Anda di halaman 1dari 11

Penyakit Ascariasis pada Anak-anak

Stepvani

102015118

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Stepvanilohanatha1330@gmail.com

Pendahuluan
Penyakit Kecacingan di Indonesia masih merupakan masalah besar atau masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya yang masih sangat tinggi. Cacing-cacing
yang menginfestasi anak dengan prevalensi yang tinggi ini adalah cacing gelang (ascaris
lumbricoides), cacing cambuk (trichuris trichiura), cacing tambang (necator americanus) dan
cacing pita, kalau di diperhatikan dengan teliti, cacing-cacing yang tinggal diusus manusia ini
memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kejadian penyakit lainnya misalnya
kurang gizi. Ascariasis adalah infeksi cacing yang paling umum, dengan prevalensi seluruh
dunia diperkirakan 25% (0,8-1,22 milyar orang). Survey yang dilakukan di beberapa tempat
di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A.lumbricoides masih cukup tinggi, sekitar 60-
90% terutama pada anak. Ascariasis simtomatik dapat bermanifestasi menjadi gangguan
pertumbuhan, pneumonitis, atau obstruksi usus. Manusia merupakan satu-satunya hospes
Ascaris lumbricoides. Parasit ini ditemukan kosmopolit. Cacing ini terutama tumbuh dan
berkembang pada penduduk di daerah yang beriklim panas dana lembab dengan sanitasi yang
buruk. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja
di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan
sampah.1,2

ANAMNESIS

Hal – hal yang perlu ditanyakan dalam pertemuan dengan pasien adalah seperti yang berikut:

1. Riwayat penyakit
2. Umur
3. Jenis kelamin

4. Riwayat penyakit sekarang : sakit perut dan diare sejak 1 bulan ini,konsentrasi belajar
menurun
5. Gaya hidup
6. Riwayat penyakit dahulu
7. Riwayat penyakit keluarga

PEMERIKSAAN

Pemeriksaan Fisik

Inspeksi : pasien kurus

BB : 15 kg ,hb : 11 ,Leukosit : 6400, Ht: 36, Trombosit : 315000, Eosinofil : meningkat

Pemeriksaan Penunjang

Gejala dan tanda hanya untuk referensi.konfirmasi diagnosis tergantung kepada recoveri
dan identifikasi cacing dan telurnya.

1. ascaris pneumonitis: uji sputum untuk larva ascaris biasanya berguna.


2. ascaris usus: pemeriksaan telur pada feses
3. Pemeriksaan Laboratorium

i. Pada pemeriksaan darah ditemukan periferal eosinofilia.

ii. Detemukan larva pada lambung atau saluran pernafasan pada tenyakit paru.

iii. Pemeriksaan mikroskopik pada hapusan tinja dapat digunakan untuk


memeriksa sejumlah besar telur yang di ekskresikan melalui anus.

4. Pemeriksaan Foto

- Foto thoraks menunjukkan gambaran otak pada lapang pandang paru seperti
pada sindrom Loeffler
- Penyakit pada saluran empedu

A. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) memiliki


sensitivitas 90% dalam membantu mendiagnosis biliary ascariasis.
B. Ultrasonography memiliki sensitivitas 50% untuk membantu membuat
diagnosis biliary ascariasis.

DIAGNOSIS

Differential Diagnosis

Cacing cambuk (Trichuris trichiura)


Cacing ini juga menghisap sari makanan yang kita makan. Dia menghisap darah
dan hidup di dalam usus besar. Cacing betinanya bisa bertelur 5 ribu-10 ribu butir per
hari. Biasanya infeksi cacing ini menyerang pada usus besar. Infeksinya sering
menimbulkan perlakaan usus, karena kepala cacing dimasukkan ke dalam permukaan
usus penderita. Pada infeksi yang ringan biasanya hanya timbul diare saja. Tetapi pada
infeksi yang berat, hampir pada sebagian besar permukaan usus besar dapat ditemukan
cacing jenis ini. Akibatnya diare yang terjadi juga relatif berat dan dapat berlangsung
terus menerus. Karena juga dapat menyebabkan perlukaan usus, maka anemia sebagai
komplikasi perdarahan merupakan akibat yang tidak begitu saja dapat dianggap ringan.
Inilah sebetulnya akibat-akibat infeksi cacing yang tidak pernah kita perkirakan selama
ini dan proses yang merugikan itu berlangsung terus tanpa kita sadari. Infeksi cacing
biasanya menimbulkan anemia.

Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)


Inilah cacing yang paling ganas, karena ia menghisap darah. Cacing betinanya bisa
bertelur 15 ribu-20 ribu butir per hari. Penularannya cepat, karena larva cacing tambang
sanggup menembus kulit kaki dan selajutnya terbawa oleh pembuluh darah ke dalam usus.
Cacing dewasa bertahan hidup 2-10 tahun. Cacing tambang ini menimbulkan perlukaan pada
permu-kaan usus, sehingga perdarahan dapat terjadi secara lebih berat dibanding dengan
infeksi cacing jenis lainnya. Perdarahan yang lebih berat ini disebabkan karena mulut (stoma)
cacing mengerat permukaan usus. Bahkan satu ekor cacing saja dapat menyebabkan
kehilangan darah sebanyak 0,005¬0,34 cc sehari. Mengingat itu semua, maka infeksi cacing
tambang merupakan penyebab anemia yang paling sering ditemukan pada anak-anak,
sehingga dapat mempengaruhi daya tubuhnya dan menurunkan prestasi belajar.
Telur cacing gelang yang masuk ke pencernaan akan menetas menjadi larva. Larva ini
menembus dinding usus halus menuju jantung dan paru-paru. Cacing gelang menyebabkan
gizi buruk dan membuat anak tidak nafsu makan, karena nutrisinya direbut cacing. Cacing
betinanya bisa bertelur mencapai 200 ribu butir per hari. Cacing dewasa dapat bertahan hidup
6-12 bulan.
Frekuensi penyebaran: terdapat di daerah katulistiwa, daerah pertambangan dan
perkebunan, prevalensi lebih dari 70%.

Strongyloides stercoralis

Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit timbul kelainan kulit yang
disebut creeping eruption yang disertai dengan rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa
menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi ringan denganstrongiloides pada
umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi
sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah
dan tidak menjalar. Mungkin ada mual, muntah diare.

Working Diagnosis

Ascariasis

ETIOLOGI

Askariasis disebabkan oleh Ascariasis lumbricoides. Cacing Ascariasis lumbricoides


dewasa tinggal di dalam lumen usus kecil dan memiliki umur 10-2 bulan. Cacing betina dapat
menghasilkan 200.000 telur setiap hari. Telur fertil berbentuk oval dengan panjang 45-70 µm.
Setelah keluar bersama tinja, embrio dalam telur akan berkembang menjadi infektif dalam 5-
10hari pada kondisi lingkungan yang mendukung.
Gambar 1. Cacing Askariasis lumbricides

EPIDEMIOLOGI

Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan orang
dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak akan
kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu.
Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui
makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang
mengandung telur Ascaris lumbricoides. Faktor host merupakan salah satu hal yang penting
karena manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran
tanah oleh telur dan larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah polusi lingkungan
sekitarnya Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena buruknya
sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak
terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar.

Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang
rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang kemudian
tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya
akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik. Perkembangan telur dan
larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal adalah 23oC sampai 30oC.
Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing,
sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat
menyebar ke lingkungan.

Patofisiologi

Ascariasis lumbricoides adalah nematoda terbesar yang umumnya menginfeksi manusia.


Cacing dewasa berwarna putih atau kuning sepanjang 15-35 cm dan hidup selama 10-24
bulan di jejunum dan bagian tengah ileum.
Gambar 2. Daur kehidupan Cacing Ascaris lumbricoides

1. Cacing betina menghasilkan 200.000 telur setiap hari yang akan terbawa bersama
tinja.
2. Telur fertil jika jatuh pada kondisi tanah yang sesuai, dalam waktu 5-10 hari telur
tersebut dapat menginfeksi manusia.
3. Telur dapat bertahan hidup di dalam tanah selama 17 bulan. Infeksi umumnya terjadi
melalui kontaminasi tanah pada tangan atau makanan.
4. Kemudian masuk pada usus dan akan menetas pada usus kecil (deudenum).
5. Pada tahap kedua larva akan melewati dinding usus dan akan berpindah melalui
sistem portal menuju hepar dan kemudian paru.
6. Infeksi yang berat dapat di ikuti pneumonia dan eosinifilia. Larva kemudian
dibatukkan dan tertelan kembali menuju jejunum.
7. Diperlukan waktu 65 hari untuk menjadi cacing dewasa.

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis tergantung pada intensitas infeksi dan organ yang terlibat. Pada
sebagian besar penderita dengan infeksi rendah sampai sedang gejalanya asimtomatis atau
simtomatis. Gejala klinis paling sering ditemui berkaitan dengan penyakit paru atau sumbatan
pada usus atau saluran empedu. Gejala klinis yang nyata biasanya berupa nyeri perut, berupa
kolik di daerah pusat atau epigastrum, perut buncit (pot belly), rasa mual dan kadang-kadang
muntah, cengeng, anoreksia, susah tidur dan diare.
Telur cacing askariasis akan menetas didalam usus. Larva kemudian menembus dinding
usus dan bermigrasi ke paru melalui sirkulasi dalam vena. Parasit dapat menyebabkan
Pulmonari ascariasis ketika memasuki alveoli dan bermigrasi melalui bronki dan trakea.
Manifestasi infeksi pada paru mirip dengan sindrom Loffler dengan gejala seperti batuk,
sesak, adanya infiltrat pada paru dan eosinofilia. Cacing dewasa akan memakan sari makanan
hasil pencernaan host. Anak-anak yang terinfeksi dan memiliki pola makanan yang tidak baik
dapat mengalami kekurangan protein, kalori, atau vitamin A, yang akhirnya dapat mengalami
pertumbuhan terlambat. Obstruksi usus, saluran empedu dan pankreas dapat terjadi akibat
sumbatan oleh cacing yang besar. Cacing ini tidak berkembang biak pada host. Infeksi dapat
bertahan selama umur cacing maksimal (2 tahun), serta mudah terjadi infeksi berulang.

KOMPLIKASI

1. Spoilative action. Anak yang menderita askariasis umumnya dalam keadaan distrofi.
Pada penyelidikan ternyata askariasis hanya mengambil sedikit karbohidrat ”hospes”,
sedangkan protein dan lemak tidak diambilnya. Juga askariasis tidak mengambil
darah hospes. Dapat ditarik kesimpulan bahwa distrofi pada penderita askariasis
disebabkan oleh diare dan anoreksia.
2. Toksin. Chimura dan Fuji berhasil menbuat ekstrak askaris yang disebut askaron yang
kemudian ketika disuntikkan pada binatang percobaan (kuda) menyebabkan renjatan
dan kematian, tetapi kemudian pada penyelidikan berikutnya tidak ditemukan toksin
yang spesifik dari askaris. Mungkin renjatan yang terjadi tersebut disebabkan oleh
protein asing.
3. Alergi. Terutama disebabkan larva yang dalam siklusnya masuk kedalam darah,
sehingga sesudah siklus pertama timbul alergi terhadap protein askaris. Karenanya
pada siklus berikut dapat timbul manifestasi alergi berupa asma bronkiale, ultikaria,
hipereosinofilia, dan sindrom Loffler. Simdrom Loffler merupakan kelainan dimana
terdapat infiltrat (eosinofil) dalam paru yang menyerupai bronkopneumonia atipik.
Infiltrat cepat menghilang sendiri dan cepat timbul lagi dibagian paru lain. Gambaran
radiologisnya menyerupai tuberkulosis miliaris.Disamping itu terdapat hiperesinofilia
(40-70%). Sindrom ini diduga disebabkan oleh larva yang masuk ke dalam lumen
alveolus, diikuti oleh sel eosinofil. Tetapi masih diragukan, karena misalnya di
indonesia dengan infeksi askaris yang sangat banyak, sindrom ini sangat jarang
terdapat, sedangkan di daerah denagn jumlah penderita askariasis yang rendah,
kadang-kadang juga ditemukan sindrom ini.
4. Traumatik action. Askaris dapat menyebabkan abses di dinding usus, perforasi dan
kemudian peritonitis. Yang lebih sering terjadi cacing-cacing askaris ini berkumpul
dalam usus, menyebabkan obstuksi usus dengan segala akibatnya. Anak dengan gejala
demikian segera dikirim ke bagian radiologi untuk dilakukan pemeriksaan dengan
barium enema guna mengetahui letak obstruksi. Biasanya dengan tindakan ini cacing-
cacing juga dapat terlepas dari gumpalannya sehingga obstruksi dapat dihilangkan.
Jika cara ini tidak menolong, maka dilakukan tindakan operatif. Pada foto rontgen
akan tampak gambaran garis-garis panjang dan gelap (filling defect).
5. Errantic action. Askaris dapat berada dalam lambung sehingga menimbulkan gejala
mual, muntah, nyeri perut terutama di daerah epigastrium, kolik. Gejala hilang bila
cacing dapat keluar bersama muntah. Dari nasofaring cacing dapat ke tuba Eustachii
sehingga dapat timbul otitis media akut (OMA) kemudian bila terjadi perforasi,
cacing akan keluar. Selain melalui jalan tersebut cacing dari nasofaring dapat menuju
laring, kemudian trakea dan bronkus sehingga terjadi afiksia. Askaris dapat menetap
di dalam duktus koledopus dan bila menyumbat saluran tersebut, dapat terjadi ikterus
obstruktif. Cacing dapat juga menyebabkan iritasi dan infeksi sekunder hati jika
terdapat dalam jumlah banyak dalam kolon maka dapat merangsang dan
menyebabkan diare yang berat sehingga dapat timbul apendisitis akut.
6. Irritative Action. Terutama terjadi jika terdapat banyak cacing dalam usus halus
maupun kolon. Akibat hal ini dapat terjadi diare dan muntah sehingga dapat terjadi
dehidrasi dan asidosis dan bila berlangsung menahun dapat terjadi malnutrisi.
7. Komplikasi lain. Dalam siklusnya larva dapat masuk ke otak sehingga timbul abses-
abses kecil; ke ginjal menyebabkan nefritis; ke hati menyebabkan abses-abses kecil
dan hepatitis. Di indonesia komplikasi ini jarang terjadi tetapi di srilangka dan
Filipina banyak menyebabkan kematian.

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

1. Obat pilihan: piperazin sitrat (antepar) 150 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dengan dosis
maksimum 3 g/hari
2. Heksil resorsinol dengan dosis100 mg/tahun (umur)

3. Oleum kenopodii dengan dosis 1 tetes/tahun (umur)

4. Santonin : tidak membinasakan askaris tetapi hanya melemahkan. Biasanya dicampur


dengan kalomel (HgCl= laksans ringan) dalam jumlah yang sama diberikan selama 3
hari berturut-turut.

Dosis : 0-1tahun = 3 x 5 mg

1-3 tahun = 3 x 10 mg

3-5 tahun = 3 x 15 mg

Lebih dari 5 tahun =3 x 20 mg

Dewasa = 3 x 25 mg

5. Pirantel pamoat (combantrin) dengan dosis 10 mg/ kg BB/hari dosis tunggal.

6. Papain yaitu fermen dari batang pepaya yang kerjanya menghancurkan cacing.
Preparatnya : Fellardon.

7. Pengobatan gastrointestinal ascariasis menggunakan albendazole (400 mg P.O. sekali


untuk semua usia), mabendazole (10 mg P.O. untuk 3 hari atau 500 mg P.O. sekali
untuk segala usia) atau yrantel pamoate (11 mg/kg P.O. sakali, dosis maksimum 1 g).
Piperazinum citrate (pertama : 150 mg/kg P.O. diikuti 6 kali dosis 6 mg/kg pada
interval 12 hari)

Non-Medikamentosa

1. Mencegah kontak dengan tanah yang mengandung feses manusia


2. Jangan membuang feses outdoors
3. Cuci tangan dengan sabun dan air sebelum menyentuh makanan
4. Ketika bepergian ke negara yang sanitasi danhigienisnya jelek, hindari makanan yang
mungkin berkontaminasi dengan tanah
5. Cuci, kupas atau masak bahan-bahan sayur dan buah sebelum dimakan
6. edukasi kesehatan

Edukasi

1. Masing-masing keluarga memiliki jamban . Sehinga kotoran manusia tidak


menimbulkan pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita.
2. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
3. Menghindari kontak dewngan tanah yang tercemar oleh tinja manusia
4. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limba/sampah
5. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktifitias dengan
menggunakan sabun
6. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab

Kesimpulan

Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh agen biologis berupa cacing ascaris
lumbricoides. cacing pada anak akan mengganggu pertumbuhan, menurunkan kemampuan
fisik, produktifitas belajar dan intelektualitas. Selain itu juga dapat menyebabkan gangguan
gizi, anemia, gangguan pertumbuhan yang pada akhirnya akan mempunyai pengaruh
terhadap tingkat kecerdesan seorang anak.

Daftar Pustaka

1. Pohan, HT. Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah . In : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: IntemaPublishing; 2009.p 2938-9
2. Brotowidjoyo, MD, 1987. Parasit dan parasitisme. Media Sarana Press. Jakarta
3. Soedarto, 1995. Hermintologi Kedokteran. Edisi ke 2, EGC. Jakarta.
4. Suplai T, Margono SS, Abidin AN. Nematoda Usus. In: Sutanto I, Ismid IS,
Sjarifudin PK, Sungkar S, Editors. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. 4 th ed.
Jakarta : FKUI; 2008. p.6-9
5. Priyana Adi. Patologi Klinik untuk Kurikulum Pendidikan Dokter
berbasis Kompetensi . Jakarta: Universitas Trisakti; 2010.
6. Sudoyo Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V . Jakarta:Interna
Publishing; 2009.

Anda mungkin juga menyukai