Prinsip Etis Dalam Berbisnis
Prinsip Etis Dalam Berbisnis
BAB II
PRINSIP ETIS DALAM BERBISNIS
Tujuan Pemelajaran Umum (TPU) atau Standar Kompetensi mata kuliah Etika Bisnis dan
Profesi Akuntansi ini adalah setelah mengikuti matakuliah ini diharapkan mahasiswa dapat: (1)
memiliki pengetahuan yang luas tentang etika bisnis dan profesi akuntan; serta (2) mampu
mengambil keputusan bisnis dan profesi secara rasional atau intuitif.
Tujuan Pembelajaran Khusus atau Kompotensi Dasar adalah setelah mengikuti kuliah
BAB ini, mahasiswa diharapkan mampu mendiskripsikan prinsip etis dalam berbisnis.
Indikator yang ingin dicapai setelah mempelajari BAB 2 ini adalah mahasiswa dapat:
1. Mendeskripsikan Prinsip dalam Berbisnis
2. Mendeskripsikan Prinsip Otonomi
3. Mendeskripsikan Prinsip Kejujuran
4. Mendeskripsikan Prinsip Keadilan
5. Mendeskripsikan Prinsip Saling Menguntungkan
6. Mendeskripsikan Prinsip Integritas Moral
7. Mendeskripsikan Menjalankan Bisnis Secara Etis dan Bertanggung Jawab
8. Mendeskripsikan Peranan Nilai dalam Etika Bisnis
9. Mendeskripsikan Peranan Nilai dalam Etika Bisnis
10. Sumber-sumber Nilai Etika dalam Berbisnis
11. Pengalaman dan Perkembangan Budaya
BAB II
PRINSIP ETIS DALAM BERBISNIS
2.1 Pendahuluan
Perkembangan bisnis saat ini telah memasuki era globalisasi, dimana terjadi pergerakan
komoditas, modal, dan juga manusia yang seolah tanpa batas menembus ke segala penjuru dunia.
Modal paling utama dalam bisnis adalah nama dan kepercayaan. Ukuran etika dan sopan santun
dalam dunia bisnis sangatlah keras, kalaulah ada pengusaha yang melanggar etika, mereka lebih
banyak mendapat hukuman dari masyarakat, dibandingkan dari pemerintah. Karena pada
dasarnya juga masyarakat bisnis itu punya jaringan tersendiri, yang sangat luas dan efektif,
sehingga setiap pengusaha yang berbuat curang atau tidak etis, maka namanya akan segera
tersiar, hal itu tentunya akan merusak nama baiknya sendiri. Etika bisnis itu tidak hanya terlihat
dalam hubungan antara pengusaha saja, namun juga terkait hubungan dengan pemerintah dan
tentunya masyarakat. Walaupun sejauh ini ukuran etis atau tidak etisnya praktik perusahaan
dalam masyarakat masih susah diukur, namun paling tidak kita bisa kembalikan ke hati
nurani pengusaha itu sendiri. Terdapat beberapa alasan yang menjadikan etika bisnis menjadi
sedemikian pentingnya (Faisal Afiff, 2003):
(1) Ada kelaziman masyarakat yang sudah maju untuk cenderung menuntut para pebisnisnya agar
mampu bertindak etis, atau masyarakat pada umumnya mengharapkan kinerja etik yang tinggi.
Suatu perusahaan yang memiliki kinerja etik yang tinggi akan mendapat dukungan dan
pembenaran dari masyarakat.
(2) Untuk menghindari kerugian kelompok kepentingan dalam masyarakat. seperti para pelanggan,
perantara, pemasok dan pesaing.
(3) Untuk melindungi atmosfir berbisnis dari kemungkinan tumbu suburnya perilaku tidak
etis, baik dari karyawan (lingkungan internal) maupun dari para pesaing (lingkungan eksternal).
(4) Untuk melindungi masyarakat yang akan bekerja di sektor bisnis dariancaman lingkungan
kerja yang tidak adil, produk berbahaya, dan bahkan pemalsuan laporan keuangan dan juga
memberikan kontribusipada ketenangan, keamanan dan kenyamanan psikologis bagi para
pebisnis agar mampu berkiprah melakukan tindakan bisnis yangkonsisten sesuai dengan
norma-norma yang berlaku.
(5) Umumnya orang menginginkan akan bertindak konsisten denganpandangan hidupnya,
menyangkut nilai-nilai kebaikan dan keburukanperilaku dirinya. Sesuatu yang dipaksakan
dan beitentangan dengannilai pribadinya, lazimnya akan melahirkan sumber konflik batin
danstress emosional yang besar.
Munculnya kasus-kasus yang melahirkan problematik etika bisnis bisa beragam sifatnya, seperti
adanya kepentingan pribadi yang berseberangan dengan kepentingan orang lain, hadirnya
tekanan persaingan dalam meraih keuntungan yang melahirkan konflik perusahaan dengan
pesaingnya, munculnya pertentangan antara tujuan perusahaan dengan nilai-nilai pribadi yang
melahirkan pertentangan antara kepentingan atasan dan bawahannya akibat adanya mentalitas
pebisnis yang otoriter.
Terjadinya krisis multi dimensional beberapa tahun terakhir menjadikan etika bisnis
sebagai sorotan dan perhatian dari masyarakat dan para pengamat. Tuntutan masyarakat akan
etika dan tolok ukur etika meningkat. hal ini disebabkan pula oleh pengungkapan dan publikasi,
kepedulian publik, regulasi pemerintah, kesadaran CEO akan etika dan profesionalisme bisnis
meningkat Ferdy (1998) mengutip Cassese menyebutkan bebcrapa alasan perusahaan yang
mempunyai orientasi laba menaruh perhatian pada etika bisnis.
(1) Tekanan dari konsumen.
(2) Persaingan.
(3) Perubahan nilai sosial.
(4) Munculnya beberapa kasus yang menyebabkan ambruknya reputasi
perusahaan atau individu akibat tindakan yang tidak etis.
Jauhnya sentuhan etika atas bisnis disebabkan oleh terlalu terfokusnya perhatian, tanggung
jawab dan kewajiban para pelaku bisnis dan manajer untuk memperoleh keuntungan sebesar-
besaraya. Usaha untuk meraih keuntungan telah menenggelamkan dan mengubur kesadaran
moral para pelaku bisnis untuk berbisnis secara baik dan etis, terlepas dari kenyataan bahwa
masih banyak juga pelaku bisnis yang tetap punya kepekaan terhadap kesadaran moral.
Tingkat urgensi perilaku etis bagi perusahaan sangat menentukan, karena dalam jangka
panjang bila perusahaan tidak concern dengan perilaku etis dalam bisnis maka kelangsungan
hidupnya akan terganggu. Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung
mencari keuntungan sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis, segala kompetensi,
ketrampilan, keahlian, potensi, dan modal lainnya ditujukan sepenuhnya untuk memenangkan
kompetisi. Dalam jangka pendek mungkin akan meningkatkan keuntungan perusahaan, akan
tetapi untuk jangka panjang akan merugikan perusahaan itu sendiri akibat hilangnya kepercayaan
pelanggan/konsumen terhadap perusahaan tersebut (Bertens, 1995), karena kepercayaan
merupakan salah satu unsur keutamaan yang sangat vital dalam aktivitas bisnis. Tanpa ada
kepercayaan tidak akan ada transakasi dan kemitraan. Penyimpangan atau pelanggaran
etikaakan mengundang sangsi dari masyarakat bisnis. Bentuknya bisa ditinggalkan konsumen
dan relasi, dikomplain langsung, via telepon atau surat pembaca, dan sebagainya.
Akibatnyanamabaik akan hancur, sehingga konsumen akan berkurang, dan bisnis menjadi
terhambat.
Pelanggaran etika bisnis memang banyak dilakukan, namun kita harusselalu mengupayakan
untuk menggalakkan etika bisnis, paling tidak kita bisamemulai dari pemimpin perusahaan,
karena dialah panutan bagi karyawannya. Perilaku etis atau tidak etis dalam perusahaan
dikendalikan secara eksplisit maupun implisit oleh budaya perusahaan yang ada. Disini pelatihan
etika menjadi aspek penting dari pengendalian perilaku karyawan, karena dalam pelatihan
tersebut dapat diberikan pedoman mengenai peraturan dan kebijakan perusahaan, serta perilaku
yang dianggap baik atau buruk dalam berbagai situasi.
2.4.1 Filsafat
Sumber utama nilai-nilai etika yang dapat dijadikan sebagai acuan dan referensi dalam
pengeJolaan dan pengendalian perilaku pebisnis dengan aktifitas usaha bisnisnya adalah filsafat.
Ajaran-ajaran filsafat tersebut mengandung nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari pemikiran-
pemikiran filsuf dan ahli filsafat yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada zaman Yunani Kuno, pemikiran tentang salah dan benar telah dikemukakan, antara
lain oleh Socrates (470-399 SM) yang menyatakan bahwa "manusia itu ada untuk suatu tujuan
dan bahwa salah dan benar memainkan peranan yang penting dalam mendefinisikan
hubungan seseorang dengan lingkungan dan sesamanya". Menurutnya, kebajikan berasal dari
pengetahuan diri, dan bahwa manusia pada dasarnya adalah jujur dan kejahatan merupakan suatu
upaya akibat salah pengarahan yang membebani kondisi seseorang.
Hal ini dapat bermakna bahwa secara hakiki seseorang itu bersih dan suci dari segala
dosa dan cela, namun lingkungan dan situasilah yang menjadikannya berprilaku tercela dan
berbuat berbagai dosa. Karena manusia dianggap belum mengenal dirinya yang berasal dari zat
yang suci, maka Socrates meminta kepada semua orang untuk mengenal diri kita sendiri
sebelum berusaha untuk mengenal orang Iain. Harapannya itu terungkap dalam moto "kenalilah
dirimu".
Dalam banyak kesempatan Socrates menyampaikan hasil pemikirannya tentang
moral dan memperkenalkan gagasan briliannya tentang hukum moral yang lebih tinggi dari
hukum manusia. Pengetahuan, seni, moralitas dan bahkan agama, tidak dapat dipandang
sebagai sesuatu yang parsial dan baerdiri sendiri, tetapi selalu dikaitkan dengan kegunaannya
bagi manusia dalam menuju kehidupan yang lebih baik. Terkait dengan hubungan antara
kekayaan dan kebaikan Socrates justru berpersepsi dan menganggap bahwa kebaikan sebagai
penentu kekayaan, bukan sebaliknya kekayaan sebagai penentu kebaikan.
Kekayaan dalam banyak hal tidak membawa kebaikan (yakni keluhuran) tetapi
kebaikan membawa kekayaan dan segala berkahnya, baik bagi individu maupun negara
(Palmquis, 2000: 50). Untuk itu setiap pebisnis yang mendambakan kekayaan dan keberkahannya,
mereka harus dan wajib melakukan kebaikan-kebaikan dalam usaha bisnisnya.
Pandangan Plato (428-348 SM) dapat dijadikan referensi bagi usaha bisnis dalam melihat
dunianya. Plato menyebutkan bahwa "dunia ini tiada lain kecuali refleksi atau bayangan
daripada dunia ideal yang semuanya sangat sempurna". Aristoteles (384-322 SM), menyatakan
pandangannya tentang etika, menurutnya etika merupakan periiaku jiwa yang baik yang
menuntun kepada kebahagiaan dan kebenaran. Jiwa dilihat sebagai suatu fakta yang
menginginkan kebahagiaan, tidak sekedar kesenangan inderawi semata. Kebajikan moral dan
intelektual menuntun jiwa kepada kebahagiaan.
Dari statement Aristoteles tersebut dapat dikemukakan bahwa kebahagiaan itu fungsi dari
kebajikan moral dan intelektual. Kedua variabel tersebut secara bersama-sama atau sendiri
memberikan dampak terhadap kebahagiaan yang dapat diraih manusia termasuk pelaku bisnis.
Teolog-teolog Kristiani yang juga filsuf-filsuf terkenal seperti St Augustine dan Thomas
Aquinas juga menyampaikan pemikirannya terhadap etika dalam versi etika Kristiani. Nabi
Muhammad SAW adalah sosok pebisnis yang jujur (al-amien). Bisnis yang dikelola Nabi,
menempatkan manusia sebagai postulat atau fokusnya, bukan untuk mengejar target produksi.
Nabi Muhammad SAW, mengelola dan mempertahankan kerjasama dengan stafnya dalam
waktu yang Jama dan bukan hanya hubungan sesaat.
Salah satu kebiasaan Nabi adalah memberikan reward (peng-hargaan) atas kreativitas
dan prestasi yang ditunjukkan pegawainya. Manajemen Islam pun tak mengenal perbedaan
perlakuan (diskriminasi) berdasarkan suku, agama, ataupun ras. Nabi Muhammad SAW
bahkan pernah bertransaksi bisnis dengan kaum Yahudi. Suatu pandangan agama (Islam) tentang
kegiatan bisnis ini adalah berlaku sama untuk semua orang tanpa perduli jenis kelamin, suku,
bangsa, agama, keluarga atau bukan keluarga.
Dalam bisnis tidak mengenal keluarga semuanya adalah mitra bisnis dengan tujuan
mendapatkan keuntungan yang layak atas investasinya. Selain penjual dalam bisnis adalah pembeli
yang hams dihormati hak-haknya dalam perlakuan dan pelayanannya. Nabi Muhammad pernah
bersabda yang artinya bersahabatlah kamu seperti anggota keluarga dan berbisnislah kamu seperti
orang lain.
Dengan demikian tidak ada istilah kepada keluarganya pebisnis menetapkan harga yang
lebih murah dari orang lain dan memberikan pelayanan yang lebih istimewa dibandingkan
pembeli lainnya. Semua orang terutama pembeli membutuhkan sesuatu yang bermanfaat bagi diri
dan keluarganya dan karenanya tawarkanlah sesuatu yang bermanfaat dalam setiap bisnis itu.
Salah satu acuan etika yang dapat dijadikan referensi bagi pebisnis yang menyangkut
dengan tawaran manfaat dan kebaikan bagi pelanggan dan manusia adalah pemikiran Bentham
(1748-1832) dengan ide utilitarismenya. Dalam gagasan utilitarianisme Bentham dengan tegas
menyatakan bahwa perilaku yang beretika itu bilamana apa yang dilakukan tersebut mengha-
silkan kebaikan bagi orang banyak. Mudharat dan manfaat (pain and pleasure) dapat diukur
dengan kalkulus hedonistic (hedonistic calculus), yakni pengukuran tingkat kebahagiaan yang
dapat diperoleh seseorang, seperti halnya utilitas yang diperoleh konsumen akibat
mengkonsumsi suatu produk perusahaan dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkannya.
Pengukuran nilai etika dengan indikator tersebut dapat menjelaskan betapa baik manfaat dan
betapa tidak baik mudharat yang dihasilkan dari suatu aktivitas. Kendala dalam penerapan
pemikiran bentham antara lain nilainyayang sangat subjektif terutama karena tidak adanya
pemeringkatan kebahagiaan atau kepuasan.
Dalam etika bisnis yang diukur tentunya aktivitas bisnis seseorang, suatu perusahaan atau
suatu holding. Memperlengkapi pengukuran etis tidaknya suatu aktivitas, John Stuart Mill (1806-
1873) mengajukan indikator eformasi komunitas, dengan mengacu kepada kualitas kebahagiaan.
Kebahagiaan menurutnya dapat diperingkatkan, sehingga pengukuran etika dititikberatkan pada
unsur baik atau buruk dan kuantitas dan juga kualitas dari kebahagiaan itu.
Hukuman yang bersifat subjektif diperlukan dalam membuat keputusan etika.
Kebahagiaan yang berkualitas tinggi dalam teori etika Mill adalah yang mempunyai sifat
kesejahteraan, kebahagiaan mental, pendi-dikan, sensitif terhadap orang lain, berakhlak dan
sehat tubuh. Kebahagiaan jenis rendah adalah kejahatan, mementingkan diri sendiri dan sifat
pemalas. Nilai-nilai fungsi itu dimiliki oleh manusia sejati, sedangkan nilai-nilai yang rendah itu
bercampur baur dengan binatang. Etika kesejahteraan yang rendah itu memberi kesan yang buruk.
Manusia membutuhkan etika, kapan dan dimanapun juga dan karena manusia
mempunyai hak asasinya, maka praktik etika harus dikaitkan dengan hak asasi manusia. John
Locke (1632-1704) sebagai pelopor hak asasi manusia. Dalam pandangannya menyebutkan
bahwa Manusia sebagai makhluk TUHAN yang dalam hidup di dunia mempunyai hak yakni hak
manusia. Hak manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia, sebab berkaitan dengan
realitas hidup manusia sendiri. Hak tersebut dinamakan "hak manusia" sebab manusia harus
dinilai menurut martabatnya. Hak manusia tidak dapat direbut atau dicabut karena sudah ada
sejak manusia itu ada, tidak tergantung dari persetujuan orang, merupakan bagian dari
eksistensi manusia di dunia. Jadi hak manusia mempunyai sifat dasar, dan asasi, sehingga disebut
juga hak asasi manusia (human rights).
Dengan demikian semua pihak termasuk pebisnis kiranya dapat memaklumi dan
menghargai manusia sebagai pemilik hak-hak dasar, yang meliputi: hak atas kehidupan, hak milik
pribadi, dan hak atas kebebasan. Dengan memiliki kesadaran dan kehendak, manusia sebagai
makhluk memiliki hak untuk hidup, hak atas sarana untuk menunjang kehidupannya (hak milik),
dan hak atas kebebasan untuk mewujudkan kehendaknya.
Praktik bisnis yang beretika salah satunya dapat mengacu kepada pemikiran Locke. Suatu
bisnis harus dapat memberikan kepada orang lain kehidupan, menjamin hak milik seseorang,
seperti hak kepada pelanggan dan pekerja serta menghargai kebebasan dari setiap mitra atau
pesaing bisnis kita.
Hak asasi manusia yang harus dihormati pebisnis meliputi hak asasi manusia dan hak
sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki hak sosial yang terdiri dari hak ekonomi,
sosial, dan kultural. Dengan hak sosial ini manusia berhak untuk memenuhi segala kebutuhan
hidup pokok, yakni pangan, sandang, perumahan, kesehatan, kerja, dan pendidikan. Di negara
sosialis, hak-hak sosial lebih diutamakan daripada hak-hak individual. Sebaliknya di negara
liberalis setiap manusia individual lebih bebas dalam memperjuangkan hak-haknya.
Dalam paham bisnis dan ekonomi secara makro, dikenal paham sosialis dan paham
kapitalis. Paham kapitalis membenarkan adanya kepemilikan hak pribadi, sementara dalam
pandangan sosialis hak kepemilikan pribadi di dorong penghapusannya, untuk kepentingan
pemerataan. Paham Sosialis dipelopori Karl Marx yang mengusung paham sosialis dengan
menekankan agar status kepemilikan swasta dihapuskan terutama untuk beberapa komoditas
penting dan strategis demi kepentingan masyarakat. Paham sosialis tidak dapat dipertahankan,
karena berbenturan dengan hak azasi manusia dan berati tidak sesuai dengan nilai-nilai etika
bisnis.
Menurut Mihaly (2008:14) Kebutuhan-kebutuhan yang diatur dan diprioritaskan secara
terpusat dalam paham solusi sosialis dengan menentu-kan produksi dan konsumsi, terbukti
sangat lemah dan akhirnya hancur karena tidak bisa menghasilkan keuntungan materiil yang di
janjikan, dan sebagian karena organisasi politiknya lebih rentan digerogoti oleh keserakahan
para pemimpinnya ketimbang aristokrasi dan elit bisnis.
Pada tahap selanjutnya berkembang paham kapitalis yang mengagungkan pasar bebas
sebagai solusi, namun aspek moral manusia ternyata lebih banyak pengaruhnya kepada
kesejahteraan manusia dari pada paham ekonomi itu sendiri. Peluang untuk memperkaya diri dan
mengeksploitasi manusia sebenarnya lebih terbuka dalam paham kapitalis. Karena itu paham
apapun tidak dapat terbebas dari ajaran-ajaran filsafat yang mengutamakan nilai moral dan
kesejahteraan bagi umat manusia. Dalam paham ekonomi seperti sekarang ini para pemimpin
bisnis harusnya membuat pernyataanyang bisa dipercaya yang intinya menegaskan bahwa
dengan mendukung Groperasinya pasar bebas, tanpa kekangan regulasi sosial dan politik, kita
ikan meningkatkan kualitas hidup setiap orang.
2.4.3 Sejarah
Budaya memperlengkapi orang dengan rasa identitas dan pengertian akan perilaku yang
dapat diterima di dalam masyarakat. Beberapa dari sikap dan prilaku yang lebih penting yang
dipengaruhi oleh budaya adalah sebagai berikut:
(1) Rasa diri dan ruang;
(2) Komunikasi dan bahasa;
(3) Pakaian dan penampilan;
(4) Makanan dan kebiasaan makan;
(5) Waktu dan kesadaran akan waktu;
(6) Hubungan (keluarga, organisasi, pemerintah dan sebagainya);
(7) Nilai dan norma;
(8) Kepercayaan dan sikap;
(9) Proses mental dan pelajaran; dan
(10) Kebiasaan kerja dan praktik.
Masyarakat mempengaruhi
nilai budaya dari berbagai sumber tidak ada manusia tanpa nilai. Nilai yang dipengaruhi itu
berasal dari berbagai sumber, baik budaya, budaya agama, sekolah, maupun pengalaman hidupnya
semasa kecil. Budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat pada suatu periode waktu
tertentu akan diteruskan ke periode waktu yang lain, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Prosesi pergeseran nilai budaya tersebut biasanya dilakukan melalui kelembagaan keluarga,
agama dan sekolah (Lembaga Pendidikan). Keterkaitan dan proses pergeseran nilai budaya
tersebut dapat ditunjukkan gambar berikut.
Kehidupan dalam masyarakat kita, budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
seharusnya bukan budaya bangsa kita. KKN adalah penyimpangan yang merupakan
perpaduan nilai-nilai hubungan kekeluargaan dengan sistem kapitalis saat orde baru, sehingga
etika yang berlaku saat itu adalah etika penguasa dan etika elit pemerintah an, etika Asal Bapak
Senang (ABS) dan etika menjilat yang mengabaikan nilai-nilai moral bangsaIndonesia. Nilai-
nilai moral yang terkandung dalam Pancasila sepatutnya menjadi referensi bagi pelaku bisnis
kita, sehingga dengan demikian akan lebih menjamin tercapainya suatu masyarakat yang adil
dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Untuk menjamin kelanggengan hidup berbangsa dan bernegara pemerintah menyusun dan
memberlakukan hukum. Hukum merupakan aturan hidup yang bersifat memaksa dan si
pelanggar dapat diberi tindakan hukum yang tegas dan nyata. Hukum moral dalam banyak hal
lebih banyak mewarnai lilai-nilai etika. Hukum moral adalah tuntunan perilaku manusia yang
ditaati karena kesadaran yang bersumber pada hati nurani dan bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan.
Selain hukum moral yang biasanya tidak tertulis dan hanya ditulis untuk penjelasan
informasi semata, etika bisnis juga mengadopsi aturan-aturan yang berlaku pada suatu daerah,
negara atau kesepakatan-kesepakatan hukum internasional. Harapan-harapan etika ditentukan
oleh hukum yang berlaku itu. Hukurn mengatur serta mendorong perbaikan masalah yang
dipandang buruk atau baik dalam suatu komunitas. Sayangnya hingga saat ini kita masih
menemukan kendala-kendala penyelenggaraan hukum etika di Indonesia.
Hukum etika dalam masyarakat kita terutama dalam etika bisnis belum mampu
mengantisipasi perkembangan bisnis. Kita memakluminya, karena hukum dibuat setelah
pelanggaran-pelanggaran itu terjadi dalam suatu komunitas. Dengan sistem hukum yang ada
dan ditambah dengan hukum agama dan adat sebenarnya Indonesia tidak kekurangan referensi
etika yang berasal dari hukum. Dalam banyak hal dan kesempatan pelaku usaha kita lebih
banyak menggunakan perangkat hukum sebagai cermin etika dalam penyelenggaraan fungsi
dan kegiatan bisnisnya. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa hukum memiliki bentuk
hukuman yang paling tegas dan jelas dibandingkan dengan sumber-sumber etika lainnya.
Filsafat, budaya dan agama cenderung pada hukuman yang abstrak seperti dosa, malu, tidak
berbudaya dan sebagainya.
Menyadari pada hukum semata dalam penyelenggaraan etika dapat berdampak negatif
pada pertumbuhan bisnis di masa yang akan datang. Untuk itu beberapa aspek yang belum
terakomodir dalam hukum etika harus dicari jalan keluarnya. Misalnya hubungan
interpersonal kerja dengan pesaing yang masih lemah dan kelaziman perbuatan curang dalam
pelelangan umum pada instansi pemerintah dengan penyediaan pendamping oleh satu atau group
perusahaan yang berbenturan dengan hukum. Harus segera diatur aturan hukumnya. Negara dan
aparatur hukum juga harus mampu menggali perkembangan bisnis dan dengan sesegera
mungkin membuat produk hukumnya, sehingga kehadiran hukum dapat menyelesaikan masalah
etika yang dihadapi tepat pada waktunya. Masalah dalam penegakan etika bisnis di Indonesia
yang masih dirasakan antara lain adalah belum efektifnya pemberlakuan Undang-undang tentang
hak cipta, Undang-undang pornografi dan pornoaksi.
Selain itu kendala yang di hadapi adalah sulitnya memahami bahasa hukum, demikian
juga kepastiannya. Sesuatu baru dapat dianggap legal,setelah adanya putusan pengadilan
(praduga tak bersalah) dan dalam banyak hal pengadilan tetap mempertimbangkan nilai-nilai
moral dalam penetapan keputusannya. Hal ini dapat melahirkan sikap masyarakat bisnis yang
menganggap tindakannya benar bilamana tidak melanggar hukum walaupun itu tidak etis dan
bermoral.
Beberapa aturan yang dapat dipakai untuk praktik etika bisnis di Indonesia antara lain
adalah; Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat di Indonesia; Undang-undang Anti Korupsi, Undang-undang Pornografi dan
Pornoaksi; Undang-undang Hak Cipta.
2.4.4 Agama
Agama adalah sumber dari segala moral dalam etika apapun dengan kebenarannya yang
absolut. Tiada keraguan dan tidak boleh diragukan nilai-nilai etika yang bersumber dari agama.
Agama berkorelasi kuat dengan moral. Setiap agama mengandung ajaran moral atau etika yang
di jadikan pegangan bagi para penganutnya. Pada umumnya, kehidupan beragama yang baik akan
menghasilkan kehidupan moral yang baik pula. Orang-orang dalam organisasi bisnis secara
luas harus menganut nilai shiddiq, tabligh, amanah dan fathanah.
1.Shiddiq dapat dimaknai jujur, benar atau sungguh;
2. Tabligh berarti menyampaikan, kemampuan berkomunikasi, menjalinhubungan, menjalin
kerjasama, membentuk reputasi diri dan seterusnya;
3. Amanah berarti dapat dipercaya, punya kelayakan untuk dipercaya ataucredible baik secara
moral maupun secara profesional dan fathanahbermakna kecerdasan atau kecerdikan.
Sebagai ajaran yang menetapkan baik-buruk, benar dan salah suatu tindakan atau perilaku
manusia termasuk penyelenggaraan ekonomi dan bisnis, maka etika sering mengandalkan
sumber ajaran agama. Umat Kristiani dalam beretika bisnis merujuk kepada kitab suci agama
Kristen yaitu Injil, kaum Yahudi kepada Kitab Taurat, dan Umat Islam kepada etika Al-Qur'an.
Penganut-penganut agama tertentu dengan keyakinannya menggunakan kitab suci yang berasal
dari Tuhan sebagai referensi dalam beretika bisnis. Agama-agama langit (Kristen, Yahudi, dan
Islam) dalam pandangan Hans Kung (2005) memiliki prinsip-prinsip dasar yang sama dalam
etika, yakni keadilan, saling menghormati, dan kejujuran. Referensi agama sebagai metode dan
nilai etika biasanya memberikan keberuntungan kepada segenap partisipan bisnis baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, di dunia dan juga di akhirat kelak.
Menurut pandangan Islam etika manajemen bisnis berdiri atas empat pilar, yakni:
Pertama "Tauhid" yang berarti bahwa segala asset dari transaksi bisnis yang terjadi di dunia
adalah milik Allah, manusia hanya mendapatkan amanah untuk mengelolanya. Kedua "Adil",
artinya segala keputusan menyangkut transaksi dengan lawan bisnis atau kesepakatan kerja hams
dilandasi dengan "akad saling setuju" dengan sistem "profit and loss sharing". Ketiga
"kehendak bebas" dalam hal ini manajemen Islam mempersilahkan umatnya untuk
menumpahkan kreativitas dalam melakukan transaksi bisnisnya sepanjang memenuhi asas hukum
ekonomi Islam, yaitu halal dan Keempat adalah pertanggungjawaban"semua
keputusanseorang pemimpin harus "dipertanggungjawabkan oleh yang bersangkutan.
Dalam ajaran Islam, etika bisnis ditekankan pada empat hal, yaitu: kesatuan;
keseimbangan; kebebasan, dan; tanggung jawab. Etika bisnis Islam sesungguhnya menjunjung
tinggi semangat saling percaya, kejujuran dan keadilan. Moto seperti jujur untuk modal, akal
untuk laba adalah ajaran-ajaran etika yang bersumber dari agama dan moral. Selain sumber
rujukan tersebut dapat pula digunakan nilai yang positif yang berkembang di lingkungan
umum, lingkungan pekerjaan, dan hati nurani kita.
Daftar Pustaka