Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

Sebelum sekitar tahun 1950, definisi atas kematian cukup jelas, yakni saat detak jantung dan
pernapasan berhenti terjadi. Namun kemudian berbagai teknik ditemukan untuk mempertahankan
detak jantung dan pernapasan walaupun pasien telah mati, sehingga muncul persepsi baru.
Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan paru (Walshe,
2001). Ilmuwan, pemuka agama, pekerja kesehatan, bahkan masyarakat umum secara luas telah
menyetujui bahwa seseorang dapat dikatakan meninggal apabila terjadi kematian otak. Di Amerika
Serikat, kematian dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis (Wijdicks, 2001).
Pada orang dewasa di Hongkong, kematian otak yang diakibatkan oleh cedera kepala berat meliputi
hingga sekitar 50% dari semua kasus, dan 30% lainnya diakibatkan oleh perdarahan intrakranial.
Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi (Hing-yu, 1994). Di Amerika, penyebab utama kematian
otak adalah cedera kepala dan perdarahan subarachnoid (Wijdicks, 2001). Batang otak dapat
mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan tekanan pada kompartemen
supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi suplai darah atau integritas struktur otak.
Cedera hipoksia lebih mempengaruhi korteks daripada batang otak (Hing-yu, 1994).
Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Pada tahun 1959, Mollaret dan
Goulon memperkenalkan istilah irreversible coma atau koma ireversibel, untuk mendeskripsikan
keadaan dari 23 orang pasien yang berada dalam kondisi koma, kehilangan kesadaran, refleks
batang otak, respirasi, serta menunjukkan hasil elektroensefalogram yang datar. Pada tahun 1968,
komite ad hoc di Harvard Medical School meninjau ulang definisi kematian otak dan mendefinisikan
koma ireversibel, atau kematian otak, sebagai tidak adanya respon dan reseptivitas, pergerakan
dan pernapasan, reflex batang otak, serta adanya koma yang penyebabnya telah diidentifikasi.
Pada tahun 1976, The Conference of Medical Royal Clleges di Inggris menyatakan bahwa kematian
otak adalah hilangnya fungsi batang otak yang komplet dan ireversibel. Pada tahun 1981,
Presidents Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and
Behavioral Research mempublikasikan panduan berkaitan dengan kematian otak (Doig, 2003).
Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat
anatomis serta transplantasi alat atau organ tubuh manusia, meninggal dunia adalah keadaan insani
yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan dan denyut
jantung seseorang telah berhenti. Batasan mati mengandung 2 kelemahan yang pertama pada henti
jantung (cardiac arrest) fungsi otak, pernapasan dan jantung telah berhenti namun sebetulnya kita
belum dapat menyatakan mati karena pasien masih mungkin hidup kembali bila dilakukan
resusitasi. yang kedua dengan adanya kata-kata denyut jantung telah berhenti maka ini justru
kurang menguntungkan untuk transplantasi, karena perfusi ke organ-organ telah berhenti pula,
yang tentunya akan mengurangi viabilitas jaringan/organ. Diagnosis MBO dan petunjuknya dapat
dilihat pada fatwa IDI tentang MBO. Diagnosa MBO mempunyai 2 komponen utama. Komponen
pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat (tabel 1) dan komponen kedua adalah tes klinis
fungsi batang otak.(Sunarto 2009, IDI 1990, )
Definisi Mati
Mati klinis adalah henti napas (tidak ada geraka napas spontan) ditambah henti sirkulasi (jantung)
total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel. Pada masa dini kematian
inilah, permulaan resusitasi dapat diikuti dengan pemulijan semua fungsi organ vital termasuk
fungsi otak nomal, asal diberikan terapi yang optimal.
Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan resusitasi
jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati biologis merupakan proses nekrotisasi
semua jaringan, dimulai dengan neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa
sikulasi, diikuti oleh jantung, ginjal, paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam
atau hari.
Mati serebral (kematian kortek) adalh kerusakan ireversibel (nekrosis) serebrum, terutama
neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral ditambah dengan nekrosis
sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan batang otak.
Mati sosial (status vegetatif yang menetatap, sidroma apalika) merupakan kerusakan berat
ireversibel pada pasien yang tetap atidak sadar dan tidak responsif, tetapi mempunyai
elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa reflek yang utuh. Ini harus dibedakan dari mati
serebral yang EEGnya tenang dan dari mati otak, dengan tambahan ketiadaan semua reflek saraf
otak dan upaya napas spontan. Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur. (
Sunatrio. 1986, Safar P, 1984)

DEFINISI MATI BATANG OTAK


Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun mendefinisikan kematian otak dalam
kata-kata adalah sulit. Di kriteria Inggris, tidak ada definisi yang jelas. Pada panduan Australian and
New Zealand Intensive Care Society (ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun 1993, kematian otak
didefinisikan sebagai berikut: Istilah kematian otak harus digunakan untuk merujuk pada
berhentinya semua fungsi otak secara ireversibel. Kematian otak terjadi saat terjadi hilangnya
kesadaran yang ireversibel, dan hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat
secara ireversibel, atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel. (Hing-yu, 1994).
Menurut kriteria komite ad hoc Harvard tahun 1968, kematian otak didefinisikan oleh beberapa hal.
Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi lagi secara permanen, yang ditentukan dengan
tidak adanya resepsi dan respon terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan napas, dan tidak
adanya refleks-refleks, yakni respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji
penggelengan kepala dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya deserebrasi),
refleks menelan, menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan
respon terhadap rangsang plantar. Yang kedua adalah data konfirmasi yakni EEG yang iselektris.
Kedua tes tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa adanya hipotermia (suhu
kurang dari 32,2O C) atau depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat. Penentuan tersebut harus
dilakukan oleh seorang dokter. (Mernoff, 2009)
Menurut Uniform Determination of Death Act, yang diembangkan oleh National Conference of
Commissioners on Uniform State Laws, Presidents Commission for the Study of Ethical Problems in
Medicine and Biomedical and Behavioral Research, seseorang dinyatakan mati otak apabila
mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara ireversibel, dan (2), terhentinya
semua fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang otak, secara ireversibel. (Mernoff, 2009)
Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak adanya denyut jantung dan usaha napas,
serta pemeriksaan EKG dan uji apnea. Terhentinya fungsi otak dinilai dari adanya keadaan koma
serta hilangnya fungsi batang otak berupa absennya refleks-refleks.
Menurut panduan yang digunakan di Amerika, kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya semua
fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak
adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea (New York State Department of Health,
2005).

PEMERIKSAAN KLINIS
Banyak anggota berbagai asosiasi ahli saraf dan ahli bedah saraf telah menyusun kebijakan dan
panduan praktek untuk menegakkan diagnosis kematian otak. Hanya ada sedikit perbedaan yang
ada, dan selalu ada penekanan yang konsisten pada pengujian apnea dan penilaian fungsi otak
sebagai metode plihan dalam menegakkan diagnosis kematian otak. Tes konfirmasi yang rutin
dengan elektroensefalografi tidak lagi menjadi pilihan. Uji elektrofisiologis lain juga tidak cukup
mendapat validasi dan memiliki kesulitan baik dalam pelaksanaan maupun interpretasinya.
Kebijakan dan panduan praktek tersebut diterapkan secara merata pada dewasa dan usia 2 bulan
ke atas. Kematian otak pada bayi berusia kurang dari 2 bulan didiagnosis dengan pendekatan yang
berbeda pada kebanyakan kebijakan dan biasanya meliputi uji apnea, uji fungsi otak berulang,
elektroensefalografi, dan uji perfusi serebral (Lazar et al, 2001).
Pemeriksaan neurologis klinis tetap menjadi standar untuk penentuan kematian otak dan telah
diadopsi oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Pemeriksaan pasien yang diduga telah
mengalami kematian otak harus dilakukan dengan teliti. Deklarasi tentang kematian otak tidak
hanya menuntut dilakukannya tes neurologis namun juga identifikasi penyebab koma, keyakinan
akan kondisi ireversibel, penyingkiran tanda neurologis yang salah ataupun faktor-faktor yang dapat
menyebabkan kebingungan, interpretasi hasil pencitraan neurologis, dan dilakukannya tes
laboratorium tambahan yang dianggap perlu (Wijdicks, 2001. Walshe,2001).
Diagnosis kematian otak terutama ditegakkan secara klinis. Tidak ada tes lain yan perlu dilakukan
apabila pemeriksaan klinis yang menyeluruh, meliputi kedua tes refleks batang otak dan satu tes
apnea, memberikan hasil yang jelas. Apabila tidak ditemukan temuan klinis, atau uji konfirmasi,
yang lengkap yang konsisten dengan kematian otak, maka diagnosis tersebut tidak dapat ditegakkan
(New York State Department of Health, 2005).
Pemeriksaan neurologis untuk menentukan apakah seseorang telah mengalami kematian otak atau
tidak dapat dilakukan hanya apabila persyaratan berikut dipenuhi: penyingkiran kondisi medis yang
dapat mengganggu penilaian klinis, khususnya gangguan elektrolit, asam basa, atau endokrin;
tidak adanya hipotermia parah, didefinisikan sebagai suhu tubuh lebih kurang atau sama dengan
32oC; dan tidak adanya bukti intoksikasi obat, racun, atau agen penyekat neuromuskuler (Wijdicks,
2001).

Menurut panduan sertifikasi kematian otak yang diterapkan di Hong Kong, yang mengacu pada
beberapa referensi seperti Medical Royal Colleges in United Kingdom dan Austalian and New
Zealand Intensive Care Society, sebelum mempertimbangkan diagnosis kematian otak, harus
diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi. Pertama-tama, harus ditemukan kondisi cedera
otak berat yang konsisten dengan proses terjadinya kematian otak (yang biasanya dikonfirmasi
dengan pencitraan otak). Tidak boleh ada keraguan bahwa kondisi yang dialami pasien diakibatkan
oleh kerusakan struktural otak yang tidak dapat diperbaiki. Diagnosis dari kelainan yang dapat
menimbulkan kematian otak harus ditegakkan dengan jelas. Diagnosis tersebut dapat jelas terlihat
beberapa jam setelah kejadian intrakranial primer seperti cedera kepala berat, perdarahan
intrakranial spontan, atau setelah pembedahan otak. Namun, saat kondisi pasien disebabkan oleh
henti jantung, hipoksia, atau insufisiensi sirkulasi yang berat tanpa periode anoksia serebri yang
jelas, atau dicurigai mengalami embolisme udara atau lemak otak maka penegakan diagnosis akan
memakan waktu lebih lama.
Kondisi kedua yang dapat menjadi pertimbangan untuk menegakkan diagnosis kematian otak adalah
pasien yang apneu dan menggunakan bantuan ventilator. Pasien tidak responsif, dan tidak bernafas
secara spontan. Obat penyekat neuromuskuler atau lainnya harus dieksklusi dari penyebab kondisi
tersebut.
Penyebab koma lain yang harus dieksklusi adalah obat depresan atau racun. Riwayat penggunaan
obat harus secara hati-hati diperiksa. Periode observasi tergantung pada farmakokinetik dari obat
yang digunakan, dosis yang digunakan, dan fungsi hepar serta ginjal pasien. Apabila diperlukan, tes
darah dan urin serta level serum dilakukan. Bila ada keraguan tentang adanya efek dari opioid atau
benzodiazepine, maka obat antagonis yang tepat harus diberikan. Stimulator saraf tepi harus
digunakan untuk mengkonfirmasi intak tidaknya konduksi neuromuskuler apabila pasien
menggunakan obat pelemas otot (muscle relaxant).
Hipotermia primer juga menjadi kriteria eksklusi. Suhu pasien direkomendasikan harus di atas 35O
C sebelum dilakukan uji diagnostik. Selain itu, harus disingkirkan juga kondisi gangguan metabolik
dan endokrin, serta hipotensi arteri (Hong Kong Society of Critical Care Medicine, 1998.
Walshe,2001).
Interpretasi dari pindaian computed tomography (CT) adalah penting untuk menentukan penyebab
kematian otak. Umumnya, pindaian CT menunjukkan massa beserta herniasi otak, lesi hemisferik
multipel dengan edema, atau edema saja. Kompresi arteri dan vena mengakibatkan oedem
sitotoksik dan tekanan intrakranial dapat meningkat akibat terhalangnya drainase cairan
serebrospinal oleh aqusduktus atau ruang subarakhnoid. Perubahan ini menyebabkan herniasi
berlanjut dan posisi otak menurun. Penurunan ini begitu besar sehingga cabang-cabang arteri
basilaris (yang mendarahi batang otak) teregang dan mengakibatkan perdarahan intraparenkimal
dan memperparah oedem. Bagaimanapun, temuan pada pindaian CT tidak menghilangkan
kebutuhan untuk pemeriksaan yang teliti atas faktor-faktor lain yang mungkin menyesatkan
diagnosis. Sebaliknya, hasil pindaian CT dapat menunjukkan hasil normal pada periode awal setelah
henti jantung dan paru dan pada pasien dengan meningitis atau ensefalitis fulminan. Pemeriksaan
cairan serebrospinal dapat menunjukkan adanya kondisi dimana terjadi infeksi pada sistem saraf
pusat.

Kriteria klinis untuk kematian otak pada dewasa dan anak adalah sebagai berikut:
Koma
Tidak ada respon motorik
Tidak ada respon pupil terhadap cahaya dan pupil berada di posisi tengah dengan dilatasi (4 6
mm)
Tidak ada refleks kornea
Tidak ada refleks tersedak
Tidak ada respon kalorik
Tidak ada batuk sebagai respon terhadap suction trakhea
Tidak ada refleks menghisap dan menutup mulut
Tidak ada usaha respirasi saat PaCO2 setinggi 60 mmHg atau 20 mmHg di atas nilai dasar normal
Interval antara kedua evaluasi, sesuai usia pasien:
Lahir hingga 2 bulan, 48 jam
>2 bulan hingga 1 tahun, 24 jam
>1 tahun hingga <18>2 bulan hingga 1 tahun, 1 tes konfirmasi
>1 tahun hingga <18 tahun, opsional
18 tahun, opsional

Pemeriksaan neurologis yang menyeluruh meliputi dokmentasi koma, tidak adanya refleks batang
otak, dan apnea. Pemeriksaan refleks batang otak meliputi pengukuran jalur refleks pada
mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Saat terjadi kematian otak, pasien kehilangan refleks
dengan arah rostral ke kaudal, dan medulla oblongata adalah bagian terakhir dari otak yang
berhenti berfungsi. Beberapa jam dibutuhkan untuk terjadinya kerusakan batang otak secara
menyeluruh, dan selama periode tersebut, mungkin masih terdapat fungsi medula. Pada kasus yang
jarang dimana terdapat fungsi medula oblongata yang tetap ada, ditemukan tekanan darah normal,
respon batuk setelah suction trakhea, dan takhikardia setelah pemberian 1 mg atropine.
Kedalaman koma diuji dengan penilaian adanya respon motorik terhadap stimulus nyeri yang
standar, seperti penekanan nervus supraorbita, sendi temporomandibuler, atau bantalan kuku pada
jari. Pemeriksaan kemudian dilanjutkan dengan ada tidaknya refleks batang otak. Bila tidak ada
refleks batang otak, pemeriksaa harus menemukan adanya pupil yang oval atau bulat pada posisi
tengah dengan dilatasi (4 6 mm) tanpa adanya respon terhadap cahaya terang. Saat kepala
digelengkan dengan cepat, seharusnya tidak ada gerakan okulosefalik yang muncul. Bagaimanapun,
interpretasi terhadap tes tersebut sulit, dan dapat memberi hasil yang membingungkan apabila ada
cedera spinal. Tidak adanya pergerakan mata saat dirangsang harus dikonfirmasi dengan stimulasi
kalorik dingin, dimana timpani diirigasi dengan air es setelah kepala dimiringkan 30 derajat.
Seharusnya tidak ada deviasi tonus ke arah stimulus dingin. Adanya bekuan darah atau serumen di
kanal telinga mungkin menghalangi respon pada orang yang tidak mengalami kematian otak.
Pemeriksa harus menguji adanya refleks kornea dengan menyentuh ujung kornea dengan ujung
kapas pembersih untuk menghasilkan stimulus yang adekuat. Respon batuk dapat diuji dengan
suction bronkhial, karena menggerakkan pipa trakhea maju mundur mungkin tidak menghasilkan
rangsang yang cukup (Wijdicks, 2001).
Setelah tampak bahwa refleks batang otak tidak ada, apnea harus diuji. Oksigenasi difusi apnea
adalah prosedur yang dilakukan untuk mempertahankan oksigenasi saat pengujian. Batas stimulasi
maksimal pusat pernapasan di medula oblongata (yang dapat mengalami gangguan fungsi akibat
cedera) telah diatur di Amerika Serikat pada tekanan parsial karbon dioksida setinggi 60 mmHg atau
lebih tinggi 20 mmHg daripada nilai dasar normal. Pelepasan ventilator akan memungkinkan
tekanan parsial karbon dioksida untuk meningkat di atas 60 mmHg dan pH turun di bawah 7,28
dalam waktu 8 hingga 10 menit. Pada pasien yang menggunakan bantuan ventilator, oksigenasi
dipertahankan dengan memberikan preoksigenasi dan menggunakan oksigen aliran rendah (biasanya
5 hingga 6 L. menit) yang dihantarkan melalui kateter yang ditempatkan di trakhea setinggi karina.
Bila aspek-aspek pemeriksaan klinis tidak dapat dilakukan maka prosedur diagnosis pendukung
dapat dipertimbangkan. Absennya aliran darah intracranial, ditunjukkan dengan pindaian
radionuklida atau angiografi serebral 4-vasa, akan sangat mendukung diagnosis kematian otak.
Elektroensefalografi telah terbukti tidak dapat diandalkan dalam menjadi uji pendukung untuk
kematian otak dan tidak lagi disertakan dalam panduan praktek. Potensial pacuan batang otak,
Doppler intracranial, pencitraan lain seperti MRI dan uji atropine kini masih dalam investigasi untuk
menentukan manfaatnya dalam mendukung diagnosis kematian otak (Lazar et al, 2001).
Walaupun banyak publikasi yang membahas tentang isu kematian otak, terdapat kekurangan dalam
literatur yang berbasis bukti untuk mendukung praktek di masa sekarang sehubungan dengan
penentuan kematian otak. Beberapa aspek yang masih menjadi kontroversi adalah sebagai berikut:
Keahlian dokter
Walaupun ada beberapa panduan dan ketentuan memberikan spesifikasi kualifikasi dari dokter yang
terlibat dalam penentuan kematian otak, banyak yang tidak memberikan hal tersebut. tidak ada
bukti di literatur untuk merekomendasikan adanya spesialisasi. Dokter yang menangani perawatan
kritis, spesialis ilmu saraf, anestesiologis, dan ahli bedah trauma umumnya terlibat dalam
penanganan pasien yang mengalami cedera otak. Pelatihan yang tepat yang dilengkapi dengan
keahlian klinis mungkin lebih penting daripada spesialisasi dari dokter yang ada. Banyak panduan
yang secara eksplisit mengeksklusi dokter yang terlibat dalam transplantasi organ dari pasien yang
menjalani proses penentuan kematian otak, seperti dimandatkan oleh hukum di semua propinsi
Kanada.
Kriteria klinis
Penilaian klinis untuk menentukan kematian otak sangat mirip di kebanyakan panduan. Sementara
pemeriksaan menyeluruh kadang terhambat oleh kondisi dari cedera yang dialami pasien, namun
secara umum semuanya merekomendasikan tes diagnosis ansiler untuk dilakukan. Semua panduan
menuntut hilangnya respon yang dimediasi saraf pusat terhadap nyeri. Sebagian pasien mungkin
masih menunjukkan beberapa aktivitas spinal refleks yang mungkin dapat menyesatkan pengamat
umum atau klinisi yang tidak berpengalaman. Aktivitas refleks spinal yang teramati dapat berkisar
dari kedutan yang pelan hingga Tanda Lazarus yang lebih kompleks. Tetap adanya refleks-refleks
ini tetap sejalan dengan kematian otak seperti dikonfirmasi oleh uji elektroensefalografi atau
absennya aliran darah otak.
Terdapat perbedaan tipis pada berbagai panduan berkaitan dengan penilaian respon pupil terhadap
cahaya dan derajat dilatasi, namun tidak ada dasar ilmiah untuk perbedaan-perbedaan tersebut
yang diidentifikasi dengan jelas. Kebanyakan panduan tidak mencantumkan refleks okulosefalik
atau dolls eye. Walaupun demikian, Pallis dan Harley merekomendasikan inklusi respon dolls eye
walaupun tidak dituntut oleh hukum United Kingdom untuk penentuan kematian otak.
Penentuan apnea persisten dituntut oleh semua panduan walaupun akhir dari evaluasi tersebut
tidak konsisten. Pada negara-negara yang tidak terlalu maju secara teknis, apnea yang ditentukan
oleh pemutusan ventilator mungkin cukup. Bagaimanapun, kebanyakan panduan pada negara-
negara barat membutuhkan dokumentasi dari batas apnea dengan analisis gas darah arteri,
sementara di United Kingdom batas PaCO2 50 mmHg dibutuhkan. Kebanyakan panduan Amerika
Utara merekomendasikan batas apnea PaCO2 60 mmHg. Beberapa panduan juga membutuhkan
dokumentasi pH asam <7,28. Basis bukti untuk batas tersebut tidak ada.
Pemeriksaan klinis berikutnya dan interval waktu
Evaluasi klinis sekunder menjadi bagian dari panduan bahkan sejak kriteria Harvard tentang
kematian otak. Walaupun riwayat dari pemeriksaan sekunder in tidak terlalu jelas, namun
kemungkinan kegunaannya adalah untuk meminimalkan terjadinya kesalahan teknis pada
pemeriksaan.
Kebanyakan panduan klinis meminta dilakukannya dua pemeriksaan klinis dalam batas interval
waktu yang ditentukan tergantung dari etiologi cedera otak. Yang paling sering, direkomendasikan
adalah memberikan periode observasi selama 24 jam antar pemeriksaan. Pada pasien dengan
cedera otak hipoksik iskemik. Bagaimanapun, banyak panduan yang cenderung tidak spesifik
dalam memberikan interval waktu pada kondisi klinis yang lain. Waktu interval cenderung menurun
dibandingkan dengan panduan paling awal yang dikeluarkan oleh komite ad hoc Harvard Medical
School. Beberapa panduan seperti yang dikembangkan oleh Australiand and New Zealand Intensive
Care Society (ANZICS) memandatkan harus ada dua dokter yang menentukan kematian otak bila
akan dilakukan transplantasi organ, sementara lainnya tidak. Lebih seringnya, seorang dokter dapat
melakukan kedua pemeriksaan klinis. Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung posisi tersebut dalam
literatur.
Panduan yang sesuai usia
Hanya sedikit dasar ilmiah untuk pnduan yang spesifik sesuai usia. Walaupun demikian, hampir
semua panduan menyebutkan bahwa protokol harus disesuaikan bila mengevaluasi neonatus dan
bayi. Kebanyakan badan setuju bahwa kritria klinis dewasa dapat diterapkan pada anak dengan usia
di atas 52 minggu. Bagaimanapun, pemeriksaan klinis sendiri umumnya tidak cukup untuk anak
berusia di bawah satu tahun. American Academy of Pediatrics Task Force on Brain Death in Children
merekomendasikan waktu interval antar pemeriksaan yang disesuaikan dengan usia pasien.

Faktor-faktor yang menyesatkan


Telah dikeahui bahwa hipotermia, yang didefinisikan sebagai suhu inti tubuh <32O C, menginduksi
hiporefleksia dan pada suhu <28O C dapat terjadi arefleksia. Walaupun demikian, derajat
kesadaran dan suhu inti tubuh tidak terlalu berkaitan. Banyak panduan memasukkan batas
temperature inti tubuh dalam menentukan kematian otak secara klinis, namun batas yang
direkomendasikan bervariasi dari 32,2O C hingga 36,0O C tanpa dasar bukti yang jelas untuk batas-
batas tersebut.
Penentuan kematian otak saat diketahui ada terapi atau intoksikasi obat yang diminum sendiri
menuntut perhatian atas profil farmakokinetik dari agen yang diketahui tersebut. Bila tidak
diketahui apa agen yang diberikan pada pasien, skriing obat harus dipertimbangkan, dan tes ansiler
untuk mengkonfirmasu henti sirkulasi serebral direkomendasikan.
Bila semua kriteria kematian otak terpenuhi, tidak ada kebutuhan untuk melakukan tes ansiler.
Namun, kadang cedera traumatik mata dan telinga sering menyertai cedera otak dan dapat
ditemukan gangguan metabolik pada pasien yang mengalami cedera otak.
Panduan yan dipublikasikan berkaitan dengan tes ansiler umumnya merekomendasikan penilaian
aliran darah otak keseluruhan atau elektroensefalografi. Dua tes diagnosis yang dapat
mengidentifikasi henti sirkulasi serebral secara menyeluruh adalah angografi serebral dan
angiografi radionuklida Tc-99m heksamethilpropilen-amin oksim (Tc-HMPAO) (Baron et al, 2006).

TES DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK


Tiga temuan utama dalam kematian otak adalah koma atau tidak adanya respon, absennya refleks
batang otak, dan apnea. Pemeriksaan klinis dari batang otak meliputi tes refleks batang otak,
penentuan kemampuan pasien untuk bernapas secara spontan, dan evaluasi respon motor terhadap
nyeri.
1. Koma atau tidak adanya respon.
Pengujian respon motor dari ekstremitas diuji dengan stimulasi nyeri penekanan daerah supraorbita
dan dasar kuku. Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah kemungkinan adanya respon
motorik (Lazarus sign) yan dapat terjadi secara spontan selama tes apnea, seringkali pada kondisi
hipoksia atau episode hipotensi, dan berasal dari spinal. Agen penyekat neuromuskuler juga dapat
menghasilkan kelemahan motorik yang cukup lama.
2. Absennya refleks batang otak.
A. Pupil.
Pengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji respon terhadap cahaya yang terang.
Kematian otak akan menunjukkan pupil yang berbentuk bulat, oval, ataupun ireguler. Kebanyakan
pupil pada pasien yang mengalami kematian otak akan berada pada ukuran 4 hingga 6 mm, namun
ukuran dapat bervariasi dari 4 hingga 9 mm. Pupil yang mengalami dilatasi menggambarkan
kematian otak, karena jalut servikal simpatis yang berhubungan dengan serat otot dilator yang
tersusun radial masih dapat tetap utuh.
Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat mempengaruhi
ukuran pupil. Pada dosis konvensional, atropin yang diberikan secara intravena tidak memberikan
pengaruh apa-apa terhadap respon pupil. Karena tidak ada reseptor nikotinik di iris, obat penyekat
neuromuskuler tidak mempengaruhi ukuran pupil. Pemberian obat topikal di mata dan trauma
kornea atau bulbus okuli dapat menyebabkan abnormalitas ukuran pupil dan menyebabkannya
menjadi non reaktif. Abnormalitas anatomis yang telah ada sebelumnya pada iris ataupun efek dari
operasi harus dieksklusi.
B. Pergerakan okuler.
Gerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar kepala da tes kalorik dengan air es.
Pengujian ini hanya dilakkan setelah dipastikan tidak ada fraktur atau instabilitas dari servikal atau
pada pasien dengan cedera kepala. Vertebra servikal harus diperiksa dengan pencitraan untuk
menunjukkan tidak adanya fraktur atau instabilitas potensial. Refleks okulosefalik yang dirangsang
dengan menggerakkan kepala secara cepat dan tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri dan
kanan, pada orang normal akan menghasilkan deviasi mata ke arah berlawanan dengan gerakan
kepala. Pergerakan mata vertikal juga diuji dengan melakukan fleksi leher. Pada kematian otak,
tidak akan ditemukan adanya pembukaan kelopak mata dan pergerakan mata vertikal dan
horizontal.
Uji kalori dilakukan dengan kepala yang dielevasikan 30 derajat selama irigasi dari tympanum di
tiap sisi telinga dengan 50 ml air es. Irigasi tympanum dilakukan paling baik dengan menggunakan
kateter suction kecil di kanal auditorik eksternal dan menghubungkannya dengan siring 50 ml yang
diisi dengan air es. Deviasi tonus dari mata yang muncul akibat rangsang kalorik dingin tidak akan
muncul pada kematian otak. Investigator harus mengamati hingga 1 menit setelah pemberian
stimulus, dan waktu antara pemberian rangsang pada tiap sisi harus minimal 5 menit.
Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya obat yang dapat mengurangi atau
menghilangkan respon kalorik, yakni sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik, antikolinergik,
obat antiepilepsi, dan agen kemoterapi. Setelah cedera kepala atau trauma fasial, edema kelopak
mata atau kemosis konjungtiva dapat menghambat pergerakan bola mata. Bekuan darah atau
serumen dapat juga mengurangi respon kalorik, dan uji dilakukan ulang setelah pemeriksaan
inspeksi langsung tympanum. Fraktur basal dari tulang petrosus dapat menghilangkan respon kalorik
secara unilateral dan dapat diidentifikasi dengan prosesus mastoideus yang ekimoses.
C. Sensasi fasial dan respon motor fasial
Refleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks kornea dan refleks rahang harus absen.
Wajah yang mengernyit saat diberikan rangsang nyeri dapat diuji dengan memberikan tekanan
dalam dengan obyek tumpul pada dasar kuku, tekanan pada daerah supraorbita, atau tekanan yang
dalam pada kedua kondilus setinggi sendi temporomandibuler.
Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya trauma fasial yang berat sehingga
dapat mengganggu interpretasi refleks batang otak.
D. Refleks faring dan trakhea
Respon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring posterior dengan laringoskop, harus absen.
Tidak adanya refleks batuk pada suction bronkhial juga harus tampak.
Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada apsien yang diintubasi secara oral, respon
tersedak mungkin sulit untuk diamati.
3. Apnea
Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum dilakukannya pengujian. Perubahan
yang penting pada tanda vital (misalnya hipotensi yang mencolok, aritmia kardia berat) yang
ditemukan pada pemeriksaan apnea dapat berkaitan dengan kurangnya pengamatan terhadap
kondisi-kondisi yan dilakukan sebelum pengujian, walaupun perubahan tersebut dapat terjadi
secara spontan karena asidosis yang meningkat. Sehingga, persyaratan-persyaratan berikut ini harus
diperhatikan: (1) suhu inti lebih dari atau sama dengan 36,5O C (4,5O C lebih tinggi dari suhu yang
menjadi persyaratan diagnosis klinis kematian otak yakni 32O C), (2) tekanan darah sistolik yang
lebih tinggi atau sama dengan 90 mm Hg, (3) euvolemia (atau lebih baim apabila balans cairan
positif selama 6 jam sebelumnya), (4) eukapnea (atau apabila PCO2 arteri lebih dari atau sama
dengan 40 mm Hg), dan (5) normoksemia (atau apabila PO2 arteri lebih dari atau sama dengan 200
mm Hg). Oksimeter pulsa dihubungkan pada pasien.
Pengujian dilakukan dengan tahap-tahap berikut:
Memutus hubungan dengan ventilator
Memberikan O2 100% 6 l/menit. Pilihannya adalah dengan menempatkan kanul setinggi karina.
Amati dengan seksama pergerakan respirasi. Respirasi didefinisikan dengan pergerakan abdomen
atau dada yang menghasilkan volume tidal yang adekuat. Bila ada, respirasi dianggap ada pada uji
apnea ini. Saat terjadi gerakan yang mirip dengan respirasi, maka harus diamati hingga akhir uji
apnea, dmana oksigenasi berada pada level yang lebih rendah. Saat hasilnya meragukan,
spirometer dapat dihubungkan dengan pasien untuk memastikan bahwa tidak ada volume tidal.
Ukur PO2, PCO2, dan pH arteri setelah kira-kira 8 menit dan hubungkan kembali dengan
ventilator.
Bila gerakan respirasi tidak ada dan PCO2 arteri sama dengan atau lebih dari 60 mm Hg (pilihan
lain adalah PCO2 yang meningkat 20 mm Hg dari PCO2 normal dasar), maka tes apnea dinyatakan
positif (sehingga mendukung diagnosis klinis kematian otak).
Bila teramati adanya gerakan respirasi, maka tes apnea dinyatakan negatif (sehingga tidak
mendukung diagnosis klinis kematian otak), dan tes harus diulang.
Bila selama tes apnea tekanan darah sistolik menjadi 90 mm Hg, oksimeter pulsa menunjukkan
desaturasi, dan terjadi aritmia kardia, segera ambil sampel darah, hubungkan dengan ventilator,
dan lakukan analisa gas darah arteri. Tes apnea memberikan hasil positif, apabila PCO2 arteri lebih
dari atau sama dengan 60 mm Hg atau meningkat 20 mm Hg dari PCO2 normal dasar. Bila PCO2
kurang dari 60 mm Hg, atau peningkatannya kurang dari 20 mm Hg, hasilnya tidak dapat dipastikan.
Pada kondisi ini, dimana terdapat instabilitas kardiovaskuler bersamaan dengan ketidak jelasan
batasan atas PCO2 dimana terjadi stimulasi maksimal terhadap pusat pernafasan, maka tergantung
pada dokter untuk memutuskan apakah diperlukan tes konfirmasi untuk memastikan diagnosis klinis
kematian otak.
Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm Hg, dan tidak ada aritmia kardia
atau hipotensi signifikan, tes dapat diulang dengan apnea selama 10 menit. (Wijdicks, 1994.
Wijdicks, 2001. Beterhealt,2000. Eduardo,2009)

Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi kriteria berikut:
1. Tidak boleh ada positif palsu, sehingga saat tes mengkonfirmasi adanya kematian otak, maka
tidak boleh ada pasien yang sembuh atau memiliki potensi untuk sembuh.
2. Tes harus dapat berdiri sendiri dalam menegakkan apakah kematian otak benar-benar terjadi
atau tidak.
3. Tes tidak boleh dipengaruhi faktor yang dapat menyesatkan seperti efek obat atau gangguan
metabolik.
4. Tes harus distandarisasi dalam hal teknologi, teknik, dan klasifikasi hasilnya.
5. Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan mudah dilakukan. Tes tidak boleh
terbatas pada beberapa pusa penelitian saja; idealnya ia harus dapat diterapkan pada semua
Intensive Care Unit (ICU) dan teknik harus dapat diandalkan dan mudah dipelajari.
Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes elektrofisiologis (elektroensefalografi,
potensial pacuan somatosensorik dan potensial pacuan pendengaran batang otak, dan respon
pacuan motorik), tes aliran darah otak (angiografi serebri empat vasa, tes kedokteran nuklir aliran
darah otak, Doppler transkranial, MRI, angiografi resonansi magnetik, dan pemeriksaan CT), dan
pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan metabolisme, pemeriksaan oksigen vena jugularis, dan tes
atropin.
Saat dilakukan secara kontinyu, pemantauan elektroensefalografi dapat menunjukkan supresi
tegangan secara umum, yang dapat menunjukkan pada klinisi adanya kematian otak. Namun, EEG
telalu anatomis, dan terbatas secara fisilogis. EEG merekam aktivitas hanya dari lapisan korteks yan
berada tepat di bawah kulit kepala dan tidak merekam dari struktur sbkorteks, seperti batang otak
atau thalamus, dan hanya memberikan cakupan yang terbatas dari permukaan cembung otak besar.
Lebih jauh lagi, tidak semua frekuensi EEG tertangkap sehingga dapat memberikan hasil datar atau
isoelektrik saat ada neuron yang masih hidup di batang otak atau tempat lain.
Hanya ada sedikit penelitian yang menguji validitas dari EEG dalam kaitannya dengan kematian
otak. EEG juga memiliki kelemahan, dimana dapat terjadi gangguan dari faktor-faktor yang dapat
menyesatkan, seperti terjadinya gambaran yang datar atau isoelektris saat terjadi overdosis
barbiturat atau anestesi yang dalam, dimana keduanya merupakan kondisi yang reversibel.
Sehingga, pada tes EEG dapat terjadi positif palsu maupun negatif palsu, membuat EEG menjadi
suatu tes yang jauh dari ideal untuk penentuan kematian otak.
Saat diperlukan konfirmasi untuk penentuan kematian otak, tes aliran darah ke otak dianggap lebih
tepat. Tes yang menunjukkan absennya aliran darah ke otak umumnya diterima sebagai penegakan
kematian otak yang memiliki kepastian, karena konsep bahwa apabila otak tidak mendapatkan
suplai darah selama periode waktu tertentu akan mati sudah diyakini secara luas. Tentunya kondisi
hipotermia dan hipotensi transien yang reversibel harus disingkirkan. Kematian otak dapat disertai
dengan baik edema jaringan ataupun efek massa yang menyebabkan tekanan intrakranial menjadi
sama atau lebih dari tekanan darah sistolik dan tekanan darah arteri rata-rata. Konsekuensinya,
darah tidak memasuki kompartemen intrakranial, atau hanya memasuki selama sistol,
mengakibatkan tidak terjadinya perfusi ke jaringan otak, sehingga menyebabkan kematian sel
neuron dan glia otak, tes aliran darah otak memberikan metode yang dapat diterima dan dapat
berdiri sendiri dalam menegakkan kematian otak. Tes tersebut tidak disesatkan oleh obat,
gangguan metabolik, atau hipotermia. Syarat sebelumnya adalah bahwa tekanan darah sistemik
harus adekuat, dimana pasien tidak dalam kondisi syok. Tes aliran darah otak meliputi angiografi
empat vasa (karotis dan vertebral), TCD, MRI, dan MRA, angiografi CT, dan tes kedokteran nuklir.
Tes yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni angiografi dan CT emisi foton tunggal
(SPECT), dibandingkan dengan pencitraan sirkulasi otak dua dimensi.
Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana ditemukan perfusi struktur arteri atau
vena pada pasien yang telah dikonfirmasi mengalami kematian otak secara patologis dan klinis. Ini
terutama terjadi pada kondisi dimana tekanan intrakranial menurun akibat mekanisme dekompresi,
seperti kraniektomi dekompresif, fraktur tengkorak, pintasan ventrikuler atau anak dengan
tengkorak yang masih rapuh. Negatif palsu tersebut jarang terjadi. Harus diingat bahwa adanya
aliran darah tidak serta merta mengeksklusi kemungkinan kematian otak. Harus diingat bahwa
dalam melakukan tes konfirmasi kematian otak, negatif palsu tidak lebih bermasalah daripada
positif palsu, karena lebih berbahaya apabila seseorang secara keliru dinyatakan mengalami
kematian otak daripada bila seseorang dinyatakan tidak mati otak padahal sesungguhnya telah
terjadi kematian otak.
Tes yang menjadi standar emas tes konfirmasi kematian otak adalah angiografi serebral empat
vasa. Tes ini invasive dan harus dilakukan dengan memndahkan pasien ke departemen radiologi.
Absennya pengisian darah intrakranial dari arteri karotis interna atau vertebra harus didahului oleh
tekanan intrakranial yang melebihi tekanan darah arteri rata-rata.
Selain tes konfirmasi, tidak ada tes lain yan dapat dipertimbangkan secara serius. Tes atropin
misalnya, hanya memberikan penilaian dari fungsi medulla yang terbatas. Atropin adalah obat
antikolinergik yang akan menghilangkan tonus vagus yang tersisa, seperti dibuktikan dengan
peningkatan denyut jantung. Pada kematian otak, tes atropin akan menyebabkan peningkatan
denyut jantung <3%. Karena nukleus vagus motor dorsal berada di medulla, tes ini hanya
memberikan penilaian yang terbatas dari fungsi medulla kaudal. Walaupun ini merupakan bagian
dari otak yang akan tersisa pada kematian otak, tes ini hanya memberikan penilaian yang sangat
terbatas.
Penentuan saturasi oksigen vena pada bulbus jugularis (di mana rasio antara saturasi oksigen vena
sentral dan bulbus jugularis <1) terbukti memiliki sensitivitas setingi 96,6% dan spesifisitas 9,3%
pada kematian otak, namun Young et al menemukan satu orang yang hidup dengan rasio yang
kurang dari 1. Tes ini tidak didapatkan di semua pusat pelayanan kesehatan, dan membutuhkan
keterampilan khusus untuk insersi kateter. (Young et al. 2006)
KESIMPULAN
Berbagai teknik yang ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan pernapasan walaupun
pasien telah mati telah memunculkan persepsi baru tentang definisi kematian sebagai hilangnya
fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan paru, dimana kematian dapat ditentukan berdasarkan
kriteria neurologis. Kematian otak kebanyakan diakibatkan oleh cedera kepala berat dan
perdarahan intrakranial.
Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Kematian otak didefinisikan sebagai
hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan penting dalam
kematian otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea. Pada pasien, harus diperiksa
kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi. Harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten
dengan proses terjadinya kematian otak, tidak bernafas secara spontan, dan hasil yang negatif pada
pemeriksaan refleks-refleks batang otak.
Saat ini masih banyak kontroversi berkaitan dengan penentuan kematian otak, karena masih
kurangnya literatur atau panduan yang berbasis bukti.

KOMENTAR :
1. Buat tabel yang sederhana tentang kematian otak dibeberapa negara : persamaan dan
perbedaannya
2. Buat tabel sederhana tentang pemeriksaan kematian otak ( Cara caranya ) di Indonesia
3. Kesimpulan : TAMBAH tentang pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan.
4. Kalau sudah diperbaiki kirim kembali ke saya ( sudah diprint biar bisa ditanda tangani )

DAFTAR PUSTAKA

Thomas M Walshe, The diagnosis of brain death. N Engl J Med 2001 Apr 19 344 1215-1221
Eelco F. M. Wijdicks, The diagnosis of brain death , review articles, N Engl J Med, vol. 344, no.
16- april 19 2001.
So Hing-Yu, MBBS, FANZCA FFICANZCAFHKAM(Anesthesiology), UPDATE ARTICLE Brain Death,
Honng Kong Practitioner 16 (II) November 1994.
Christopher James Doig MD, Brain death: resoving inconsistencies in ethical declaration of death,
Can J ANESTH 2003/ 50:7 / pp 725-731.
Pernyataan IDI tentang mati. Surat Keputusan PB IDI No 231/PB/A.4/90.
Sunatrio S. Penentuan Mati . Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM ,2006.
Safar P. Resusitasi Jantung Paru Otak. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
1984:185.
Sunatrio S: Penentuan mati/Pengakhiran resusitasi dan euthanasia pasif di ICU. Lokakarya
tentang Mati & Euthanasia pasif, PKGDI 1986.
Stephen T. Mernoff, MD, Brain Death: Neurologists Perspective, clinical Assistant profesor of
neurology, brown medical school,neurorehabilitation program, rehabilitation hospital of rhode
island.
Guidelines For Detremining Brain Death, New York State Departement of Health, December 2005
Neil M.Lazar. Sham Shemie et al. Bioethics For Clinicians 24. Brain Death. C MAJ Mar 20,2001;164
(6).
Guidelines On Certification Of Brain Death, The Hong Kong Society Of Critical Care Medicine,
journal of the Royal College of Physicians of London 1995, 29:381-2.
Leonard Baron MD, et al. Neuroanestesia and Intensive Care. Brief Review: History, Concept And
Controversies In The Neurological Determination Of Death. CAN J Anesth 2006/53;6/pp 602-608.
Carlos Eduardo Reis MD. MEDSTUDENTS-NEUROLOGY: Brain Death Criteria
Betterhealth Channel. Article Brain Death; WWW.betterhealth.vic.gov.au.
G. Bryan Young MD FRCPC. Et al. Brief Review: The Role Of Ancillary Tests In The Neurological
Determination Of Death. CAN J Anesth 2006/53;6/pp 620-627.

Anda mungkin juga menyukai