Trauma Ginjal
Trauma ginjal terjadi pada kira-kira 1-5% dari semua kasus trauma. Gijal merupakan organ
urogenital yang paling sering cedera. Dengan ration pria dan wanita 3:1.
Jenis trauma
Mekanisme terjadinya trauma ginjal dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu trauma tumpul dan trauma
tajam
Trauma tumpul biasanya diakibatkan karena kecalakaan lalu lintas, kecelakaan pada olah raga, dan
lain-lain. Kecelakaan merupakan penyebab trauma tumpul pada ginjal. Laserasi ginjal dan trauma
pada vaskuler ginjal kira-kira 10-15% dari trauma tumpul ginjal. Oklusi arteri renal berhunbungan
dengan trauma deselerasi secara tiba-tiba. Posisi ginjal berubah yang menyebabkan tarikan pada
vaskuler ginjal. Hal tersebut menyebabkan injuri pada intima dan dapat memicu terjadinya
trombosis. Kompresi arteri renal yang disebabkan desakan antara vertebra dan dinding anterior
abdomen dapat menyebabkan trombosis pada arteri renal sebelah kanan.
Luka tembak dan luka tusuk merupakan penyebab utama trauma tajam pada ginjal. Akibat trauma
ginjal lebih parah dari pada akibat dari trauma tumpul. Trauma dari peluru dapat mengakibatkan
trauma yang lebih parah pada parenkim ginjal akibat dari gaya kinetiknya yang besar. Trauma
dengan kekuatan yang lebih kecil mengakibatkan kerusakan jaringan yang lebih luas lagi akibat dari
efek ledakan. Pada trauma dengan kekuatan yang lebih besar kerusakan jaringan yang luas disertai
dengan kerusakan organ yang lain. Trauma ginjal paling sering terjadi diantara organ urogenital yang
lain, biasanya disertai dengan trauma abdomen dan kejadian nefrektomi masih tinggi antara 25-
30%.
Klasifikasi trauma ginjal
Anamnesa dapat diperoleh dari pasien yang telah stabil, atau dari saksi kejadian kecelakaan, dari
personel medis. Indikasi terjadinya trauma pada ginjal apabila terjadi deselerasi secara tiba-tiba dan
trauma langsung pada daerah flank. Pada trauma tembus, perlu diketahui ukuran dari pisau atau
kaliber atau jenis dari senjata. Perlu juga diketahui kondisi ginjal sebelum terjadinya trauma, seperti
hidronefrosi, kista, atau batu ginjal. Pemeriksaan fisik adalah dasar dari assessment pada setiap
pasien dengan trauma. Stabilitas hemodinamik merupakan kriteria utama pada penanganan semua
trauma ginjal.
Pemeriksaan fisik pada trauma tajam ginjal sangat penting, dimana dapat diketahui luka tusuk atau
luka masuk dan keluar dari peluru yang dapat ditemukan di punggung atau abdomen. Trauma
tumpul pada flank, abdomenm atau thorax bagian bawah dapat menyebabkan terjadinya trauma
ginjal. Temuan berikut pada pemeriksaan fisik dapat menendakan terjadinya traum ginjal:
1 Hematuria
2 Nyeri flank
3 Ekimosis flank
4 Abrasi flank
5 Fraktur costa
6 Distensi abdomen
7 Massa abdomen
8 Abdominal tenderness
- Anamnesa diperoleh dari pasien dengan kondisi stabil, saksi kejadian, atau petugas medis tentang
waktu kejadian
- Temuan pada saat pemeriksaan fisik seperti hematuria ekimosis dan abrasi flank, fraktur costa, massa
atau distensi abdomen kemungkinan terjadinya kerusakan ginjal
Pemeriksaan laboratorium
Urine dari pasien dengan kecurigaan trauma ginjal diperiksa secara makros atau menggunakan dipstick
- Pemeriksaan hematokrit serial bila dicurigai blood loss, namun tidak dapat dipastikan karena trauma
ginjal atau karena trauma penyerta yang lain
- Pemeriksaan kreatinin dapat menandakan penurunan fungsi ginjal akibat dari trauma
-Semua pasien dengan hematuri karena trauma tumpul atau trauma tembus perlu dilakukan imaging
pada ginjal
- CT scan dengan kontras merupakan pemeriksaan paling baik untuk diagnosa dan staging trauma ginjal
pada pasien dengan hemodinamik stabil
-Pasien dengan hemodinamik tidak stabil yang memerlukan tindakan bedah harus diperiksa one shot IVP
- IVP, MRI, scintigraphy merupakan alternatif apabila CT Scan tidak tersedia
- Angiography dapat digunakan sebagai diagnostik dan embolisasi pada pembuluh darah yang
mengalami perdarahan
-CT Scan adalah metode terbaik untuk penilaian pasien yang stabil. CT lebih sensitif dan spesifik
daripada IVP, ultrasonografi atau angiografi, karena secara akurat menentukan lokasi cedera, dengan
mudah mendeteksi adanya kontusi dan segmen yang tidak stabil, memvisualisasikan seluruh
retroperitoneum dan hematoma terkait, dan sekaligus memberikan pandangan baik pada perut dan
panggul. Ini menunjukkan rincian anatomis yang baik, termasuk kedalaman dan lokasi laserasi dan
adanya cedera abdomen yang terkait, dan menentukan keberadaan dan lokasi ginjal kontralateral.
Management Trauma Ginjal
Sembilan puluh persen penderita trauma tumpul ginjal mengalami kontusio ringan atau laserasi
superficial, sehingga tidak memerlukan pembedahan. Penderita ini memerlukan observasi hematuria
serta faal ginjal secara berkala. Termasuk dalam kategori ini adalah trauma ginjal grade I dan sebagian
besar grade II. Penderita trauma ginjal grde II dapat diterapi secara konservatif apabila tidak ada trauma
pada organ yang lain dan penderita stabil selama observasi. Tindakan konservatif pada penderita
tersebut pada umunya memberikan hasil yang memuaskan, dengan gambaran ginjal normal pada
evaluasi dengan IVP.
Secara umum indikasi pembedahan eksplorasi pada penderita trauma tumpul ginjal adalah sebagai
berikut:
1. Indikasi absolut:
Saat laporotomi eksplorasi dadapatkan hematoma perirenal yang meluas dan pulsatil a. Perdarahan
terus menerus yang diyakini berasal dari ginjal b. Trauma pembuluh darah besar ginjal
2. Indikasi relative
d. Ada kelainan lain di ginjal yang perlu pembedahan dan ditentukan secara kebetulan.
Stabilisasi hemodinamik merukan pilihan utama untuk pengelolaan semua trauma ginjal.
Pada pasien yang stabil perawatan suportif denga istirahat dan observasi
Semua trauma grade 1-2 baik tumpul maupun tajam dapat dikelola secara nonoperatif
Pasien stabil, trauma tumpul, grade 1-4, ditangani secara konservatif; bed rest, antibiotik, dan
monitoring vital sign
asien stabil, trauma tajam, grade 1-3, ditangani secara elektif
Indikasi operasi:
o Hematome yang meluas atau pulsatif yang ditemukan pada saat eksplorasi
Insisi transabdominal merupakan teknik yang paling disukai karena memungkinkan eksplorasi pada
organ intraabdominal yang lain serta dapat mencapai kedua ginjal.
Perawatan paska bedah merupakan hal yang harus diperhatikan pula. Dengan perawatan yang baik,
komplikasi dapat dihindari dan kalau terjadi komplikasi dapat segera diketahui dan dilakukan tindakan
segera.
Perawatan paska operasi dan komplikasi Setelah operasi penderita istirahat di tempat tidur sampai
hematuri tidak ada lagi. Setelah itu penderita melakukan mobilisasi secar bertahap. Drain dipertahankan
selama 5-7 hari dan dilepas setelah produksinya minimal. Produksi urine dimonitornya kebocoran setiap
jam, kadar kreatinin dalam serum diperiksa setiap hari dan kontrol foto setelah 3 hari. Apabila leakage
uein tetap terjadi setelah 5-7 hari, dilakukan pemeriksaan IVP untuk mengetahui adanya kebocoran atau
sumbatan pada collecting system atau ureter.
Monitor tekanan darah dilakukan secara berkala untuk mengetahui timbulnya renovascular
hypertension paska trauma ginjal, baik setelah operasi maupun yang dirawat secara konservatif.
Renovascular konstruksi hypertension terjadi pada 5% penderita paska rekonstruksi ginjal, yang
disebabkan karena stenosis arteri renalis atau infark parsial parenkim ginjal. Hipertensi ini dapat timbul
pada pasien yang sebelumnya tidak didiagnosa adanya trauma ginjal atau ocult trauma. Hipertensi ini
biasanya sampai timbul setelah 2 minggu sampai 8 bula paska trauma ginjal.
Komplikasi
Pada penderita yang dirawat konservatif, dapat trimbul komplikasi cepat atau lambat. Komplikasi
cepat timbul dalam 4 minggu setelah trauma, dapat berupa delayed bleeding, abses, ektravasasi urine,
sepsis, fistel urine dan hipertensi. Sedangkan komplikasi lambat dapat berupa hipertensi, fistel
arteriovena, hidronefrosis, pembentukan batu ginjal, pielonefritis kronis serta nyeri yang bersifat kronis.
Penatalaksanaan non-bedah biasanya memberikan hasil yang baik. Delayed retroperitoneal bleeding
bisa terjadi beberapa minggu setelah trauma atau operasi dan biasanya fatal, sehingga perlu diantisipasi
dan segera dilakukan tindakan bila terjadi.
B. Trauma ureter
Trauma ureter sangat jarang dijumpai dikarenakan posisi ureter yang terletak
retroperitoneal, terjadi 1% dari seluruh trauma traktus urogenitalia. Penyebab paling
sering biasanya karena trauma iatrogenik (75%), diikuti trauma tumpul (18%) dan
trauma tajam (7%). Pada trauma iatrogenik, penyebab paling sering karena operasi
ginekologi (73%), pada ureter distal (74%). Cedera yang dapat terjadi pada ureter dapat
terjadi karena trauma dari luar, yaitu trauma tumpul maupun trauma tajam, ataupun
trauma iatrogenik.2
Trauma ureter harus dicurigai pada semua kasus penetrasi pada abdomen, khususnya
pada luka tembak.
Klasifikasi trauma ureter berdasarkan AAST ( The american association for the
surgery of trauma) adalah sebagai berikut.3
Diagnosis
Gambar 2.3 Retrograde Pyelography of a Patient with Suspected Left Ureteral Injury.14
Tatalaksana
Tatalaksana yang dilakukan terhadap trauma ureter tergantung pada saat
trauma ureter terdiagnosis, keadaan umum pasien, dan letak serta derajat
lesi ureter.3
Pada trauma ureter grade I dan II dapat ditangani dengan pemasangan stent
pada ureter maupun nefrostomi untuk diversi urine yang keluar. Dengan pemasangan
stent diharapkan aliran urine dapat melewati daerah trauma, memberikan kanalisasi
dan stabilisasi di daerah ureter yang mengalami trauma sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya striktur. Pemasangan stent dapat dilakukan baik secara
retrograde maupun antegrade dengan bantuan fluoroskopi maupun ureteropyelografi.
Pemasangan stent dipertahankan selama 3 minggu. Sedangkan kateter uretra
dipertahankan 2 hari untuk mencegah terjadinya refluks dan memberikan kesempatan
penyembuhan.3
4) Inplantasi ureter ke buli-buli (neoimplantasi ureter pada buli-buli, flap Boari, atau
Psoas hitch)
5) Uretro-kutaneustomi, yaitu menghubungkan ujung akhir ureter dengan dunia luar,
melalui lubang di kulit (stoma)
6) Nefrektomi (pengangkatan ginjal)
Manajemen
Penatalaksanaan trauma ureter berdasarkan lokasi trauma:1
1. Proximal and mid-ureteral injury
Cedera yang lebih pendek dari 2-3 cm biasanya dapat dikelola dengan uretero-
ureterostomi primer. Bila pendekatan ini tidak memungkinkan dilakukan, uretero-
calycostomy harus dipertimbangkan. Dalam kerugian ureter yang luas,
transuretero-ureterostomi adalah pilihan yang valid, di mana tunggul proksimal
ureter dialirkan melintasi garis tengah dan anastomosis ke ureter kontralateral.
Tingkat stenosis yang dilaporkan adalah 4%
2. Distal uretral injury
Cedera ureter yang lebih luas dapat diganti dengan menggunakan segmen usus,
biasanya ileum (graft interposisi ileal). Ini harus dihindari pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal atau penyakit usus yang diketahui. Tindak lanjut harus
mencakup pengecekan serum kimia darah untuk mendiagnosis asidosis
metabolik hiperkloremik . Komplikasi jangka panjang termasuk striktur anastomik
(3%) dan fistula (6%) [177]. Dalam kasus kehilangan ureter yang luas atau
setelah beberapa kali upaya perbaikan ureter, ginjal dapat dipindahkan ke
panggul (autotransplantasi). Pembuluh ginjal anastomosis ke pembuluh iliaka
dan reimplantasi ureter dilakukan.1
Komplikasi
Pada trauma ureter yang lama akan menyebabkan terjadinya fibrosis dan
stenosis sehingga menyebabkan hidronefrosis pada ginjal sisi yang sama.
Ekstravasasi yang lama juga menyebabkan terjadinya urinoma yang memudahkan
terjadinya infeksi dan memungkinkan terjadinya urosepsis.3
https://bedahunmuh.wordpress.com/2010/05/19/repair-ruptur-buli/
https://www.slideshare.net/nufrz/dradam-trauma-urologi-dan-pelvis-as
Setelah dibentuk oleh ginjal, urin disalurkan melalui ureter ke kandung kemih (vesica urinaria). Aliran
urin di ureter tidak semata-mata tergantung oleh gaya gravitasi bumi saja. Kontraksi peristaltic otot
polos pada dinding ureter juga ikut mendorong urin ke arah kandung kemih . Dinding ureter terdiri dari
otot polos yang tersusun dalam serabut-serabut spiral, longitudinal, dan sirkuler, tetapi batas dari ketiga
serabut otot tersebut tidak dapat terlihat dengan jelas. Kontraksi peristaltic yang regular terjadi 1-5 kali
permenit yang menggerakkan urin dari pelvis ginjal ke kandung kemih, dimana urin bergerak dengan
cepat dan sinkron sesuai dengan gerakan gelombang peristaltic.
Ureter berjalan miring melalui melalui dinding kandung kemih, dan walaupun tidak memiliki sfingter
seperti pada urethra, posisi anatomisnya yang miring tersebut cenderung dapat membuat ureter
tertutup, kecuali sewaktu terjadi gelombang peristaltic guna mencegah refluks urin dari kandung kemih
(Ganong, 1983).
Hal-hal yang terjadi sewaktu pengisisan normal kandung kemih, antara lain :