Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN PERITONITIS

1. DEFINISI

Definisi Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang merupakan komplikasi


berbahaya akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (apendiksitis,
pankreatitis, dan lain-lain) ruptur saluran cerna dan luka tembus abdomen (Padila,
2012). Peritonitis adalah inflamasi peritoneum dan mungkin disebabkan oleh bakteri
(misalnya dari perforasi usus) atau akibat pelepasan iritan kimiawi, misalnya empedu,
asam lambung, atau enzim pancreas (Brooker, 2009). Peritonitis adalah suatu keadaan
yang mengancam jiwa yang sering bersamaan dengan kondisi bakteremia dan sindroma
sepsis (Dahlan.M, 2004). Dapat di simpulkan bahwa peritonitis merupakan peradangan
pada area peritoneum yang merupakan akibat infeksi bakteri baik langsung maupun
tidak langsung atau akibat iritan kimiawi dalam sistem pencernaan yang menyebabkan
inflamasi serta dapat mengancam jiwa.

2. KLASIFIKASI
Klasifikasi infeksi peritonitis ditijau dari penyebabnya terbagi menjadi :
a. Penyebab primer (peritonitis spontan)
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya
bersifat monomikrobial, biasanya E.coli, Streptococus atau Pneumococus. Peritonitis
primer biasanya disebabkan oleh penyakit hati. Cairan menumpuk di perut,
menciptakan lingkungan yang utama untuk pertumbuhan bakteri. Peritonitis bakterial
primer dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Spesifik : misalnya Tuberculosis
2. Non spesifik : misalnya Pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.

Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi
adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosi hepatis dengan asites.

b. Penyebab sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ visceral)

Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi


gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides,
dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Peritonitis
sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi, disebabkan oleh perforasi
atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri
rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab asalnya.
Berbeda dengan Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP), peritonitis sekunder lebih
banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas.

c. Penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat).

Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah


mendapatkan terapi Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) atau peritonitis
sekunder yang adekuat, sering bukan berasal dari kelainan organ. Pasien dengan
peritonitis tersier biasanya timbul abses atau flegmon, dengan atau tanpa fistula.
Peritonitis tersier timbul lebih sering ada pasien dengan kondisi komorbid
sebelumnya dan pada pasien yang imunokompromais.

3. FAKTOR RESIKO
Faktor Resiko Peritonitis (Smeltzer et al, 2010):
a. Faktor Internal
Infeksi bakteri (bakteri yang paling umum terlibat adalah Escherichia coli,
Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, dan Streptococcus)
Organisme dari yang berasal dari saluran pencernaan
Organisme dari organ reproduksi internal pada wanita misalnya tuba fallopi
Karena infeksi pada saluran pencernaan seperti : apendisitis, ulkus perforasi,
divertikulitis, dan perforasi usus
Keganasan intraabdomen
Imunosupresi
Splenektomi
Limpa merupakan organ limfoid terbesar dalam tubuh, mengandung 25%
limfosit T dan10-15 % limfosit B dari jumlah total populasi. Limpa sebagai
respon imun nospesifik berfungsi menghilangkan pathogen dalam darah
seperti bakteri dan virus. Limpa juga sebagai respon imun spesifik
memproduksi antibody, sel plasma, sel memori sebagai responnya terhadap
antigen yang terjebak di peri arteriolar limfoid sheath.
b. Faktor Eksternal
Cedera atau trauma (misalnya: luka tembak, luka tusuk)
Peradangan yang meluas dari organ luar daerah peritoneal, seperti ginjal
Prosedur bedah perut dan dialisis peritoneal
Malnutrisi
c. Faktor penyakit yang menyertai
Sindrom nefrotik
Gagal ginjal kronik
Lupus eritematosus sistemik
Sirosis hepatis dengan asites.

Pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik. Akibat asites akan terjadi
kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi
bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-
kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia

4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis pada peritonitis tergantung pada luas peradangan dan lokasi
terjadinya peradangan. Berikut beberapa manifestasi klinis dari peritonitis (Smeltzer,
2010)
a. Nyeri abdomen yang menyebar, tumpul, tidak terlalu jelas semakin nyeri dan
jelas lokasinya pada area yang terinfeksi
b. Bagian perut yang terkena menjadi sangat lembut, kembung, buncit, dan otot-otot
menjadi kaku karena iritasi peritoneum.
c. Rebound tenderness dan ileus paralitik
d. Anoreksia, mual, muntah dan menurunnya peristaltic usus
e. Demam tinggi degan suhu tubuh 37,5 C 38,3 C
f. Peningkatan denyut nadi (takikardi)
g. Hipotensi
h. Wajah pasien pucat, mata cekung, kulit wajah dingin.
i. Dehidrasi

5. PATOFISIOLOGI

paparan bakteri pada Infeksi akut atau paparan bakteri pada trauma penetrasi
cavum peritoneum perforasi tractus GI cavum peritoneum
Menyebar ke peritoneum

aktivasi magrofag yang berperan pada proses inflamasi

mengaktifkan neutrofil dan PNM

mengaktifkan sitokinin: IL 1, II 6 TNF, Leukosit, dan lain lain

inflamasi local pada cavum abdomen

terbentuk benang fibrin

memblok reabsorbsi cairan menjerat bakteri


Inflamasi pada peritoneum

(PERITONITIS) mengaktifkan neutrofil


depolarisasi bakteri bakteri mengeluarkan pelepasan permeabilitas membrane dan magrofag
dan virus ke sistem GI toxio mediator kimiawi kapiler meningkat dan
(histamine, bocor merangsang pirogen di
gangguan lambung menghambat plexux bradikinin.IL) hipotalamus
(meningkat HCl myentrikus akumulasi cairan di
merangsang saraf rongga peritoneum memicu engeluaran
Reaksi mual dan ileus paralitik nyeri prostalglandin
air pada asites
Reaksimuntah
mual dan malabsorbsi Peningkatan tekanan dehidrasi
memacu kerja
usus
colon meregang
dan makanan nyeri
intra abdomen
muntah
kehilangan sejumlah thermostat hipotalamus
malabsorbsi air pada
ketidak seimbangan penekanan diafragma cairan
colon dan makanan hipertermi
mual nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh sulit bernafas dehidrasi

ketidakefektifan pola
nafas

Resiko kekurangan
tindakan oprative
volume cairan
kerkusakan intergritas
jaringan
kurang mengetahui
perawatan luka prosedur pembedahan

perawatan luka kurang kawatir dengan rasa sakit
inadekuat dan kondisinya

resiko infeksi ansietas

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik pada penderita peritonitis dengan cara test laboratorium.
Test yang dapat dilakukan di antaranya :

a. Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi
dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat :
1. Hematokrit meningkat
2. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien
peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
3. X. Ray
b. Tes X Ray Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
2. Usus halus dan usus besar dilatasi.
3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi
c. Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan
penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen
akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
1. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior.
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal
proyeksi anteroposterior.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat


mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset
dan film ukuran 35x43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya
gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi
didapatkan gambaran radiologis antara lain:

a. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal
daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan
(Herring bone appearance).
b. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi
usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air
fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-
panjang kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh
adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
c. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh
adanya air fluid level dan step ladder appearance.
7. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis antara lain:
a. Syok septic
Syok septik adalah penurunan tekanan darah yang berpotensi mematikan
karena adanya bakteri dalam darah. Syok septik adalah konsekuensi dari
bakteremia, atau bakteri dalam aliran darah. Racun bakteri, dan respon sistem
kekebalan tubuh terhadap mereka, menyebabkan penurunan dramatis tekanan
darah yang mencegah pengiriman darah ke organ-organ. Syok septik dapat
menyebabkan kegagalan organ multipel termasuk kegagalan pernapasan, dan
dapat menyebabkan kematian cepat.
b. Abses intrabdominal
Abses intraabdominal merupakan kata-kata yang telah digunakan sebagai
sinonim dari peritonitis sekunder. Kata dari abses ditandai dengan struktur yang
terbatas dan ditutupi (walled off) oleh sebuah dinding inflamatori dan memiliki
sebuah interior berongga.
c. Perlengketan intraperitoneal
Perlengketan fibrosa (jaringan ikat) yang abnormal diantara permukaan
peritoneum yang berdekatan, baik antara peritoneum viserale, maupun antara
peritoneum visceral dengan parietal. atau dapat juga terjadi perlengketan
diantara organ organ intraperitoneum, baik antara usus yang berdekatan
maupun perlengketan antara usus dengan dinding abdomen.
d. Peritonitis berulang
Kondisi inflamasi yang terjadi pada peritoneum dan terjadi secara berulang.
8. PENATALAKSANAAN
Menurut (Doherty, 2006) Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain
pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian
antibiotik sistemik, sebagai berikut :

a. Penanganan Preoperatif
1. Resusitasi Cairan

Peradangan secara menyeluruh pada membran peritoneum


menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum
dan ruang intersisial (Doherty, 2006 dalam Schwartz et al, 2000). Dengan
adanya masalah tersebut pengembalian volume dalam jumlah yang cukup
besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin
tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat
penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells)
atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk
mengganti cairan yang hilang.

2. Antibiotik

Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi


bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus,
sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp,
Clostridium, Peptostreptococci.

Antibiotik berperan penting dalam terapi peritonitis dimana pemberian


antibiotik secara empiris harus dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur,
diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat
tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan
penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan
antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil
dari uji sensitivitas.

Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram


harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika
dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Pada penderita yang sensitif
terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral
lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi. Pemberian
antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung
sel darah putih yang normal.

3. Oksigen dan Ventilator


Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada
peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari
metabolisme tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi
paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi
ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai
dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, hipoksemia
yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, adanya nafas yang cepat
dan dangkal.

4. Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik

Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari


abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi
jumlah udara pada usus, pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari
kandung kemih dan pengeluaran urin, tanda-tanda vital (temperature,
tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam.
Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa
darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Doherty, 2006 dalam Schwartz
et al, 2000).

b. Penanganan Operatif

Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya


dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini
berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau
dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang
didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari
cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung
dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen
(Doherty, 2006 dalam Schwartz et al, 2000).

1. Kontrol Sepsis

Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk


menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi
penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada
peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang
terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik
atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Penyakit primer diobati, dan
mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung
empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut).
Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun
anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum.
2. Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3


liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin,
serta bakteri. Penambahan antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna
bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-
iodine). Antibiotik yang diberikan secara parenteral akan mencapai level
bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada
pemberian bersama lavage. Apalagi lavage dengan menggunakan
aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi
karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction.
Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus
diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan
melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri.

3. Peritoneal Drainage

Penggunaan drain sangat penting untuk abses intraabdominal dan


peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase
yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat
menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak
dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya
abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada
kontaminasi lanjutan.

9. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
- Identitas: Nama pasien, Umur, Jenis kelamin, Suku /Bangsa, Pendidikan,
Pekerjaan dan Alamat
- Keluhan utama: Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di
bagian perut sebelah kanan dan menjalar ke pinggang.
- Riwayat Penyakit Sekarang: Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan
peradangan iskemia, peritoneal diawali terkontaminasi material, sindrom nefrotik,
gagal ginjal kronik, lupus eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites.
- Riwayat Penyakit Dahulu: Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran
cerna, komplikasi post operasi, operasi yang tidak steril dan akibat pembedahan,
trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.
- Riwayat Penyakit Keluarga: Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun
jika peritonitis ini disebabkan oleh bakterial primer, seperti: Tubercolosis. Maka
kemungkinan diturunkan ada.
- Pemeriksaan Fisik
a. Sistem pernafasan (B1): Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea,
retraksi otot bantu pernafasan serta menggunakan otot bantu pernafasan.
b. Sistem kardiovaskuler (B2): Klien mengalami takikardi karena mediator
inflamasi dan hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit. Didapatkan
irama jantung irregular akibat pasien syok (neurogenik, hipovolemik atau
septik), akral : dingin, basah, dan pucat.
c. Sistem Persarafan (B3): Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan
pada otak namun hanya mengalami penurunan kesadaran.
d. Sistem Perkemihan (B4): Terjadi penurunan produksi urin.
e. Sistem Pencernaan (B5): Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit
dapat muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau
secara sekunder akibat iritasi peritoneal. Selain itu terjadi distensi abdomen,
bising usus menurun, dan gerakan peristaltic usus turun (<12x/menit).
f. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6): Penderita peritonitis mengalami
letih, sulit berjalan, nyeri perut dengan aktivitas. Kemampuan pergerakan
sendi terbatas, kekuatan otot mengalami kelelahan, dan turgor kulit menurun
akibat kekurangan volume cairan.
- Pengkajian Psikososial: Interaksi sosial menurun terkait dengan keikutsertaan
pada aktivitas sosial yang sering dilakukan.
- Personal Hygiene: Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.
- Pengkajian Spiritual
- Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan Laboratorium
a. Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra
abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ L) dengan adanya
pergerakan ke bentuk immatur pada differential cell count. Namun pada
pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa tipe
infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan
atau malah leucopenia
b. PT, PTT dan INR
c. Test fungsi hati jika diindikasikan
d. Amilase dan lipase jika adanya dugaan pancreatitis
e. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti
pyelonephritis, renal stone disease)
f. Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari pH
dan glukosa yang rendah serta peningkatan protein dan nilai LDH
- Pemeriksaan Radiologi
- USG
- CT Scan
- MRI
- Air fluid level.
- Herring bone appearance.
- X. Ray
b. Diagnosa Keperawatan
- Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.
- Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
- Ketidakseimbangan Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia dan muntah.
- Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
volume cairan aktif.
- Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder
distensi abdomen dan menghindari nyeri.
- Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
c. Rencana Asuhan Keperawatan
- Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.
NIC : Pain Management
- Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
NIC: infection control, Infecton Protection
- Ketidakseimbangan Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia dan muntah.
NIC: Nutrition Management
- Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif.
NIC: Fluid Management, Fluid Monitoring
- Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder
distensi abdomen dan menghindari nyeri.
NIC: Airway Management, Oxygen Therapy, Respiratory Monitoring
- Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
NIC : Pengurangan Kecemasan, Monitoring TTV

Anda mungkin juga menyukai