Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

RINITIS ALERGI

PEMBIMBING:
dr. Asnominanda, Sp.THT-KL

Disusun oleh:
Timoty Mario
11.2016.057

Kepaniteraan Klinik Ilmu THT


Rumah Sakit Angkatan Udara dr. Esnawan Antariksa
Periode 14 November 2016 17 Desember 2016
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

0
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
RINITIS ALERGI

Diajukan untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT


Periode 14 November 2016 17 Desember 2016
Di Rumah Sakit Angkatan Udara dr Esnawan Antariksa

Disusun oleh :
Timoty Mario
11.2016.057
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jakarta, 1 Desember 2016


Pembimbing

dr. Asnominanda, Sp.THT-KL

1
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN 1
DAFTAR ISI ...2
BAB I LAPORAN KASUS 3
BAB II PENDAHULUAN ...9
BAB III ANATOMI TELINGA10
BAB IV OTOMIKOSIS 12
BAB V KESIMPULAN19
BAB VI DAFTAR PUSTAKA..20

2
BAB I
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. F Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 16 tahun Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar Alamat : Cililitan
Pendidikan : SMA

ANAMNESA
Diambil secara auto anamnesa tanggal 28 November 2016 pukul 11.00 WIB
Keluhan utama : hidung pilek
Keluhan tambahan : hidung bersin-bersin, beringus banyak dan nyeri di wajah
Riwayat Penyakit Sekarang:
OS datang ke poliklinik THT RSAU Esnawan Antariksa dengan OS datang dengan keluhan
pilek sejak 2 minggu yang lalu. Pada kedua hidung keluar ingus yang encer, banyak, berwarna
bening, dan tidak berbau. OS juga mengatakan pilek yang disertai bersin terjadi saat terhirup debu
dan pada waktu pagi hari. Pasien juga mengeluh nyeri pada daerah wajah terutama bagian dahi dan
sekitaran mata. OS tidak mengeluhkan adanya keluhan pada telinga seperti nyeri telinga, rasa penuh
pada telinga, keluar cairan dari telinga, atau adanya penurunan fungsi pendengaran. Tidak ada nyeri
menelan, sesak nafas, batuk, dan suara serak. Trauma pada hidung disangkal. Riwayat kemasukan
benda asing disangkal oleh OS. OS belum melakukan pengobatan untuk keluhan yang dialaminya.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat keluhan serupa diakui OS. Riwayat alergi diakui oleh OS. Penyakit lainnya seperti
asma disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat keluhan serupa diakui OS. Ibu pasien juga menderita keluhan yang sama seperti
pasien.

PEMERIKSAAN FISIK

3
KEADAAN UMUM
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 120/80
Nadi : 82 x/menit
Pernafasaan : 17 x/menit
Berat Badan : 52 kg
Tinggi Badan : 163 cm

TELINGA
KANAN KIRI
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor / tanda peradangan Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Penarikan daun telinga Tidak nyeri Tidak nyeri
Tes fungsi tuba Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Liang telinga Lapang, serumen (+) Lapang, serumen (+)
Membran timpani

Tes Pelana Tidak dilakukan Tidak dilakukan

HIDUNG

Dextra Sinistra
Bentuk Normal Normal
Sekret (+) Seromukous (+) Seromukous
Konka Livid (+) Livid (+)
media Edema (+) Edema (+)
Konka Livid (+) Livid (+)
inferior Edema (+) Edema (+)
Meatus Livid (-) Livid (-)
media Edema (-) Edema (-)
Meatus Livid (-) Livid (-)
inferior Edema (-) Edema (-)
Septum Deviasi (-)
Massa Tumor (-) Tumor (-)

4
NASOFARING (Rhinoskopi Posterior)
Koana : tidak dilakukan pemeriksaan
Septum nasi posterior : tidak dilakukan pemeriksaan
Muara tuba eustachius : tidak dilakukan pemeriksaan
Torus tubarius : tidak dilakukan pemeriksaan
Konka inferior media : tidak dilakukan pemeriksaan
Dinding posterior : tidak dilakukan pemeriksaan

TENGGOROK
FARING
Dinding faring : hiperemis (-), granular (-)
Arkus faring : simetris, hiperemis (-), edema (-)
Tonsil : ukuran T1/T1, tenang, hiperemis -/-, kripta melebar -/-, detritus -/-,
perlengketan -/-
Uvula : letak di tengah, hiperemis (-)
Gigi geligi : gigi geligi lengkap, karies (-)
Lain-lain : post nasal drip (-)

LARING (laringoskopi)
Epiglotis : tidak dilakukan pemeriksaan
Plika aryepiglotis : tidak dilakukan pemeriksaan
Arytenoid : tidak dilakukan pemeriksaan
Pita suara asli : tidak dilakukan pemeriksaan
Rima glottis : tidak dilakukan pemeriksaan
Cincin trakea : tidak dilakukan pemeriksaan
Sinus piriformis : tidak dilakukan pemeriksaan

LEHER
Tidak teraba pembesaran kelenjar limfe submandibular dan servikal.

MAKSILLO-FASIAL
Deformitas (-), parese saraf otak (-)
5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Belum dilakukan

RESUME
Seorang anak laki-laki 16 tahun datang ke poliklinik THT RSAU dengan keluhan hidung pilek
tersumbat sejak 2 minggu yang lalu. Hidung mengeluarkan ingus yang bening, encer, jumlahnya
banyak, dan tidak berbau busuk. Os juga mengatakan pilek yang disertai bersin terjadi saat terhirup
debu dan pada waktu pagi hari. Pasien juga mengeluh nyeri pada daerah wajah terutama bagian dahi
dan sekitaran mata. Keluhan OS sebenarnya sudah dialami OS sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat
alergi (+).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan hidung bentuk normal, mukosa hidung tampak hiperemis, ada
sekret serousmukosa, konka inferior dan konka media tampak livid dan oedem, dan terdapat
hambatan pasase udara.

DIAGNOSIS BANDING
1. Rinosinusitis Frontalis
2. Rinitis vasomotor

DIAGNOSIS KERJA
Rinitis alergika

USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Darah perifer lengkap
2. Tes alergi (skin prick test)

PENATALAKSANAAN

Preventif: menghindari paparan dengan pencetus, yaitu dingin dan debu.


1. Edukasi
a. Memakai masker saat berada di tempat yang berdebu atau dingin.
b. Memakai masker atau penghangat tubuh apabila akan terpapar dengan udara dingin.
c. Kamar tidur dan daerah-daerah rumah yang sering ditempati harus sering dibersihkan
dari debu.
d. Menjaga kehangatan ruangan dengan membatasi pemakaian pendingin ruangan.

6
2. Pengobatan
a. Avamys nasal spray 1x2 semprot per hidung setiap pagi.
b. Cetirizine tablet 1x10 mg.
c. Metilprednisolon tablet 3x 4 mg.
d. Rhinofed tablet 2x1

PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam

7
BAB II
PENDAHULUAN

Pengertian Rinitis Alergi1


Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut
WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Klasifikasi Rinitis Alergi1
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya. Saat ini digunakan
klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Etiologi Rinitis Alergi1,2

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi.
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak.
Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan.
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap
beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari

8
atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies
utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu
tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.
Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu
yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor non spesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat,
ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik atau perhiasan.

Patofisiologi Rinitis Alergi1,3

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction
atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung
2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper reaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-
48 jam.

9
Gambar 1. Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan selanjutnya. 1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel
goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala
lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja,
tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan

10
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiper responsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived
Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini,
selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap
rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel
goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun,
sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke
dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat
berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi
respon sekunder.
1. Reaksi sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas
seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka
reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
2. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara
atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks
imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.

Gejala Klinik Rinitis Alergi4,5


Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah

11
besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan,
sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis. Gejala lain ialah keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata,
telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang
pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat
(allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung
bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata,
kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk
retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda
faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal
termasuk suara serak dan edema pita suara. Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit
kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip.
Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit
tidur.

Diagnosis Rinitis Alergi1,5,6


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul,
menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi
lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2
atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer
lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan
gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat

12
ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga
bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic
salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid
dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum
atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan
konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.
3. Pemeriksaan Penunjang
1. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan
IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi
juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

2. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti
tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi
dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam
waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada
pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
Penatalaksanaan Rinitis Alergi5,6
1. Terapi yang paling ideal adalah menghindari alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Simptomatis
a) Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif
pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering

13
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan
yaitu golongan antihistamin generasi -1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin
generasi -1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek
pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan
agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari
saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila
gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain.
Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometosa, budesonid, flusolid,
flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah
ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik permukaan sel efektor.
b) Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 %
atau troklor asetat.
c) Imunoterapi
Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk
blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama
dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.

Komplikasi Rinitis Alergi1,7


Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a) Polip hidung
Yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi
yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia
goblet, dan metaplasia skuamosa.
b) Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c) Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia
sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi
penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan

14
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier
epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil
(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.

Prognosis4
Secara umum baik. Penyakit rinitis alergi ini secara menyeluruh berkurang dengan
bertambahnya usia, tetapi kemungkinan menderita asma bronkial meningkat. Remisi spontan dapat
terjadi sebanyak 15-25% selama jangka waktu 5-7 tahun, remisi untuk rinitis alergi musiman lebih
besar frekuensinya dibandingkan dengan rinitis alergi perenial.

Kesimpulan
Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Penyebab rinitis alergi
tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Gejala khasnya ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Terapi yang paling ideal adalah menghindari alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Prognosisnya secara umum baik.

Daftar Pustaka
1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorokan kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2010. h. 128-33.
2. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Clinical aspects of diseases of the nose, sinuses, and faces,
in: Buckingham RA, ed, Ear, Nose, and Throat Diseases, A pocket Reference. Ed.2 nd. Thieme
Medical Publisher Inc: New York; 1994. p. 208-10.
3. Baraniuk JN. Pathogenesis of allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol. 2001; p. 763-7.
4. Lumbanraja PLH. Distribusi alergen pada penderita rinitis alergi di departemen THT-KL FK
USU/RSUP H. Adam Malik Medan [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2007.
5. Bosquet et al. Allergic rhinitis and its impact on asthma in: World Health Organization Initiative
Management of Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA). WHO; 2000. p. 3-7.
6. Irawati N. Panduan penatalaksanaan terkini rinitis alergi, dalam: Kumpulan Makalah Simposium
Current Opinion In Allergy and Clinical Immunology. Divisi Alergi-Imunologi Klinik FK
UI/RSUPN-CM. Jakarta; 2002.
7. Budiawan A, Suprihati. Hubungan hasil test kulit terhadap dermatopagoides pada penderita
rinitis alergi dengan riwayat atopi di RSUP dr. Kariadi Semarang, dalam: Kumpulan Abstrak
KONAS Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Surabaya; 2007. h. 13.

15
16

Anda mungkin juga menyukai