Anda di halaman 1dari 39

Case Report Session (CRS)

Gagal Jantung

Oleh:

Mhicya Utami Rahmadhani 1210313064

Harry Yuseptian 1210313073

Aidil Putra 1010312116

Preseptor:
dr. Dinda Aprilia, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal jantung (heart failure = HF) merupakan sindroma klinis dengan
karakteristik gejala tipikal (sesak nafas, sembap dan kelelahan) yang dapat disertai
tanda (peningkatan tekanan vena jugular, pulmonary crackles dan edema perifer)
yang disebabkan abnormalitas struktural dan/atau fungsional jantung, dengan
hasil akhir penurunan cardiac output dan/atau peningkatan tekanan intrakardiak
saat istirahat ataupun saat aktivitas.1
Gagal jantung merupakan beban permasalahan dunia, dengan lebih dari 20
juta penduduk menderita gagal jantung. Prevalensi umum gagal jantung pada
populasi dewasa di negara maju sebanyak 2%. Prevalensi gagal jantung
bergantung pada pola eksponensial, meningkat seiring usia dan mengenai 6-10%
penduduk diatas 65 tahun. Prevalensi gagal jantung secara keseluruhan
meningkat, dengan adanya terapi terkini untuk gangguan jantung, seperti infark
myokard, penyakit katup jantung, dan aritmia memberikan angka harapan hidup
yang lebih lama.2
Sekarang penyakit kardiovaskular menyumbang hampir mendekati 40%
kematian di negara maju dan sekitar 28% di negara miskin dan berkembang.
Penelitian di Amerika, risiko berkembangnya gagal jantung adalah 20% untuk
usia 40 tahun, dengan kejadian >650.000 kasus baru yang didiagnosis gagal
jantung selama beberapa dekade terakhir. Kejadian gagal jantung meningkat
dengan bertambahnya usia. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi
gagal jantung di Indonesia sebesar 0,3%.4,5
Meskipun terdapat banyak evaluasi dan manajemen terkini dari gagal
jantung, perkembangan gagal jantung simptomatis masih membawa prognosis
buruk. Penelitian berbasis komunitas menunjukkan 30-40% pasien meninggal
dalam 1 tahun setelah diagnosis dan 60-70% meninggal dalam 5 tahun, terutama
disebabkan oleh perburukan gejala atau kejadian akut (ventricular aritmia).2

2
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis gagal jantung.
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
dokter muda mengenai sirosis hepatis.
1.4 Metode Penulisan
Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
dirujuk dari berbagai literature

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gagal jantung (heart failure = HF) merupakan sindroma klnis yang
muncul pada pasien yang disebabkan karena abnormalitas struktur dan/atau fungsi
jantung bawaan atau didapat, yang menyebabkan kumpulan sindrom klinis
(dispneu dan fatigue), dan tanda (edema dan ronki) yang menyebabkan tingginya
hospitalisasi, kualitas hidup yang buruk dan ekspektasi harapan hidup yang
memendek.2
2.2 Epidemiologi
Gagal jantung merupakan beban permasalahan dunia, dengan lebih dari 20
juta penduduk menderita gagal jantung. Prevalensi umum gagal jantung pada
populasi dewasa di negara maju sebanyak 2%. Prevalensi gagal jantung
bergantung pada pola eksponensial, meningkat seiring usia dan mengenai 6-10%
penduduk diatas 65 tahun. Prevalensi gagal jantung secara keseluruhan
meningkat, dengan adanya terapi terkini untuk gangguan jantung, seperti infark
myokard, penyakit katup jantung, dan aritmia memberikan angka harapan hidup
yang lebih lama.2
Prevalensi gagal jantung berkisar 1-2% dari populasi dewasa di negara
berkembang, meningkat 10% pada populasi >70 tahun. Pada populasi >65 tahun
datang ke pelayanan primer dengan sesak pada saat aktivitas (breathlessness on
exertion), satu dari enamnya merupakan gagal jantung yang tidak dikenali
(terutama HF dengan ejeksi fraksi normal).1

2.3 Klasifikasi
Terdapat beberapa istilah dalam gagal jantung:3
1. Gagal jantung sistolik dan diastolik
Kedua jenis ini terjadi secara tumpeng tindih dan tidak dapat dibedakan
dari pemeriksaan fisik, foto thoraks atau EKG, dan hanya dapat dibedakan dengan
eko-Doppler.3

4
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantungmenurun dan menyebabkan kelemahan, fatik,
kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.3
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan
fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik:3
Gangguan relaksasi
Pseudo-normal
Tipe restriktif
Tabel 2.1 Definisi gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (HFpEF), rentang
menengah (mid-range) (HFmrEF), dan menurun (HFrEF)1

2. Low output dan high output heart failure


Low output HF disebabkan oleh hipertensi, kardioyopati dilatasi keainan
katup dan perikard. High output HF ditemukan pada penurunan resistensi vascular
sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamian, fistula A-V, beriberi dan
penyakit Paget. Kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan secara praktis.3

3. Gagal jantung akut dan kronik


Gagal jantung akut (Acute Heart Failure = AHF) didefinisikan sebagai
onset akut perburukan gejala dan/atau tanda gagal jantung. Ini merupakan kondisi
medis mengancam nyawa yang memerlukan evaluasi dan terapi segera. AHF
dapat muncul sebagai onset pertama (de novo), atau lebih sering sebagai
dekompensasi akut dari gagal jantung kronis (acute decompensated HF), dan
dapat sebabkan oleh disfungsi kardiak primer atau dipresipitasi faktor ekstrinsik,
sering pada pasien gagal jantung kronis.3

5
Gambar 2.1 Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan ada/tidaknya kongesti
dan/atau hipoperfusi.1

Gagal jantung kronis diantaranya kardiomiopati dilatasi atau kelainan


multivalvular yang terjadi secara perlahan.3

4. Gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri


Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak nafas dan ortopnea. Gagal
jantung kanan terjadi jika kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada
hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi
kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomagali, dan
distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi
pada miokard kedua ventrikel, maka retensi cairan pada gaga jantung yang sudah
berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.3

6
Klasifikasi status fungsional gagal jantung menurut New York Heart
Association (NYHA) sebagai predictor penting dari outcome pasien gagal
jantung2
Tabel 2.2 Klasifikasi New York Heart Association2
Kapasitas Asesmen objektif
Fungsiona
l
Class I Pasien dengan penyakit jantung tanpa keterbatasan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik biasa tidak menimbulkan fatigue, palpitasi, dispneu, atau
nyeri angina.
Class II Pasien dengan penyakit jantung yang berakibat keterbatasan ringan pada
aktivitas fisik. Pasien lebih nyaman ketika beristirahat. Aktivitas fisik
biasa mengakibatkan kelelahan (fatigue), palpitasi, dispneu, atau nyeri
angina.
Class III Pasien dengan penyakit jantung yang berakibat keterbatasan nyata
(marked limitation) pada aktivitas fisik. Pasien lebih nyaman ketika
istirahat. Aktivitas fisik ringan menyebabkan fatigue, palpitasi, dispneu
atau nyeri angina.
Class IV Pasien dengan penyakit jantung yang berakibat ketidakmampuan
melakukan aktivitas fisik tanpa sesak (discomfort). Gejala gagal jantung
atau sindrom angina dapat timbul bahkan saat istirahat. Rasa sesak atau
ketidaknyamanan (discomfort) meningkat ketika melakukan aktivitas
fisik apapun.

2.4 Etiologi
Kondisi apapun yang dapat menyebabkan perubahan struktur atau fungsi
ventrikel kiri dapat menjadi predisposisi terjadinya gagal jantung. Walaupun
etiologi gagal jantung pada pasien dengan ejeksi fraksi normal (preserved) dengan
ejeksi fraksi yang menurun berbeda, terdapat etiologi yang tumpang tindih dari
kedua kondisi ini. Pada negara maju, penyakit jantung coroner (coronary artery
disease=CAD) menjadi penyebab predominan pada pria dan wanita, dan berperan
sebesar 60-75% dalam menyebabkan gagal jantung kongestif (Congestive heart
failure = CHF). Hipertensi berkontribusi dalam perkembangan gagal jantung pada
75% pasien, termasuk pasien dengan PJK. Baik PJK dan hipertensi berinteraksi
dalam augment risiko HF, begitu pula dengan diabetes melitus.2

7
Tabel 2.3 Etiologi Gagal Jantung2
Depressed Ejection Fraction (<40%)
Penyakit arteri coroner Cardiomyopati dilatasi noniskemik
Infark myokard Gangguan familial / genetik
Iskemia myokard Penyakit infiltratif
Chronic pressure overload Toxic/drug induced damage
Hipertensi Gangguan metabolic
Penyakit valvular obstruktif Viral
Chronic volume overload Chagas disease
Penyakit katup regurgitasi Gangguan laju dan irama
Intracardiac (left-to-right) shunting Bradiaritmia kronik
Extracardiac shunting Takiaritmia kronik
Preserved Ejection Fraction (>40-50%)
Hipertrofi patologis Kardiomyopati restriktif
Primer (kardiomyopati hipertrofi) Penyakit infiltrative (amyloidosis,
sarcoidosis)
Sekunder (hipertensi) Storage diseases (hemochromatosis)
Usia (Penuaan) Fibrosis
Endomyocardial disorder
Pulmonary Heart Disease
Cor pulmonal
Pulmonary vasculardisorder
High-Output States
Gangguan metabolik Excessive blood-flow requirements
Tirotoksikosis Shunting arterivena sistemik
Gangguan nutrisional (beriberi) Anemia kronis

2.5 Patofisiologi
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu
sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga
jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal
jantung ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal
yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung. Salah
satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan
pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap jantung
menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk
meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah
perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari
mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh
ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik. Penting dibedakan antara

8
kemampuan jantung untuk memompa (pump function) dengan kontraktilias otot
jantung (myocardial function).6
Pada beberapa keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul
gagal jantung sebagai pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik.
Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis
tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung yang ringan. Pada
awal gagal jantung akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan
aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan
arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel
akan diikuti penurunan curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan
darah dan penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang
mekanisme kompensasi neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk
sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan
preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling.
Apabila keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian
preload dan hipertrofi dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung
sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dilatasi ventrikel
menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan retensi cairan
meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi tidak efisien
secara mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan energi terbatas (misal pada
penyakit koroner) selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas. Selain
itu kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel.7
Pada gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi
sistemik dari trombus mural, dan disritmia ventrikel refrakter. Disamping itu
keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah satu etiologi CHF akan
menurunkan aliran darah ke miokard yang akan menyebabkan iskemik miokard
dengan komplikasi gangguan irama dan sistem konduksi kelistrikan jantung.
Beberapa data menyebutkan bradiaritmia dan penurunan aktivitas listrik
menunjukan peningkatan presentase kematian jantung mendadak, karena
frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menurun. WHO menyebutkan
kematian jantung mendadak bisa terjadi akibat penurunan fungsi mekanis jantung,

9
seperti penurunan aktivitas listrik, ataupun keadaan seperti emboli sistemik
(emboli pulmo, jantung) dan keadaan yang telah disebutkan diatas.8,9,10,14
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah
jantung normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan
CO= HR X SV dimana curah jantung adalah fungsi frekuensi jantung X volume
sekuncup.9
Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis akan
mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai,
maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk
mempertahankan curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama
kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan
curah jantung normal masih dapat dipertahankan.9
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung
pada tiga faktor yaitu:

1. Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi
jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh
panjangnya regangan serabut jantung.

2. Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada


tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan
kadar kalsium.

3. Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan untuk


memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan
arteriole.9

2.6 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap
derajat latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara
khas gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah

10
beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-
gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan. 13
Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu
sesuai dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat
penyakit.
1. Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun
kelelahan adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala
kelelahan merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan
oleh banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk berolahraga
juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini dan
mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi
kebutuhan oksigen.
2. Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung
yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan
akibat kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya
tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum
kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena paru sampai edema interstisial
dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka dispnea juga berkembang
progresif. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal
jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama disebabkan oleh
redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah
sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga akan
menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal
Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan
manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan
dispnea atau ortopnea.
3. Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama
pada posisi berbaring.
4. Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah
ciri khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah
paru-paru karena pengaruh gaya gravitasi.
5. Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang
terjadi akibat distensi vena.
6. Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti
vena sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena

11
leher mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat
secara paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat
menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama
inspirasi.

Gambar 2.2 Distensi Vena Juguler (Goldman Cecil Medicine)

7. Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat


peregangan kapsula hati.
8. Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual
dapat disebabkan kongesti hati dan usus.
9. Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang
interstisial. Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan
terutama pada malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang
mengurangi retensi cairan.nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan
reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal
pada waktu istirahat.

12
Gambar 2.3 Pitting edema pada pasien gagal jantung (Goldman Cecil
Medicine)

10. Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema
anasarka. Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena
sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun
manifestasi paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh
retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata.
11. Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat
mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia
ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf
simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting kematian mendadak
dalam situasi ini. 13
2.7 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada
dan penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto
thorax, EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan
biomarker. 13
Kriteria Diagnosis :
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif
Kriteria Major :
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru

13
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea deffort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria
minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan
pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan
tingkat aktivitas fisik.

b. Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan.
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula
darah, profil lipid. 13

2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG
adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH)
atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya
menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV. 13
3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung
dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi

14
pleura. Begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi
penyebab nonkardiak pada gejala pasien.13

4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis,
mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah
echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif
terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan
abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya
MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai
dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan
oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung dengan EF yang normal.
Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan
dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan
cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi
jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan volume
LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume
dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan
pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima
secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai
tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload
dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral
sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah.
Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik
biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%). 13

15
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan gagal jantung adalah untuk mengurangi
mortalitas dan morbiditas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan
penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit
jantung.

Tabel 2.4 Tujuan pengobatan gagal jantung kronik


1. Prognosis Menurunkan mortalitas
2. Morbiditas Meringankan gejala dan tanda
Memperbaiki kualitas hidup
Menghilangkan edema dan retensi cairan
Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik
Mengurangi kelelahan dan sesak nafas
Mengurangi kebutuhan rawat inap
Menyediakan perawatan akhir hayat
3. Pencegahan Timbulnya kerusakan miokard
Perburukan kerusakan miokard
Remodelling miokard
Timbul kembali gejala dan akumulasi cairan
Rawat inap

a. Tatalaksana Farmakologi

1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)

Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI) harus diberikan pada


semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %.
ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka
kelangsungan hidup. ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab
itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar
kalium normal.
Kontraindikasi pemberian ACEI yaitu adanya riwayat angioedema,
stenosis renal bilateral, kadar kalium serum > 5,0 mmol/, serum kreatinin > 2,5
mg/dL, dan stenosis aorta berat. ACEI dapat diberikan jika kondisi ginjal dalam

16
keadaan baik. dosis. Dosis dinaikan secara titrasi sampai didapatkan dosis target
atau dosis maksimal yang dapat ditolerir.

Tabel 2.5 Dosis Obat ACE Inhibitor yang Dianjurkan


Obat Dosis inisial Dosis pemeliharaan
Benazepril 2,5 mg 5-10 mg b.i.d
Captopril 6,25 mg t.i.d 25-50 mg t.i.d
Enalapril 2,5 mg perhari 10 mg b.i.d
Ramipril 1,25 mg 2,5 mg 2,5-5 mg b.i.d
perhari

2. Beta Blocker

Beta blocker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik
dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % kecuali jika ada kontraindikasi. Beta
blocker memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan
hidup

Indikasi pemberian Beta blocker:


Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah
diberikan.
Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak
ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)

Kontraindikasi pemberian Beta blocker:


Asma
Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa
pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit).
Tabel 2.6 Dosis Beta Blocker
Obat Dosis Kenaikan Dosis target Periode
awal (mg) (mg/hari) (mg/hari) titrasi
Bisoprolol 1.25 2.5, 3.75, 5, 10 Minggu-
7.5, 10 Bulan

17
Metoprolol 5 10, 15, 30, 50, 150 Minggu-
suksinat CR 75, 100 Bulan
Carvedilol 12.5/25 25, 50, 100, 200 Minggu-
200 Bulan
Nebivolol 3.125 6.25, 12.5, 25, 50 Minggu-
50 Bulan

3. Loop Diuretik

Pemberian diuretik intravena direkomendasikan bila ada simptom akibat


kongesti atau volume overload. Pemberian furosemide dosis awal yang dianjurkan
adalah 20-40 mg I.V atau harus sama atau lebih dari dosis sehari-hari yang
didapat. Pada fase awal ini harus diawasi produksi urin sebagai respon pengobatan
dengan cara pemasangan kateter urin.

Tabel 2.7 Dosis obat diuretik


Obat Dosis Rekomendasi Efek Samping Utama
Inisial Harian
Maksimum
(mg)
Loop Diuretics
Furosemid 20-40 250-500 Hipokalemia, hipomagnesemia
Bumetanid 0,5-1,0 5-10 Hiponatremia
Torasemid 5-10 100-200 Hiperurikemia, intoleransi
glukosa, gangguan asam basa.
Tiazid
Hidroklorotiazid 25 5-75 Hipokalemia, hipomagnesemia
Metolazon 2,5 10 Hiponatremia
Indapamid 2,5 2,5 Hiperurikemia, intoleransi
glukosa, gangguan asam basa.

4. Anti Trombotik

Pada gagal jantung kronik dengan penyakit jantung koroner, dianjurkan


pemakaian antiplatelet. Aspirin harus dihindari pada perawatan rumah sakit
berulang dengan gagal jantung yang memburuk.

5. Antagonis Reseptor Aldosteron

18
Pemakaian obat dipertimbangkan pada gagal jantung berat (NYHA III-
IV). Obat yang biasa dipakai yaitu Spironolakton, sebagai tambahan terhadap
ACE Inhibitor dan Beta blocker pada gagal jantung sesudah infark jantung
ataupun diabetes. Penambahan obat ini dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas.

19
6. Hidralazin-isosorbid Dinitrat

Dapat dipakai sebagai tambahan, pada keadaan pasien tidak toleran


terhadap ACE Inhibitor atau ARB. Dosis besar hidralazin (300 mg) dengan
kombinasi isosorbid dinitrat 160 mg tanpa ACE Inhibitor dapat menurunkan
mortalitas.

b. Terapi Non Farmakologi

1. Ketaatan pasien berobat

Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas


hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada
terapi farmakologi maupun non-farmakologi.

2. Pemantauan berat badan mandiri

Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertmbangan dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C)

3. Asupan cairan

Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien


dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan
keuntungan klinis (kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C)

4. Pengurangan berat badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,
mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.

5. Kehilangan berat badan tanpa rencana

20
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.
Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka
kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat
badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan
sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati.

21
6. Latihan fisik

Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik


stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di
rumah sakit atau di rumah

2.9 Prognosis

Prognosis dari gagal jantung adalah buruk dikarenakan penyebab dasar


dari penyakit yang tidak dapat diperbaiki. Pasien dengan gejala berat, mempunyai
angka survival rate dalam 1 tahun hanya 40%. penyebab terbanyak dari kematian
pasien gagal jantung karena gagal jantung sulit diatasi, tapi banyak pasien yang
mengalami mati mendadak, yang diperkirakan berhubungan dengan aritmia
ventrikel. Meskipun prognosisnya buruk, tampilan pasien gagal jantung dapat
ditingkatkan dengan intervensi spesifik dan mengatasi gejala yang muncul.

22
BAB III
ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn J
Usia : 72 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat :
Bangsal : IP-03

Anamnesis
Seorang pasien laki-laki usia 72 tahun dirawat dibangsal Ilmu Penyakit
Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak 15 Februari 2017 dengan :

Keluhan Utama :
Sesak nafas meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang :


- Sesak napas meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
dipengaruhi aktivitas. Sesak tidak dipengaruhi cuaca dan makanan. Sesak
sudah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Pasien merasa semakin sesak jika
tidur menelentang dan pasien sering terbangun malam hari karena sesak.
- Pasien merasa sesak jika beraktivitas ringan sejak 3 bulan yang lalu.
- Pasien lebih nyaman tidur dengan bantal tinggi sejak 3 bulan yang lalu.
- Demam sejak 3 hari yang lalu, demam tidak tinggi, tidak menggigil, dan tidak
berkeringat banyak.
- Batuk sejak 1 minggu yang lalu, dahak sedikit. Batuk darah (-).
- Pasien sudah pernah diperiksa dahak (BTA) dan dikatakan hasilnya negatif.
- Kaki sembab sejak 2 minggu yang lalu, keluhan ini sudah pernah dirasakan
sebulumnya sejak 3 bulan yang lalu dan hilang timbul.

23
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Pasien sudah dikenal menderita Hipertensi sejak 3 tahun yang lalu, tidak
kontrol teratur, tekanan darah tertinggi 200/100 mmHg.
- Riwayat DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita penyakit seperti ini

Riwayat Pekerjaan, Ekonomi, Sosial, dan Kebiasaan :


- Pasien adalah seorang pegawai swasta dengan aktifitas ringan sedang
- Merokok sejak kelas 5 sd, berhenti 3 tahun yang lalu, biasa menghabiskan
2 bungkus rokok per hari ( Indek Brigman Berat)

Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : CMC
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 98x/ menit
Nafas : 30x/ menit
Suhu : 36,7 oC
Mata : konjungtiva tidak anemis , sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5+3 cmH2O
Thorax
o Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor kiri dan kanan
Auskultasi : bronkovesikuler, Rhonki (+/+), Wheeezing (-/-)
o Jantung
Inspeksi : Iktus tidak terlihat
Palpasi : Iktus teraba 1 jari lateral LMCS RIC VI
Perkusi : batas atas : RIC II

24
Batas kiri : 1 jari lateral LMCS RIC VI
Batas kanan : LSD
Auskultasi :Bunyi jantung nomal, irama teratur, M1>M2,
P2<A2, bising (-)
Abdomen
Inspeksi :Tampak membuncit
Palpasi :Hepar dan lien tidak teraba , nyeri tekan di
epigastrium
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Punggung : NT CVA (-), NK CVA (-)
Genitalia : Normal
Anus : Tidak diperiksa
Tangan : turgor baik
Kaki : udem (+/+)
Refleks : Fisiologis (+/+), Patologis (-/-)

Pemeriksaan Laboratorium
- Hb 13,5 g/dL
- Leukosit 9.860/mm3
- Trombosit 377.000/mm3
- Ureum/Creatinine 25/1
- GDS 183
- Hematokrit 41%
- AGD pH: 7,53
pCO2: 75
pO2: 114
HCO3-:30,9
BEecf: -1.8
SO2: 99%
- Na/K 127/3,3

25
Diagnosis kerja
- CHF FC III LVH RVH irama sinus ec ASHD
- Old miokard infark inferior

Diagnosis banding
- CHF FC III LVH RVH irama sinus ec HHD

Terapi
- Ist / DJ I / O2 3 liter/menit
- IVFD NaCL 0.9% 24 jam/kolf
- Paracetamol 3x500 mg
- N. acetylsistein 3x1
- Lasix 2x30 mg
- Ramipril 1 x 2,5 mg
- Lansoprazol 1 x 30 mg
- Ranitidin 2 x 1 ampul
- Simvastatin 1 x 20 mg
- Aspilet 1 x 80 mg

Pemeriksaan Anjuran
- Echocardiografi
- Rhongent thorax

26
Follow Up
Rabu, 26 April 2017
S/ sesak (+) sudah berkurang, batuk (+) tidak berdahak, demam (-)

O/ Keadaan umum : sedang


Kesadaran : komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 140/70 mmHg
Nadi : 88 kali per menit
Nafas : 20 kali per menit
Suhu : 36,20C
Mata : konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Paru-paru : bronkovesikuler, rh (+/+), wh (-/-)
Jantung :apeks teraba 1 jari lateral LMCS RIC VI,
murmur (-)
Abdomen : hepar lien tidak teraba .nyeri tekan ulu hati (-)
Ekstremitas : edema tungkai (+/-), refleks fisiologi (+/+),
refleks patologis (-/-)

A/ CHF fc III LVH RVH irama sinus ec ASHD


NSTEMI late onset

P/ - Ist / DJ II
- Loading DAPT; Aspilet 1x160 mg, Clopidogrel 1x300 mg
- Inj. Lasix 2x20 mg
- Ramipril 1x2,5 mg
- Spironolakton 1x25 mg
- Simvastatin 1x20 mg
- Inj. Lovenox 1x0,6

27
EKG (22 April 2017)

28
29
30
EKG (24 April 2017)

31
32
33
Pemeriksaan Laboratorium
1. Apusan darah tepi

34
BAB IV
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki umur 51 tahun di bangsal Interne


Pria RSUP DR M Djamil Padang pada tanggal 20 April 2017 dengan diagnosis
CHF Fc III LVH RVH Irama sinus ec ASHD, bronkopneumonia, dan old miokard
infark inferior. Pasien datang ke RSUP DR M Djamil Padang dengan keluhan
sesak napas yang semakin meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengeluhkan sesak napas yang semakin meningkat sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas dipengaruhi aktivitas dan tidak
dipengaruhi cuaca dan makanan. Sesak napas sudah dirasakan sejak 3 bulan yang
lalu. Pasien merasa semakin sesak jika tidur menelentang dan pasien sering
terbangun malam hari karena sesak. Pasien merasa sesak jika beraktivitas ringan.
Kaki sembab sejak 2 minggu yang lalu, hilang timbul, dan sudah dirasakan sejak
3 bulan yang lalu.
Gejala sesak napas saat beraktivitas, sesak saat tidur terlentang, terbangun
malam hari karena sesak, dan kaki sembab merupakan gejala khas dari gagal
jantung. Sesak napas dapat timbul baik karena kongesti vena pulmonal ataupun
penurunan cardiac output. Tekanan vena pulmonal yang mencapai 20mmHg
mengakibatkan transudasi cairan ke interstisial paru dan kongesti parenkim paru.
Hasil akhir penurunan komplians paru meningkatkan usaha pernapasan untuk
mengeluarkan volume udara yang sama. Selain itu, kelebihan cairan di interstisial
paru akan menekan dinding bronkiolus dan alveoli yang akan meningkatkan
resistensi aliran udara, sehingga akan membutuhkan usaha respirasi yang lebih
besar. Selain itu, reseptor juxtacapillary (J receptor) terstimulasi dan akan
memediasi pernapasa cepat dan dangkal.15
Pasien gagal jantung juga dapat mengalami dispneu bahkan saat tidak ada
kongesti pulmoner, yang disebabkan oleh penurunan aliran darah pada otot
pernapasan yang kerjanya meningkat, serta akumulasi laktat juga dapat
berkontribusi terhadap sesak yang dirasakan pasien. Pada awalnya pasien gagal
jantung mengalami sesak pada saat beraktivitas, tetapi disfungsi yang lebih berat
akan mencetuskan gejala bahkan pada istirahat.15

35
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum sakit sedang,
kesadaran composmentis cooperatif, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi
98x/menit, nafas 30x/menit, suhu 36,7 oC, tidak didapatkan konjungtiva anemis
maupun sklera ikterik, serta tekanan vena jugular 5+3 cmH2O. Pada pemeriksaan
auskultasi thorak, di dapatkan suara nafas bronkovesikuler serta ronki basah halus
di basal paru kanan dan kiri, tidak ditemukan wheezing. Berdasarkan pemeriksaan
fisik jantung, didapatkan kesan pembesaran jantung dengan iktus cordis yang
teraba 1 jari lateral linea midclavicularis sinistra RIC VI, dengan bunyi jantung
murni, reguler, M1>M2, P2<A2 dan tidak ditemukan bunyi jantung tambahan.
Diagnosis gagal jantung kongestif dibuat berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiografi toraks/ foto toraks, ekokardiografi Doppler
dan kateterisasi. Kriteria Framingham dapat dipakai dalam mendiagnosis gagal
jantung kongestif. Kriteria mayor yang ditemukan pada pasien ini antara lain
paroksismal nocturnal dispneu, distensi vena leher, ronki paru, kardiomegali, serta
peninggian tekanan vena jugular. Sedangkan kriteria minor yang ditemukan pada
pasien ini antara lain edema ekstremitas, dispneu on effort.
New York Heart Association mengklasifikasikan gagal jantung
berdasarkan status fungsionalnya. Pada pasien ini, sudah terjadi keterbatasan
aktivitas yang nyata, dan aktivitas fisik ringan dapat mencetuskan kelelahan,
palpitasi, dan sesak, sehingga pasien ini digolongkan dalam NYHA Functional
Class III.
Pemeriksaan elektrkardiografi (24 April 2017) menunjukkan irama sinus
takikardi dengan frekuensi 104x/menit, axis normal. P wave normal, PR interval
0.16 detik, durasi QRS 0.8 detik, gelombang Q patologis V1, poor R di V2-V4,
ST depresi 1mm di V5 dan V6. LVH (+) RVH (-). Adanya gelombang Q
patologis, poor R dan ST depresi menunjukkan adanya iskemia myokard.
Arterosclerotic heart disease (ASHD) dicurigai sebagai penyebab gagal
jantung pada pasien ini, dengan bukti yang terlihat pada rekaman
elektrokardiografi. Penyakit jantung koroner telah menjadi penyebab predominan
pada pria dan wanita, dan bertanggungjawab pada 60-75% kasus gagal jantung.2
Tatalaksana yang diberikan kepada pasien adalah istirahat, diet jantung I,
pemberikan O2 3 liter/menit, NaCL 0,9% 24 jam kolf, dan pemberian obat-

36
obatan. Diet jantung 1 diberikan berupa 1-1,5 liter cairan dalam sehari selama 1-2
hari pertama bila pasien dapat menerima. Setelah itu diberikan diet jantung 2,
yaitu berupa makanan saring atau lunak. Untuk mengatasi gejala bendungan dan
kaki sembab pada pasien diberikan diuretik yaitu Lasix 2x30 mg. Pasien dengan
gagal jantung perlu diberikan ACE inhibitor yang berfungsi sebagai anti
remodeling. Pemberian paracetamol dan N acetylsistein bertujuan untuk
mengatasi keluhan demam dan batuk pada pasien, serta pemberian Ranitidin dan
Lansoprazole untuk mengatasi efek samping Aspilet pada lambung.
Rencana untuk pasien dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dan rontgen
thorak. Ekokardiografi berguna untuk melihat struktur dan fungsi jantung serta
menilai ejection fraction. Rontgen thorak untuk menilai perbesaran jantung.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. European Society of Cardiology. 2016. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure. European Heart Journal: 1-85
2. Longo DL, et al. 2012. Harrisons Principles of Internal Medicine 18th Edition,
Chapter 234: Heart Failure and Cor Pulmonale. USA: The McGraw-Hill
Companies
3. Panggabean MM. 2014. Gagal Jantung, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Interna Publishing
4. Yancy C., Jessup. Guidleline for the Management of Heart Failure : A Report
of the American College of Cardiology Foundation/ American Heart
Association Task Force on Practice Guedlinenes. 2013 ;128:e240327.
5. Departemen kesehatan RI. Riset Kesehatan dasar tahun 2013.
6. American Heart Association. Heart Disease and Stroke Facts, 2006 Update.
Dallas, Texas: AHA, 2006.
7. Ismir Fahri. Evaluasi Ekokardiografi pada Gagal Jantung Distolik. 2010.
Available from: http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php?id=365

8. Brunner dan Suddarth. Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8. Jakarta:EGC.


2002.

9. Gordon F. T. dan Douglas P.Z. What Causes Sudden Death in Heart Failure.

10. Circulation Research. 2004. 95: 754-763

11. Karim S, Kabo P. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung


untuk Dokter Umum. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2002.

12. Patrick Davey. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 2005.

13. Siswanto , Hersunarti N, Erwinanto Barack R. Pedoman tatalaksana Gagal


Jantung. Jakarta : 2015

14. Goldman L. Chapter 50: Approach to the patient with possible cardiovascular
disease, dalam Goldmans Cecil Medicine 24th Edition. Elsevier. USA: 2012

38
15. Patofisiologi lily

39

Anda mungkin juga menyukai