Anda di halaman 1dari 6

Masa Orde Baru

Masa orde baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Soeharto. Surat
Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR) adalah dasar legalitas dimulainya masa
pemerintahan orde baru. Orde baru berlangsung dari tahun 1966-1998. Pada tahun
1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai
presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973,
1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya
adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19
September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan
kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan
menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah
Indonesia diterima pertama kalinya.

Pembentukan Kabinet Pembangunan

Program Catur Karya Kabinet Ampera: Memperbaiki kehidupan rakyat


terutama di bidang sandang dan pangan Melaksanakan pemilihan umum dalam batas
waktu yang ditetapkan, yaitu tanggal 5 Juli 1968 Melaksanakan politik luar negeri yang
bebas aktif untuk kepentingan nasional Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan
kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya Setelah MPRS pada tanggal 27
Maret 1968 menetapkan Soeharto sebagai presiden RI untuk masa jabatan lima tahun,
maka dibentuklah Tugasnya: Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi Menyusun
dan melaksanakan Pemilihan Umum Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September
Membersihkan aparatur Negara di pusat dan daerah dari pengaruh PKI.

Pembubaran PKI dan Organisasi Masanya Sebagai pengembangan


SUPERSEMAR, Soeharto mengeluarkan kebijakan: Membubarkan PKI pada tanggal
12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
Menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia Pada tanggal 8 Maret 1966
mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.

Penyederhanaan Partai Politik Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan


umum yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah melakukan
penyederhaan dan penggabungan (fusi) partaipartai politik menjadi tiga kekuatan social
politik. Tigakekuatan social politik itu adalah: Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba,
IPKI, dan Parkindo Golongan Karya Penyederhanaan partai politik ini dilakukan
dalam upaya menciptakan stabilitas berbangsa dan bernegara.

Pemilihan Umum Selama masa orde baru, Indonesia berhasil melaksanakan


enam kali pemilu, yaitu tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1997. Dalam masa
pemerintahan orde baru, partai Golkar selalu mendapatkan suara terbesar dan
memenangkan Pemilu. Sedangkan PDI mengalami kemerosotan karena adanya konflik
intern yang menimbulkan perpecahan pada partai berkepala banteng menjadi PDI
Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri atau yang dikenal dengan nama PDIP.
Meskipun dalam Pemilu sudah sesuai dengan asas LUBER, namun pada kenyataannya
pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan pemilu, yakni Golkar.
Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu
1997 menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di MPR dan DPR
didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden
Republik Indonesia selama enam periode.

Peran Ganda (Dwifungsi) ABRI

Untuk menciptakan stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran


ganda kepada ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian
terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada
ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara.
Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR
mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.
Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya
sebagai stabilitator dan dinamisator.Peran dinamisator sebanarnya telah diperankan
ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah
melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pimpinan pemerintahan telah
ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukanSoeharto ketika menyelamatkan
bangsa dari perpecahan setelah G 30 S PKI, yangmelahirkankan Orde Baru. Boleh
dikatakan peran dinamisator telah menempatkan ABRI pada posisiyang terhormat
dalam percaturan politik bangsa selama ini.

Penataan Politik Luar Negeri

Kembalinya menjadi anggota PBB Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia


kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk
kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar bahwa banyak manfaat
yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964. Kembalinya
Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negaranegara Asia lainnya bahkan
oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua
Majelis Umum PBB untuk masa siding tahun 1974. Dan Indonesia juga
memulihkanhubungan dengan sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia, dan
negara-negara lainnya yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.

Normalisasi Hubungan dengan Negara Lain

Pemulihan hubungan dengan Singapura Dengan perantaraan Dubes Pakistan


untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia dengan Singapura berhasil
dipulihkan kembali. Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah Indonesia menyampaikan
nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Dan
pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan
hubungan diplomatik dengan Indonesia.

Pemulihan hubungan dengan Malaysia

Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya


perundingan di Bangkok pada 29 Mei- 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian
Bangkok. Isi perjanjian tersebut adalah:

Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah


merekaambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.

Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.

Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan


hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia)
dan Tun Abdul Razak (Malaysia).

Pembekuan hubungan dengan RRC

Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintantah Republik Indonesia membekukan


hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Keputusan tersebut
dilakukan karena RRC telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara
memberikan bantuan kepada G 30 S PKI baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun
sesudah terjadinya pemberontakan tersebut. Selain itu pemerintah Indonesia merasa
kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orangorang Cina terhadap gedung, harta,
dan anggota-anggota Keduataan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRC
juga telah memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh G 30 S PKI di luar negeri,
serta secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali PKI. Melalui media
massanya RRC telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Dan pada 30
Oktober 1967 Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.

Penataan Kehidupan Ekonomi Stabilitas dan Rehabilitas Ekonomi

Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan


ini didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.[rujukan?]

MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program


penyelamatan, program stabilisasi dan rehabilitasi. Program pemerintah diarahkan pada
upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar harga
barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara
fisik sarana dan prasarana ekonomi. Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera
yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah: Mendobrak kemacetan ekonomi
dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang
menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah rendahnya penerimaan
negara. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara. Terlalu banyak dan tidak
efisiennya ekspansi kredit bank. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan
prasarana. Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian Berorientasi pada
kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah tersebut, pemerintah menempuh cara-


cara:

Mengadakan operasi pajak

Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan


perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung
pajak orang.
Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta
menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.

Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.

Kerjasama Luar Negeri Pertemuan Tokyo Pada tanggal 19-20 September 1966
pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di
Tokyo. Pemerintah Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang
diperoleh Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan
dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari
negaranegara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai
kesepakatan sebagai berikut:

Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970


sampai dengan 1999.

Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang


sama besarnya. Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.

Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik


terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.

Pertemuan Amsterdam Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan


perundingan di Amsterdam, Belanda yang bertujuan membicarakan kebutuhan
Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan
syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group for
Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi
kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi
serta persiapan-persiapan pembangunan. Di samping mengusahakan bantuan luar
negeri tersebut, pemerintah juga berusaha dan telah berhasil mengadakan penangguhan
serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali (rescheduling) hutang-hutang
peninggalan Orde Lama. Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil
mengusahakan bantuan luar negeri.

Pembangunan Nasional Trilogi Pembangunan

Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah direalisasikan melalui


Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan
Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita
memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun.
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru
berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan.

Isi Trilogi Pembangunan adalah : Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya


menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Delapan Jalur
Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah: Pemerataan pemenuhan
kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan. Pemerataan
memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan Pemerataan pembagian
pendapatan. Pemerataan kesempatan kerja Pemerataan kesempatan berusaha
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi
muda dan kaum wanita. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah
Tanah Air Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Pelaksanaan Pembangunan Nasional Pembangunan Jangka Pendek dirancang


melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang bertujuan meningkatkan taraf
hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap
berikutnya. Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu:

Pelita I ( 1 April 1969-31 Maret 1974) Sasaran: pangan, sandang, perbaikan


prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.

Pelita II ( 1 April 1974-31 Maret 1979) Sasaran: tersedianya pangan, sandang,


perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan
kerja.

Pelita III ( 1 April 1979-31 Maret 1984) Pelaksanaan Pelita III masih
berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah
pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.

Pelita IV ( 1 April 1984-31 Maret 1989) Titik berat Pelita IV ini adalah sektor
pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin industri sendiri. Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan
pembangunan nasional dapat berlangsung terus.

Pelita V ( 1 April 1989-31 Maret 1994) Pada Pelita ini pembangunan ditekankan
pada sector pertanian dan industri. Pelita VI ( 1 April 1994-31 Maret 1999) Program
pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan
dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai
pendukungnya.

Kelebihan Sistem Pemerintah Orde Baru

Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70
dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565

Sukses transmigrasi Sukses KB

Sukses memerangi buta huruf

Sukses swasembada pangan

Pengangguran minimum

Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)

Sukses Gerakan Wajib Belajar


Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh

Sukses keamanan dalam negeri

Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia

Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintah Orde Baru :

Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme Pembangunan Indonesia yang tidak


merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian
disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat Munculnya rasa
ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh
dan Papua Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang
memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si
kaya dan si miskin) Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama
masyarakat Tionghoa) Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan Kebebasan pers
sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel Penggunaan
kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan
Misterius" Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden
selanjutnya) Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal
Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang
efektif negara pasti hancur. Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk
berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah. Pelaku ekonomi
yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta .

Anda mungkin juga menyukai