Anda di halaman 1dari 11

Inflammatory Bowel Disease dan Penanganannya

Leon Lau

102013373 / F10

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510

E-mail: leon.2013fk373@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan suatu kondisi inflamasi pada saluran
gastrointestinal yang bersifat kronis. IBD ini dibagi menjadi 2 tipe utama yaitu Kolitis
Ulseratif (KU) dan Penyakit Crohn (PC) dimana kedua penyakit ini mempunyai gejala yang
serupa namun gambaran patologi saluran cerna yang berbeda. KU merupakan inflamasi yang
terjadi dimulai dari kolon dan menyebar ke arah proksimal, dengan kelainan bersifat kontinu,
sedangkan PC merupakan inflamasi yang dapat terjadi di sepanjang saluran gastrointestinal
dan bersifat segmental. Terapi dari penyakit ini tidaklah mudah karena etiologi yang belum
diketahui secara pasti, sehingga terapi yang dilakukan hanyalah bersifat konservatif.
Tindakan bedah dapat dilakukan apabila tindakan medikamentosa tidak berhasil atau terjadi
komplikasi.
Kata Kunci: Kolitis, ulseratif, Crohn

Abstract
Inflammatory Bowel Disease (IBD) is a chronic inflammation in gastrointestinal. IBD
is divided into two main types, Ulserative Colitis (UC) and Crohns Disease (CD). Both of
them has similiar clinical findings, but has different histopatologic in gastrointestinal tissue.
UC is an inflammation which starts from colon and spreads in proximal way, so the
inflammation shouldnt be segmented. However CD can happen in every gastrointestinal
organ and the inflammation is segmented. Therapy of IBD is not easy, because of the
unknown etiology. The therapy used for IBD is just for conservative use. Surgery may be
done if all the drugs failed to hold the remission of IBD or if theres complication of IBD.
Keywords: Colitis, ulserative, Crohn

1
Pendahuluan
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah merupakan suatu kondisi inflamasi pada
saluran gastrointestinal yang bersifat kronis. IBD dibagi menjadi 2 tipe utama yaitu Kolitis
Ulseratif (KU) dan Penyakit Crohn (PC) dimana kedua penyakit ini mempunyai gejala yang
serupa namun gambaran patologi saluran cerna yang berbeda.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana pendekatan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang dalam memastikan diagnosis IBD, disertai dengan
kemungkinan diagnosis diferensial yang mungkin, terapi dan tata pelaksanaannya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk pembelajaran.

Isi
Anamnesis
Anamnesis kepada pasien selalu dimulai dari menanyakan identitas pasien. Lalu
ditanyakan mengenai keluhan utama pasien. Didapat bahwa keluhan utama pasien adalah
pada saat BAB kotorannya bercampur darah berwarna merah segar empat sampai lima kali
sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengaku BABnya encer sejak 3
minggu yang lalu dengan frekuensi 3 sampai 4 kali per hari dan terdapat nyeri perut bagian
bawah yang timbul. Karena BABnya mengandung darah , ditanyakan juga kepada pasien
apakah ada benjolan yang keluar pada saat BAB, dan pasien menyangkal fakta tersebut.
Ditanyakan juga kepada pasien apakah diare ini terus berulang atau tidak (karakteristik
penyakit IBD ialah diare kronik). Diakui oleh pasien bahwa keluhan diare ini cukup sering
dialami dan hilang timbul sejak tiga tahun yang lalu serta lamanya diare setiap muncul adalah
satu sampai dua minggu. Riwayat lain yang harus ditanyakan dengan teliti antara lain riwayat
keluarga, keterlambatan perkembangan dan kematangan seksual, serta manifestasi
ekstraintestinal. Riwayat pengobatan juga perlu diperhatikan karena obat yang bersifat
imunosupresif juga dapat mendukung terjadinya penyakit IBD.1-3

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik seperti biasa dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, dimana
menunjukkan pasien dalam keadaan normal. Lalu diperiksa juga pemeriksaan fisik abdomen,
diutamakan untuk melihat adakah rasa nyeri pada palpasi, massa di abdomen, dan mungkin
pembesaran organ juga harus diperiksa. Hal-hal lain yang perlu diperiksa adalah tanda-tanda
dehidrasi, gangguan nutrisi, adakah gejala ekstraintestinal (seperti arthralgia, arthritis, iritis,

2
eritema nodosum dan pioderma gangrenosum), lalu adanya distensi abdomen juga perlu
dipertimbangkan. 1,3

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang sebenarnya tidak terdapat pemeriksaan penunjang
laboratorium yang spesifik untuk kasus IBD ini. Dalam kasus IBD terdapat abnormalitas
dalam kadar Hb, leukosit, laju endap darah, trombosit, C-reactive protein, dan kadar besi
serum, yang juga terdapat pada gambaran kasus infeksi. Pemeriksaan laboratorium yang tidak
khas ini sehingga hanya digunakan untuk menilai keberhasilan pengobatan, pertanda
inflamasi dan gejala klinis, serta status nutrisi dari pasien itu sendiri. Sehingga dalam hal ini
pemeriksaan endoskopi menjadi penting dalam menegakkan diagnosis dan penatalksanaan
kasus IBD dengan akurasi diagnostik di Indonesia hampir mencapai 90%. IBD dibagi
menjadi dua yaitu kolitis ulserativa (KU) dan penyakit crohn (PC). Gambaran KU dalam
endoskopi kolon adalah inflamasi mukosa kolon secara difus dan kontinu yang bersifat
menyebar ke arah proksimal. Sedangkan PC dapat terjadi secara segmental dan dapat terjadi
di saluran cerna bagian mana saja. Dalam hal ini jika PC tidak terjadi di daerah kolon, maka
sulit untuk melakukan kolonoskopi, maka dapat digunakan kapsul endoskopi untuk melihat
adanya inflamasi di saluran cerna lain. Tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan di Indonesia
dan harus dipertimbangkan risiko striktur usus halus. Untuk melihat gambaran histopatologi
dari KU dan PC bisa dilihat di gambar 1 dan 2. Gambaran histologi dari KU sendiri adalah
kripta dari lieberkuhn yang jumlahnya berkurang dan sering terpisah menjadi 2, selain itu
juga terdapat sel basal plasma dan agregat basal limfoid. Bisa juga terjadi inflamasi difus
yang bercampur, ketidakteraturan dan atrofi pada kripta, dan erosi superfisial yang bisa
dilihat di gambar 1. Sedangkan gambar histopatologi PC adalah kerusakan yang bersifat
segmental dan bisa terjadi di mana saja. Pada gambar 2 dapat terlihat campuran inflamasi
akut dan kronis, atrofi kripta, dan banyak granul sel epiteloid di mukosa. Gambaran
kolonsoskopi juga bisa dilihat di tabel 1.1,2,4,5

3
Gambar 1. Histopatologi Kolitis Ulseratif.4

Gambar 2. Histologi Penyakit Crohn.4

4
Tabel 1. Gambaran Kolonoskopi pada Kolitis Ulseratif dan Penyakit Crohn.5

Diagnosis
Diagnosis pasti dari kasus ini adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) , sedangkan
diagnosis bandingnya adalah diverkulitis dan kolitis infeksi.

1. Inflammatory Bowel Disease (IBD)


IBD adalah penyakit inflamasi kronik yang melibatkan saluran cerna, dan bersifat
relaps dan remisi. Secara klinis IBD dibagi menjadi dua, yaitu kolitis ulserativa (KU) dan
penyakit Crohn (PC). Jika sulit membedakannya, maka bisa dimasukkan menjadi
Indeterminate Colitis. Hal ini bertujuan untuk membedakan dengan penyakit inflamasi usus
lain seperti infeksi.1,2,4
Gambaran klinik dari IBD ini sendiri adalah diare kronik yang disertai atau tanpa
darah dan nyeri perut. Manifestasi ekstra intestinal dapat terjadi, seperti arthritis, iritis,
pioderma gangrenosum, dan eritema nodosum. Gambaran klinis KU pada berbagai pasien
cenderung lebih sama karena manifestasi klinis yang sering terlibat adalah kolon, sedangkan
PC dapat terjadi pada seluruh saluran cerna. Perjalanan klinik IBD sendiri ditandai oleh fase
aktif dan remisi. Fase remisi sendiri dapat disebabkan oleh pengobatan, namun juga bisa
terjadi spontan.1,2
Perbedaan gambaran klinis dari KU dan PC bisa dilihat di tabel 2.

5
Gambaran Klinis KU PC
Diare kronik ++ ++
Hematochezia ++ +
Nyeri perut + ++
Massa intra abdomen - ++
Fistulasi -/+ ++
Stenosis / striktur + ++
Keterlibatan usus halus +/- ++
Keterlibatan rektum 85% 50%
Tanda ekstraintestinal + +
Terjadi megakolon toksik + +/-
Tabel 2. Perbedaan Gambaran Klinis Kolitis Ulserativa dan Penyakit Crohn.2

2. Kolitis Infeksi
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon. Sehingga kolitis infeksi
adalah peradangan kolon yang disebabkan oleh kuman-kuman patogen. Akan dijelaskan
secara singkat masing-masing kolitis infeksi.2
Pertama gejala klinis dari amoebiasis kolon yang disebabkan oleh Entamoeba
histolytica. Gejala pada infeksi berat dapat menyerupai kolitis ulseratif. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan hepatomegali. Gejala klinis yang patut diperhatikan adalah demam
yang menyertai penyakit ini untuk membedakan dengan kolitis ulseratif. Diagnosis pasti dari
penyakit ini dapat dilakukan dengan adanya eritrosit dalam tinja dan mencari bentuk trofozoit.
Bisa juga dilakukan dengan serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap amoeba.
Prevalensi penyakit ini umumnya terjadi di daerah tropis dengan sanitasi lingkungan yang
jelek.2
Lalu juga ada kolitis infeksi yang disebabkan oleh Escherichia coli patogen dengan
gejala klinis yang klasik adalah nyeri abdomen yang sangat, diare yang kemudian diikuti
diare berdaraah dan sebagian dapat mengalami mual dan muntah. Suhu tubuh hanya sedikit
meningkat atau normal. Kultur dengan agar sorbitol-Mac Conkey dapat memastikan
diagnosis ini.2
Shigellosis gejala klinisnya bervariasi, dengan lamanya gejala rata-rata 7 hari pada
orang dewasa. Adanya keluhan nyeri abdomen bawah, rasa panas rektal, diare, serta demam

6
hingga mencapai 40oC dapat dicuragai sebagai shigellosis. Kultur dari bahan tinja segar atau
hapus rektal dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis.2
Gejala klinis kolitis tuberkulosis yang paling sering adalah nyeri perut kronik yang
tidak khas. Dapat terjadi juga diare ringan dengan darah, kadang konstipasi, anoreksia,
demam ringan, penurunan berat badan, dan teraba massa abdomen kanan bawah. Pada
sepertiga kasus dapat ditemukan kuman pada tinja. Kolonoskopi dapat menegakkan diagnosis
kolitis tuberkulosis secara langsung, dengan adanya kolonoskopi lesi dapat dilihat langsung
dan bisa melakukan bbiopsi untuk pemeriksaan kultur dan histopatologi. Gambarannya
adalahpenyempitan lumen, dinding kolon kaku, ulserasi dengan tepi yang iregular dan
edematous.2

3. Divertikulitis
Divertikulitis adalah perforasi daridivertikulum yang diikuti infeksi dan inflamasi
yang menyebar ke dinding kolon dan menyebar ke mesenterium organ-organ sekitar.
Umumnya terjadi di kolon sigmoid. Penyakit divertikulitis jika terjadi dengan komplikasinya,
dapat menimbulkan nyeri perut kuadran kanan bawah, demam, dan leukositosis. Pada
pemeriksaan fisik apat ditemukan nyeri rebound yang jelas saat palpasi yang menandakan
adanya tanda iritasi-inflamasi peritoneal akibat terjadi mikroperforasi atau makroperforasi.
Juga dapat terjadi kemungkinan teraba adanya massa jika inflamasi menjadi phlegmon atau
abses. Kolonoskopi merupakan cara diagnostik penting yang utama untuk membedakan
sumber pendarahan.1,2

Epidemologi
IBD merupakan penyakit dengan prevalensi cukup tinggi di negara Eropa dan
Amerika, dengan puncak usia yang terkena adalah pada usia 25-30 tahun. Pada perokok,
insiden KU dapat menurun , namun pada PC dapat meningkat. Pemakaian kontrasepsi oral
dapat meningkatkan risiko pada PC. Diet rendah serat juga dapat meningkatkan risiko
penyakit IBD. Apendoktomi tidak meningkatkan risiko KU, namun dapat meningkatkan
risiko pada PC. Penyakit ini tampaknya juga lebih sering menyerang orang berkulit putih
dibandingkan kulit hitam untuk negara barat.1,2,4

7
Patofisiologi
IBD merupakan penyakit multifaktor, dengan faktor yang berperan antara lain genetik,
mikrobiota usus, lingkungan dan sistem imun. Akan dijelaskan satu persatu mengenai faktor
tersebut.1,4
Faktor genetik pada penderita IBD mempunyai faktor predisposisi. 10-25% penderita
IBD memiliki riwayat keluarga dengan IBD. Umumnya kelainan kromoom yang
berhubungan dengan IBD antara lain kromosom 16 (gen IBDI) atau CARD 15 dimana
keduanya berhubungan dengan PC. Perinuclear antinetrophil antibodi (pANCA) ditemukan
pada 70% penderita KU.1
Agen infeksius diduga sebagai penyebab IBD, namun hal ini belum dapat dibuktikan
karena pada mukosa yang inflamasi sering ada koloni bakteri oportunistik dan pemberian
antibiotik tidak mempengaruhi perjalanan IBD. Faktor lingkungan lain yang dapat
menyebabkan penyakit IBD adalah stres psikososial, faktor makanan, diet rendah serat, dan
zat toksik lingkungan.1
Pada faktor imunologi, sel T helper mempunyai peran penting. Sel Th1 menghasilkan
IL-2, Interferon-g, dan tumor necrosis factor (TNF)-a yang merangsang reaksi
hipersensitifitas tipe lambat. Sel Th1 dan sitokin akan merangsang aktivasi makrofag dan
pembentukan granuloma yang merupakan gambaran histologi pada PC. Pada sel Th2
menghasilkan IL-4, IL-5 , II-6 , dan II-10 akan merangsang antibody-mediated immune
respons yang mengakibatkan kerusakan jaringan pada gambaran KU. Oleh karena itu,
pemberian obat imunosupresif juga dapat mendukung kemungkinan mekanisme kekebalan
lain yang menyebabkan kelainan. Pada neonatus, defisiensi IgA atau fungsi barier mukosa
yang belum matang akan meningkatkan permeabilitas terhadap makromolekul dan sensitasi
sistem kekebalan saluran gastrointestinal trhadap antigen, bakteri, atau alergen makanan.1,4

Penatalaksanaan
Belum diketahui secara pasti etiologi dan patogenesis dari IBD sendiri, maka
pengobatan yang dilakukan bertujuan untuk menghambat proses inflamasi untuk mengurangi
keluhan penyakit tersebut. Sehingga tujuan umum terapi adalah memperpanjang masa remisi
penyakit dan mencegah komplikasi. Pertama akan dilakukan pengobatan umum yang
bertujuan untuk mengeliminasi dugaan faktor yang menyebabkan inflamasi kronik, dengan
cara pemberian antibiotik, lavase usus, mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja
usus, dan perubahan pola diet. Antibiotik seperti metronidazole dan siprofloxacin banyak
bermanfaat pada PC pada keadaan aktif, namun tidak digunakan pada KU. Makanan seperti

8
gandum, sereal dan produk peternakan juga dapat mencetuskan serangan pada kasus IBD,
selain itu makanan yang mengandung glutamin dan asam lemak rantai pendek juga dapat
mencetuskan serangan.1,2
Obat lain yang dapat digunakan adalah obat golongan glukokortikoid yang digunakan
untuk PC dan KU derajat sedang dan berat. Obat yang sering digunakan adalah prednison dan
metilprednison secara oral. Dosis aktif biasanya dimulai dari 40-60 mg / hari prednison.
Dosis yang lebih tinggi tidak akan mengubah efektivitas terapi, namun akan menambah efek
samping. Setelah pasien merespon terapi awal (1-2 minggu), maka dosis akan diturunkan
untuk meminimalisir efek samping. Telah dikembangkan obat golongan glukokortikoid non-
sitemik yaitu budesonide dalam pengobatan IBD. Hal ini disebabkan karena budesonide
adalah analog prednisolon yang mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor glukokortikoid
namun harus melewati metabolisme di dalam hati (yang diperantai oleh CYP3A4). Ada
sediaan preparat oral lepas lambat yang melepaskan obatnya di ileum distal dan kolon yang
akan diabsorpsi dengan bioavaibliltas mencapai 10%. Obat ini berguna untuk pengobatan
IBD terutama di daerah rektum dan kolon sigmoid. Perlu diingat bahwa kortikosteroid tidak
berguna untuk mengurangi remisi penyakit.1,2,6
Obat yang sudah lama dipakai dalam pengobatan IBD sendiri adalah sulfasalazin
yang merupakan gabungan sulpiridin dan aminosalisilat dalam ikatan azo. Obat ini akan
dipecah di dalam usus menjadi sulfapiridin dan asam 5-asetil salisilat (5-ASA) dimana
senyawa ini berfungsi sebagai agen anti inflamasi. Farmakokinetik dari obat ini adalah
pertama kali 5-ASA akan diabsorpsi di usus halus dengan jumlah yang sangat kecil. Hal ini
karena 5-ASA hanya bisa dilepas dalam keadaan pH>5 (asam lambung mempunyai pH
dibawah 5). Mekanisme penghambat inflamasi sendiri belum diketahui, namun diduga
adanya blokade sintesis prostaglandin dengan inhibisi enzim siklooksigenase. Efek samping
dari obat ini didapat dari senyawwa sulfapiridinnya yaitu mual, muntah, dispepsia, sakit
kepala, dan lemas. Oleh karena itu, telah dibuat preparat obat 5-ASA murni untuk
mengurangi efek samping diatas. 5-ASA sendiri merupakan obat utama untuk KU ringan dan
sedang dan merupakan first-line therapy. 5-ASA ini akan mengurangi remisi dari KU itu
sendiri. Pada penyakit Crohn ini sendiri, efektivitas 5-ASA belum dapat dibuktikan, namun di
lapangan 5-ASA juga sering digunakan dalam terapi PC.2,6
Obat golongan imunosupresif dipakai bila 5-ASA dan kortikosteroid gagal mencapai
remisi. Obat-obat ini contohnya adalah 6-mercaptoturin (6-MP), azathioprin, siklosporin,
methotrexate, dan obat golongan Anti-Tumor Necroting Factor (TNF). 6-MP dan
azathioprine dalah analog purin yang mempunyai efek imunosupresif dengan bioavaibilitas 6-

9
MP mencapai 50& dan azathioprine mencapai 80%. Kedua obat ini nilai T1/2 nya kurang dari
dua jam, namun cara kerja 6-MP ini akan mengaktifkan 6-thioguanine nukleotida yang
berkonsentrasi di sel sehingga memperpanjang efek terapi kurang lebih 17 minggu setelah
terapi. Efek samping yang serius dari obat ini adalah leukopenia. Dosis standar azathioprine
adalah 2-2.5 mg/kg/hari dan 6-MP 1-1.5 mg/kg/hari. Obat ini efektif untuk PC derajat sedang
dan berat. Methotrexate adalah obat yang menghambat dihidrofolat reduktase sehingga
sintesis DNA (thymidin dan purin). Dalam dosis tinggi, obat ini akan menghambat proliferasi
sel. Obat ini digunakan untuk menginduksi remisi PC dengan dosis 25 mg per minggu secara
intramuskuler atau subkutan dan remisi dipertahankan dengan dosis yang lebih rendah yaitu
15 mg per minggu.2,5,6
Terapi bedah akan dilaksanakan jika terapi diatas tidak membuahkan hasil atau terjadi
komplikasi yang diantaranya perforasi usus, stenosis usus, megakolon toksik, pendarahan,
degenerasi malignan. Pada KU, operasi dilakukan bila terjadi perjalanan penyakit yang berat
dan tidak dapat diatasi dengan medikamentosa atau jika efek samping obat yang terlalu berat.
Sedangkan pada PC umumnya operasi dilakukan karena adanya komplikasi abses, fistula,
perforasi, dan obstruksi.2

Prognosis
Umumnya penyakit IBD merupakan penyakit yang bersifat remisi dan eksaserbasi.
Sehingga prognosis dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi dan respon pada pengobatan
medikamentosa.2

Kesimpulan
Penyakit IBD merupakan penyakit inflamasi kronik yang penyebab pastinya belum
diketahui secara jelas hingga saat ini. Penyakit ini bersifat remisi dan karakteristik utama dari
penyakit ini adalah diare kronik yang sudah berlangsung lama, bisa dengan atau tanpa darah.
Etiologi dari penyakit yang belum diketahui secara pasti ini menyebabkan pengobatan IBD
ini hanya bersifat menahan progresivitas penyakit itu sendiri untuk meningkatkan quality of
life pasien. PC sendiri dapat melibatkan seluruh traktus digestivus , sedangkan hal ini tidak
didapatkan pada KU.

10
Daftar Pustaka
1. Ndraha S. Bahan Ajar Gastroenterohepatologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran UKRIDA.
2013. h.59-67
2. Setiati S . Alwi I. Sudoyo A.W. Simadibrat M. Setiyohadi B. Syam A.F. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi Keenam. Jakarta: InternaPublishing. 2014. h. 1814-22, 1827-32,
1864-7.
3. McPhee S.J. Hammer G.D. Pathophysiology of Disease: an introduction to clinical
medicine. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2010. p. 575-87
4. Longo D.L Kasper D.L. Jameson J.L. Fauci A.S. Hauser S.L. Loscalzo J. Harissons
principles of internal medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2012. p. 2477-
95.
5. Lubis. D.A. Inflammatory Bowel Disease. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. 2012. h.10-13.
6. Katzung B.G. Masters S.B. Trevor A.J. Basic and Clinical Pharmacology. 11th ed. New
York: McGraw-Hill Companies. 2009. p. 1087-90.

11

Anda mungkin juga menyukai