Anda di halaman 1dari 11

A.

Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang disebabkan oleh
faktor eksternal, substansi-substansi partikel yang berinteraksi dengan kulit (National
Occupational Health and Safety Commision, 2006).
Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan
dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda,
2003).
1. Dermatitis Kontak Iritan
a. Definisi
Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan
iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel
epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan
konsentrasi yang cukup (Health and Safety Executive, 2004).
b. Etiologi
Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya
bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan
abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul
rendah atau bahan kimia higroskopik. Kelainan kulit yang muncul bergantung
pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan
dan faktor individu penderita (Strait, 2001; Djuanda, 2003).
Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap
orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang
sufisien dengan frekuensi yang sufisien. Masing-masing individu memiliki
predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan, tetapi jumlah yang rendah
dari iritan menurunkan dan secara bertahap mencegah kecenderungan untuk
menginduksi dermatitis. Fungsi pertahanan dari kulit akan rusak baik dengan
peningkatan hidrasi dari stratum korneum (suhu dan kelembaban tinggi,
bilasan air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan
kelembaban rendah). Efek dari iritan merupakan concentration-dependent,
sehingga hanya mengenai tempat primer kontak (Safeguards, 2005).
Pada orang dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan
yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam,
alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh
ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan
tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama
kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya oklusi
menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis.
Suhu dan kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert, 2006).
Faktor lingkungan juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan,
misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan
perbedaan permeabilitas; usia (anak dibawah umur 8 tahun lebih muda
teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis kelamin
(insidensi dermatitis kontak alergi lebih tinggi pada wanita), penyakit kulit
yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan
turun), misalnya dermatitis atopik (Beltrani et al., 2006).
Sistem imun tubuh juga berpengaruh pada terjadinya dermatitis ini. Pada
orang-orang yang immunocompromised, baik yang diakibatkan oleh penyakit
yang sedang diderita, penggunaan obat-obatan, maupun karena kemoterapi,
akan lebih mudah untuk mengalami dermatitis kontak (Hogan, 2009).
c. Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan
iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,
denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya
ikat air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak
keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak
lisosom, mitokondria atau komplemen inti (Streit, 2008).
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam
arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida
(IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT
menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga
mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak
sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel
mast melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat
perubahan vaskuler (Beltrani et al., 2006; Djuanda, 2003).
DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis
protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony
stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan
IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin
dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan molekul
permukaan HLA- DR dan adesi intrasel (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan,
keratinosit juga melepaskan TNF-, suatu sitokin proinflamasi yang dapat
mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul
adesi sel dan pelepasan sitokin (Beltrani et al., 2006).
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di
tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua
jenis bahan iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan
menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang
dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan
iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak
berulang-ulang, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena
delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga
mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi,
misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan oklusi, mempunyai andil
pada terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda, 2003).
d. Gejala Klinis
Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan atas dermatitis kontak iritan akut
dan dermatitis iritan kronik.
1) Dermatitis kontak iritan akut
Reaksi ini bisa beraneka ragam dari nekrosis (korosi) hingga keadaan
yang tidak lebih daripada sedikit dehidrasi (kering) dan kemerahan.
Kekuatan reaksi tergantung dari kerentanan individunya dan pada
konsentrasi serta ciri kimiawi kontaktan, adanya oklusi dan lamanya serta
frekuensi kontak (Fregret, 2006).
Satu kali kontak yang pendek dengan suatu bahan kimiawi kadang-
kadang sudah cukup untuk mencetuskan reaksi iritan. Keadaan ini
biasanya disebabkan oleh zat alkali atau asam, ataupun oleh detergen. Uap
dan debu alkali dapat menimbulkan rekasi iritan pada wajah. Jika lemah
maka reaksinya akan menghilang secara spontan dalam waktu singkat.
Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan yang terutama terjadi ketika
bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat iritan dalam konsentrasi yang
cukup tinggi (Fregret, 2006).
Kontak yang berulang-ulang dengan zat iritan sepanjang hari akan
menimbulkan fissura pada kulit (chapping reaction), yaitu berupa
kekeringan dan kemerahan pada kulit, akan menghilang dalam beberapa
hari setelah pengobatan dengan suatu pelembab. Rasa gatal dapat pula
menyertai keadaan ini, tetapi yang lebih sering dikeluhkan pasien adalah
rasa nyeri pada bagian yang mengalami fissura. Meskipun efek kumulatif
diperlukan untuk menimbulkan reaksi iritan, namun hilnganya dapat
terjadi spontan kalau penyebabnya ditiadakan (Fregret, 2006).
2) Dermatitis Kontak Iritan Kronis
DKI kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang
berulang- ulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai
macam faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat
menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain
baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-minggu
atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan
rentetan kontak merupakan faktor paling penting (Djuanda, 2003).
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit
tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus
berlangsung maka dapat menimbulkan retak kulit yang disebut fisura.
Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema,
sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan
mengganggu, baru mendapat perhatian (Djuanda, 2003).
e. Histopatologis
Gambaran histopatologis DKI tidak mempunyai karakteristik. Pada DKI
akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel
mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis di
epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel dan akhirnya menjadi
nekrosis epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis dapat
menimbulkan vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit
atau neutrofil. Pada DKI kronis dijumpai hiperkeratosis dengan area
parakeratosis, akantosis dan perpanjangan rete ridges (Hogan, 2009).
f. Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan
gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih
cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi
penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbul lambat serta mempunyai variasi
gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA.
Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai (Djuanda, 2003).
g. Tatalaksana
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan
bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta
menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila dapat dilakukan dengan
sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan
cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering (Djuanda,
2003).
Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan
kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan
bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan
(Djuanda, 2003; Kampf, 2007).
h. Komplikasi
Adapun komplikasi DKI adalah sebagai berikut:
1) DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topikal
2) lesi kulit bisa mengalami infeksi sekunder, khususnya oleh
Staphylococcus aureus
3) neurodermatitis sekunder (liken simpleks kronis) bisa terjadi terutama
pada pekerja yang terpapar iritan di tempat kerjanya atau dengan stres
psikologik
4) hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi pada area terkena DKI
5) jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau ekskoriasi.
i. Prognosis
Prognosis baik pada individu non atopi dimana DKI didiagnosis dan
diobati dengan baik. Individu dengan dermatitis atopi rentan terhadap DKI
(Hogan, 2009). Bila bahan iritan tidak dapat disingkirkan sempurna,
prognosisnya kurang baik, dimana kondisi ini sering terjadi pada DKI kronis
yang penyebabnya multifaktor (Djuanda, 2003).
2. Dermatitis Kontak Alergi
a. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan
kulit dan dapat mengaktivasi reaksi alergi (National Occupational Health and
Safety Commision, 2006).
b. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa
bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga
disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh
potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit
(Djuanda, 2003).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-
tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi
terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak
dan poison sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran
dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel
sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat
rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),
mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat
rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).
c. Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah
mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune
respons) atau reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit
timbul secara lambat (delayed hypersensitivity), umumnya dalam waktu 24
jam setelah terpajan dengan alergen. Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini
sendiri dibagi menjadi dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi
(Trihapsoro, 2003).
Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik,
terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya
(Djuanda, 2003). Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan
kimia sederhana yang disebut hapten (alergen yang memilik berat molekul
kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi tubuh jika terikat dengan
protein untuk membentuk antigen lengkap). Antigen ini kemudian
berpenetrasi ke epidermis dan ditangkap dan diproses oleh antigen presenting
cells (APC), yaitu makrofag, dendrosit, dan sel langerhans (Hogan, 2009;
Crowe, 2009). Selanjutnya antigen ini dipresentasikan oleh APC ke sel T.
Setelah kontak dengan antigen yang telah diproses ini, sel T menuju ke
kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan berproliferasi
membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori.
Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem
limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh
kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif
disebut fase induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama
2-3 minggu (Djuanda, 2003).
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari
antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam
kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan
merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang
INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung
beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid
akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin
sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya
timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula
yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan
peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi,
degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel langerhans dan sel
keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel
makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi
IL-2 dan sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel
mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi
setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul
CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel
B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan
peradangan (Trihapsoro, 2003).
d. Gejala Klinis
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas
jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau
bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis
terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur,
batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak
iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran (Djuanda, 2003).
Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia karet
tertentu (phenyl-isopropyl-p-phenylenediamine) bisa menyebabkan dermatitis
purpura, dan derivatnya dapat megakibatkan dermatitis granulomatosa.
Dermatitis pigmentosa dapat disebabkan oleh parfum dan kosmetik (Fregert,
2006).

e. Diagnosis
Untuk menetapkan bahan alergen penyebab dermatitis kontak alergik
diperlukan anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan
fisik dan uji tempel (Trihapsoro, 2003).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit
yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar
umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka
perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat
pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis
juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan,
obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi,
penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya
(misalnya dermatitis atopik) (Djuanda, 2003).
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan
pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan,
dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada
seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain
karena sebab- sebab endogen (Djuanda, 2003).
Pada Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula
disusul dengan pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk
dermatitis yang membasah. Lesi pada umumnya timbul pada tempat kontak,
tidak berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah sekitarnya. Karena beberapa
bagian tubuh sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian tubuh yang lain
maka predileksi regional akan sangat membantu penegakan diagnosis
(Trihapsoro, 2003).
Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang),
bila mungkin setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di
punggung, dapat pula di bagian luar lengan atas. Bahan uji diletakkan pada
sepotong kain atau kertas, ditempelkan pada kulit yang utuh, ditutup dengan
bahan impermeabel, kemudian direkat dengan plester. Setelah 48 jam dibuka.
Reaksi dibaca setelah 48 jam (pada waktu dibuka), 72 jam dan atau 96 jam.
Untuk bahan tertentu bahkan baru memberi reaksi setelah satu minggu. Hasil
positif dapat berupa eritema dengan urtikaria sampai vesikel atau bula.
Penting dibedakan, apakah reaksi karena alergi kontak atau karena iritasi,
sehubungan dengan konsentrasi bahan uji terlalu tinggi. Bila oleh karena
iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo),
sedangkan reaksi alergi kontak makin meningkat (reaksi tipe crescendo)
(Djuanda, 2003).
f. Tatalaksana
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah
upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan
menekan kelainan kulit yang timbul (Brown University Health Services, 2003;
Djuanda, 2003; Health and Safety Executive, 2009).
Kortikosteoroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi
peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema,
edema, bula atau vesikel, serta eksudatif. Umumnya kelainan kulit akan
mereda setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup dikompres dengan
larutan garam faal.Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau
dermatitis akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan
kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid topikal (Djuanda,
2003).
g. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis,
bila bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik,
dermatitis numularis, atau psoriasis), atau pajanan dengan bahan iritan yang
tidak mungkin dihindari (Djuanda, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Beltrani, V. S., et al. 2006. Contact Dermatitis: A Practice Parameter. Ann Alergi Asthma
Immunol 97 (1): 1-38.
Brown University Health Services. 2003. Contact Dermatitis, Patient Education Series.
Diperoleh dari: http://www.brown.edu/health. [Diakses 11 November 2013]
Crowe, M. A. 2009. Contact Dermatitis. Diperoleh dari:http://www.Contact
Dermatitis_eMedicinePediatricsGeneralMedicine.mht. [Diakses 11 November
2013
Djuanda, S., dan Sri A. S. 2003. Dermatitis. Dalam: Djuanda, A. et al., ed. 3 Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 126-131.
Fregret, S. 2006. Kontak Dermatitis. Jakarta: Yayasan Essentia Medica.
Health and Safety Executive. 2000. Contact Dermatitis in Workers. Diperoleh dari:
http://www.hse-Skin_at_work_Work-related_skin_diseaseContact
dermatitis.mht.hsebooks.co.uk. [Diakses 11 November 2013]
Health and Safety Executive. 2004. Medical Aspects of Occupational Skin Disease.
Diperoleh dari: http://www.occupational_skin_disease.mht.hsebooks.co.uk.
[Diakses 11 November 2013]
Health and Safety Executive. 2009. Managing Skin Exposure Risks at Work. Diperoleh
dari http://www.Managing_skin_exposure_risk_at_work.mht.hsebooks.co.uk.
[Diakses 11 November 2013]
Hogan, D. J. 2009. Contact Dermatitis, Allergic. Diperoleh dari: http://www.Contact
DermatitisAllergic_eMedicineDermatology.mht. [Diakses 11 November 2013]
Hogan. 2009. Contact Dermatitis, Irritant. Diperoleh dari: http://www.Contact
Dermatitis, Irritant_eMedicineDermatology.mht. [Diakses 11 November 2013]
Kampf, G., dan Harald L. 2007. Prevention of Irritant Contact Dermatitis Among Health
Care Workers by Using Evidence-Based Hand Higiene Practice: A Revew.
Industrial Health 45 (1) : 645-652.
National Institute of Occupational Safety Hazards (NIOSH). 2006. Occupational and
Environmental Exposure of Skin to Chemic. Diperoleh dari:
http://www.mines.edu/outreach/oeesc. [Diakses 11 November 2013]
National Occupational Health and Safety Commision (NOHSC). 2006. Ocupational
Contact Dermatitis in Australia. Australian Government, Australian Safety and
Compensation Council.
Safeguards. 2000. Contact Dermatitis. Government of South Australia, Departement for
Administrative and Information Services.
Streit, M., dan Lasse R. B. 2008. Contact Dermatitis: Clinics and Pathology. Acta
Odontol Scand 59: 309-314.
Trihapsoro, I. 2003. Dermatitis Kontak Aleregi pada Pasien Rawat Jalan di RSUP H
Adam Malik Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai

  • ASTENOPIA
    ASTENOPIA
    Dokumen12 halaman
    ASTENOPIA
    Andita Delifauzan Syabana
    Belum ada peringkat
  • P 5
    P 5
    Dokumen3 halaman
    P 5
    Andita Delifauzan Syabana
    Belum ada peringkat
  • Referat Fotofobia
    Referat Fotofobia
    Dokumen10 halaman
    Referat Fotofobia
    Andita Delifauzan Syabana
    100% (1)
  • Motlet
    Motlet
    Dokumen1 halaman
    Motlet
    Andita Delifauzan Syabana
    Belum ada peringkat
  • CV Daftar
    CV Daftar
    Dokumen2 halaman
    CV Daftar
    Andita Delifauzan Syabana
    Belum ada peringkat