Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KEDOKTERAN TROPIS

MODUL I : LESU

OLEH:

KELOMPOK VI

Ivana Yusuf

Andi Asas Mubarak

Reskiyani Ashar

Nur Ismiastuty Alimuddin

Dewi Sartika

Azhar Fauzan

Miftahulhaq H. Ali

Ahmad Yani

Sahfirani

Harry Murdi Abbas

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2013
SKENARIO

Seorang anak perempuan berumur 8 tahun diantar ibunya ke puskesmas dengan


keluhan lesu. Gejala ini juga disertai dengan penurunan nafsu makan dan tidak mempunyai
keinginan belajar dan bermain. Keadaan ini dialami oleh anak tersebut sejak 8 bulan yang
lalu sejak pulang dari berlibur di kampungnya di kabupaten Mamuju selama 1 bulan.

ANALISIS KUNCI

Anak perempuan
Usia 8 tahun
Lesu, sejak 8 bulan lalu
Kabupaten Mamuju

PERTANYAAN

1. Apa saja yang dapat menyebabkan lesu?


2. Bagaimana patomekanisme lesu?
3. Penyakit apa saja yang memiliki gejala lesu?
4. Bagaimana menegakkan diagnosisnya?
5. Bagaimana penatalaksanaannya?
6. Bagaiman pencegahannya?
7. Bagaimana prognosisnya?

PEMBAHASAN

1. Terjadinya suatu penyakit dapat disebabkan oleh dua hal yaitu penyebab infeksi dan
non-infeksi. Pada diskusi kelompok, kami hanya membahas Lesu dari aspek kausa
infeksi.
Definisi lesu atau malaise itu sendiri adalah ...
Penyakit infeksi, khususnya Penyakit parasitik yang merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia antara lain :
a. Malaria
b. Toksoplasmosis
c. Penyakit yang disebabkan cacing yang ditularkan melalui tanah(soil transmitted
helmints)
d. Filariasis
e. mikosis superfisialis

Walaupun begitu, berdasarkan data dari kasus yaitu :


Anak perempuan berumur 8 tahun
Keluhan utama Lesu sejak 8 bulan lalu
Setelah berlibur di Mamuju

Maka arah diskusi kami hanya menuju pada penyakit Malaria, Penyakit yang
disebabkan cacing yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helmints) dan
Filariasis.

2. Patomekanisme Lesu

Petomekanisme gejala

Infeksi parasit

Hemolisis Mengambil nutrisi Menghisap darah Gangguan tidur

Defisiensi bahan2
pembentuk darah

Anemia

LESU

Penjelasan bagan

1. Infeksi parasit yang dapat menyebabkan terjadinya hemolisis eritrosit adalah adanya
infeksi plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina(hospes
definitif). Seperti kita ketahui, habitat yang paling disukai oleh plasmodium dalam
tubuh manusia adalah eritrosit, yang digunakan sebagai tempat untuk reproduksi
aseksual . Sehingga, apabila plasmodium menginfeksi, dan menyebabkan eritrosit
pecah sehingga mengeluarkan plasmodium dalam darah, maka akan terjadi interaksi
antigen (plasmodium) dan antibodi yang menyebabkan dilepaskannya sitokin(IL-1,
TNF ) yang dapat merangsang pusat thermoregulator tubuh (hipothalamus) sehingga
menyebabkan gejala demam. Gejala demam ini merupakan gejala utama dari penyakit
malaria. Anemia terjadi apabila jumlah eritorit yang pecah sangat banyak sehingga
menyebabkan berkurangnya kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Anemia
ini bila berlangsung terus-menerus akan memberikan manifestasi lesu pada anak.
2. infeksi parasit yang mengambil nutrisi pada tubuh manusia. Nutrisi yang dimaksud
dalam hal ini adalah bahan-bahan pembentuk darah seperti :
a. asam folat, dan vitamin B12 yang merupakan bahan pokok pembentuk inti sel
b. Fe : sangat diperlukan dalam pembentukan hemoglobin
c. cobalt,magnesium, Cu, Zn, asam amino, dll.

Apabila terjadi defisiensi salah saru darii zat-zat tersebut, maka akan mengganggu
pembentukan eritrosit yang baru juga mempengaruhi pembentukan hemoglobin. Sehingga
apabila terus terjadi dapat mengakibatkan terjadinya anemia.

Parasit yang hidup dengan menyerap zat-zat makanan yang terdapat pada mukosa
usus apabila menginfeksi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Taenia
saginata, Taenia solium , Schistosoma japonicum,dll.

3. infeksi parasit yang dapat menghisap darah.


Pada infeksi kronik parasit penghisap darah seperti jenis cacing tambang dan
Strongyloides stercoralis, dapat terjadi anemia hipokrom mikrositer.
4. infeksi Enterobius vermicularis dapat memberikan gejala berupa pruritus ani yang
khususnya bermenifestasi saat malam hari. Sehingga, akan mengganggu tidur
penderita yang akhirnya dapat menyebabkan lesu.

3. Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan lesu


Berdasarkan epidemiologi dan prevalensi terjadinya penyakit khususnya di daerah
Sulawesi Barat (Kab. Mamuju) maka differensial diagnosisnya yaitu :

o Penyakit yang disebabkan cacing yang ditularkan melalui tanah(soil


transmitted helminths)
Alasannya : Pada kasus ini, pasien sebelumnya pernah berlibur ke Kab. Mamuju
selama 1 bulan. Menurut laporan epidemiologi dari Dinkes Polewali Mandar tahun
2009 disebutkan bahwa prevalensi kecacingan pada anak SD di tahun 2009 kembali
tinggi yaitu sekitar 64,5 % setelah pada dua tahun sebelumnya (2007) prevalensi
kecacingan ini hanya sekitar 13,26 %. Penurunan prevalensi pada tahun 2007 tersebut
terjadi karena pada tahun 2005 dimana angka kecacingan pada daerah ini mencapai
angka 35-45 %, mendapat intervensi dari pemerintah yaitu pemberian obat cacing
pada anak SD (pirantel pamoat dan Albendazole) serta pengembangan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan perbaikan sarana air bersih serta sanitasi.
Intervensi ini telah memberikan hasil yang sangat signifikan dittahun 2006-2007.
Pada tahun 2008 intervensi tersebut tidak dilakukan lagi secara maksimal bahkan
cenderung diabaikan, dengan alasan prevalensi kecacingan di tahun 2007 telah turun
sampai batas indikator yang dikatakan sebagai kategori ringan. Hal iniah yang
mengakibatkan mulai tahun 2009 kembali terjadi peningkatan prevalensi kecacingan
di daerah tersebut . (Sumber : Laporan Epidemiologi Epidemiologi dinkes Polewali
Mandar 2009)
Walaupun tidak ada data mengenai prevalensi kecacingan khususnya di kab.
Mamuju, akan tetapi data dari Kab. Polewali Mandar yang memiliki daerah geografis
yang sama dengan Kab. Mamuju sudah dapat menggambarkan tentang angka
kejadian kecacingan yang masih tinggi di Sulawesi barat sampai pada data tahun
2009. Atas dasar itulah mengapa Penyakit yang disebabkan cacing yang ditularkan
melalui tanah ini menjadi salah satu diferensial diagnosis kelompok kami.
o Malaria
Alasannya : karena daerah Mamuju masih merupakan daerah endemis kejadian
Malaria. Akan tetapi, jika dilihat dari keluhan utama pasien yaitu lesu, maka penyakit
Malaria ini tidak dapat dimasukkan sebagai Diferensial diagnosis, kecuali ada data
yang menyebutkan bahwa pasien sebelumnya pernah mengalami demam.
o Filariasis
Alasannya : Dalam modul eliminasi penyakit kaki gajah yang diterbitkan oleh Depkes RI
melalui Ditjen PPM dan PL direktorat P2B2 subdit Filariasis dan Scistosomiasis (2002)
endemisitas kejadian filariasis salah satunya juga terdapat di Kab. Mamuju, Sulawesi Barat.
Terbukti sampai pada tahun 2010 pemerintah setempat(berkoordinasi dengan Subdit filariasis
& schistomiasis, Direktorat P2B2, ditjen PP&PL Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia) masih memberikan obat anti filaria secara massal pada warganya. Hal ini
menunjukkan bahwa masih tingginya kejadian Filaria di daerah tersebut.

4. Differensial diagnosis
I. Ascariasis
A. Definisi
Ascariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing Ascaris
lumbricoides biasa disebut round worm of man yaitu suatu penyakit parasit usus
pada manusia yang terbesar, disebut juga cacing gelang. Penyebarannya luas dan
merata di daerah tropik, sub-tropik dan lebih banyak ditemukan di daerah pinggiran
dibandingkan di kota. Cacing ini hidup di rongga usus halus. Di Indonesia, penderita
Askariasis didominasi oleh anak-anak.

B. Etiologi
Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya bersarang
dalam usus halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan mengadakan gangguan
keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus, mengadakan iritasi setempat
sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan penyerapan makanan.

C. Morfologi

Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat


(conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak
melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar 3 -6
mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan
panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna yang sama
dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral
Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan
mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau
dipanjangkan untuk memasukkan makanan.

Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum tebal yang


berdampingan dengan hipodermis dan menonjol kedalam rongga badan sebagai
korda lateral. Sel otot somatik besar dan panjang dan terletak di hipodermis;
gambaran histologinya merupakan sifat tipe polymyarincoelomyarin. Alat
reproduksi dan saluran pencernaan mengapung didalam rongga badan, cacing
jantan mempunyai dua buah spekulum yang dapat keluar dari kloaka dan pada
cacing betina, vulva terbuka pada perbatasan sepertiga badan anterior dan tengah,
bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cincin kopulasi.
Telur Ascaris lumbocoides

Telur yang di buahi (fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran 60-70 x


0-50 mikron. Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel ini
dikelilingi suatu membran vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur
cacing tersebut terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup
sampai satu tahun. Di sekitar membran ini ada kulit bening dan tebal yang dikelilingi
lagi oleh lapisan albuminoid yang permukaanya tidak teratur atau berdungkul
(mamillation). Lapisan albuminoid ini kadang-kadang dilepaskan atau hilang oleh zat
kimia yang menghasilkan telur tanpa kulit (decorticated). Didalam rongga usus, telur
memperoleh warna kecoklatan dari pigmen empedu. Telur yang tidak dibuahi
(unfertilized) berada dalam tinja, bentuk telur lebih lonjong dan mempunyai
ukuran 88-94 x 40-44 mikron, memiliki dinding yang tipis, berwarna coklat dengan
lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur.

D. Daur Hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides,


jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan
pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam vena
porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung kanan
dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa migrasi
berlangsung selama sekitar 15 hari.

Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali


kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk
sampai ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke
oesopagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglottis masuk
kedalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus halus bagian atas,
larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira
satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan.
Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua
bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu
mengeluarkan 200.000 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan
adalah 3 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif.

Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur


tersebut keluar bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari
stadium larva I sampai stadium III yang bersifat infektif.

Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup
bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-anak terkena
infeksi secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain menjadi
dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar dan dapat hidup
selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimanamana, menyebar
melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila makanan atau minuman yang
mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan
berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya
dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun melalui kontak
langsung dengan kulit.
Life Circle of Ascaris lumbricoides.

E. Epidemiologi

Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak


sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena
kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka
tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh
larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit
akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides.

Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai
sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh
telur dan larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah polusi
lingkungan sekitarnya. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini
terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban
sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini
juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang
rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang
kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing
yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik

Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik
dengan suhu optimal adalah 23oC sampai 30oC. Jenis tanah liat merupakan tanah yang
sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka
telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan

F. Penularan

Penularan Ascariasis dapat terjadi melalui bebrapa jalan yaitu masuknya


telur yang infektif kedalammulut bersama makanan atau minuman yang tercemar,
tertelan telur melalui tangan yang kotor dan terhirupnya telur infektif bersama
debu udara dimana telur infektif tersebut akan menetas pada saluran pernapasan
bagian atas, untuk kemudian menembus pembuluh darah dan memasuki aliran
darah.

G. Gejala Klinis

Kelainan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat


pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang
kena infeksi tidak menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup
besar (hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi,
selain itu cacing itu sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan
reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai dengan
tanda alergi seperti urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan
bagian atas. Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik
seperti obstruksi usus, perforasi ulkus diusus. Oleh karena adanya migrasi
cacing ke organ-organ misalnya ke lambung, oesophagus, mulut, hidung dan bronkus
dapat menyumbat pernapasan penderita. Ada kalanya askariasis menimbulkan
manifestasi berat dan gawat dalam beberapa keadaan sebagai berikut :

1. Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang menyumbat
rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.
2. Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam apendiks,
saluran empedu (duktus choledocus) dan ductus pankreatikus.
Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat
disusul kolangitis supuratif dan abses multiple. Peradangan terjadi karena
desintegrasi cacing yang terjebak dan infeksi sekunder. Desintegrasi betina
menyebabkan dilepaskannya telur dalam jumlah yang besar yang dapat dikenali
dalam pemeriksaan histologi. Untuk menegakkan diagnosis pasti harus ditemukan cacing
dewasa dalam tinja atau muntahan penderita dan telur cacing dengan bentuk yang
khas dapat dijumpai dalam tinja atau didalam cairan empedu penderita melalui
pemeriksaan mikroskopik.

H. Diagnosis
Anamnesis tambahan yang bisa diajukan sesuai kasus :
1. Selain lesu, apakah pasien pernah menderita demam?
2. Apakah pasien pernah mengeluh sesak nafas?
3. apakah sebelumnya pernah ada gejala berupa muntah, nyeri perut, ataupun diare?
Untuk mendiagnosis pasti Ditemukan telur pada tinja /ditemukan cacing dewasa
pada anus, hidung, atau mulut

I. Pencegahan dan Upaya Penanggulangan

Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya
pencegahannya dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene keluarga
dan hygiene pribadi seperti
Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan
dicuci terlebih dahulu dengan menggunkan sabun.
Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah
dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat. Karena telur cacing Ascaris
dapat hidup dalam tanah selama bertahuntahun, pencegahan dan
pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.

Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut :

1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik


ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing
misalnya memakai jamban/WC.
4. Makan makanan yang dimasak saja.
5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang menggunakan
tinja sebagai pupuk

J. Pengobatan

Bila mungkin, semua yang positif sebaiknya diobati, tanpa melihat beban
cacing karena jumlah cacing yang kecilpun dapat menyebabkan migrasi ektopik
dengan akibat yang membahayakan. Untuk pengobatan tentunya semua obat dapat
digunakan untuk mengobati Ascariasis, baik untuk pengobatan perseorangan
maupun pengobatan massal.

Pada waktu yang lalu obat yang sering dipakai seperti : piperazin, minyak
chenopodium, hetrazan dan tiabendazol. Oleh karena obat tersebut menimbulkan efek
samping dan sulitnya pemberian obat tersebut, maka obat cacing sekarang ini
berspektrum luas, lebih aman dan memberikan efek samping yang lebih kecil dan
mudah pemakaiannya

Adapun obat yang sekarang ini dipakai dalam pengobatan adalah :

1. Mebendazol.

Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes
yang baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari,
tanpa melihat umur, dengan menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa kasus
terjadi migrasi ektopik.

2. Pirantel Pamoat.

Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk


menyembuhkan kasus lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah ringan
dan obat ini biasanya dapat diterima (welltolerated). Obat ini mempunyai
keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing tambang. Obat
berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana infeksi multipel berbagai
cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.
3. Levamisol Hidroklorida.

Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang
menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam dosis
tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg untuk orang dengan berat
badan <10 kg. Efek sampingan lebih banyak dari pada pirantel pamoat dan
mebendazol.

4. Garam Piperazin.

Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk Enterobius
vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat diberikan dalam
dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan 750 mg piperazin).
Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat dan mebendazol. Ada
kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti berjalan tidak tetap
(unsteadiness) dan vertigo.

K. Prognosis & komplikasi


Pada umumnya baik. Kesembuhannya mencapai 70 -99%. Komplikasi bisa
disebabkan oleh cacing dewasa yang berrgerak ke organ tertentu menyebabkan
blockage usus. Komplikasi yang mungkin terjadi :
1. Penghambatan sekresi liver
2. Ileus obstrutif
3. Perforasi Usus

II. Trichuriasis
A. Morfologi

Trichuris trichiura termasuk nematoda usus yang biasanya dinamakan cacing


cemeti atau cambuk, karena tubuhnya menyerupai cemeti dengan bagian depan yang
tipis dan bagian belakangnya yang jauh lebih tebal. Cacing ini pada umumnya hidup di
sekum manusia, sebagai penyebab Trichuriasis dan tersebar secara kosmopilitan.

Trichuris trichiura jauh lebih kecil dari Ascaris lumbricoides, anterior panjang
dan sangat halus, posterior lebih tebal. Betina panjangnya 35-50 mm, dan jantan
panjangnya 30-45 mm. Telur berukuran 50-54 x 32 mikron, bentuk seperti
tempayan/tong, di kedua ujung ada operkulum (mukus yang jernih) berwarna kuning
tengguli, bagian dalam jernih, dan dalam feses segar terdapat sel telur.

Cacing Trichuris trichiura dewasa

Telur dengan ukuran 50-55 m x 22-24 m berbentuk seperti tempayan dengan


semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna
kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih

Telur Trichuris Trichura

Telur yang keluar bersama tinja penderita belum mengandung larva, oleh
karena itu belum infektif. Jika telur jatuh di tanah yang sesuai, dalam waktu 3-4
minggu telur berkembang menjadi infektif. Bila telur yang infektif termakan manusia,
di dalam usus halus dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum untuk
selanjutnya tumbuh menjadi dewasa. Untuk mengambil makanannya, cacing
memasukkan bagian anterior tubuhnya ke dalam mukosa usus hospes. Satu bulan
sejak masuknya telur ke dalam mulut, cacing dewasa telah mulai mampu bertelur.
Cacing ini dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia
Cycle hidup Trichuris trichura

B. Epidemiologi

Daerah penyebaran dari Trichuris trichiura, sama dengan Ascaris lumbricoides,


sehingga kedua cacing ini sering di temukan bersama-sama dalam 1 hospes. Di
Indonesia, Frekuensinya tinggi, terutama didaearah-daerah pedesaan, antara 30% - 90%.
Terutama ditemukan pada anak-anak. Faktor terpenting dalam penyebaran trichuriasis
adalah kontaminasi tanah oleh feses penderita, yang akan berkembang dengan baik
pada tanah liat, lembab dan teduh.

Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan


tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira
30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun
merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa
daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang
sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis,
pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan
perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik
sayuran yang dimakan mentah adalah pentingapalagi di negera-negera yang memakai
tinja sebagai pupuk

C. Gejala Klinik

Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi
dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak,
cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa
rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu
defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi
trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat
perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini mengisap
darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.

Gejala klinik hanya timbul jika terdapat infeksi yang berat. Penderita mengalami
anemia yang berat dengan hemoglobin di bawah 3 %, diare disertai oleh tinja yang
berdarah, nyeri perut dan muntah-muntah serta mual. Berat badan penderita akan
menurun. Kadang-kadang pada anak dan bayi terjadi prolaps dari rektum dengan cacing
tampak melekat pada mukosa.

D. Penularan
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga
ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini
tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektu yang
mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini
memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat
menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini juga mengisap darah hospesnya
sehingga dapat menyebabkan anemia.

E. Diagnosis
Anamnesis tambahan yang dapat diajukan sesuai dengan kasus:
1. Selain lesu, apakah anak pernah mengalami diare dengan tinja berdarah?
2. Adakah penurunan berat badan ?
3. Apakah ada nyeri perut dan mual yang dirasakan sebleumnya?
Untuk diganosis pasti Ditemukannya telur atau cacing pada pemeriksaan tinja.

F. Pengobatan
- Perawatan umum
Hygiene pasien diperbaiki dan diberikan diet tinggi kalori, sedangkan anemia
dapat diatasi dengan pemberian preparat besi.
- Pengobatan spesifik
Bila keadaan ringan dan tak menimbulkan gejala, penyakit ini tidak diobati.
Tetapi bila menimbulkan gejala, dapat diberkan obat.
Diltiasimin Jodida, diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg bb/hari selama 3-5
hari.
Stilbazium Yodida, diberikan dengan dosis 10 mg/kg bb/hari, 2 kali sehari
selama 3 hari dan bila diperlukan dapat diberikan dalam waktu yang lebih
lama. Efek samping obat ini adalah rasa mual, nyeri pada perut dan warna
tinja menjadi merah.
Heksiresorsinol 0,2%, dapat diberikan 500 ml dalam bentuk enema, dalam
waktu 1 jam.
Mebendazole, diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari, atau
dengan dosis tunggal 600 mg.

G. Komplikasi
Bila infeksi berat dapat terjadi perforasi usus atau prolapsus rekti

H. Prognosis
Dengan pengobatan yang adekuat prognosis baik

III. Filariasis
A. Definisi
Filariasis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh infestasi satu
atau dua cacing jenis filarial yaitu Wucheria bancrofti atau Brugia malayi. Cacing
filarial ini termasuk family filaridae, yang bentuknya langsing dan ditemukan di
dalam system peredaran darah limfe, otot, jaringan ikat atau rongga serosa pada
vertebrata. Cacing bentuk dewasa dapat ditemukan pada pembuluh dan jaringan limfa
pasien.

B. Siklus Hidup & morfologi


Hospes definitif adalah hanya manusia. Penularan penyakit ini melalui vector
nyamuk yang sesuai. Cacing bentuk dewasa tinggal di pembuluh limfe dan
mikrofilaria terdapat di oembuluh darah dan limfe.
Pada manusia W. bancrofti dapat hidup selama kira-kira 5 tahun. Sesudah
menembus kulit melalui gigitan nyamuk, larva meneruskan perjalanannya ke
pembuluh dan kelenjar limfe tempat mereka tumbuh sampai dewasa dalam waktu satu
tahun. Cacing dewasa ini sering menimbulkan varises saluran limfe anggota kaki
bagian bawah, kelenjar ari-ari, dan epididymis pada laki-laki serta kelenjar labium
pada wanita. Mikrofilaria kemudian meninggalkan cacing induknya, menembus
dinding pembuluh limfe menuju ke pembuluh darah yang berdekatan atau terbawa
oleh saluran limfe ke dalam aliran darah.

Wuchereria bancrofti Brugia malayi Brugia timori

Cacing jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe; bentuknya halus
seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria
yang bersarung. Microfilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi
pada waktu-waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas. Pada umumnya,
microfilaria W. bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya microfilaria hanya
terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari, microfilaria terdapat
di kapiler alat dalam paru, jantung, ginjal dan sebagainya.
C. Epidemiologi
Menurut Laurence (1967) dalam Soeyoko, 2002) penyakit kaki gajah telah
dikenal 600 tahun sebelum Masehi, sejak diketahui ada seorang pengikut agama
Budha menderita kakinya bengkak seperti kaki gajah sehingga orang tersebut diusir
dari lingkungannya. Filariasis limfatik mempengaruhi lebih dari 170 juta orang di
seluruh dunia dan ditemukan di tempat tropik dan subtropik. Sekurang-kurangnya
terdapat 21 juta penderita limfatik filariasis di equatorial Afrika dan amerika selatan
filariasis di seluruh dunia masih terus meningkat.
Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan di Jakarta yaitu dengan
ditemukannya penderita filariasis skrotum. Pada saat itu pula maka Jakarta diketahui
endemik filariasis limfatik yang disebabkan oleh W. bancrofti. Mikrofilaria dari filaria
tersebut mempunyai morfologi yang berbeda dengan W. bancrofti. Demikian juga
manifestasi klinisnya berbeda dengan manifestasi klinis oleh infeksi W.bancrofti.
Brugia malayi belum teridentifikasi sampai tahun 1927, pada saat itu masih
dinamakan Filaria malayi. Pada tahun yang sama Lichtenstein merubah nama genus
menjadi Brugia tetapi nama spesies tetap. Pinhao dan David dan Edeson (1961) dalam
Sudomo, 2008) telah menemukan mikrofilaria yang mirip dengan microfilaria
B.malayi pada manusia di Timor Portugis.
Biasanya daerah endemik B.malayi adalah daerah dengan hutan rawa (swampy
forest), sepanjang sungai besar atau badan air yang lain. Sedangkan daerah endemik
W. bancrofti perkotaan adalah daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan
banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor parasit tersebut, yaitu Cx.
Quinquefasciatus, tidak seperti W. bancrofti, gambaran epidemiologi B. malayi lebih
rumit. Spesies Brugia malayi di Indonesia dibagi menjadi tiga bentuk (strain) yang
dibagi menurut periodisitas mikrofilaria di dalam darah, yaitu bentuk periodik
nokturna, sub-periodik nokturna dan non- periodik. Walaupun antara berbagai tipe B.
malayi dapat dibedakan secara morfologi dan epidemiologi, tetapi manifestasi
klinisnya sama saja.
D. Patologi
Perubahan patologi utama disebabkan oleh kerusakan pembuluh getah bening
akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa, bukan oleh mikrofilaria.
Cacing dewasa hidup di pembuluh getah bening aferen atau sinus kelenjar getah
bening dan menyebabkan pelebaran pembuluh getah bening dan penebalan dinding
pembuluh. Infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di dalam dan disekitar
pembuluh getah bening yang mengalami inflamasi bersama dengan proliferasi sel
endotel dan jaringan penunjang, menyebabkan berliku-likunya system limfatik dan
kerusakan atau inkompetensi katup pembuluh getah bening.
Limfedema dan perubahan kronik akibat stasis bersama dengan edema keras
terjadi pada kulit yang mendasarinya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada kulit
yang mendasarinya. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat filariasis ini disebabkan
oleh efek langsung daric acing ini dan oleh respon imun pejamuterhadap parasit.
Respon imun ini dipercaya menyebabkan proses granulomatosa dan proliferasi yang
menyebabkan obstruksi total pembuluh getah bening.

E. Gejala Klinik
Gejala klisnis filariasis limfatik disebabkan oleh microfilaria dan cacing
dewasa baik yang hidup maupun yang mati. Microfilaria biasanya tidak menimbulkan
kelainan tetapi dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan occult filariasis. Gejala
yang disebabkan oleh cacing dewasa menyebabkan limfadenitis dan limfagitis
retrograd dalam stadium akut, disusul dengan obstruktif menahun 10 sampai 15 tahun
kemudiam. Perjalanan filariasis dapat dibagi beberapa stadium: stadium
mikrofilaremia tanpa gejala klinis, stadium akut dan stadium menahun. Ketiga
stadium tumpang tindih, tanpa ada batasan yang nyata. Gejala klinis filariasis
bankrofti yang terdapat di suatu daerah mungkin berbeda dengan dengan yang
terdapat di daerah lain.
Pada penderita mikrofilaremia tanpa gejala klinis, pemeriksaan dengan
limfosintigrafi menunjukkan adanya kerusakan limfe. Cacing dewasa hidup dapat
menyumbat saluran limfe dan terjadi dilatasi pada saluran limfe, disebut
lymphangiektasia. Jika jumlah cacing dewasa banyak dan lymphangietaksia terjadi
secara intensif menyebabkan disfungsi system limfatik. Cacing yang mati
menimbulkan reaksi imflamasi. Setelah infiltrasi limfositik yang intensif, lumen
tertutup dan cacing mengalami kalsifikasi. Sumbatan sirkulasi limfatik terus berlanjut
pada individu yang terinfeksi berat sampai semua saluran limfatik tertutup
menyebabkan limfedema di daerah yang terkena. Selain itu, juga terjadi hipertrofi otot
polos di sekitar daerah yang terkena
Stadium akut ditandai dengan peradangan pada saluran dan kelenjar limfe,
berupa limfaadenitis dan limfagitis retrograd yang disertai demam dan malaise.
Gejala peradangan tersebut hilang timbul beberapa kali setahun dan berlangsung
beberapa hari sampai satu atau dua minggu lamanya. Peradangan pada system
limfatik alat kelamin laki-laki seperti funikulitis, epididimitis dan orkitis sering
dijumpai. Saluran sperma meradang, membengkak menyerupai tali dan sangat nyeri
pada perabaan. Kadang-kadang saluran sperma yang meradang tersebut menyerupai
hernia inkarserata. Pada stadium menahun gejala klinis yang paling sering dijumpai
adalah hidrokel. Dapat pula dijumpai gejala limfedema dan elephantiasis yang
mengenai seluruh tungkai, seluruh lengan, testis, payudara dan vulva. Kadang-
kadanag terjadi kiluria, yaitu urin yang berwarna putih susu yang terjadi karena
dilatasi pembuluh limfe pada system ekskretori dan urinary. Umumnya penduduk
yang tinggal di daerah endemis tidak menunjukan peradangan yang berat walaupun
mereka mengandung mikrofilaria.

F. Diagnosis
Cara diagnosis filariasis yang benar mutlak harus diketahui agar dapat
mengidentifikasi daerah-daerah yang menjadi sumber penularan dan perlu
mendapatkan prioritas pengobatan serta dapat menemukan daerah endemis baru. Cara
diagnosis tepat juga mempunyai peran penting untuk mengevaluasi keberhasilan
program pengendalian filariasis di suatu daerah. Ketajaman diagnosis sangat
diperlukan untuk keberhasilan Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2010.
Kondisi Indonesia yang sangat bervariasi membutuhkan beberapa metoda
diagnosis, dimana pengelola program filariasis di daerah dapat memilih cara diagnosis
sesuai dengan kemampuan dan fasilitas tersedia. Diagnosis filariasis limfatik telah
banyak mengalami perkembangan dari cara konvensional sederhana dan murah
sampai cara diagnosis biaya mahal mempergunakan alat-alat yang canggih hanya
dapat dilakukan di laboratorium tertentu. Cara diagnosis tersebut di antaranya:
pemeriksaan klinis, pemeriksaan langsung darah segar ujung jari, pemeriksaan darah
jari/vena dengan pewarnaan, pemeriksaan darah dengan quantitatif buffy coat (QBC),
pemeriksaan ultrasound (filara dance sign) terutama untuk evaluasi hasil pengobatan
dan hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh W. bancrofti, pemeriksaan
serologis deteksi antibodi, deteksi antigen beredar dengan teknik ELISA Sandwich
menggunakan antibodi monoclonal, immuno chromatographic test (ICT Filariasis)
merupakan cara diagnosis filariasis paling sensitif pada saat ini deteksi DNA dengan
metoda polymerase chain reaction (PCR) dan lymphangiography.
Pemeriksaan klinis merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah tapi
gejala klinis filariasis sangat bervariasi, mempunyai spektrum sangat luas dan sangat
tergantung masing-masing individu dan spesies penyebabnya. Penderita tidak
menunjukkan gejala sama sekali (asimtomatik), atau menunjukkan gejala-gejala akut
dan ada yang berkembang menjadi kronik. Gejala-gejala klinis seperti demam,
limfadenitis, limfangitis desendens, abses, funikulitis, epididimitis dan orkitis sifatnya
sementara dan dapat sembuh spontan tanpa pengobatan serta dapat terjadi
berulangulang.
Gejala akut (demam) biasanya muncul jika penderita bekerja berat (kelelahan)
dan segera hilang setelah istirahat penuh. Limfadenitis dan limfangitis dapat timbul
pada sistem limfe dimana saja, tetapi kebanyakan di daerah lipat paha kemudian
menjalar ke arah distal (desendens) terlihat sepert tali berwarna merah dan terasa
nyeri. Gejala kronik seperti sikatrik, hidrokel testis dan elephantiasis sifatnya
menetap. Pada filariasis bancrofti dapat terjadi elephantiasis pada seluruh kaki atau
lengan sedangkan pada filariasis malayi atau timori hanya terjadi elefantiasis di
bawah lutut. Di daerah endemik filariasis munculnya gejala-gejala klinis bervariasi,
ada yang cepat, ada yang lambat sampai beberapa tahun, tetapi ada yang tidak
menunjukkan gejala klinis sama sekali sepanjang hidupnya walaupun sudah terinfeksi
filaria.
Penduduk berasal dari daerah non-endemis filariasis apabila terkena infeksi
pada umumnya akan menunjukkan gejala-gejala akut, munculnya lebih cepat daripada
penduduk asli dan penderita tampak sakit lebih berat. Diagnosis filariasis berdasarkan
pemeriksaan klinis memang murah dan cepat, namun banyak kelemahannya karena
sebagian besar penderita walaupun telah terinfeksi filaria tidak menunjukkan gejala
klinis sama sekali (asimtomatik) terutama pada penduduk asli, sehingga diperlukan
konfirmasi cara diagnosis lainnya.
Pemeriksaan klinis dapat dimanfaatkan untuk dengan cepat memperkirakan
atau menentukan tingkat endemisitas suatu daerah, karena berdasarkan pengalaman
beberapa kali penelitian dapat disimpulkan bahwa jika diantara 1000 penduduk
ditemukan seorang menderita elephantiasis dapat diperkirakan ada 10 penderita
menunjukkan gejala klinis akut dan kurang lebih terdapat 100 penderita yang didalam
darahnya terdapat mikrofilaria (10%). Keadaan ini menyebabkan daerah tersebut
dengan cepat dapat diperkirakan tingkat endemisitasnya, yaitu 10% (Dep.Kes.RI.,
1999). Atau hasil pemeriksaan klinis merupakan petunjuk awal ditemukannya daerah
endemik filariasis baru, dan hasil temuan ini harus segera dilanjutkan dengan
pemeriksaan darah ujung jari untuk menentukan angka mikrofilaria di daerah tersebut
dengan pasti.
Konfirmasi diagnosis filariasis yang paling tepat dan murah adalah dengan
cara pemeriksaan mikroskopis darah ujung jari untuk mengetahui adanya mikrofilaria.
Darah ujung jari yang diambil waktu malam hari dapat dipulas dengan Giemsa atau
dilihat secara langsung dengan mikroskop. Pemeriksaan darah segar tanpa pewarnaan
secara langsung sangat bermanfaat bagi daerah baru yang masyarakatnya belum
mengenal filariasis dan cara diagnosis ini sekaligus dapat digunakan sebagai media
penyuluhan.
Anamnesia tambahan yang dapat diajukan sesuai dengan kasus yang dibahas
1. Apakah gejala lesu ini pertama kali dialami oleh anak tersebut?
2. Apakah sebelumnya pernah mengalami demam berulang selama 3- 5 hari?
3. Apakah ada pembengkakan didaerah lipatan paha atau ketiak?
G. Pengobatan
- Perawatan Umum
Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah yang dingin akan
mengurangi derajat serangan akut.
Antibiotic dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses.
Pengikatan di daerah bendungan akan mengurangi oedema.
- Medikamentosa
Obat pilihan dapat diberikan dietilkarbamasin sitrat (DEC). Dosis untuk filariasis
bancrofti adalah 6 mg/kg BB/hari selama12 hari dan dosis ini dapat diulang 2-
3kali. Dosis untuk filariasis brugia adalah 5 mg/kg BB/hari selama 10 hari dan
dosis ini dapat diulang 2-3 kali.
- Pembedahan
Pada elephantiasis membutuhkan tindakan pembedahan
H. Pencegahan
- Pencegahan massal
Kontrol penyakit pada populasi adalah melalui kontrol vektor (nyamuk).
Namun hal ini terbukti tidak efektif mengingat panjangnya masa hidup parasite
(4-8 tahun). Baru-batu ini, khususnya dengan dikenalnya pengobatan dosis
tunggal, sekali pertahun, 2 regimen obat (Albendazol 400 mg dan Ivermectin 200
mg/kgBB cukup efektif). Hal ini merupakan pendekatan alternative dalam
menurunkan jumlah mikrofilaria dalam populasi.
Pada pengobatan massal program pengendalian filariasis) pemberian DEC
dosis standar tidak dianjuran lagi mengingat efek sampingnya. Untuk out, DEC
diberikan dengan disis rendah (6mg/kgBB), dengan jangka waktu pemberian yang
lebih lama untuk mecapai dosis total yang sama misalnya dalam bentuk garam
DEC 0,2-0,4% selama 9-12 bulan. Atau pemberian obat dapat dilakukan
seminggu sekali, atau dosis tunggal setiap 6 blan atau 1 tahun.

I. Prognosis
Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah
dari tempat endemic. Pengawasan daerah endemic tersebut dapat dilakukan dengan
pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus lanjut terutama
dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.
IV. Infeksi cacing tambang
A. Definisi
Ada beberapa spesies cacing tambang yang penting, diantaranya
Hospes ia manusia :
Necator americanus
Ancylostoma duodenale
Hospes anjing dan kucing :

Ancylostoma braziliense
Ancylostoma ceylanicum
Ancylostoma caninum
Apabila disebabkan oleh Necator americanus, maka penyakitnya disebut
Necatoriasis. Bila penyebabnya Ancylostoma duodenale, penyakitnya disebut
Ancylostomiasis. Penyebaran cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan di tempat
lain dengan keadaan yang sesuai. Perbedaan antara kedua cacing ini adalah pada suhu
optimum yang dibutuhkan untuk bertumbuh. Untuk N. Americanus adalah 28C -
32C dan untuk A. Duodenale sedikit lebih rendah : 23C - 25C. Inilah sebab
mengapa N. Americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada A. duodenale.

B. Etiologi

Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi A. duodenale juga
dapat terjadi dengan menelan larva filariform. Karakteristiknya adalah sebagai
berikut :

Karakteristik N. americanus A. duodenale


Ukuran cacing dewasa
- Jantan 0,7 0,9 cm 0,8 1,1 cm
- Betina 0,9 1,1 cm 1,0 1,3 cm

Umur cacing dewasa 3 5 tahun 1 tahun

Lokasi cacing dewasa Usus halus Usus halus

Masa prepaten 49 56 hari 53 hari


Jumlah telur / cacing 5000 10.000 10.000 25.000
betina/hari

Rute infeksi Perkutan Oral, perkutan

C. Daur hidup

Cacing dewasa hidup melekat pada mukosa usus halus. Cacing betina N.
americanus bertelur 9.000 butir, sedangkan A.duodenale 10.000 butir perhari. Telur-
telur tersebut keluar bersama dengan tinja penderita, setelah 1 1 hari telur menetas
mengeluarkan larva rhabditiform. Dalam waktu 3 - 5 hari larva rhabditiform tumbuh
menjadi Filariform (bentuk infektif) yang dapat menembus kulit (tanah yang baik untuk
pertumbuhan larva adalah tanah gembur tercampur humus dan terlindung dari sinar
matahari, suhu utk N. americanus 28 - 32 C, sedangkan A. duodenale 23 25 C). Cara
infeksi adalah larva filiriform menembus kulit masuk kapiler darah, mengikuti aliran
darah ke jantung kanan lalu ke paru. Setelah sampai diparu larva filariform Menembus
dinding alveolus masuk ke alveolus kemudian ke bronkiolus, bronkus, trakea sampai ke
faring.

Dari faring larva tertelan masuk ke esofagus, lambung, usus halus. Setelah
sampai di usus halus larva filariform berkembang menjadi cacingdewasa jantan dan
betina yang melekat pada mukosa usus halus.Waktu yang diperlukan mulai larva
filariform menembus kulit sampai menjadi dewasa di usus halus 10 -12 minggu.
Cacing dewasa dapat hidup selama 5 tahun. Seekor cacing N. americanus dapat
mengisap darah 0,05 0,1cc perhari, sedangkan A.duodenale mengisap darah 0,08
0,34 cc perhari.

D. Epidemiologi
Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah
pedesaan, khususnya di perkebunan. Pada umumnya prevalensi cacing tambang
berkisar 30 50 % di berbagai daeraah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi
ditemukan didaerah perkebunan.

E. Patologi dan gejala klinis

Walaupun memiliki sifat yang hampir sama, N.americanus dan A.duodenale


memberikan gejala yang berbeda.

1. Stadium larva
- Pada saat menembus kulit menimbulkan rasa gatal yang disebut Ground itch
- Pada paru-paru biasanya tanpa gejala, kadang-kadang menyebabkan pneumonistis
2. Cacing dewasa :
Gejalanya tergantung pada :
Jumlah cacing
Keadaan gizi penderita (Fe dan protein)
Species cacing
Infeksi akut yang ringan biasanya tanpa gejala
Infeksi menahun yang sedang/berat menyebabkan Anemia hipokrom
mikrositer dengan gejala pucat, lemah, lesu, letih.
Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan
berkurang dan prestasi kerja turun.

F. Diagnosis
Anamnesis tambahan yang dapat diajukan sesuai dengan kasus:
1. Apakah pernah merasakan gatal pada telapak kaki misalnya?
2. Bagaimana dengan kebiasaan anak memakai sendal di luar rumah
Diagnosis pasti Ditemukan :
telur dalam tinja segar
larva rhabditiform atau filariform dalam tinja lama

G. Pengobatan

Obat pilihan I Obat pilihan II


1) Mebendazol Albendazol
Dosis : 2 kali 100 mg selama 3 Dosis : dosis tunggal 400
hari mg
2) Pirantel pamoat
Dosis :
- A.duodenale: dosis tunggal 10
mg/kgBB
- N.americanus : sda, selama 3 hari

H. Prognosis
Pengobatan yang adekuat, umunya prognosis baik
Daftar Pustaka

Staf pengajar Departemen parasitologi, FKUI, jakarta. Buku ajar Parasitologi kedokteran,
FK-UI . 2008. Balai Penerbit FKUI : Jakarta

Departemen Farmakologi dan terapeutik, FKUI.Farmakologi dan Terapi, ed. 5 (cetak ulang
dan perbaikan). 2009. Balai Penerbit FKUI : Jakarta

Widoyono. Penyakit Tropis. 2006. Penerbit Erlangga: Jakarta

Arsad Rahim Ali. Prevalensi kecacingan Anak SD di Polewali Mandar Kembali tinggi.
Dikutip dari Laporan Epidemiologi dinkes Polewali Mandar 2009. arali2008.wordpress.com
Diakses : 15 juni 20113.

Rasmaliah. Askariasis sebagai penyakit cacing yang perlu diingat kembali. Epidemiologi
FKM-USU. repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 15 juni 2013

Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P (K),MARS ( Direktur jendral pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan (P2PL) kementrian kesehatan). Penyakit kecacingan Masih dianggap
sepele. www. depkes.go.id . Diakses tanggal 15 Juni 2013

USU repository open Acces: Hubungan Antara Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Dengan
Kejadian Askariasis Pada Anak SD Negeri 068426 Belawan.

Depkes RI, Ditjen PPM & PL direktorat P2B2 subdit Filariasis dan Scistosomiasis (2002),
Pedoman pengobatan massal penyakit kaki Gajah (Filariasis), Jakarta. (Dikutip dari
Filariasis, Haryono Setyowidodo, Prodi ilmu kedokteran tropik, UNAIR, program
pendidikan Magister, 2010).

Rencana Nasional, program akselerasi eliminasi filariasis di Indonesia, 2010 2014


www.pppl.depkes.go.id.

Anda mungkin juga menyukai