Anda di halaman 1dari 14

Implementasi Peraturan Walikota Malang

Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Tarif Angkot


Sumber : http://enchancersnote.blogspot.com/2017/01/implementasi-peraturan-walikota-
malang.html diakses Sabtu 5 Agustu s2017

A. PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG

Malang merupakan salah satu kota besar yang memiliki intensitas kesibukan yang cukup

tinggi. Hal itu dibuktikan dengan adanya banyak mahasiswa yang datang dari luar kota. Bukan hanya

aktivitas akademik saja, melainkan juga aktivitas-aktivitas lain yang menunjang ekonomi di Malang.

Untuk mendukung aktivitas tersebut dibutuhkan transportasi umum, terutama bagi masyarakat yang

tidak menggunakan transportasi pribadi.

Dalam rangka terciptanya keamanan, keselamatan dan kenyamanan di bidang transportasi di

Kota Malang, pemerintah menyediakan salah satu transportasi umum yaitu angkutan. Seperti yang

tertera dalam Peraturan Walikota Kota Malang Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan

Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Bermotor Umum yang berbunyi Jaringan Transportasi

Jalan adalah serangkaian simpul dan/atau ruang kegiatan yang dihubungkan oleh ruang lalu

lintas sehingga membentuk satu kesatuan sistem jaringan untuk keperluan penyelenggaraan lalu-

lintas dan angkutan jalan. Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu

tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan. Lalu Lintas

adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan. Kendaraan Umum adalah setiap

kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan dipungut bayaran baik

langsung maupun tidak langsung.1[1]

1[1] Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang
di Jalan dengan Kendaraan Bermotor Umum
Salah satu kebijakan pemerintah Kota Malang dalam menentukan kendaraan umum adalah

mengenai tarif angkutan. Untuk menindaklanjuti hasil rapat Forum Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan

Kota Malang dan perwakilan pemilik angkutan kota tanggal 23 Januari 2015 dalam rangka membahas

penyesuaian tarip angkutan kota berdasarkan perubahan harga bahan bakar minyak, menyesuaikan

Peraturan Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Tarip Angkutan Dalam Peraturan Walikota

Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Malang Nomor 24 Tahun

2013 Tentang Tarip Angkutan.

Seperti yang terdapat dalam pasal 1 yang berbunyi bahwa beberapa ketentuan dalam

Peraturan Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Tarif Angkutan, diubah sebagai berikut:

Tarip Angkutan Kota di Daerah untuk jenis kendaraan angkutan kota dan untuk semua jalur trayek

dengan ketentuan harga premium Rp. 6.000 (enam ribu rupiah) sampai dengan Rp. 8.000 (delapan

ribu rupiah) ditetapkan sebagai berikut; (a) antar Terminal dan atau jauh dekat bagi penumpang bukan

mahasiswa atau pelajar sebesar Rp. 3.500,00 (tiga ribu lima ratus rupiah); (b) antar Terminal dan atau

jauh dekat bagi penumpang pelajar berseragam atau mahasiswa sebesar Rp. 2.000,00 (dua ribu

rupiah).2[2]

Namun dalam praktik di lapangan, banyak sekali ditemui praktik-praktik tidak sesuai dengan

peraturan tersebut yang dilakukan oleh sebagian besar sopir. Banyak di antara mereka yang

menaikkan harga angkutan secara sepihak. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui akan adanya

hal itu. Biasanya oknum ini beraksi ketika terdapat mahasiswa atau orang yang baru pertama kali

datang ke Malang. Banyak sopir angkutan yang sengaja memeras mereka. Selain menaikkan harga

angkot secara sepihak, mereka juga terkadang memaksa dengan harga sekian. Sebagian besar sopir

angkot mengatakan tidak ada uang , bahkan ada yang mengatakan harga 3500,- sangat murah dan

tidak sebanding dengan jarak yang ditempuh.

Dari paparan di atas, akan dibahas mengenai maraknya sopir angkot yang berbuat curang dan

tidak menaati peraturan dari Peraturan Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Tarip

2[2] Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota
Malang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Tarip Angkutan
Angkutan Dalam Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Tarip Angkutan.

2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana implementasi dari Peraturan Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Tarip

Angkutan Dalam Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Tarip Angkutan.


2. Mengapa terjadinya praktik yang tidak sesuai dengan Peraturan Walikota Malang Nomor 24 Tahun

2013 tentang Tarip Angkutan Dalam Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Tarip Angkutan
B. KAJIAN PUSTAKA
1. Teori Implementasi Hukum

Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga unsur dalam sistem hukum, yaitu: 3[3] Pertama,

sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu

berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu

lainnya. Struktur sistem hukum terdiri dari unsur berikut ini: jumlah dan ukuran pengadilan,

yurisdiksinya (yaitu, jenis perkara yang diperiksa, dan bagaimana serta mengapa) dan cara naik

banding dari satu pengadilan ke pengadilan lain.

Aspek lain sistem hukum adalah substansinya. Yaitu aturan, norma, dan pola prilaku nyata

manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang

yang berada dalam sistem hukum itu atau suatu keputusan yang dikeluarkan. Penekannya di sini

terletak pada hukum hukum yang hidup (Living law) , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum

(law books).

Komponen ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum. Yaitu sikap manusia terhadap

hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain budaya

hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan social yang menentukan bagaimana hukum

digunakan, dihindari atau disalah gunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan

berdaya seperti ikan yang mati terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di

3[3] Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah
Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Penerbit PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hal 7
lautnya. Friedman mengibaratkan sistem hukum itu seperti struktur hukum seperti mesin.

Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja

atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan

bagaimana mesin itu digunakan.4[4]


2. Sistem Penetapan Tarif Angkot

Sistem penerapan tarif adalah cara pengenaan tarif pada penumpang. Cara yang dipakai akan

memegang peranan penting dalam pengolahan angkutan umum agar nilai tarif yang sudah ditetapkan

dapat memberikan keadilan bagi semua pengguna dan dapat menggerakkan lalu lintas dengan lancar.

Secara umum, menjelaskan tarif angkutan adalah suatu daftar yang memuat harga-harga untuk

pemakai jasa angkutan yang disusun secara teratur dan dihitung menurut kemampuan angkutan. Tarif

operasional ialah tarif angkutan dimana terdapat perbedaan tarif menurut jarak kecepatan, atau sifat

khusus dari muatan yang diangkut, sedangkan dalam melakukan penetapan besar nilai tarif didasari

oleh dua nilai pokok yaitu:5[5]

a. Biaya penyedia angkutan umum,


b. Keuntungan atau laba yang diinginkan.

Secara umum sistem penerapan tarif digolongkan menjadi:

a) Sistem flat atau rata, yaitu sistem yang menetapkan tarif untuk seluruh penumpang dan semua jarak.
b) Sistem mileage basis atau berdasarkan jarak, yaitu sistem menetapkan tarif yang berbeda-beda untuk

masing-masing penumpang sesuai dengan jauhnya jarak perjalanan.


c) Sistem group rates, merupakan gabungan dari flat dan mileage basis, yaitu sistem tarif angkutan yang

berdasarkan pada asal dan tujuan penumpang.


d) Sistem tapering rates yaitu sistem dengan mileage basis atau berdasarkan jarak tetapi pertambahan

tarif tidak proforsional dengan perubahan jarak. Semakin jauh jarak perjalanan, maka pertambahan

tarif akan kecil. Sistem ini sangat tepat digunakan untuk perjalanan jarak jauh dengan banyak transit

dengan kata lain diberikan harga khusus untuk perjalanan langsung dan menerus.

4[4] Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition, h. 7

5[5] Kiky Rizky Ananda, Pemberlakuan Tarif Angkutan Umum Perdesaan Bagi Pengguna Jasa Angkutan
Umum Menurut Peraturan Daerah No. 27 Tahun 2013 dan Maslahah Mursalah, (Malang: UIN Malang, 2016)
h. 37
e) Sistem tarif berdasarkan status penumpang dalam hal ini tarif dibedakan sesuai dengan status

penumpang, sehingga ada kelompok penumpang dengan tariff berbeda. Pembagian kelompok ini

dapat berdasarkan usia, status dan lain-lain, misalnya pelajar dan non pelajar.
Sistem pembedaan tarif sesuai dengan waktu, yaitu pembedaan berdasarkan jumlah

penumpang pada waktu bersangkutan. Keberhasilan pembadan tariff sistem ini sangat bergantung

dari elastisitas perjalanan yaitu perubahan jumlah penumpang jika ada perubahan tarif atau ada

perubahan biaya total. Elastisitas dan keberhasilan penetapan tarif dengan pembedaan ini sangat

ditentukan oleh jumlah penumpang dan harga tiket awal. 6[6]


3. Wewenang Membuat Peraturan Daerah
Berdasarkan konstitusi serta peraturan perundang-undangan lembaga yang berwenang dalam

pembentukan perundang-undang adalah:7[7]


a) Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama-sama dan dengan persetujuan Presiden. Sementara yang

berhak mengajukan usul rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Pemerintah, dan DPD.
b) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD dan Kepala Pemerintah yang membentuk peraturan

daerah yang berhak mengajukan usul rancangan peraturan daerah.

Landasan Kewenangan membuat undang-undang dijabarkan dalam peraturan perundang-

undangan antara lain:

1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.


2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
3) UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan

Dewan Perwakilan Daerah.

Hak mengajukan usul penyusunan peraturan perundang-undangan dapat diajukan oleh

eksekutif dan legeslatif. Oleh karena itu, pejabat berwenang dari lembaga/instansi eksekutif dan

legislative lah yang berhak untuk mengajukan rancangan peraturan dimaksud dengan menggunakan

pintu masing-masing.8[8]

4. Materi Muatan dan Pembentukan Perda


Undang-undang mengatur beberapa prinsip mengenai Perda sebagai berikut:

6[6] Kiky Rizky Ananda, Pemberlakuan Tarif Angkutan Umum Perdesaan, h. 8

7[7] Nukila Evanti dan Nurul Ghufron, Paham Peraturan Daerah (PERDA) Berperspektif HAM (Hak
Asasi Manusia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2014) h. 29

8[8] Nukila Evanti dan Nurul Ghufron, Paham Peraturan Daerah (PERDA), h. 29
1. Kepala Daerah menetapkan Perda dengan Persetujuan DPRD
2. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas penbantuan dan penjabaran lebih lanjut

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.


3. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perda lain, atau peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.


4. Perda dapat memuat ketentuan beban biaya paksaan penegakan hukum, atau pidana kurungan paling

lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima juta rupiah.


5. Keputusan Kepala Daerah ditetapakan untuk melaksanakan Perda
6. Perda dan keputusan kepala daerah yang mengatur, dimuat dalam lembaran daerah.
7. Perda dapat menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik penyelenggaraan Perda (PPNS Perda dan

Keputusan Kepala Daerah)9[9]


5. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis empiris yang dengan kata lain adalah

jenis penelitian hukum sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan, yaitu

mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya di masyarakat.

Atau suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi

di masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan menemukan fakta-fakta dan data yang

dibutuhkan, setelah data yang dibutuhkan terkumpul kemudian menuju kepada identifikasi

masalah yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah. 10[10]

Disebut penelitian Empiris, karena hendak mengetahui alasan bahwa mengapa sebagian

besar sopir angkot tidak menaati Peraturan Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Tarip

Angkutan Dalam Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Tarip Angkutan. Untuk mengetahui pandangan

mereka tentang peraturan tersebut.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini menggunakan pendekataan kualitatif.

Pendekatan kualitatif ialah prosedur penelitian yang menghasilkan data yang deskriptif, yang

9[9] Nimatul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media, 2010) h. 205

10[10] Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.15
bersumber dari tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang dapat di observasi oleh manusia.

Menggunakan pendekatan kualitatif karena data-data yang akan didapatkan oleh peneliti bersumber

dari ungkapan yang dapat diobservasi dari informan yaitu pembuat peraturan tarif angkot Kota

Malang, sopir angkot, dan penumpang.

Mengenai tingkah laku mereka, peneliti akan mendapatkan data-data dari ungkapan infroman

di atas melalui wawancara mengapa mereka menetapkan tarif angkutan yang tidak sesuai dengan

peraturan yang ada. Sesuai dengan landasan pada pendekatan kualitatif yaitu lebih menekankan

pada pola tingkah laku manusia, yang dilihat dari frame of referencesi pelaku itu sendiri, jadi

individu sebagai actor sentral perlu dipahami dan merupakan satuan analis serta menempatkannya

sebagai bagian dari suatu keseluruhan.11[11]

3. Analisis

Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deskriptif yaitu memaparkan permasalahan

yang dihadapi atau penelitian yang memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau

kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi. 12[12] Dalam hal ini mengolah bahan

hukum dengan melakukan telaah bahan kepustakaan bahan hukum sekunder yang meliputi bahan

hukum primer13[13] dan bahan hukum sekunder14[14] yang berkaitan dengan analisis yuridis

normative terkait implementasi perwali Malang. Peneliti menyajikan secara Deskriptif, yakni dengan

menggambarkan suatu keadaan yang terkait dengan implementasi peraturan mengenai tariff angkot

yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada.

6. PAPARAN DAN ANALISIS


1. Implementasi Hukum

11[11] Burhan Ashshofa, Metode penelitian hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 15

12[12] Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta, Indonesia:Gramedia, 1993)


h. 89

13[13] Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) h. 47

14[14] Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h. 54


Angkutan umum merupakan salah satu transportasi di Malang yang sering banyak

digunakan. Manfaat dari transportasi ini tentu sangat banyak. Di antaranya guna membantu aktivitas-

aktivitas di Kota Malang, baik aktivitas akademik, ekonomi dan sosial. Angkutan umum ini menjadi

pilihan untuk mengatasi meningkatnya kebutuhan masyarakat akan transportasi.


Salah satu kebijakan pemerintah Kota Malang dalam menentukan kendaraan umum adalah

mengenai tarif angkutan. Berdasarkan pasal 2 ayat (1) dalam peraturan tersebut yang berbunyi,

Tarip Angkutan Kota di Daerah untuk jenis kendaraan angkutan kota dan untuk semua jalur
trayek dengan ketentuan harga premium Rp. 6.000 (enam ribu rupiah) sampai dengan Rp. 8.000
(delapan ribu rupiah) ditetapkan sebagai berikut; (a) antar Terminal dan atau jauh dekat bagi
penumpang bukan mahasiswa atau pelajar sebesar Rp. 3.500,00 (tiga ribu lima ratus rupiah); (b) antar
Terminal dan atau jauh dekat bagi penumpang pelajar berseragam atau mahasiswa sebesar Rp.
2.000,00 (dua ribu rupiah).15[15]

Namun dalam praktik di lapangan, banyak sekali ditemui praktik-praktik yang tidak sesuai

dengan Peraturan Walikota tersebut. Banyak sekali pelanggaran yang terjadi di lapangan, di antaranya

sopir angkutan umum yang menaikkan harga angkutan secara sepihak, memaksa dengan pembayaran

tariff angkot, memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat, dan lain-lain.


Dalam kasus ini apabila ditinjau dari teori implementasi hukum oleh Lawrence M. Friedman

seperti yang sudah dipaparkan di atas, ada tiga unsur dalam sistem hukum, yaitu: struktur , substansi ,

dan budaya hukum. Struktur berhubungan dengan jenis perkara yang diperiksa, dan bagaimana serta

mengapa) dan cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lain. Aspek lainnya adalah

substansi yang berkenaan dengan aturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam

system, sedangkan dari aspek budaya berkenaan dengan sikap manusia terhadap hukum dan sistem

hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Agar implementasi hukum dapat

ditegakkan, maka ketiga unsure di atas tidak dapat dipisahkan.


Secara substansi hukum yang mana aturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia yang

berada dalam sistem, tentu saja hal ini telah melanggar Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun

2015 Tentang Tarip Angkutan. Pelanggaran terhadap pasal ini pun sangat beragam. Di antaranya

15[15] Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota
Malang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Tarip Angkutan
adalah banyak di antara mereka yang menaikkan harga angkutan secara sepihak. Begitupun banyak

masyarakat yang tidak mengetahui akan adanya hal itu.


Ada beberapa faktor mengapa banyak masyarakat tidak mengetahui akan hal itu, di antaranya

adalah tidak adanya sosialisasi mengenai harga tarif angkutan, juga banyaknya sopir angkutan yang

sengaja memaksa untuk membayar dengan harga sekian. Bahkan ada pula yang sengaja tidak

mengikuti jalur angkutan yang telah ditentukan, setelah itu sopir angkot menetapkan harga sesuai

dengan kemauan sopir angkot. Biasanya, karena ketidaktahuan masyarakat inilah yang sengaja

dimanfaatkan oleh sopir angkot.


Sebenarnya mengenai sosialisasi harga tarif angkutan sudah tertera di setiap pintu masuk

angkutan. Namun sayangnya banyak sekali dijumpai beberapa angkutan yang menghapus tarif

tersebut. Yang awalnya hanya harga Rp 2000 bagi pelajar, dan Rp 3500 bagi umum, kemudian

dihapus oleh sopir angkutan umum. Bahkan ada yang menghapus tariff tersebut secara menyeluruh

sehingga tidak ada jejak mengenai peraturan yang diberikan oleh Dinas Perhubungan Kota Malang.
Selain itu banyak juga oknum sopir angkutan yang sengaja memaksa penumpang untuk

membayar sekian. Terutama pada salah satu kode angkot yang mengaku jarak dan waktu yang lama

tidak sebanding dengan harga di perwali tersebut. Biasanya oknum ini beraksi ketika terdapat

mahasiswa atau orang yang baru pertama kali datang ke Malang. Banyak sopir angkutan yang sengaja

memeras mereka. Dari tarif umum yang hanya berkisar 3500 rupiah, mereka rata-rata mengambil

harga sekitar 5000 rupiah. Bahkan pada malam hari, juga banyak ditemukan pembayaran yang tidak

wajar. Dari tarif yang bisa dikatakan paling rendah, yakni sekitar 7500 rupiah hingga 15000 rupiah.

Bahkan juga terkadang apabila dalam keadaan sepi, sopir angkot ada yang menggunakan tarif paling

tinggi, yaitu 25000 rupiah.


Menguatkan dari hasil observasi sebelumnya, penulis berhasil mewawancarai beberapa

pengguna angkutan umu. Nia mahasiswa UIN Malang, selaku pengguna angkutan mengaku tidak tahu

tentang peraturan tersebut. Dalam wawancara tersebut, Nia mengatakan, Saya tidak tahu jika

peraturan asli dari Dinas Perhubungan Kota Malang adalah 3500. Selama ini saya membayar dengan

harga 4000,- bahkan saya pernah dipaksa membayar 5000,- ketika naik AL. Alasannya karena tidak

ada kembalian.16[16] Namun Qolbi, salah satu mahasiswa Universitas Negeri Malang yang juga

sering menggunakan angkutan umum, mengaku bahwa ia lebih sering membayar angkot sesuai

16[16] Wawancara dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2016


dengan peraturan yang ada, Saya sendiri bayar angkot sesuai dengan peraturan yang ada, yaitu

3500,-. Itupun harus dilihat-lihat dulu bapak sopirnya. Kalau enakan, biasanya bayar segitu. Kalo

enggak, terpaksa bayar 4000,-. Sebagian besar sopir angkot tidak mempermasalahkan itu. 17[17]
Menelisik secara lebih lanjut mengenai teori Lawrence M Friedman, aspek kedua dari teori

tersebut adalah structural. Pada aspek kedua ini berhubungan dengan struktur sistem hukum yang

terdiri dari unsur berikut; jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (yaitu, jenis perkara yang

diperiksa, dan bagaimana serta mengapa) dan cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan

lain. Namun dalam kasus pelanggaran ini, struktur hukum ini hanya melibatkan Dinas Perhubungan

Kota Malang selaku penyusun dan pelaksana kebijakan daerah di bidang perhubungan.
Dinas Perhubungan kota Malang selaku bagian dari struktur hukum memiliki banyak fungsi

demi tegaknya hukum yang ada, tugas dan fungsi Dishub Malang dalam bidang angkutan sendiri di

antaranya; Perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis di bidang perhubungan; Penyusunan dan

pelaksanaan Rencana Strategis dan Rencana Kerja di bidang perhubungan; Penyusunan dan penetapan

rencana teknis jaringan transportasi; Pemantauan dan pengawasan transportasi jalan dan

kebandarudaraan; Pelaksanaan kegiatan bidang pemungutan retribusi; Pengelolaan pengaduan

masyarakat di bidang perhubungan.18[18]


Dinas Perhubungan Malang selaku pelaksana kebijakan pemerintah dalam bidang

perhubungan mengaku telah mengetahui adanya praktik-praktik yang tidak sesuai dengan perwali.

Penulis berhasil wawancara Cahyo Budi Santoso, selaku petugas lapangan di Bidang Angkutan

Umum Dinas Perhubungan Malang, Selaku petugas pelayan publik, kami mengacu pada peraturan

yang ada seperti yang ada di perda ini. Tapi kenyataan yang ada di lapangan, angkutan kota selaku

usaha milik pribadi, kalau ada kejadian seperti itu adalah oknum. Kami tidak bisa memeriksa setiap

angkot. Selama ini juga banyak pengaduan dari masyarakat, tetapi kenyataannya pelaksanaan itu

kurang maksimal. Karena pelaksanaannya di jalan dan dalam keadaan bergerak. 19[19]
Melihat kembali teori tersebut dari aspek kedua yakni struktur hukum, Dinas Perhubungan

kota Malang diberi wewenang untuk menerapkan hukum serta lembaga yang diberi wewenang untuk

17[17] Wawancara dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2016

18[18] Dinas Perhubungan Malang, Tupoksi, http://dishub.malangkota.go.id/tupoksi/, diakses pada


tanggal 12 Desember 2016 pukul 6.34

19[19] Wawancara dilaksanakan tanggal 8 Desember 2016


melakukan penindakan terhadap pihak yang melanggar ketentuan hukum. Dalam wawancara penulis

dengan Cahyo Budi Santoso mengatakan, Hukuman bagi mereka yang melanggar tentu ada.

Sebelum menginjak ke hukuman, pelapor harus benar-benar tahu persis pelaku pelanggaran.

Contohnya catat saja nomor angkot tersebut. Nanti pasti ada tindak lanjut. Lapor saja ke Kantor Dinas

Perhubungan Malang di bidang angkutan. Setelah itu petugas mencari nomor mikrolet yang sudah

diadukan, selama di jalan setelah diserahkan ke bidang angkutan, turun diposisikan bidang penerbitan,

setelah itu langsung ditindak di jalan-jalan.


Setelah kedua unsure tersebut telah terpenuhi, aspek lain yang mendukung terlaksananya

penegakkan sistem hukum adalah budaya hukum. Budaya hukum ini menyangkut sikap manusia

terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata

lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan social yang menentukan bagaimana

hukum digunakan, dihindari atau disalah gunakan. 20[20] Setiap kelompok masyarakat memiliki

budaya hukum, mereka memiliki pandangan yang tidak sama terhadap hukum, yang dipengaruhi oleh

sub culture (SARA, usia, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan bahkan oleh kepentingan-

kepentingan)21[21]
Dalam mengimplementasikan teori di atas, dapat dikatakan bahwa budaya hukum yang

terdapat kasus ini adalah sikap manusia yang mengindikasikan rendahnya kesadaran dan kepatuhan

hukum yang ada. Banyaknya pelanggaran-pelanggaran sopir angkot dinilai sebagai rendahnya

kesadaran hukum. Untuk mengubah budaya hukum yang ada pada masyarakat perlu memahami

adanya nilai-nilai, tradisi, kebiasaan, dan segala sikap dominan. Pemahaman arti hukum dan peraturan

itu sendiri, mengenai penerapan perwali tentang tarif angkutan.


Budaya hukum yang terjadi di masyarakat tidak terlepas dengan kebiasaan yang ada di

masyarakat. Sebagian besar masyarakat pengguna angkutan umum ini telah mengetahui mengenai

peraturan ini. Akibat dari kebiasaan mengiyakan realitas yang ada, akhirnya mendorong para

oknum melanggar peraturan yang ada. Sehingga kesadaran hukum yang ada di masyarakat rendah

dan telah menjadi kebiasaan melanggar hukum yang telah ditetapkan.


2. Alasan Tarif Angkot yang Tidak Sesuai dengan Perwali

20[20] Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition, h. 7

21[21] Abdul Fickar Hadjar dkk, Analisis komparatif Budaya Hukum Profesional Hukum Indonesia,
http://www.reformasihukum.org/ID/file/anggota/Analisis%20komparatif%20Budaya%20Hukum
%20Profesional.pdf diakses pada tanggal 12 Desember 2016
Dalam pembahasan kali ini penulis tidak terlepas dengan masalah budaya hukum. Di mana di

Indonesia sendiri kesadaran hukum masih dirasa sangat rendah. Pelanggaran sudah dianggap hal biasa

orang sebagian besar masyarakat di Indonesia. Padahal budaya hukum inilah aspek yang paling

penting. Karena tanpa adanya budaya hukum, maka system hukum pun akan tumpang.
Ada beberapa alasan mengapa sebagian besar sopir angkot menerapkan tariff angkot yang

tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Penulis berhasil mewawancarai Habib, salah satu sopir

angkot yang mengatakan bahwa, Kebijakan walikota itu tidak adil. Harusnya kenaikan premium,

harus dilihat dari presentase. BBM naiknya berapa, maka kenaikan juga harus sesuai dengan

presentasi. Dengar-dengar,apabila BBM turun 500,- maka tariff angkot juga turun 500,- nah kalau

seandainya BBM turun 6000,- terus 3000,- itu habis. Mengenai penarikan angkot lain saya tidak tahu.

Coba disurvey dengan angkotan lain bahkan ada yang mengambil harga Rp. 10000.
Selain itu penulis juga melaksanakan wawancara dengan salah satu sopir angkot yang tidak

menyebut namanya, Saya tahu peraturan itu, tapi memang kita sengaja bulatkan menjadi 4000,-

karena tidak ada uang receh. Saya sendiri mengikuti peraturan yang ada, hanya saja memang

masyarakat sudah terbiasa dengan harga 4000,-. Masyarakatpun seolah mengiyakan.


Mempertanyakan kesadaran hukum masyarakat pada prinsipnya mempertanyakan juga aspek

penegak hukum. Telaah yang pernah dilakukan oleh Soerjono Soekanto tentang Kesadaran dan

Kepatuhan Hukum di tahun 1982, membuka pintu kajian semakin jelas akan pentingnya keterlibatan

masyarakat dalam mematuhi secara sadar konsepsi hukum yang telah disahkan dan dilaksanakan

secara konsekuen dalam hubungan bermasyarakat. 22[22] Dengan adanya pelanggaran sopir angkot

yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat, tentu saja keterlibatan masyarakat pengguna angkot

dalam melaporkan pelanggaran ini tentu sangat berpengaruh dengan penegakkan hukum di Indonesia,

utamanya di Kota Malang. Dengan kerja sama masyarakat dalam pengaduan masyarakat maka turut

membantu penegakkan tersebut.


C. KESIMPULAN

Dari paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi dari Peraturan Walikota

mengenai tariff angkutan masih terjadi banyak pelanggaran. Peraturan ini sudah dilaksanakan oleh

Dinas Perhubungan kota Malang selaku pelaksana kebijakan di bidang perhubungan. Hanya saja

22[22] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010) h. 105
dalam implementasinya banyak ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh sopir angkot.

Pelanggaran tersebut berupa penarikan tariff secara sepihak dan memaksa.

Hal itu disinyalir karena sebagian masyarakat menerima begitu saja pelanggaran yang ada.

Kurangnya pengaduan dari masyarakat inilah yang menjadikan sopir angkot terbiasa dengan pola

pelanggaran seperti yang telah dipaparkan di atas. Dari sinilah pentingnya kesadaran hukum bagi

seluruh aspek kehidupan masyarakat agar terciptanya system hukum yang sempurna dan tidak terjadi

ketimpangan

D. DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011

Ananda, Kiky Rizky. Pemberlakuan Tarif Angkutan Umum Perdesaan Bagi Pengguna Jasa Angkutan Umum
Menurut Peraturan Daerah No. 27 Tahun 2013 dan Maslahah Mursalah, Malang: UIN Malang,
2016.

Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Evanti, Nukila dan Nurul Ghufron, Paham Peraturan Daerah (PERDA) Berperspektif HAM (Hak Asasi
Manusia). Jakarta: Raja Grafindo, 2014

Friedman, Lawrence M. American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar)
Penerjemah Wishnu Basuki, Jakarta: PT. Tatanusa, 2001

Huda, Nimatul. Hukum Pemerintahan Daerah. Bandung: Nusa Media, 2010.

Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta, Indonesia: PT. Gramedia, 1993

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010) h. 105

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Hadjar, Abdul Fickar dkk. Analisis komparatif Budaya Hukum Profesional Hukum Indonesia.
http://www.reformasihukum.org/ID/file/anggota/Analisis%20komparatif%20Budaya%20Hukum
%20Profesional.pdf

Dinas Perhubungan Malang, Tupoksi, http://dishub.malangkota.go.id/tupoksi/

Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di
Jalan dengan Kendaraan Bermotor Umum

Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Malang
Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Tarip Angkutan

Anda mungkin juga menyukai