Anda di halaman 1dari 3

P5

Paradigma Baru Dalam Penanganan Sampah Kota


Uraian di atas, menunjukkan pentingnya upaya pemisahan sampah B3 dari sampah
kota, mengingat potensi bahaya yang mungkin ditimbulkannya. Oleh karenanya, paradigma
lama dalam penanganan sampah kota yang semula terdiri atas pola aktivitas P3
(pengumpulan-pengangkutan-pembuangan), yang kini tengah bergeser ke pola P4
(pemilahan-pengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu), perlu disempurnakan lebih lanjut
menjadi pola P5, yaitu: pemisahan sampah B3-pemilahan-pengolahan-pemanfaatan-
pembuangan residu. Pendekatan ini, selain dapat mereduksi laju timbulan sampah kota, juga
dapat menjaga mutu lingkungan hidup dari efek komponen-komponen yang membahayakan
kesehatan masyarakat.
Bilamana pola P5 berhasil diterapkan, maka pergeseran pengelolaan sampah kota
akan lebih mendukung target MDGs. Namun, tentu saja implementasi dari aktivitas P5
memerlukan persiapan yang seksama, terutama peraturan pemerintah pendukung UURI No.
18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, petunjuk pelaksanaannya, perencanaan dan
penyediaan fasilitas pendukung, sistem pengumpulan dan pengangkutan khusus, serta pola
pengoperasiannya pada tingkat kota.
Hingga saat ini, baru satu perusahaan, yaitu PT Prasadha Pamunah Limbah Industri
(PPLI) yang memiliki lisensi yang menangani pengolahan dan pembuangan limbah B3 di
Indonesia. Perusahaan yang terletak di Cileungsi tersebut memberikan pelayanan mulai dari
pengangkutan limbah B3 cair maupun padat, proses pengolahannya, serta pembuangan akhir
(Anonim, 2006). Namun, dilaporkan bahwa PPLI baru menangani 200.000 ton limbah B3
setiap tahunnya, atau hanya 35% dari kapasitas tahunan yang dimilikinya (Corcoran, 2003).
Jumlah ini hanya mencakup 12% dari total limbah B3 yang dihasilkan di seluruh Indonesia.
Faktor penyebab terbatasnya perusahaan industri yang mau mengirimkan limbahnya ke
perusahaan ini adalah kurangnya aspek penegakan hukum lingkungan, serta kurangnya
kepedulian lingkungan dari para penghasil limbah B3. Dari aspek teknis operasional, faktor
penyebab lain adalah mahalnya biaya transportasi limbah B3 karena faktor jarak, serta
mahalnya tarif biaya pengolahan.
Kondisi tersebut di atas menggambarkan bahwa penerapan P5 sebagai paradigma baru
pengelolaan sampah, masih akan menghadapi kendala yang harus diatasi. Pemerintah Kota
harus mempersiapkan fasilitas untuk penanganan sampah B3 yang berasal dari rumah tangga
dan sumber-sumber lainnya. Selain itu, desentralisasi fasilitas pengolahan dan pembuangan
limbah B3 perlu dilakukan mengingat kondisi geografis Indonesia yang luas, serta
tersebarnya sumber-sumber limbah B3 di seluruh wilayah Indonesia.

Pengelolaan Sampah Kota Berbasis Masyarakat

Pendekatan
Keberhasilan pelaksanaan program reduksi sampah tidak terlepas dari keterlibatan
masyarakat. Kota Surabaya telah menerapkan sistem pengelolaan sampah kota berbasis
masyarakat sejak tahun 2001. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengolahan
sampah kota, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya mempunyai program
unggulan berupa pengelolaan sampah mandiri berbasis komunitas. Program unggulan ini
bertujuan untuk mengurangi volume sampah mulai dari sumber. Adapun mekanisme
pelaksanaan program unggulan adalah sebagai berikut:
- Melaksanakan kegiatan pendampingan dengan bekerjasama dengan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) (a.l. Bangun Pertiwi, Sahabat Lingkungan, Yayasan
BLTKI, Pusdakota, Bina Mandiri, PT Unilever Indonesia melalui Yayasan Uli Peduli,
dan Madani)
- Melaksanakan kerjasama dengan komponen masyarakat, dalam hal ini PKK
- Bekerjasama dengan banyak pihak menyelenggarakan lomba kebersihan, diantaranya
program Green and Clean, Surabaya Berbunga, serta lomba kebersihan antar
kecamatan
- Melaksanakan operasi yustisi, yaitu dengan mendatangi langsung setiap wilayah
- Melakukan sosialisasi budaya bersih melalui kecamatan-kecamatan
Upaya Pemerintah Kota Surabaya dalam mereduksi sampah di sumber banyak
didukung oleh LSM dan sebuah perusahaan industri besar yang melakukan program
Corporate Social Responsibility (CSR). Kegiatan penanganan sampah yang dilakukan adalah
memisahkan sampah basah dan sampah kering, membuat kompos, membuat berbagai
asesoris, payung, jaket, tas dan sebagainya dari sampah plastik, menjual sampah kering
lainnya berupa kertas, logam yang telah dipisahkan.
Berikut ini adalah pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh LSM dalam rangka
pemberdayaan masyarakat Kota Surabaya untuk mengurangi sampahnya:
a. Pengadaan percontohan pengolahan sampah. Mind-set masyarakat ternyata lebih
mudah berubah apabila melihat langsung keberhasilan sebuah program baru, melalui
percontohan. Hal inilah yang ditempuh LSM yang pada awalnya banyak mengalami
kesulitan dalam memperkenalkan teknologi pengolahan sampah kepada masyarakat.
b. Pembentukan kader lingkungan. Kader lingkungan diadakan dan dididik melalui
program pelatihan yang diadakan DKP dan mitranya. Jumlah kader yang sudah ada
pada saat ini mencapai 5000-an orang. Tim Penggerak PKK Kota Surabaya,
bekerjasama dengan DKP secara rutin setiap minggu sekali menyelenggarakan
kegiatan penyuluhan bagi warga kota di daerah Kebun Bibit. Produk yang diharapkan
adalah kader lingkungan yang dapat melaksanakan kegiatan pemilahan dan
pengolahan sampah di daerah tempat tinggalnya.
c. Pendampingan warga. Kader lingkungan bertugas pula untuk pendampingan warga
dalam melaksanakan aktivitas pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga. Setiap
kader melakukan pendampingan terhadap warga dari satu dasawisma atau 1 RT.
d. Pengadaan prasarana kebersihan. DKP bersama LSM melakukan pembagian
komposter rumah tangga (KRT), keranjang Takakura, pengadaan gerobak sampah dan
pembangunan rumah kompos. Pemberian fasilitas tersebut memperoleh support dari
DKP dan sumber lain, seperti Dinas Pendidikan Nasional, PLN, dan sebagainya.
e. Pemantauan. Kegiatan pemantauan pada umumnya dilakukan oleh para kader.
Pemantauan dilakukan melalui kunjungan langsung, atau melalui telepon. Informasi
yang diperoleh dapat menjadi masukan bagi organisasi pemberdaya masyarakat,
Lurah dan DKP untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sampah di sumber.
f. Diseminasi kegiatan. Masyarakat melakukan diseminasi kegiatan pemilahan dan
pengolahan sampah, baik secara aktif maupun pasif:
Diseminasi aktif: Masyarakat bersama kader lingkungan secara aktif memberikan
penyuluhan dan pelatihan di daerah binaannya bagi masyarakat luar. Hal ini
menjadikan daerah binaan tersebut menjadi pusat pembelajaran, sekaligus
mengubah lokasi yang semula memiliki kecenderungan tertutup, menjadi terbuka
bagi masyarakat luar. Termasuk dalam kategori diseminasi aktif adalah
pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan di luar daerah binaan, dengan cara
mengundang kelompok masyarakat yang membutuhkan.
Diseminasi pasif. Kegiatan yang dilakukan di daerah binaan secara tidak langsung
menjadi sumber inspirasi, motivasi dan semangat bagi orang-orang yang
berkunjung untuk melaksanakan kegiatan yang sama di tempat tinggalnya.

Anda mungkin juga menyukai