Anda di halaman 1dari 16

BAB 8

HEALTH SAVETY ENVIRONMENT DAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

8.1 Pendahuluan
Suatu perusahaan yang besar harus memiliki kualitas sumber daya
manusia yang baik sehingga tercipta produktivitas yang tinggi pula.
Namun perusahaan memiliki resiko pekerjaan yang tinggi, harus
memiliki standar keamanan dan keselamatan pekerjanya sehingga
menunjang produktivitas perusahaan, maka dari itu safety
merupakan hal yang sangat diutamakan.
Selain itu dalam operasi migas terdapat banyak kegiatan yang akan
memberikan dampak terhadap lingkungan sehingga harus dipikirkan
tindakan untuk mencegah dampak negatif yang akan timbul dari
kegiatan tersebut. Dampak negatif lain yang timbul bisa berupa
kecelakaan dan kebakaran sering kali ditemui dan umumnya
diakibatkan oleh kecerobohan manusia, lemahnya sistem
pengawasan, dan rendahnya kepedulian akan HSE. Healty, Safety
and Environment (HSE), merupakan salah satu kebijakan yang
dibuat guna memperkecil kemungkinan hal- hal seperti ini untuk
terjadi. HSE juga dibuat karna rasa tanggung jawab perusahaan
untuk melindungi kesehatan dan keselamatan pegawai, mitra kerja,
keluarga dan masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan.
Dasar dibentuknya kebijakan ini diperkuat oleh hukum yang telah
diatur pada undang- undang yaitu Undang-Undang No. 32 tahun
2009 yang menjelaskan bahwa pembangunan merupakan upaya
dasar untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya guna
meningkatkan mutu kehidupan rakyat. Berkaitan dengan itu,
pengelolaan lingkungan hidup diartikan sebagai upaya terpadu
dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan,
pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup.
Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 1 ayat 3,4,5, dalam PP No. 27/1999
tentang AMDAL mewajibkan untuk melaksanakan
studi AMDAL bagi kegiatan yang akan menimbulkan dampak penting
terhadap lingkungan.
Pengelolaan HSE yang lemah merupakan celah terjadinya insiden
yang tidak diinginkan, dan berdampak pada buruknya nama baik
perusahaan hingga kerugian material, profit, hingga kebangkrutan
pihak perusahaan sendiri. Sehingga secara tidak langsung, baik
buruknya sistem HSE suatu perusahaan dapat mempengaruhi
performa dari perusahaan itu sendiri. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa kesadaran untuk menjaga lingkungan dan mencegah
terjadinya hal- hal yang yang tidak diinginkan merupakan tanggung
jawab bersama. Sesungguhnya masalah mengenai HSE ini sangat
erat hubungannya terhadap masyarakat sekitar wilayah operasi dan
jika perusahaan mendapat masalah dengan masyarakat sekitar,
maka masalah itu akan berujung panjang.

8.2 Health safety environment


Pada bagian ini akan dilakukan pembahasan mengenai keselamatan
dan kesehatan kerja serta tanggung jawab perusahaan terhadap
lingkungan sekitar perindustrian.

8.2.1 Kebijakan HSE

8.2.1.1

Menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja dan masyarakat serta


mengurangi potensi bahaya dan melindungi lingkungan dari
pencemaran dan dampak negatif yang mungkin timbul dari kegiatan
perusahaan dan bisnis partner.

8.2.1.2
Membudayakan rasa peduli dan memprioritaskan aspek HSE dalam
setiap kegiatan dengan cara :
1. HSE moment sebelum melakukan kegiatan untuk
mengenali potensi bahaya dan tindakan yang harus
dilakukan jika terjadi bahaya.
2. Menerapkan keselamatan kerja dalam aktifitas sehari-
hari keseluruh pegawai.
3. Training HSE untuk lebih memberikan pemahaman
mengenai tindakan pengendalian bahaya.
4. Incident simulation untuk meningkatkan kewaspadaan
seluruh pegawai.
5. Selalu beroperasi dalam batas perencanaan agar
kondisi tetap aman dan terkontrol.
6. Memastikan bahwa peralatan dalam kondisi baik dan
alat pelindung diri berfungsi sebagaimana mestinya
7. Mengikuti dan melaksanakan prosedur pelaksanaan
kerja yang selamat.
8. Upaya meminimalkan limbah, menerapkan waste
treatment, dan effisiensi penggunaan energy.
9. HSE meeting yang dilakukan secara rutin untuk
menampung masukan mengenai HSE dan evaluasi
kecelakaan yang terjadi.
10. Melakukan perbaikan dan penyempurnaan terus
menerus berdasarkan hasil evaluasi untuk
menciptakan HSE yang baik di lingkungan
perusahaan.

8.3 Kerangka kerja HSE


Tujuan dari dioperasikannya HSE adalah untuk menghasilkan
lingkungan kerja dengan zero accident pada ditiap operasinya dan
tidak memiliki efek samping yang negatif pada lingkungan, degan
mengontrol suatu resiko yang dapat terjadi di lingkungan kerja,
sehingga resiko ini tidak berkembang menjadi suatu kecelakaan
yang tidak di inginkan dimasa mendatang
HSE terdiri dari tatacara yang yang berkaitan dengan manajemen
dan hazard. Kerangka kerja ini telah dikembangkan untuk
memastikan bahwa sistem telah sesuai dengan standar kesehatan
kerja dan manajemen keselamatan dari standar regulasi negara.
Berikut adalah beberapa aturan yang harus selalu dipatuhi saat
berada dilingkungan kerja:

8.3.1 Kebersihan dan Keteraturan


Anak tangga, lereng, tempat berjalan dan anjungan harus dijaga
agar bebas dari objek atau benda yang dapat mengakibatkan
bahaya tersandung atau terpeleset atau mengganggu, menghalangi
pintu darurat atau jalan menuju ke peralatan darurat. Setiap tangga
juga harus terdapat pegangan untuk menghindari insiden.
8.3.2 Alat Pelindung Diri
Helm pengaman harus dipakai setiap saat oleh setiap karyawan bila
berada diluar ruangan tempat tinggal, tali dagu harus dipasang
disaat bekerja dalam keadaan angin kencang, lokasi- lokasi yang
tinggi atau dekat dek helikopter. Sepatu pengaman dan sarung
tangan yang sesuai harus dipakai. Kacamata pengaman harus
dipakai disaat bekerja di lingkungan yang berdebu, terdapat
pecahan- pecahan karat atau cairan berbahaya, serta untuk
mengelas. Rambu- rambu yang menunjukkan keharusan untuk
menggunakan alat- alat keselamatan diri harus dipasang di tempat
kerja yang sesuai. Ikat pinggang dan tali penyelamat hams dipakai
oleh karyawan yang bekerja di atas,
Alat bantu pernapasan yang sesuai harus dipakai dalam kondisi
atmosfir berbahaya, contoh H2S, asap, debu, dan lain- lain. Untuk
lokasi dimana terdapat resiko H2S, harus disediakan sistem
cascade. Alat bantu pernapasan dalam jumlah yang cukup harus
tersedia untuk awak menara pemboran dalam keadaan darurat guna
menyelamatkan diri atau tujuan-tujuan pertolongan dan bagi petugas
derrickman apabila berada di atas.
Selain alat pelindung diri yang telah dijelaskan diatas, ear plug,
sarung tangan, kacamata, work vest, warepack, safety shoe juga
sangat penting digunakan saat berada dilapangan pengeboran.
8.3.3 Lantai, peralatan dan ketinggian Sabuk pengaman dan tali
penyelamat harus dipakai oleh setiap karyawan yang bekerja di atas
rangka pertama pada derrick atau mast. Tali penyelamat harus
dikaitkan baik pada sabuk pengaman maupun pada derrick atau
mast. Kegagalan pemakaian sabuk pengaman dapat menyebabkan
kecelakaan yang serius dan kematian. Kedua tangan harus bebas
untuk naik dan turun tangga derrick, oleh karena itu alat- alat harus
dimuat dan dikaitkan dengan tali. Bekerja di atas perkakas lantai bor
harus dihindari pada saat peralatan tangan sedang dinaikkan atau
sedang dipakai di atas derrick.
Mengangkat dan menurunkan personel dengan menggunakan tali
pengangkat (catline) atau elevator tidak boleh dilakukan. Manriding
air/ hydraulic winches yang ditentukan secara khusus disarankan
untuk dipakai. Kerekan seperti ini harus disahkan untuk mengangkat
personil dengan indentifikasi yang menunjukkan penggunaannya
dan batas angkat aman (SWL). Kerekan tidak boleh memiliki
kemampuan roda bebas dan harus beroperasi dengan failure safe
brake.
Platform harus disediakan pada mast sebagai tempat berdiri para
petugas ketika menangani pipa dan peralatan lain pada mast
tersebut.
Sebelum memulai kerja di atas lantai derrick, seorang supervisor
harus melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa ridak ada
alat- alat tangan, papan- papan dan alat- alat lain yang terlepas.
Prosedur yang sama harus dijalankan ketika meninggalkan
anjungan. Pipa yang dibiarkan berdiri di atas derrick harus diberi
pengaman (diikat dengan aman).
Tali luncur (escape lines) harus disediakan dan diamankan agar
memungkinkan derrickman meluncur dengan kecepatan terkontrol
ke daerah yang aman. Tali luncur ini harus diuji secara berkala,
contohnya setiap kwartal atau pada saat memulai operasi setiap
sumur. Tempat mendarat untuk tali luncur harus bebas dari
rintangan.
Lubang- lubang di gelandak untuk menampung pipa- pipa dengan
ukuran besar harus diberi penutuk. Penutup tersebut hanya boleh
dipindahkan sebelum pemasangan pipa-pipa. Lubang apapun pada
geladak harus diberi lingkaran penjagaan dan dipasangi rambu yang
menunjukkan bahaya.

8.3.3 Kebisingan
Tingkat kebisingan yang disarankan adalah 85 dB (A) untuk waktu
kerja 8 jam/ hari, 40 jam/ minggu, atau pada kasus jam kerja lembur,
waktu keterlibatan dalam setahun tidak boleh lebih dari 2000 jam.
Tingkat kebisingan di ruang akomodasi yang digunakan untuk
kegiatan diluar jam kerja harus tidak lebih dari 70 dB (A). Namun,
tingkat suara 70 dB (A) dapat mengganggu konsentrasi mental serta
kenyamanan tidur. Oleh sebab itu disarankan agar tingkat
kebisingan ruang tidur harus di bawah 45 dB (A).
Pada prakteknya, pengontrolan tingkat kebisingan dan persyaratan
untuk perlindungan pendengaran dapat berjalan apabila dibuat peta
kebisingan lokasi kerja di mana seluruh mesin- mesin dijalankan
pada beban kerja yang normal.
Tanda-tanda yang menyatakan bahaya bising harus dipasang dan
pelindung telinga yang layak harus tersedia bagi seluruh karyawan
yang bekerja di daerah yang tingkat kebisingannya tinggi.
Kebisingan yang terjadi dipengaruhi sejak awal proses konstruksi
hingga operasi berlangsung.
8.4 Dampak Lingkungan

Isu lingkungan berikut adalah isu yang harus diperhatikan sebagai


bagian dari penilaian komprehensif dan management program
berkaitan dengan resiko proyek dan dampak yang dapat terjadi. Isu
lingkungan yang berpotensi berkaitan dengan proyek offshore oil and
gas development adalah:
Emisi gas

Pembuangan air sisa

Management pembuangan liquid

Tumpahan

8.4.1 Emisi Gas


Sumber utama dari emisi gas (kontinu ataupun tidak kontinu) berasal dari
aktivitas offshore termasuk:
Sumber pembakaran dari power and heat generation

Penggunaan kompresor

Penggunaan pompa

Penggunaan mesin (boiler, turbin, dan mesin lain)

Emisi dari pembakaran gas dan ventilasi


Polutan dari sumber-sumber di atas adalah Carbondioksida (CO2)
Selanjutnya akan dijelaskan sedikit mengenai komponen tersebut:

8.4.1.1 Karbon dioksida (CO2)


Karbon dioksida adalah suatu komponen tidak berwarna, tidak berbau dan
tidak berasa, yang terdapat dalam bentuk gas pada suhu diatas 192 0C.
Komponen ini mempunyai berat sebesar 96,5 % dari berat air dan tidak
larut di dalam air. Karbon Monoksida yang terdapat di alam terbentuk dari
salah satu proses pembakaran tidak sempurna terhadap karbon atau
komponen yang mengandung karbon serta reaksi antara karbon dioksida
dan komponen yang mengandung karbon pada suhu tinggi yang
menyebabkan karbon dioksida terurai menjadi karbon monoksida dan
oksigen. Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh CO 2 terhadap
tanaman biasanya tidak terlihat secara nyata. Pengaruh CO2 pada
manusia pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kematian,
2
sedangkan kontak dengan CO pada konsentrasi yang relatif rendah (100
ppm atau kurang) dapat mengganggu kesehatan. Pengaruh CO2 pada
tubuh terutama disebabkan oleh reaksi antara CO2 dengan haemoglobin
(Hb) di dalam darah. Dari penjelasan di atas terkait senyawa senyawa gas
yang dihasilkan, maka sangatlah penting untuk melakukan pemaksimalan
efisiensi energy dan desain fasilitas untuk pemakai energy terendah.
Secara keseluruhan, emisi gas harus dikurangi. Berikut ini adalah
beberapa sumber adanya emisi gas selama operasi berlangsung.

8.4.2 Gas Buangan


Emisi gas buang diproduksi oleh pembakaran bahan bakar gas ataupun
liquid pada turbin, boiler, kompressor, pompa, dan mesin lain untuk
pembangkit dan pembuang panas. Saat pemilihan alat alatpun,
spesifikasi untuk emisi gas harus dijadikan salah satu pertimbangan

8.4.3 Ventilasi dan Pembakaran (Flaring)

System flaring dan venting juga sangat penting untuk diperhitungkan pada
fasilitas onshore untuk memastikan gas dan hidrokarbon lainnya terbuang
secara aman saat kondisi berbahaya, terjadinya kesalahan ataupun
kesalahan kondisi lainnya.
Jika pada lapangan dibutuhkan flaring, pengembangan secara kontinu
dari implementasi dan teknologi terbaru harus didemonstrasikan. Berikut
adalah pencegahan polusi yang harus diperhatikan pada flaring gas:

Penggunaan flare secara efisien dan optimisasi ukuran dan jumlah


burning nozzles.

Pemaksimalan efisiensi pembakaran flare dengan mengontrol dan


mengoptimalisasi laju alir fluida yang dibakar.

Meminimalisir resiko dari pengaturan otomatis bila terjadi blow-out.

Penggunaan system pembakaran otomatis yang dapat dipercaya.

Jika pada lapangan dibutuhkan flaring, pengembangan secara kontinu


dari implementasi dan teknologi terbaru harus didemonstrasikan.

.
Berikut adalah pencegahan polusi yang harus diperhatikan pada flaring
gas:

Penggunaan flare secara efisien dan optimisasi ukuran dan jumlah


burning nozzles.

Pemaksimalan efisiensi pembakaran flare dengan mengontrol dan
mengoptimalisasi laju alir fluida yang dibakar.

Meminimalisir resiko dari pengaturan otomatis bila terjadi blow-out.

Penggunaan system pembakaran otomatis yang dapat dipercaya

Pembuangan Air sisa


Reservoir minyak dan gas mengandung air (air formasi) yang akan
menjadi air terproduksi ketika terbawa ke permukaan selama produksi
hidrokarbon. Pada banyak lapangan, air diinjeksikan ke dalam reservoir
untuk menjaga tekanan dan memaksimalkan produksi. Selain itu air
tersebut juga dapat ditreatment hingga dapat dialirkan ke laut. Air yang
terproduksi mengandung campuran bahan inorganic yang kompleks,
senyawa organic, dan dalam banyak kasus terdapat sisa aditif yang
ditambah pada proses produksi. Ketika pembuangan air diperlukan, maka
harus dipertimbangkan pengurangan volume air yang diproduksikan,
termasuk:
Well management yang memadai saat well completion

Recompletion pada sumur yang menghasilkan produksi air yang besar

Penggunaan teknik separasi fluida pada downhole

Penutupan sumur yang banyak memproduksi air


Cooling Water

Kedalaman air pendingin debit harus dipilih untuk memaksimalkan


pencampuran dan pendinginan termal untuk memastikan bahwa suhu
berada antara 3 derajat Celcius dari ambien suhu air laut di tepi zona
pencampuran atau dalam radius 100 meter dari titik pembuangan.

8.4.6 Hidrostatic Testing Water


Pengujian hidrostatik peralatan onshore dan pipa laut melibatkan pengujian
tekanandengan air (air laut biasanya disaring, kecuali spesifikasi peralatan
tidak memadai) untuk memverifikasi peralatan dan pipa. Kimia aditif (korosi
inhibitor,pemulung oksigen, dan pewarna) dapat ditambahkan ke air untuk
mencegah korosi internal atau untuk mengidentifikasi kebocoran.

8.4.7 Desalination Brine

Operator harus mempertimbangkan desalinasi air garam pencampuran dari


air minum dengan sistem air pendingin atau pembuangan air limbah. Jika
pencampuran dengan buangan aliran limbah lainnya tidak layak, lokasi
pembuangan harus dipilih dengan hati-hati dan mempertimbangkan
dampek lingkungan yang potensial.

8.4.8 Manajemen Pembuangan Limbah

Bahan-bahan limbah onshore harus dipisahkan menjadi yang tidak


berbahaya danlimbah berbahaya dan dikirim ke pantai untuk
digunakan kembali, daur ulang, atau dibuang. Sebuah rencana
pengelolaan limbah untuk fasilitas onshore harus dikembangkan dan
pelacakan jenis limbah menjadi kebih mudah. Upaya harus dilakukan
untuk menghilangkan, mengurangi, atau mendaur ulang limbah
setiap saat.

Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang


mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat
dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakkan
lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Oleh karena itu, segala bentuk materi hasil proses kegiatan suatu
usaha terutama yang memiliki potensi sebagai B3 harus ditangani
dengan sebaik mungkin.
Tujuan pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh
limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang
sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.

Limbah B3 yang dihasilkan berdasarkan sumbernya dapat berasal


dari kegiatan operasi di lapangan seperti bahan-bahan lumpur
pemboran, tumpahan minyak, bahan-bahan kimia yang digunakan
sebagai inhibitor ataupun kegiatan di laboratorium, bahan radioaktif,
dsb. Selain itu, limbah B3 juga bisa berasal dari bahan-bahan yang
sudah kadaluarsa. Untuk limbah yang mungkin mencemari udara
misalnya debu-debu akan diminalkan oleh penangkap debu yang
dipasang di setiap titik yang

mempunyai potensi menghasilkan debu. Kemudian debu-


debu tersebut dibawa ke fasilitas pengolahan B3 atau disimpan
sementara untuk diolah oleh penyedia jasa pengolah limbah.
Gas-gas hasil proses pengolahan yang tidak bersifat ekonomis akan
di flare sehingga diharapkan pembakarannya akan menghasilkan
gas-gas yang lebih aman untuk dibuang ke udara. Limbah B3
umumnya memiliki karakteristik seperti di bawah ini:
Reaktif

Mudah terbakar

Mudah meledak

Korosif

Beracun

Menyebabkan infeksi
Pengolahan limbah B3 untuk setiap karakteristik bahan yang
berbeda akan membutuhkan proses yang berbeda pula. Pengolahan
limbah B3 yang akan digunakan adalah dengan menggunakan
insinerasi yaitu dengan cara pembakaran materi limbah
menggunakan alat insinerator yang memiliki efisiensi pembakaran
yang tinggi 99.9%. Dengan demikian, limbah seperti tumpahan
minyak yang akan sering ditemukan selama proses kegiatan bisa
ditangani secara mandiri. Untuk jenis bahan B3 yang lain seperti
misalnya radioaktif yang memerlukan proses pengolahan secara
khusus dan juga jumlahnya yang realtive sedikit karena tidak
dihasilkan secara kontinu akan diolah oleh penyedia jasa limbah
yang memiliki wewenang dan teknologi dalam mengolah limbah
tersebut. Oleh karena itu, disiapkan penempungan limbah B3
sementara sebelum diangkut oleh pengolah limbah B3 tersebut.

Tambahan yang harus dipertimbangkan untuk pembuangan pada


pengembangan lapangan onshore adalah :
Fluida pemboran dan cutting pemboran

Pasir yang terproduksi


Komplesi dan fluida work-over sumur


Naturally occuring radioactive materials (NORM)


8.4.9 Injeksi Air Buangan dan Konservasi Sumber Daya Air

Air yang terproduksikan setelah dilakukan pemisahan maka harus


diproses terlebih dahulu agar memenuhi spesifikasi air limbah agar
aman untuk dikembalikan ke lingkungan. Setelah diproses, air
limbah siap untuk diinjeksikan melalui sumur injeksi berupa disposal
well atau sumur untuk maintenance tekanan. Untuk menginjeksikan
air digunakan WIP (Water Injection Pump). Sumur injeksi ditentukan
lokasi dan kedalamannya agar tidak mencemari air tanah. Dengan
demikian air limbah tidak ada yang terbuang ke lingkungan
permukaan (zero discharge). Kriteria untuk baku mutu limbah cair
bagi kegiatan operasi migas telah tercantum di KEP-
42/MENLH/10/1996 seperti ditunjukkan oleh tabel berikut.
Tabel 8.1 Kriteria Baku Mutu Limbah Cair

8.4.10 Kebisingan

Untuk pengukuran tingkat kebisingan dipemukiman dilakukan


dengan menggunakan standar pengukuran yang telah ditetapkan
oleh Kementrian Lingkungan hidup melalui Keputusan menteri
lingkungan hidup Kep-48/MENLAH/11/1996 tahun 1996 Lampiran II
tentang Baku Tingkat Kebisingan. Pengkuran di Pemukiman
dilakukan di beberapa titik sampel yang tersebar dengan
memperhatikan penyebaran wilayah dan rumah penduduk.
Sedangkan pengukuran di lokasi tambang dilakukan pada jarak 20
meter dari alat atau area operasi dengan membaca pada alat setiap
5 detik selama 10 menit. Pengolahan data tingkat kebisingan
dilakukan dengan menggunakan rumus tingkat kebisingan ekuivalen
dan siang-malam.
8.5 Kesehatan dan Isu Keselamatan

Kesehatan dan isu-isu keselamtan harus dianggap sebagai bagian


dari penilaian bahaya atau risiko yang komprehensif, sebagai
contoh, sebuah studi identifikasi bahaya, dan studi operabilitas atau
studi penilaian risiko lain. Hasilnya harus digunakan untuk
perencanaan kesehatan dan manajemen keselamatan, dalam desain
dari fasilitas dan sistem kerja yang aman, dan dalam penyusunan
prosedur kerja yang aman. Safety sangat berperan kuat di onshore
dimana semua program harus berjalan. Onshore facility / rig memiliki
tempat yang terbatas dan tidak sama dengan onshore yang mana jika
terjadi sesuatu emergency maka semua pekerja masih bisa
menyelamatkan diri dengan leluasa. Untuk itu wilayah kerja onshore
dibutuhkan requirement tambahan seperti training TBOSIET (Tropical
Basic Offshore Safety Induction Emergency Training) pakage. Training ini
memiliki beberapa bagian, yaitu:

1. HUET (Helicopter Underwater Escape Training)


2. BSS (Basic Sea Survival)
3. Fire Fighting
4. Safety Induction
5. Fire Fighting and Self Rescue
6. Travel Safely by Boat
7. EBS

8.6 Community Development


Untuk meningkatkan taraf hidup warga sekitar, dan sebagai bentuk
community development dari pihak perusahaan. Pada tahap pra
konstruksi penduduk setempat dapat digunakan sebagai guide untuk
survei lokasi dan mempermudah dalam pengenalan keadaan alam
ataupun lapangan sekitar area produksi. Pada tahap konstruksi
penduduk tempatan dapat diberdayagunakan sebagai tenaga kerja
harian untuk proses konstruksi. Untuk penduduk setempat bisa diberi
bantuan air bersih ataupun materi dan pelatihan seperti bantuan
modal usaha kecil atau pun pelatihan keterampilan. Pembangunan
fasilitas publik pun juga diperlukan seperti sekolah, puskesmas, dll
juga diperlukan untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat
serta agar kehidupan warga di sekitar wilayah operasi bisa menjadi
lebih baik lagi. Dan untuk kedepannya, perusahaan akan terus
mendukung segala kegiatan dan kebutuhan warga sekitar.

8.7 Rencana Pembuangan Limbah Pengeboran


Limbah berupa cutting bor akan diangkut dari cutting pit ke area
khusus penampungan cutting. Cutting tersebut akan proses secara
bioremediasi. Cutting yang telah di tratment hingga kering dan bebas
dari bahan kimia dapat di buang ke laut agar tidak merusak
lingkungan. Limbah cair akan diproses di waste water system yang
terdapat di setiap lokasi pengeboran. Setelah melalui berbagai
tahapan pengolahan, air yang terdapat pada pit terakhir sudah dalam
keadaan bersih serta memenuhi baku mutu lingkungan, sehingga
dapat digunakan kembali untuk material lumpur pengeboran, atau
jika berlebih dapat dialirkan ke lingkungan. Pemantauan kualitas air
ini dilakukan setiap hari. Sedangkan limbah berupa sisa oli, sisa
semen dan packing kayu akan dikelola secara terpisah, dan masing-
masing memiliki penampungan khusus di lokasi.

8.8 Corporate Social Responsibility


Corporate Social Responsibility (CSR) berlandaskan UU No.22 Tahun 2001 tentang
Undang Undang Minyak dan Gas Bumi Bab VIII Pasal 40 ayat 3,4,5 dan 6 yang
berisikan Badan Usaha dan Bentuk Usaha tetap yang melaksanakan kegiatan usaha
minyak dan gas bumi ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan
masyarakat setempat.
Lapangan Gas Perkutut terletak pada Blok Masela PSC di bagian timur dari Laut
Timor, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dengan ibukotanya adalah Kota Saumlaki
yang mencakup seluruh kepulauan Tanimbar.

Anda mungkin juga menyukai