Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

INTRA CEREBRAL HEMORAGIK

Untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu

Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi

Di RumahSakit Islam Sultan Agung Semarang

Oleh :

Afrina Lusia (01.210.6070)

Ayu Fitrotun Nisa (01.210.6098)

Rafika Syah Putra (01.210.6249)

Joni Riana Mustaqim (01.211.6425)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2015
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS RADIOLOGI

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinis bagian ilmu radiologi

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

Nama : Afrina Lusia

Ayu Fitrotun Nisa

Rafika Syah Putra

Joni Riana Mustaqim

Judul : Laporan Kasus Pasien Intra Serebral Hemoragik

Bagian : Ilmu Radiologi

Fakultas : Kedokteran Unissula

Pembimbing : dr. Bambang Satoto, Sp. Rad

Telah diajukan dan disahkan

Semarang, Juni 2015

Pembimbing,

dr. BambangSatoto, Sp. Rad

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................3

2.1 Definisi...................................................................................................3

2.2 Epidemiologi..........................................................................................3

2.3 Klasifikasi..............................................................................................4

2.4 Penyebab ...............................................................................................4

2.5 Patofisiologi...........................................................................................5

2.6 Gambaran Klinis....................................................................................7

2.7 Diagnostik..............................................................................................7

2.8 Penatalaksanaa.......................................................................................9

BAB III LAPORAN KASUS.............................................................................11

3.1 Identitas Pasien..............................................................................................11

3.2 Anamnesis....................................................................................................11

3.3 Pemeriksaan Fisik ........................................................................................12

3.4 Diagnosis.......................................................................................................14

3.5 pemeriksaan penunjang.................................................................................14

BAB IV PEMBAHASAN...................................................................................20

BAB V KESIMPULAN......................................................................................22

ii
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan intraserebral adalah perdarahan kedalam parenkim otak yang dapat


meluas kedalam ventrikel, dan pada keadaan jarang dapat meluas kedalam ruang
subarachnoid (Depkes, 2009). Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab
kematian terbanyak usia 15 44 tahun dan merupakan penyebab kematian ketiga
untuk keseluruhan. Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan
teknologi dan pembangunan frekuensinya cenderung makin meningkat. Cedera kepala
berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa
kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan.
Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu
antara 15 44 tahun, dengan usia rata rata sekitar tiga puluh tahun , dan lebih
didominasi oleh kaum laki laki dibandingkan kaum perempuan. Adapun penyebab
yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas ( 49 % ) dan kemudian disusul dengan
jatuh (terutama pada kelompok usia anak anak )
Pada kehidupan sehari hari cedera kepala adalah tantangan umum bagi kalangan
medis untuk menghadapinya, di mana tampaknya keberlangsungan proses
patofisiologis yang diungkapkan dengan segala terobosan investigasi diagnosik medis
mutakhir cenderung bukanlah sesuatu yang sederhana. Berbagai istilah lama seperti
kromosio dan kontusio kini sudah ditingalkan dan kalsifikasi cedera kepala lebih
mengarah dalam aplikasi penanganan klinis dalam mencapai keberhasilan penanganan
yang maksimal.

CT Scan merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan


gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak. Dua jenis teknik
pemeriksaan, yaitu CT scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT scan
diketahui sebagai pendeteksi imaging yang paling mudah, cepat dan relative murah
untuk kasus trauma kepala..

Pemeriksaan CT Scan yang sering dilakukan adalah pemeriksaan CT Scan


Kepala. Semogram kepala dibuat dengan posisi terlentang dimana kepala pasien

1
berada diantara tabung sinar X dengan detector, yang kemudian etector dan tabung
sinar X akan berputar mengelilingi kepala pasien melaluis uatu proses rekonstruksi

Salah satu kelainan patologi yang dapat dilihat melalui CT-Scan Kepala adalah ICH
(Intracerebral Hematoma). Perdarahan intercerebral atau intracranial termasuk ke
dalam ruang subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Kelainan ini sering
ditemukan pada penderita trauma kepala. Lebih dari 50% penderita dengan hematom
intracerebral disertai hematom epidural atau hematom subdural. Paling banyak terjadi
di lobus fronalis atau temporalis, dan tidak jarang ditemukan multiple.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan kedalam parenkim otak yang
dapat meluas kedalam ventrikel, dan pada keadaan jarang dapat meluas
kedalam ruang subarachnoid (Ohwaki K, 2009).

2.2 Epidemiologi
Setiap tahunnya, hampir 37.000 sampai 52.400 orang di Amerika Serikat
mengalami perdarahan intraserebral. Angka tersebut diperkirakan akan
meningkat duakali lipat dalam 50 tahun kedepan oleh karena meningkatnya
usia dalam populasi serta berubahnya demografi rasial. Perdarahan
intraserebral merupakan 10 sampai 15 persen dari keseluruhan kasus stroke
dan menimbulkan angka kematian yang paling tinggi, dimana hanya 38% dari
penderita yang mengalaminya dapat bertahan melewati tahun pertama
(Hemphill JC,2007)
Insiden global dari PIS berkisar antara 10 sampai 20 kasus per 100.000
penduduk dan meningkat dengan pertambahan usia. PIS lebih sering dijumpai
pada laki-laki ketimbang perempuan, terutama pada kelompok usia lebih tua
dari 55 tahun dan pada populasi tertentu, seperti ras kulit hitam dan Jepang.
Selama periode 20 tahun dari National Health and Nutrition Examination
Survey Epidemiologic Follow-up Study, didapatkan insiden PIS pada ras kulit
hitam sebesar 50 per 100.000 yang merupakan duakali lipat dari insiden
pada ras kulit putih (Ariesen MJ, 2009). Didapatkan perbedaan prevalensi
hipertensi dan tingkat pendidikan berkorelasi dengan perbedaan risiko.
Tingginya risiko pada populasi dengan tingkat pendidikan yang rendah sangat
mungkin disebabkan oleh rendahnya pemahaman mengenai aspek pencegahan
primer serta kurangnya akses dalam perawatan kesehatan. Insiden PIS pada
populasi Jepang (55 per 100.000) serupa dengan insiden pada populasi kulit
hitam. Tingginya insiden pada populasi Jepang tersebut disebabkan oleh
tingginya prevalensi hipertensi dan pengguna alcohol disamping itu,
rendahnya kadar kolesterol serum yang dijumpai pada populasi ini juga
menyumbang tingginya risiko PIS (Ohwaki K, 2009).

3
2.3 Klasifikasi
Tergantung kausa perdarahan yang melatarbelakanginya, perdarahan
intraserebral dibagi menjadi PIS primer dan PIS sekunder. PIS primer (PIS
spontan), yang merupakan 78 sampai 88 persen kasus, ditimbulkan oleh
adanya ruptur spontan dari pembuluh darah berukuran kecil yang mengalami
kerusakan oleh hipertensi kronis atau angiopati amiloid (amyloid angiopathy).
PIS sekunder dialami pada sebahagian kecil penderita yang ditimbulkan oleh
adanya abnormalitas vascular, seperti arteriovenous malformation, aneurisma ,
tumor, atau gangguan koagulasi. Meskipun hypertensive intracerebral
hemorrhage (PIS yang ditimbulkan oleh hipertensi) masih merupakan bentuk
PIS yang paling sering dijumpai, namun abnormalitas vaskular yang
melatarbelakanginya perlu selalu ditelusuri oleh karena tingginya risiko
perdarahan ulangan dan telah tersedianya pilihan terapi (Foulkes MA,2009).

Berdasarkan letak hematoma dikenal istilah-istilah sebagai berikut:


1. Perdarahan putamen atau thalamus, menunjukkan perdarahan di ganglia
basalis dan thalamus.
2. Perdarahan subkortikal, menunjukkan perdarahan di substansia alba daerah
subkortkal.
3. Perdarahan pons, menunjukkan perdarahan di pons
4. Perdarahan serebelum, menunjukkan perdarhan di serebelum.

2.4 Penyebab
1. Hipertensi : meningkatkan risiko PIS, terutama bagi individu yang tidak
taat menggunakan obat antihipertensi pada usia 55 tahun atau lebih muda,
atau perokok.
2. Pengguna alkohol : yang berlebihan juga meningkatkan risiko PIS melalui
terganggunya sistem koagulasi dan pengaruh langsung alkohol terhadap
integritas pembuluh darah serebral.
3. Faktor genetik : seperti adanya mutasi pada gen yang memindai (encoding)
subunit dari faktor XIII (faktor pembekuan yang terlibat dalam
penyusunan formasi cross-linked fibrin).27,28,29 CAA (Cerebral amyloid
angiopathy),
4. Usia Tua (Catto AJ dkk, 2006)
5. Aneurisma : merupakan tonjolan atau melemahnya dinding pembuluh darh
arteri
6. Trauma kepala : fraktur pada tulang tengkorak dan luka tembus dapat
menyebabkan perdarahan pada arteri

4
2.5 Patofisiologi

Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai


dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tengkorak ,
durameter, vaskuler otak, sampai jaringan otak sendiri. Baik berupa luka
tertutup, maupun trauma tembus. Dengan pemahaman landasan
biomekanisme-patofisiologi terperinci dari masing masing proses di atas,
yang dihadapkan dengan prosedur penanganan cepat dan akurat, diharapkan
dapat menekan morbilitas dan mortalitasnya.
Jenis beban mekanik yang menimpa kepala sangat bervariasi dan rumit.
Pada garis besarnya dikelompokkan atas dua tipe yaitu beban statik
dan beban dinamik. Beban statik timbul perlahan lahan yang dalam hal ini
tenaga tekanan diterapkan pada kepala secara bertahap, hal ini bisa terjadi bila
kepala mengalami gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung
dalam periode waktu yang lebih dari 200 mili detik. Dapat mengakibatkan
terjadinya keretakan tulang, fraktur multiple, atau kominutiva tengkorak atau
dasar tulang tengkorak.Biasanya koma atau defisit neurologik yang khas
belum muncul, kecuali bila deformasi tengkorak hebat sekali sehingga
menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan otak, serta selanjutnya
mengalami kerusakan yang fatal.
Mekanisme ruda paksa yang lebih umum adalah akibat beban dinamik,
dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat ( kurang
dari 200 mili detik). Beban ini dibagi menjadi beban guncangan dan beban
benturan. Komplikasi kejadian ini dapat berupa hematom intrakranial, yang
dapat menjadikan penderita cedera kepala derajat ringan dalam waktu yang
singkat masuk dalam suatu keadan yang gawat dan mengancam jiwanya.
PIS umumnya dijumpai pada lobus serebral, ganglia basalis, thalamus,
batang otak (predominan pada pons), dan serebellum. Adanya perluasan
perdarahan kedalam ventrikel dijumpai pada hematom berukuran besar
(Morris JH, 2007).
Perdarahan intraparenkimal ditimbulkan oleh adanya ruptur dari arteri
perforantes yang berkaliber kecil (small penetrating arteries) yang berasal dari
arteri basilaris, arteri serebri anterior, media, atau posterior. Adanya perubahan
degeneratif dari dinding pembuluh darah tersebut yang ditimbulkan oleh
hipertensi kronis mengakibatkan menurunnya kelenturan (compliance) serta

5
meningkatkan kemungkinan terjadinya ruptur spontan. Pada tahun 1868,
Charcot dan Bouchard menyatakan terjadinya perdarahan diakibatkan oleh
ruptur di tempat-tempat adanya dilatasi dari dinding pembuluh darah arteriola
berukuran kecil (mikroaneurisma) (Morris JH, 2007).
Pembesaran ukuran hematom ini ditimbulkan oleh terjadinya
perdarahan yang terus-menerus dari sumber pertama perdarahan serta akibat
dari terjadinya robekan mekanik (mechanical disruption) pada pembuluh darah
disekitarnya. Disamping itu pembesaran hematom juga dapat ditimbulkan oleh
adanya hipertensi akut, defisit koagulasi lokal, atau keduanya (Takebayashi S
dkk, 2008). Kemunculan hematom mengawali terjadinya edema dan
kerusakan neuronal pada parenkim disekitarnya. Cairan transudat dengan
segera mengumpul pada regio disekitar hematom, dan edema umumnya
menetap sampai lima hari, meskipun ada pengamatan lain yang menunjukkan
edema dapat berlangsung sampai dua minggu setelah trauma. Edema dini yang
terjadi disekitar hematom disebabkan oleh adanya pelepasan dan akumulasi
protein serum yang memiliki kekuatan osmotik (osmotically active serum
proteins) yang berasal dari bekuan darah. Selanjutnya, secara berturutan,
terjadilah edema vasogenik dan edema sitotoksik oleh karena rusaknya sawar
darah otak (blood brain barrier), kegagalan sodium pump, dan berakhir
dengan kematian neuron. (Catto AJ dkk, 2006)

2.6 Gambaran Klinis


Status Neurologis di Awal Serangan
Penderita dengan hematom berukuran besar umumnya mengalami
penurunan tingkat kesadaran sebagai akibat dari meningkatnya tekanan
intrakranial dan adanya kompresi langsung atau distorsi terhadap thalamic dan
brain-stem reticular activating system. Penderita dengan PIS supratentorial
yang mengenai putamen, nukleus kaudatus, dan thalamus akan mengalami
defisit sensori-motorik kontralateral dengan tingkat keparahan yang bervariasi
sebagai akibat dari terlibatnya kapsula interna. Abnormalitas yang
menandakan adanya disfungsi kortikal luhur seperti afasia, neglect, gaze
deviation, dan hemianopia, dapat terjadi sebagai akibat dari rusaknya serabut
penghubung (connecting fibers) yang berada pada wilayah subkortikal dari

6
substansia alba serta terjadinya functional suppression terhadap lapisan
korteks diatasnya yang dikenal sebagai diaschisis (Teasdale,2009).
Pada penderita dengan PIS infratentorial sering di temukan tanda
disfungsi batang otak yang meliputi diskonjugat (abnormalities of gaze),
abnormalitas nervus kranialis, dan defisit motorik kontralateral. Pada PIS yang
mengenai serebellum, gambaran klinis yang menonjol adalah ataksia,
nistagmus, dan dismetria. Gejala nonspesifik yang umum meliputi nyeri
kepala dan muntah sebagai akibat dari meningkatnya tekanan intrakranial, dan
meningismus sebagai akibat dari adanya darah intraventrikular (Teasdale,
2009)
Gejala klinis pada perdarahan intraerebral antara lain sakit kepala,
mual, muntah, letargi sampai bingung, kelemahan secara tiba-tiba pada wajah,
tangan, dan kaki, penglihatan kabur dan bisa sampai kejang.

2.7 Diagnosis
Meskipun karakteristik rapid onset dari defisit neurologis yang muncul
dan adanya penurunan tingkat kesadaran mengarahkan diagnosis PIS, namun
membedakan secara tegak antara infark serebral dan PIS memerlukan
pemeriksaan pencitraan otak. Pada pemeriksaan CT scan permulaan, yang
penting diamati meliputi lokasi dan ukuran hematom, ada-tidaknya darah
intraventrikular, dan gambaran hidrosefalus. Kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan angiografi konvensional untuk menemukan penyebab sekunder
dari PIS, seperti aneurisma, malformasi arteriovenosa (AVM), dan vaskulitis.
Zhu et al. melaporkan dijumpainya abnormalitas pada angiografi sebanyak
49% dari penderita dengan perdarahan lobar (lobar hemorrhage) dan 65% dari
penderita dengan perdarahan intraventrikular. Peneliti ini juga melaporkan
bahwa 48% dari penderita yang normotensif dan berumur 45 tahun atau lebih
muda memperlihatkan adanya abnormalitas pada angiografi, sedangkan
penderita yang hipertensif dan berumur lebih tua dari 45 tahun tidak
memperlihatkan adanya latarbelakang abnormalitas vaskular (Jennet, 2007)
Berdasarkan pembuktian tersebut, maka penderita dengan perdarahan
lobar atau perdarahan intraventrikular primer perlu menjalani angiografi tanpa
memandang umur atau ada-tidaknya riwayat hipertensi. Sedangkan penderita
dengan perdarahan putaminal, thalamik, atau serebellar perlu menjalani

7
angiografi konvensional apabila dijumpai normotensif dan berumur 45 tahun
atau lebih muda. Guidelines yang dikeluarkan oleh American Heart
Association merekomendasikan pemeriksaan angiografi bagi semua penderita
dengan kausa perdarahan yang tidak jelas yang akan menjalani tindakan
pembedahan, terutama penderita usia muda dengan tanpa hipertensi yang
memiliki kondisi klinis stabil. Waktu pengerjaan angiografi konvensional
tergantung dari kondisi klinis penderita dan urgensi dari tindakan
pembedahan. MRI (magnetic resonance imaging) menggunakan media kontras
gadolinium dan MRA (magnetic resonance angiography) juga dapat
dipergunakan untuk menemukan kausa sekunder dari PIS, meskipun
sensitifitasnya belum diuji dengan baik. Penderita yang pada pemeriksaan
permulaan menunjukkan hasil negatif namun secara klinis memiliki
kemungkinan tinggi untuk mengalami PIS sekunder, maka angiografi perlu
diulang dua atau empat minggu kemudian setelah hematom mengalami
resolusi, sehingga anomali vaskular dapat terlihat (Jennet, 2007).

Gambar 2.1 Transient Ischemic Attack

Gambar 2.2 Pasien dengan tanda titik menunjukkan ekstravasasi dan


perluasan hematoma. A. CT SCAN menunjukkan putaminal posterior kiri dan
hematoma kapsul internal edema sekitarnya ringan. B. Fokus kecil tambahan
adalah dilihat perifer, konsisten dengan tanda titik (panah hitam). C. Pasca

8
kontras CT menunjukkan pembesaran tanda tempat, konsisten dengan
ekstravasasi (panah putih). D. CT SCAN image 1 hari setelah presentasi
mengungkapkan pembesaran hematoma dan perdarahan intraventrikular.

2.8 Penatalaksanaan
1. Pengaturan Tekanan Darah
Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan
karena adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi
terjadi karena cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih
lanjut autoregulasi dari aliran darah otak akan terganggu baik karena
hipertensi kronik maupun oleh tekanan intrakranial yang meninggi.
Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan darah akan menyebabkan
iskemia pada miokard, ginjal dan otak. Tekanan darah sistolik 160
mmHg tampak berhubungan dengan penambahan volume hematoma
dibandingkan dengan tekanan darah sistolik 150 mmHg. Obat-obat anti
hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan (Herbstein, 2009).
a. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors
b. Angiotensin Receptor Blockers
c. Calcium Channel Blockers

2. Medikamentosa untuk Mencegah Pembesaran Volume Hematoma


Penambahan volume hematoma ini terjadi pada jam-jam pertama
dari onset dan selalu berhubungan dengan outcome yang lebih buruk.
Diberikan Activated Factor VIIa dengan dosis 80-160 g/kg diberikan
dalam waktu 3-4 jam setelah onset. Obat ini efektif dalam membatasi
perdarahan pasca operasi dan perdarahan koagulopatik. Pemberian obat ini
secara statistik bermakna menurunkan mortalitas dan morbiditas (Kaneko,
2008).
3. Continuous Ventricular Drainage
Continuous ventricular drainage sendiri bukanlah suatu tindakan
pengobatan terhadap PIS ; biasanya dilakukan untuk mengatasi
hidrosefalus sekunder dan menurunkan tekanan intrakranial. Drainase
dilakukan pada ventrikel yang tidak mengandung gumpalan darah. Pada
saat ini telah ada percobaan memasukkan tPA atau urokinase kedalam
ventrikel dan di aspirasi dalam interval waktu tertentu dan menunjukkan
hasil yang lebih baik daripada hanya drainase (Leyendijk, 2006).
4. Kraniotomi

9
Jarak terdekat antara hematoma dan permukaan korteks biasanya
merupakan pedoman yang baik untuk menentukan tempat kraniotomi.
Insisi diatas korteks motorik hendaknya dicegah. Untuk suatu hematoma
yang berada di dekat korteks motorik hendaknya mempertimbangkan
approach dari anterior frontal , temporal atau parietal. Kaneko dan kawan-
kawan menggunakan teknik bedah mikro untuk mengeluarkan hematoma
didaerah insula. Mereka membuat insisi kecil di girus temporalis anterior
superior lalu menampakkan insula. Suzuki dan Takaku menggunakan
teknik bedah mikro melalui insisi transtemporal / transsylvian untuk meng
approach hematoma di daerah putamen.
Kriteria keberhasilan didasarkan atas usia,volume hematoma dan
skor Skala Koma Glasgow. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara
kelompok operatif dan nonoperatif didalam outcome dan mortalitas
(Kaneko, 2006)

BAB III

LAPORAN KASUS

3. 1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : Sdr. A.A.C

Usia : 14 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Alamat : Klepu, Dubang Keling, Jepara RT 09/RW 02

Tanggal Masuk : 12 Juni 2015

3. 2 ANAMNESIS
3.2.1 Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

10
Seorang pasien laki-laki dengan usia 14 tahun diantar
keluarga ke IGD pada pukul 02.00 dini hari dengan keluhan luka
robek pada pelipis kanan karena mengalami kecelakaan lalu lintas
sejak 9 jam SMRS dan sebelumnya sempat dibawa ke RS. R.A
Kartini Jepara. Pada saat kecelakaan kepala penderita terbentur
dengan trotoar karena helm yang digunakan terlepas. Setelah
mengalami kecelakaan, kedua mata pasien bengkak, pasien juga
mengalami perdarahan (mimisan) pada kedua hidung, dan
mengalami muntah-muntah.
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Trauma kepala : disangkal
Riwayat Stroke : disangkal
Riwayat Epilepsi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Trauma kepala : disangkal
Riwayat Stroke : disangkal
Riwayat Epilepsi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal

3.2.5 Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang pelajar dan biaya pengobatan
ditanggung oleh pribadi

3. 3 PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Present
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : GCS E3 M4 V3
Vital sign :

Tekanan Darah : 119/71 mmHg


Nadi : 66 x / menit, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 16x / menit
Suhu : 36,50C

B. Status Generalis

11
- Kepala : Normocephale. Tampak fraktur os. Frontalis, os
maxillaries, os zigomaticus.
- Rambut : Rambut hitam
- Mata : konjungtiva anemis (-/-), oedem palpebra (+/+), sklera
ikterik (-/-)
- Hidung : Epistaksis (+/+), nafas cuping hidung (-/-), fraktur os
nasal , terpasang NGT (hematemesis).
- Telinga : Discharge (-/-)
- Mulut : Bibir pucat (-), mukosa pucat (-), glositis (-), stomatitis (-),
gusi berdarah (-), bibir kering (-).
- Leher : Simetris, tidak ada pembesaran kelenjar limfe
- Thorax
Jantung
Inspeksi : Tidak terlihat pulsasi ictus cordis
Palpasi : Pulsasi ictus cordis tidak melebar, teraba di
ICS V 2 cm medial linea midclavicularis sinistra.
Perkusi : redup
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas pinggang : ICS III linea parasternal sinistra
Batas kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra
Batas kiri bawah : ICS V 2 cm medial linea mid
clavicula sinistra
Kesan : Konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop
(-)
Kesan : Tidak ada kelainan jantung

Paru-paru
Inspeksi : Pergerakan hemithorax dextra = hemithorax
sinistra, Retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus dextra = sinistra.
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi :
- Suara Dasar : vesikuler di basal paru kanan kiri

12
- Suara Tambahan : rhonki (-/-), wheezing (-/-), hantaran
(-/)
Kesan : Tidak ada kelainan paru
- Abdomen
o Inspeksi : datar
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
o Perkusi : Timpani (+), pekak alih (-), pekak sisi(-)
o Palpasi : Supel, nyeri tekan abdomen (-), defance
muskular (-), hepar dan lien tidak teraba.

Ekstremitas :
Ekstremitas Superior Inferior

Akral dingin -/- +/+

Akral sianosis -/- -/-

Oedem -/- -/-

CRT <2 <2

Spoon nails Tidak ditemukan Tidak ditemukan

Deformitas Tidak ada Tidak ada

3. 4 DIAGNOSIS
a. Cedera Kepala Sedang
b. Intracerebral hemoragic pada lobus frontalis
c. Fraktur multipel os. Frontalis, os. Maxillaris, os. Zygomaticus, os. Nasal.

3. 5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
3.5.1 Pemeriksaan CT Scan
3.5.1.1.1 Gambaran CT Scan

13
14
15
3.5.1.1.2 Hasil Bacaan CT Scan

Ct scan Craniocerebral Non Kontras

NB : CT Scan dari RSUD JEPARA

Sulci , fisura dan cysterna tampak sempit


Tampak Lesi hiperdens biconveks di region frontalis kanan
Tampak lesi hiperdens intrasulci dan intracysterna
Tampak air buble multiple intracranial
Sistem ventrikel tak sempit
Tak tampak deviasi garis tengah
Batang otak dan serebelum tak jelas kelainan
Tampak Diskontinuitas os. Frontalis kanan-kiri
Tampak diskontinuitas os. Nasal
Tampak diskontinuitas sphenoid wing kanan
Tampak diskontinuitas os. Sphenoid kiri
Pada potongan SPN : Tampak air fluid level di sinus maxillaries kanan-
kiri, sinus ethmoid kanan-kiri, sinus frontalis kanan-kiri dan sinus
sphenoid kanan-kiri
Tampak Subgaleal hematomregio frontalis kanan-kiri dan regio
parietooccipital kiri

KESAN :
PERDARAHAN EPIDURAL DI REGIO RONTALIS KANAN
CONTUSIO HAEMORRHAGE DI LOBUS FRONTALIS KANAN
PERDARAHAN SUBARACHNOID
TAMPAK PNEUMOCEPHALUS
FRAKTUR OS.FRONTALIS KANA N-KIRI
FRAKTUR OS. NASAL, FRAKTUR SPHENOID WING KANAN
DAN FRAKTUR OS. SPHENOID KIRI
GAMBARAN HEMATOSINUS DI SINUS MAKSILARIS KANAN-
KIRI, SINUS FRONTALIS KANAN-KIRI, SINUS ETHMOID
KANAN-KIRI DAN SINUS SPHENOID KANAN-KIRI

16
GAMBARAN SUBGALEAL HEMATOM REGIO FRONTALIS
KANAN-KIRI DAN REGIIO PARIETOOCCIPITAL KIRI

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus diatas didapatkan data bahwa seorang pasien laki- laki
dengan usia 14 tahun datang ke IGD dengan keluhan luka robek pada pelipis kanan
karena mengalami kecelakaan lalu lintas 9 jam SMRS. Sebelumnya sempat dibawa
ke RS. R.A Kartini Jepara. Pada saat kecelakaan kepala penderita terbentur trotoar
tanpa helm karena terlepas. Setelah mengalami kecelakaan, kedua mata pasien
bengkak. Pasien juga mengalami perdarahan (mimisan) pada kedua hidung, dan
mengalami muntah-muntah. Sebelumnya tidak pernah mengalami hal seperti ini.

17
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya penurunan kesadaran (GCS=10)
epistaksis, oedem palpebral, hematemesis, dan akral dingin pada extremitas inferior,
tanda-tanda vital dalam batas normal. Hal ini menunjukkan bahwa pasien terjadi
cedera kepala sedang curiga perdarahan intra cranial dan fraktur cranial dan fraktur
facial.

Pada pemeriksaan radiologi pada foto CT scan didapatkan Sulci fisura dan
cysterna tampak sempit, tampak lesi hiperdens biconveks di region frontalis kanan,
tampak lesi hiperdens intra sulci dan intra cysterna, tampak air buble multiple
intracranial, tampak lesi hiperdens intra sulci dan intra cysterna, tampak air buble
multiple intracranial, , tampak diskontinuitas os. Frontalis kanan-kiri, tampak
diskontinuitas os. Nasal, tampak diskontinuitas os. Sphenoid wing kanan, tampak
diskontinuitas os. Sphenoid kiri. Pada potongan SPN : tampak air fluid level di sinus
maxillaries kanan-kiri, sinus ethmoid kanan-kiri, sinus frontalis kanan-kiri dan sinus
sphenoid kanan-kiri. Tampak Subgaleal hematomregio frontalis kanan-kiri dan regio
parietooccipital kiri. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perdarahan epidural di regio
rontalis kanan, Contusio haemorrhage di lobus frontalis kanan, Perdarahan
subarachnoid, Tampak pneumocephalus, Fraktur os.frontalis kana n-kiri, Fraktur os.
Nasal, fraktur sphenoid wing kanan dan fraktur os. Sphenoid kiri, Gambaran
hematosinus di sinus maksilaris kanan-kiri, sinus frontalis kanan-kiri, sinus ethmoid
kanan-kiri dan sinus sphenoid kanan-kiri, Gambaran subgaleal hematom regio
frontalis kanan-kiri dan regiio parietooccipital kiri.

Pada perdarahan intraserebral (ICH/PIS) adalah perdarahan kedalam parenkim


otak yang dapat meluas kedalam ventrikel, dan pada keadaan jarang dapat meluas
kedalam ruang subarachnoid. perdarahan intraserebral dibagi menjadi PIS primer dan
PIS sekunder. PIS primer (PIS spontan) ditimbulkan oleh adanya ruptur spontan dari
pembuluh darah berukuran kecil yang mengalami kerusakan oleh hipertensi kronis
atau angiopati amyloid. PIS sekunder dialami pada sebahagian kecil penderita yang
ditimbulkan oleh adanya abnormalitas vascular, seperti arteriovenous malformation,
aneurisma , tumor, atau gangguan koagulasi. Penyebab ICH/PIS dapat disebabkan
oleh hipertensi, penggunaan alkohol, factor genetic, usia tua, aneurisma, trauma
kepala, kejadian spontan.

18
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari
lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tengkorak , durameter,
vaskuler otak, sampai jaringan otak sendiri. Baik berupa luka tertutup, maupun trauma
tembus. Trauma dapat mengakibatkan terjadinya keretakan tulang, fraktur multiple,
atau kominutiva tengkorak atau dasar tulang tengkorak. Biasanya koma atau defisit
neurologik yang khas belum muncul, kecuali bila deformasi tengkorak hebat sekali
sehingga menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan otak. Komplikasi kejadian ini
dapat berupa hematom intrakranial, yang dapat menjadikan penderita cedera kepala
derajat ringan dalam waktu yang singkat masuk dalam suatu keadan yang gawat dan
mengancam jiwanya. PIS umumnya dijumpai pada lobus serebral, ganglia basalis,
thalamus, batang otak (predominan pada pons), dan serebellum. Adanya perluasan
perdarahan kedalam ventrikel dijumpai pada hematom berukuran besar.

Penderita dengan hematom berukuran besar umumnya mengalami penurunan


tingkat kesadaran sebagai akibat dari meningkatnya tekanan intrakranial dan adanya
kompresi langsung atau distorsi terhadap thalamic dan brain-stem reticular activating
system.

BAB V

KESIMPULAN

Dari pembahasan laporan kasus pasien tersebut dapat disimpulkan bahwa


pasien dengan diagnosis sementara CKS, ICH lobus frontalis, fracture multiple os
frontalis, os. Maxillaris, os zygomaticus dan os. nasal memiliki gambaran radiologi
CT-Scan perdarahan epidural di regio rontalis kanan, Contusio haemorrhage di lobus
frontalis kanan, Perdarahan subarachnoid, Tampak pneumocephalus, Fraktur
os.frontalis kana n-kiri, Fraktur os. Nasal, fraktur sphenoid wing kanan dan fraktur os.

19
Sphenoid kiri, Gambaran hematosinus di sinus maksilaris kanan-kiri, sinus frontalis
kanan-kiri, sinus ethmoid kanan-kiri dan sinus sphenoid kanan-kiri, Gambaran
subgaleal hematom regio frontalis kanan-kiri dan regiio parietooccipital kiri.

DAFTAR PUSTAKA

Hemphill JC. Hospital usage on DoNo Resucitate Orders and outcome after
intracerebral hemorrhage.Stroke 2007; 35: 1130 4

Ariesen MJ. Risk factors for intraberebral hemorrhage in general population: A


systemic review.Stroke2009;34: 2060 5

Ohwaki K, et al. Blood Pressure management


inacuteintracerebral hemorrhage: Relationship between elevated blood pressure and
hematoma enlargement .Stroke 2009; 35: 1364 7

20
Foulkes MA, Wolf PA, Price TR, Mohr JP, Hier DB. The Stroke Data Bank:
design, methods, and baseline characteristics. Stroke 2009;19:547-554

Catto AJ, Kohler HP, Bannan S, Stickland M, Carter A, Grant PJ. Factor XIII
Val 34 Leu: a novel association with primary intracerebral hemorrhage. Stroke
2006;29:813-816

Morris JH. The nervous system: In: Cotran RS, Kumar V, Robbin SL, eds.
Pathologic basis of disease. 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders, 2007:1385-450.

Takebayashi S, Kaneko M. Electron microscopic studies of ruptured arteries in


hypertensive intracerebral hemorrhage. Stroke 2008;14:28-36

Kaneko, K.T, Yokoyama, T.E. surgical treatment for hypertensive intracerebral


hemorrhage in Japan . Neurosurgery 2008;46:579 83

Herbstein DS, Scaumburg HH.Hypertensive Intracerebral Hematoma.Arch


Neurol 2009; 30:412-414.

Luyendijk W. Intracerebral hemorrhage. In: Vinken FG, Bruyn GW, editors.


Handbook of Clinical Neurology.NewYork : Elsevier ; 2006; 660-719

Jennet Bryan: 2007; Outcome after severe head injury, Peter Reilly, Ross
Bullock (ed)head injury, London, UK, Chapman and Hall.

Teasdale G.M ,Galbrath S.2009, head injuries, Rob & Smith's (ed) Operative
surgery,London.
Wada, R., Aviv, RI., Fox, AJ., et al. CT Angiography Spot Sign Predicts
Hematoma Expansion in Acute Intracerebral Hemorrhage. Stroke. 2007;
38(4):125762.
Zucarrelo, M, 2013, Intracerebral Hemorraghe, Mayfield Clinic. University of
Cincinnati Departement of Neurosurgery.

21
22

Anda mungkin juga menyukai