Pada Standar kedua dalam Kompetensi Apoteker Indonesiam tepatnya pada poin
2.1.4 disebutkan bahwa lulusan apoteker mampu memanfaatkan mnemonics, klasifikasi DTPs
dan parameter monitoring sesuai kondisi dan kebutuhan pasien. Hal menarik disini adalah
penggunaan mnemonics dikaitkan dengan unit kompetensi 2.1 tentang penggunaan obat
rasional. Mnemonics sendiri adalah alat bantu atau metode untuk mengingat sesuatu, dalam
hal ini mungkin bisa diartikan sebagai alat bantu untuk menghafalkan hal-hal terkait obat.
Mnemonic dalam praktek kefarmasian ini tentu akan membantu baik untuk apoteker maupun
pasien, urgensinya bahkan dikaitkan dalam kompetensi kerasionalan obat pada unit
kompetensi 2.1. Untuk urgensi yang dikaitkan dalam kerasionalan obat, metode menghapal
dengan mnemonics selayaknya masih bisa lebih dikembangkan lagi dalam dunia farmasi.
Pada point 8.2.3 disebutkan bahwa lulusan apoteker mampu menjelaskan sapaan
umum (geriatric, pediatri, tuna rungu, tuna aksara) dan khusus (kronik, kritis, koma, psikiatri,
terminal). Kompetensi ini sangat penting dan sebenarnya paling jarang disinggung dan
diperdalam penerapan dan pelatihannya pada sarjana farmasi terutama di Indonesia. Di luar
negeri hal ini sudah mulai diasah dan diperdalam sebagai kompetensi apoteker.
Pada PMK nomor 9 tahun 2017 bab IV pasal 17 (1) disebutkan bahwa apoteker
hanya bisa menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai pada 8
pihak, salah satunya dokter dengan peraturan perundangan yang berlaku. Bentuk penyerahan
ini menarik untuk dikaji lebih dalam jika semisal apoteker menyerahkan obat pada dokter
untuk diberikan kepada pasien semisal dengan resep, maka alur pemberian obat yang
normalnya dari apoteker langsung ke pasien berubah menjadi dari dokter ke pasien, jika
memang hal ini dibenarkan menurut perundangan, apakah perubahan bentuk alur distribusi
obat pada pasien ini bisa mengurangi peran apoteker dalam kompetensi komunikasi dan
konseling obat pada pasien.
Pada PMK no 31 tahun 2016, dijelaskan dalam pasal 18 yang telah diperbarui bahwa
SIPA apoteker di fasilitas kefarmasian hanya berlaku untuk satu tempat saja, akan tetapi
untuk fasilitas pelayanan kefarmasian bisa untuk 3 tempat berbeda. Hal ini menarik untuk
dikaji apa perbedaan fasilitas pelayanan kefarmasian dan fasilitas kefarmasian itu sebenarnya
dan bagaiamana kompromi waktu yang diizinkan.
Pada PMK nomer 73 tahun 2016 disebutkan pada bab III mengenai pelayanan
farmasi klinik bahwa pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan
terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error) yang menarik adalah bagaimana
caranya proses upaya ini didokumentasikan sehingga bisa menjadi bukti yang dapat
diupayakan untuk membela profesi apoteker apabila tetap terjadi medication error padahal
sudah ditempuh upaya pencegahannya? Apakah bentuk upaya IAI yang digunakan untuk
mengkonfirmasi penyebab efek medication error tersebut adalah ketidaksengajaan atau
kesengajaan dari tenaga kefarmasian?