golongan

prokinetik. Untuk pengobatan NERD diberikan dosis standar, yaitu:4

Omeprazole: 1 x 20 mg

Lansoprazole: l x 30mg

Pantoprazole: 1 x 40 mg

Rabeprazole: 1 x 10 mg

Esomeprazole: 1 x 40 mg

Umumnya pengobatan diberikan selama minimal 4 minggu, dilanjutkan dengan on

demand therapy.4

Komplikasi

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah striktur dan pendarahann. Sebagai dampak

adanya rangsangan kronik asam lambung terhadap mukosa esofagus, dapat terjadi perubahan

mukosa esofagus dari skuamosa menjadi epitel kolumnar yang metaplastik. Keadaan ini

disebut sebagai esofagus Barrett (Barretts esophagus) dan merupakan suatu keadaan

19
premaligna. Risiko terjadinya karsinoma pada Barretts esophagus adalah sampai 30-40 kali

dibandingkan populasi normal.4

Striktur esofagus

Striktur esofagus adalah penyempitan lumen esofagus dapat karena tumor atau

penyebab lain. Striktur esofagus merupakan penyempitan lumen karena fibrosis dinding

esofagus yang disebabkan oleh macam-macam penyebab. Proses striktur terjadi akibat reaksi

inflamasi dan nekrosis esofagus karena berbagai macam penyebab.9

Esofagus Barrett

Esofagus Barrett merupakan penyakit GERD stadium akhir. Kondisi ini ditemukan

pada 7 - 10 % pasien dengan GERD. Gangguan parah fungsi esofagus, dan peningkatan jelas

pemaparan asam pada esofagus. Penyulit tipikal pada pasien Barrets adalah ulserasi pada

segmen yang dilapisi epitel kolumnar, pembentukan striktur, dan displasia kanker akibat

adanya rangsangan kronik asam lambung terhadap mukosa esofagus.10

Gambar 4. Esofagus Barrett10

Prognosis

Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan diatas 80%

dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan

(maintenance therapy) atau bahkan terapi bila perlu (on-demand therapy) yaitu pemberian

obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala

20
hilang. Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan adanya

respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis

bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.3

Pencegahan

Beberapa peralatan kemungkinan digunakan untuk meringankan gastroesophageal

reflux. Mengangkat kepala pada tempat tidur kira-kira 6 inci mencegah asam mengalir dari

kerongkongan sebagaimana seseorang tidur. Makanan dan obat-obatan yang menjadi

penyebab harus dihindari, sama seperti merokok. Pemberian obat bethanechol atau

metoclopramide juga biasa digunakan untuk membuat sphincter bagian bawah lebih ketat.

Makanan dan minuman yang secara kuat merangsang perut untuk menghasilkan asam atau

yang menghambat pengosongan perut harus dihindari sebaiknya.3

Kesimpulan

GERD (Gastroesofageal Refluks Disease) merupakan keadaan patologis yang

diakibatkan refluks kandungan lambung ke dalam esofagus. Pada GERD ditemukan keluhan

seperti adanya rasa nyeri di bagian epigastrium, regurgitasi, heartburn, disfagia dan

odinofagia. Diagnosis GERD dapat dicapai berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan

yang dilakukan. Salah satu penatalaksaan untuk GERD adalah dengan modifikasi gaya hidup

Daftar Pustaka

1. Hegar B, Mulyani RL. Esofagitis refluks pada anak. Sari Pediatri, vol 8 no 1, hal 43-

53, 2006.

2. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta. EMS. Cetakan pertama; 2007.h.

11-16.

21
3. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Jakarta. EMS. Edisi 6; 2005.h.

38-46.

4. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B,

Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta:

Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2014.h.1748-56.

5. Bestari MB. Penatalaksanaan gastroesophageal reflux disease (GERD). Continuing

Medical Education, vol 38 no 7, hal 490-2, 2011.

6. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Biro Publikasi FK UKRIDA;

2013.h.21-27.

7. Pierce A, Grace, Borley NR. Ilmu bedah. Jakarta. EMS. Edisi ketiga; 2007.h.95.

8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Dalam: Brahm U. Pendit, alih bahasa; Huriawati

Hartanto, Nurwany Darmaniah, Nanda Wulandari, editor edisi bahasa Indonesia.

Buku ajar patologi. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 2007.

9. Priyanto A, Lestari S. Endoskopi gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika;

2008.h.53.

10. Albany Med Faculty Physicians. What is barrett's esophagus?. Diunduh dari url:

http://www.amc.edu/patient/services/gastroenterology/BARRX/barretts_esophagus_d

efinition.cfm

22

Anda mungkin juga menyukai