Disusun oleh:
Rahma Fibriana
201620401011097
Pembimbing:
dr. Yudianto, Sp. An
Referat dengan judul Resusitasi Jantung Paru Otak yang disusun oleh:
Nama : Rahma Fibriana
NIM : 201620401011097
Telah disetujui pada tanggal 31 Mei 2017
Mengetahui,
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan
rahmat-Nya yang telah dikaruniakan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas referat kasus dengan judul RJPO.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Yudianto, Sp. An, yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing sehingga referat ini dapat selesai
dengan baik.
Penulis menyadari bahwa referat ini memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan guna
menyempurnakan tugas referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
rekan dokter muda dan masyarakat.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada awal henti nafas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk
beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ
vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan resusitasi, ini sangat
bermanfaat pada korban (Olan SM, 2010).
2
2.3 Henti jantung
Henti jantung adalah keadaan terhentinya aliran darah dalam sistem
sirkulasi tubuh secara tiba-tiba akibat terganggunya efektifitas kontraksi jantung
saat sistolik (Mansjoer, 2009).
Berdasarkan etiologinya henti jantung disebabkan oleh penyakit jantung
(82,4%); penyebab internal nonjantung (8,6%) seperti akibat penyakit paru,
penyakit serebrovaskular, penyakit kanker, perdarahan saluran cerna
obstetrik/pediatrik, emboli paru, epilepsi, diabetes mellitus, penyakit ginjal; dan
penyebab eksternal nonjantung (9,0%) seperti akibat trauma, asfiksisa, overdosis
obat, upaya bunuh diri, sengatan listrik/petir (Mansjoer, 2009).
Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti napas.
Umumnya walaupun kegagalan pernapasan telah terjadi, denyut jantung dan
pembuluh darah masih dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit. Pada
henti jantung dilatasi pupil kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil mulai terjadi
45 detik setelah aliran darah ke otak berhenti dan dilatasi maksimal terjadi dalam
waktu 1 menit 45 detik. Bila telah terjadidilatasi pupil maksimal, hal ini
menandakan sudah 50% kerusakan otak irreversible (Alkatiri dkk, 2007).
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis,
femoralis, radialas), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan
berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi dengan
ranngsang cahaya dan pasien dalam keadaan tidak sadar (Latief dkk, 2009).
3
dilakukan dengan cepat dalam waktu kurang dari 4 menit pada suhu normal secara
baik dan terarah (Laties S.A, 2007).
Dalam fase 1 ini terdiri dari langkah yang di A (airway), B (breathing), C
(circulation).
- A (airway) : Menjaga jalan nafas tetap terbuka
- B (breathing) : Ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
- C (circulation) : Mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung paru
4
2.4.2. B (Breathing) Bantuan Nafas
Pasien dengan henti napas, tidurkan dalam posisi terlentang. Napas
buatan tanpa alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (the kiss of
life, mouth-to-mouth), mulut ke hidung(mouth-to-nose), mulut ke stoma
trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup muka (Latief S.A, 2007).
a. mulut ke mulut (mouth-to-mouth)
merupakan cara yang cepat dan efektif. Pada saat memberikan
penolong tarik nafas dan mulut penolong menutup seluruhnya
mulut pasien/korban dan hidung pasien/korban harus ditutup
dengan telunjuk dan ibu jari penolong. Volume udara yang
berlebihan dapat menyebabkan udara masuk ke lambung.
b. mulut ke hidung (mouth-to-nose)
direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak
memungkinkan, misalnya pasien/korban mengalami trismus
atau luka berat. Penolong sebaiknya menutup mulut
pasien/korban pada saat memberikan bantuan nafas.
c. Mulut ke stroma trakheostomi
Dilakukan pada pasien/korban yang terpasang trakheostomi
atau laringotomi.
5
2. memberikan bantuan sirkulasi
Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan
sirkulasi atau kompresi jantung luar dengan cara :
- Tiga jari penolong (telunjuk, tengah dan manis) menelusuri
tulang iga pasien/korban yang dekat dengan sisi penolong
sehingga bertemu tulang dada (sternum).
- Dari tulang dada (sternum) diukur 2-3 jari ke atas. Daerah
tersebut merupakan tempat untuk meletakkan tangan
penolong.
- Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara
menumpuk satu telapak tangan diatas telapak tangan yang
lain. Hindari jari-jari menyentuh di dinding dada
pasien/korban.
- Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada
pasien/korban dengan tenaga dari berat badannya secara
teratur sebanyak 30 kali dengan kedalaman penekanan 1,5-
2 inchi (3,8-5 cm).
- Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan
mengembang kembali ke posisi semula setiap kali
kompresi.Waktu penekanan dan melepaskan kompresi
harus sama (50 duty cycle)
- Tangan tidak boleh berubah posisi.
- Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30:2 baik oleh
satu penolong maupun dua penolng. Kecepatan kompresi
adalah 100 kali permenit. Dilakukan selama 4 siklus.
Tindakan kompresi yang benar akan menghasilkan
tekanan sistolik 60 80 mmHg dan diastolik yang sangat
rendah. Selang waktu mulai dari menemukan
pasien/korban sampai dilakukan tindakan bantuan sirkulasi
tidak lebih dari 30 detik (Peter, 2015).
6
2.4.4. D (Defibrilation) Terapi Listrik
Terapi dengan memberikan energi listrik dilakukan pada
pasien/korban yang penyebab henti jantung adalah gangguan
irama jantung. Penyebab utama adala ventrikel takikardi atau
ventrikel fibrilasi. Pada penggunaan orang awam tersedia alat
Automatic External Defibrilation (Latief S.A, 2007). Tahapan
defibrilasi:
Nyalakan AED
Ikuti petunjuk
Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok
(meminimalkan gangguan)
7
Panduan CPR dan ECC tahun 2015 AHA merekomendasikan kompresi
dada dilakukan 30 kali diikuti dengan 2 napas buatan dan kecepatan kompresi
dada yang disarankan adalah 100 hingga 120/min serta di rekomendasikan
kedalaman kompresi dada pada orang dewasa adalah minimum 2 inci (5 cm).
Penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di atas dada di antara kompresi untuk
mendukung rekoil penuh dinding dada pada pasien dewasa (American Heart
Association, 2015).
Setelah mengaktifkan bantuan tenaga kesehatan dan melakukan kompresi
dada, maka tindakan berikutnya yang harus dilakukan adalah dengan segera bisa
mendapatkan akses terhadap AED (Automatic External Defibrillator), sebuah alat
bantu kejut jantung yang dapat membantu ritme jantung kembali normal (Hazinki,
M. F., et al. 2010). Panduan CPR tahun 2015 meyarankan program Public Access
to Defibrilation (PAD) untuk pasien OHCA diterapkan di lokasi umum tempat
adanya kemungkinan pasien serangan jantung terlihat relatif tinggi (misal di
bandara, kasino, tempat olahraga) (American Heart Association, 2015).
Pada guidelines tahun 2015 terdapat perubahan untuk meningkatkan
kinerja tenaga medis berdasarkan survei dan penatalaksanaan yang lebih baik
mengenai resusitasi dan emergensi cardiovaskular care (ECC). Berikut ini adalah
uraian beberapa perbedaan antara Panduan AHA dari tahun 2005, 2010 dan 2015
(American Heart Association, 2015).
AHA 2015
Rekomendasi urutan untuk seorang penyelamat adalah : lakukan
kompresi dada sebelum memberikan nafas bantuan (C-A-B
daripada A-B-C). siklusnya sama yakni 30 kompresi dada dan 2
nafas bantuan. Satu-satunya pengecualian adalah hanya untuk bayi
baru lahir (neonatus), karena penyebab tersering pada bayi baru
lahir yang tidak sadarkan diri dan tidak bernafas adalah karena
masalah jalan nafas (asfiksia).
8
2. Tidak ada lagi Look, Listen, and Feel
AHA 2015
Look, listen, and feel untuk menilai pernapasan setelah membuka
jalan napas sudah tidak digunakan lagi. Jika mencoba menilai
korban bernapas atau tidak dengan mendekatkan pipi pada mulut
korban, diperbolehkan, namun tetap saja sang korban tidak
bernafas dan tindakan look listen and feel ini hanya akan
menghabiskan waktu.
3. Kompresi dada lebih dalam lagi
AHA 2015
Rekomendasi yang diberikan untuk kompresi dada pada orang
dewasa adalah minimal 2 inci (5 cm) tapi tidak lebih dari 2,4 inci (6
cm).
4. Kompresi dada lebih cepat lagi
AHA 2015
Kompresi dada yang direkomendasikan dengan frekuensi 100-
120x/menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi membutuhkan waktu
15-18 detik.
5. Hands only CPR
AHA 2015
Penyelamat awam sebaiknya melakukan bantuan (hanya kompresi
dada) dengan atau tanpa panduan operator (telepon). Penyelamat
harus terus melakukan bantuan (hanya kompresi dada) sampai
AED atau penyelamat profesional datang.
6. Rekoil dada
AHA 2015
Penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di atas dada diantara
kompresi untuk mendukung rekoil penuh dinding dada pada pasien
dewasa saat mengalami serangan jantung.
7. Tidak dianjurkan lagi Cricoid Pressure
Cricoid pressure merupakan suatu metode penekanan tulang rawan krikoid
yang dilakukan pada korban dengan tingkat kesadaran sangat rendah, hal ini
9
pada pedoman AHA 2005 diyakini dapat mencegah terjadinya aspirasi dan
hanya boleh dilakukan bila terdapat penolong ketiga yang tidak terlibat dalam
pemberian nafas buatan ataupun kompresi dada.
AHA 2015
Tindakan Cricoid Pressure secara rutin tidak direkomendasikan
karena dapat menghambat atau mencegah pemasangan jalan nafas
yang lebih adekuat dan ternyata aspirasi tetap dapat terjadi
walaupun sudah dilakukan cricoid pressure.
8. Ventilasi saat CPR berlangsung dengan saluran udara lanjutan
AHA 2015
Penyedia layanan medis mungkin perlu memberikan 1 napas
buatan tiap 6 detik (10 napas buatan/menit) sambil tetap melakukan
kompresi dada berkelanjutan (misalnya saat CPR berlangsung
dengan saluran udara lanjutan).
10
Gambar 2.1 Algoritma Bantuan Hidup Dasar Berdasarkan AHA 2015
11
Gambar 2.2 Algoritma Bantuan Hidup Dasar Berdasarkan ERC 2015
12
Melanjutkan kompresi dada dengan penggunaan defibrilator dapat
meminimalisir pre-shock pause.
Peningkatan tekanan dalam penggunaan capnography untuk
meneruskan monitoring tracheal tube replacement, kualitas CPR dan
penanganan dini diindikasikan untuk return of spontaneous circulation
(ROSC)
Terdapat berbagai cara untuk manajemen jalan napas selama CPR dan
pendekatan bertahap berdasarkan faktor-faktor pasien dan
keterampilan penyelamat dianjurkan.
Rekomendasi pemberian obat selama CPR tidak berubah
Penggunaan rutin alat kompresi dada mekanik tidak dianjurkan, tetapi
dapat menjadi alternatif pada keadaan dimana kompresi dada secara
manual tidak dapat dilakukan.
Lebih baik mempergunakan USG dan Oksimetri untuk
penatalaksanaan ALS
Ketika terjadi VT/VF, adrenalin 1 mg diberikan setelah perlakuan
ketiga chest compression yang kemudian diulang setiap 3-5 menit
(selama durasi CRP berlangsung). Amiodaron 300mg juga dapat
diberikan pada shock ketiga.
Pemberian obat-obatan dan cairan melalui infusa intra vena. Obat-obatan yang
direkomendasikan antara lain:
Adrenalin (epinefrin), merupakan obat utama dalam resusitasi henti
jantung. Pemberian 1 mg adrenalin harus dilakukan tiap 3 menit
selama henti jantung. Pemberian adrenalin meningkatkan aliran darah
ke otak dan miokard dengan cara meningkatkan resistensi pembuluh
darah perifer dan meningkatkan tekanan darah diastolik. Diberikan 0,5
1 mg IV ulangi dengan dosis lebih besar bila perlu natrium
bikarbonat 1mEq/kg IV, jika henti jantung lebih dari 2 menit. Ulangi
dosis ini setiap 10 menit sampai timbul denyut nadi. Monitor dan
normalkan pH arteri. Berikan cairan IV menurut indikasi.
13
Amiodarone, merupakan membrane-stabilising anti-arrhythmic drug
yang dapat meningkatkan potensial aksi dan periode refractory
myrocardium pada atrium dan ventrikel. Rutin diberikan selama henti
jantung dan merupakan obat pilihan kedua setelah henti jantung
takiaritmia. Diberikan secara perlahan, dosis awal 300 mg, 1 jam
berikutnya dengan infus 900 mg dalam 1000 ml dekstrose 5% selama
24 jam.
Lidokain, digunakan pada persisten fibrilasi ventrikel atau antiaritmia.
Dosis yang diberikan 1-2 mg/kgBB, dosis maksimal 3 mg/kgBB secara
iv. Bila terjadi ventrikel fibrilasi atau ventrikel takikardi, berikan
lidocain 100 mg dengan iv secara perlahan-lahan dan diikuti infus
lidokain 1-4 mg/menit. Lidokain sendiri tidak dapat mengkonversi
fibrilasi ventrikel menjadi ritme yang normal, akan tetapi mampu
mengkonversi ventrikel takikardi. Efek samping dari Lidokain dapat
menyebabkan depresi miokard seperti yang timbul pada syok
kardiogenik. Dosis harus diturunkan pada pasien dengan gagal jantung
kanan karena terjadi penurunan klirens lidokain serta penumpukan
lidokain yang dapat mengakibatkan intoksikasi.
Magnesium, merupakan hal penting dalam stabilitas sel miokard.
Penggunaan magnesium pada henti jantung belum dapat dibuktikan
namun berguna ketika terjadi hipokalemia sebagai penyebab henti
jantung. Dapat diberikan 10 ml 50% MgSO4 pada kasus-kasus ini.
Sodium bikarbonat, pada henti jantung yang berkepanjangan dapat
terjadi asidosis. Penggunaan natrium bikarbonat sebagai buffer masih
merupakan suatu yang kontraversial, berhubungan dengan
hiperosmolalitas dan produksi karbon dioksida dan dapat
memperburuk asidosis intraseluler. Namun dengan demikian
penggunaan natrium bikarbonat masih direkomendasikan (50 ml
larutan 8,4%) 15 menit sejak terjadinya henti jantung atau pH kurang
dari 7,1 atau defisit basa lebih negatif dari -10.
Norepinephrin (Levophed, Noradrenalin), merupakan stimulan
reseptor alfa dan vassopressor yang paling poten dan juga bekerja pada
14
angiotensin II. Dalam RJPO, norepinephrin diberikan dalam dosis yang
sama dengan epinephrin serta berguna untuk mempertahankan
sirkulasi spontan. Pada kardiogenik syok penggunaan iv infusion
norepinephrin disertai epinephrin atau isoproterenol atau dobutamin
sangat bermanfaat untuk mengontrol normotensi, heart rate dan cardiac
output. Bila norepinephrin diberikan sebagai vasokonstriktor namun
dalam jumlah yang besar, akan mempengaruhi sirkulasi pembuluh
darah ginjal dan mesenterika sehingga menimbulkan asidosis
metabolik. Pemberian norepinephrin dalam waktu yang lama
merupakan kontraindikasi bagi hipovolemik. Pada keadaan penurunan
resistensi perifer dan hipotensi, norepinephrin diberikan secara iv
dengan dosis 8 mg dalam 500 cc dekstrose 5% atau dalam NaCl 0,9%,
dapat dimulai dari 3 mcg/70kg/mnt. Karena efek norepinephrin sangat
poten maka harus dilakukan monitoring ketat terhadap tekanan arteri.
Dopamin, merupakan amin simpatomimetik yang menjadi prekursor
dari epinephrin dan norepinephrin. Bekerja tergantung dosis, bila
dosisnya rendah, akan bekerja sebagai inotropik jantung atau beta
reseptor stimulan. Bila dosis tinggi ia akan bekerja sebagai
vasokonstriktor atau alfa reseptor stimulan. Responnya bersifat
individual tergantung pada dosis dan cepatnya pemberian. Potensi
vasopresornya kurang dibandingkan norepinephrin. Pemberian
dopamin dalam meningkatkan tekanan perfusi pada kardiogenik atau
septik syok diberikan secara infus dengan dosis 2-20 mcg/kgBB/mnt.
Pemberian ditingkatkan sampai ada respon dari tekanan arteri dan
diuresis yang cukup. Pada kasus RJPO dopamin dipilih sebagai
vasopresor utama setelah epinephrin tidak berpengaruh pada pasien.
Efek samping dari dopamin yaitu takikardi, meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard dan rekurensi ventrikuler takikardi. Dopamin
hidroklorida diberikan secara iv dengan dosis 400 mcg dopamin dalam
500 ml Dekstrose 5% atau dalam NaCl 0,9% (800 mcg/ml).
Dobutamin, merupakan derivat sintetik dari isoproterenol yang bekerja
terutama sebagai stimulan beta reseptor, di mana sangat bermanfaat
15
pada terapi gagal jantung. Dobutamin memiliki keuntungan lebih
dibandingkan dengan isoproterenol, epinephrin dan dopamin dalam
meningkatkan kontraksi jantung pada pasien post bypass pembuluh
kardiopulmonal dan mempertahankan sirkuasi setelah RJPO. Pada
kardiogenik syok yang refrakter, dobutamin hidroklorida diberikan
secara iv dengan dosis 2,5-10 mcg/kgBB/mnt (maksimun 20
mcg/kgBB/mnt).
Isoproterenol (Isuprel, isoprenaline), merupakan simpatomimetik
sintetik amin yang bekerja pada stimulan beta reseptor (inotropik dan
vasodilator) dan inotropik yang poten sehingga meningkatkan cardiac
output serta meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Pada pasien
dengan infark miokard hendaknya tidak digunakan isoproterenol,
karena akan semakin meningkatkan kebutuhan oksigen miokard.
Isoproterenol juga merupakan kontraindikasi pada pasien takidisritmia.
Pada penggunaan untuk bradikardi, diberikan dosis 1 mg dalam 500 ml
(2 mcg/ml) secara iv dengan kecepatan 0,02-0,2 mcg/kgBB/mnt. Infus
ini mempertahankan heart rate 60 x/mnt. Pada pasien dengan status
asmatikus isoproterenol diberikan karena efek kerjanya pada beta
reseptor sebagai bronkodilator.
Nitroprussid, bekerja secara langsung mendilatasi arteri dan vena.
Walaupun nitroprussid tidak mempunyai peran untuk memperbaiki
cardiac arrest dan kompresi jantung, namun dapat berperan untuk
menurunkan resistensi perifer vasskuler dan sebagai venodilator dalam
meningkatkan cardiac output dan maintenance dari krisis hipertensi.
Dosis yang diberikan adalah 0,5 10 mcg/kg BB/menit dengan dosis
rata-rata kurang dari 3mcg/kg BB/menit. Cairannya harus ditutupi
dengan aluminium foil karena dapat berubah oleh rangsangan cahaya.
Nitrogliserin, merupakan vasodilator klasik yang berguna untuk
memperbaiki angina pektoris, dan saat ini digunakan juga untuk
menurunkan preload dan afterload dari vena perifer, mendilatasi arteri
sebagai alternatif dari nitroprussid. Dosis diberikan secara iv, 50
mg/250 mL. Untuk memperbaiki angina pektoris diberikan 0,3 0,4
16
mg sublingual, diulang 3 kali dengan interval 5 menit. Onsetnya akan
tercapai dalam waktu 5 menit dan akan menurun dalam waktu 30
menit.
Bretylium tosylate, menghasilkan kestabilan durasi potensial aksi pada
miokardium. Hal ini meningkatkan tahanan pada ventrikular fibrilasi
dan menurunkan ambang defibrilasi. Namun demikian obat ini
menyebabkan hipotensi paska resusitasi.
Pada guidelines of Cardiopulmonary Resuscitation 2010,
digunakan perpaduan vasopresin dan epinefrin selama terjadinya cardiac
arrest, pada guideliness terbaru tahun 2015, perpaduan penggunaan
pemberian vasopresin 40 unit IV/secara interosseus dan epinefrin tidak
disarankan, hal ini dkarenakan pemberian 2 macam obat tersebut selama
terjadinya serangan jantung tidak memberikan manfaat yang berbeda
dengan hanya memberikan epipnefrin saja (American Heart Association,
2015).
2.6 Electrocardiography
EKG, yaitu monitor denyut jantung. Teknik monitoring EKG selama
RJPO:
1. Mempertahankan airway dengan menjaga ventilasi dan lakukan kompresi
dada luar.
2. Pasang elektroda pada dada pasien untuk mengetahui dengan cepat
diagnosis EKG. Bila terdapat ventrikular tekikardi atau ventrikular
fibrilasi, berikan shock terapi (hentikan kompresi dada luar untuk
sementara untuk mendapatkan gambaran EKG yang optimal).
3. Segera pasang elektroda pada ekstremitas. Lead II pada tangan kanan (-),
kaki kiri (+), tangan kiri sebagai ground. Polaritas dibutuhkan untuk
diagnosis tepat dari EKG, namun tidak diperlukan untuk mengetahui
adanya ventrikular fibrilasi atau defibrilasi.
17
3. Bernafas spontan dan adekuat
4. Teraba denyut pembuluh nadi pada pembuluh nadi pergelangan
(a.Radialis) maupun arteri leher (a.Carotis communis) dan pagkal paha
(a.Femoralis)
5. Pupil tetap kecil dan refleks terhadap cahaya positif
18
BAB 3
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
Alkatiri, J., Bakri Syakir. 2010. Resusitasi Jantung Paru. Dalam: Sudoyo, Aru S.,
dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid I. Jakarta: Pusat
Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
American Heart Association, 2015, Guidelines Update for CPR and ECC volume
132 No.18, viewed 27 Mei 2017, https://www.iecscyl.com/textos/Guidelines-
RCP-AHA-2015-Full.pdf
British Heart Foundation, 2008. Cardiac Arrest. Viewed 27 Mei 2017,
http://www.nwas.nhs.uk/media/229797/BHF%20Cardiac%20Arrest.pdf
British Heart Foundation, 2015. Consensus Paper on Out-of-Hospital Cardiac
Arrest in England. Viewed 27 Mei 2017,
https://www.bhf.org.uk/~/media/files/publications/ohca-consensus-paper.pdf
Harsoor S.S, 2010, Cardiopulmonary Resuscitation, Indian Journal of Anasthesia,
viewed 27 Mei 2017,http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2900761
20