Ilma Fadilla
Ira Purnamasari
Rikhanatul Firdausi P.
Zeni Ulma
Apabila toxicant berupa asam organik atau basa, maka keduanya dapat terabsorbsi
secara difusi sederhana (simple diffusion) di bagian gastrointestinal tract / GI tract (saluran
pencernaan) dalam bentuk tidak terionisasi (lipid soluble). Getah lambung yang bersifat asam
dan usus yang bersifat netral, menyebabkan kelarutan asam organik lemah / basa terhadap
lipid dapat berbeda dalam sistem pencernaan. Di dalam perut (lambung) asam organik lemah
berbentuk tak terionisasi (lipid soluble) sedangkan di dalam usus, asam lemah ini berwujud
terionisasi. Hal ini menyebabkan asam organik lemah lebih mudah diserap ke dalam perut
(lambung) daripada dalam usus. Sebaliknya, basa organik (kecuali basa organik yang sangat
lemah) kemungkinan akan terionisasi dan tidak larut dalam lemak di perut, tetapi lebih
cenderung terionisasi dalam usus. Hal ini mengindikasikan bahwa penyerapan senyawa
tersebut lebih cenderung terjadi di dalam usus daripada di dalam perut (lambung). Misalnya,
1% asam benzoat tertelan dan berwujud lipid soluble dalam usus. Maka kapasitas penyerapan
di dalam usus sangat kecil untuk menyeram asam benzoat tersebut. Akan tetapi penyerapan
dengan difusi sederhana juga sebanding dengan luas permukaan. Usus kecil memiliki
permukaan yang sangat besar karena vili dan mikrovili meningkatkan luas permukaan sekitar
600 kali lipat, sehingga kapasitas usus untuk penyerapan asam benzoat cukup besar.
Pertimbangan serupa berlaku untuk penyerapan semua asam lemah dalam usus.
Selain itu, ukuran partikel juga merupakan faktor yang menentukan cepat atau
lambatnya penyerapan. Ukuran partikel berbanding terbalik dengan penyerapan sehingga
penyerapan akan meningkat dengan diameter partikel yang semakin kecil. Sebagai contohnya
logam merkuri relatif tidak beracun ketika tertelan sedangkan serbuk arsenik lebih beracun
ketika tertelan dalam bentuk granular kasarnya.
Toksikan yang diadsorbsi oleh paru-paru berupa gas (missal karbon monoksida,
nitrogen dioksida,dan sulfur dioksida), uap dari larutan yang mudah menguap (misal, benzene
dan karbon tetraklorida) dan aerosol. Absorbsi gas dan uap memiliki prinsip yang sama, yang
mana wujudnya yang sama-sama gas.
Penyerapan gas yang dihirup terutama terjadi di paru-paru. Sebelum gas mencapai ke
paru-paru, gas masuk ke hidung, kemudian turbinat, yang akan meningkatkan daerah
permukaan. Hidung memiliki peran seperti scrubber untuk gas yang larut dalam air, atau
gas yang sangat reaktif.. Pada hidung terdapat mukosa yang ditutupi oleh lapisan film yang
berwujud cairan, sehingga molekul gas dapat tertahan di hidung dan tidak mencapai paru-
paru jika gas tersebut sangat larut dalam air atau bereaksi dengan komponen yang berada di
permukaan sel. Hidung melindungi paru-paru dari komponen yang merpotensi merugikan
bagi paru-paru.
Ketika gas yang dihirup masuk ke dalam paru-paru, molekul gas berdifusi dari ruang
alveolar ke dalam darah dan kemudian larut. Kecuali untuk beberapa gas dengan afinitas
khusus untuk komponen tubuh tertentu (Misalnya, pengikatan karbon monoksida dengan
hemoglobin), serapan dari gas oleh jaringan biasanya melibatkan proses fisik yang sederhana.
Kesimpulannya, partisi molekul gas antara dua media: udara dan darah selama fase serap dan
darah dan jaringan lain selama fase distributif. Sebagai kontak dari gas terinspirasi dengan
darah terus di alveoli, molekul yang lebih larut dalam darah sampai molekul gas dalam darah
berada dalam kesetimbangan dengan molekul gas dalam ruang alveolar. Pada kesetimbangan,
rasio konsentrasi kimia dalam darah dan kimia dalam fase gas adalah konstan. Rasio
kelarutan ini disebut dengan blood-to-gas partition coefficient.
Partikel 5 atau lebih besar biasanya disimpan di daerah nasofaring (Gambar. 5-4).
Deposit partikel tersebut disimpan pada anterior unciliated. Disana, partikel mengendap di
bagian hidung cenderung tetap di tempat mengendap sampai endapan tersebut dihilangkan
dari hidung, dihembuskan, atau bersin. Partikel-partikel ini terhirup melewati mulut yang
masuk dalam beberapa waktu. Partikel yang larut dapat dihilangkan dalam lendir yang
terdapat di hidung dan dibawa menuju kerongkongan atau dapat diserap melalui epitel hidung
kemudian ke darah.
Partikel 1 dengan ukuran yang lebih kecil dapat menembus ke kantung alveolar pada
paru-paru. Nanopartikel berukuran kurang dari 0,1 (100 nm), partikel dengan ukuran sekitar
10-20 nm memiliki kemungkinan terbesar terdeposisi di bagian alveolar. Partikel-partikel
yang sangat kecil dapat terabsorbsi ke dalam darah atau dibersihkan melalui limfatik.
Nanopartikel memiliki kecenderungan memberikan jumlah partikulat yang tinggi ke paru-
paru.
Secara umum penghapusan partikel dari alveoli relatif tidak efisien tergantung pada
kelarutan senyawa pada cairan di paru-paru. Semakin rendah kelarutannya, semakin rendah tingkat
penghapusan. Dengan demikian, penghapusan partikel yang masuk ke alveoli sebagian besar
disebabkan disolusi dan vascular transport. Beberapa partikel mungkin bertahan di alveoli dalam
waktu yang lama atau tak terbatas.
Kulit merupakan organ tubuh terbesar yang merupakan penghalang yang baik untuk
melindungi organisme dari lingkunganya. Mekanisme absorpsi bahan toksik pada kulit adalah
sebagai berikut:
2. Temperatur
3. Pelarut pembawa
Setelah toksikan terabsorbsi pada kulit, maka ada lapisan-lapisan dalam kulit yang
menghalangi bahan toksik masuk lebih dalam. Lapisan-lapisan tersebut berada di jaringan
kulit, dimana terdiri dari 2 lapisan yaitu epidermis sebagai lapisan paling luar, dan dermis
sebagai lapisan kedua.
Fase pertama absorpsi adalah difusi toksikan melewati lapisan epidermis yang
merupakan barrier pertama. Pada lapisan epidermis terdapat beberap lapisan, diantaranya
yang utama adalah stratum korneum. Stratum korneum terdiri atas beberapa lapis sel mati
yang tipis dan rapat, yang berisi bahan protein filamen yang bersifat resisten secara kimia.
Bahan toksik yang bersifat polar dapat berdifusi lewat permukaan luar filamen protein
stratum korneum yang terhidrasi. Sedangkan bahan toksik yang bersifat non-polar melarut
dan berdifusi lewat matriks lipid di antara filamen protein. Stratum korneum manusia
berbeda struktur dan sifat kimianya dari satu bagian tubuh ke bagian lainnya, hal ini
tercermin dari perbedaan permeabilitasnya terhadap zat-zat kimia.
Fase kedua absorpsi adalah difusi toksikan melewati lapisan dermis yang
mengandung medium difusi yang berpori, non-selektif, dan cair. Oleh karena itu, sebagai
second barrier, dermis jauh kurang efektif dibandingkan stratum korneum. Akibatnya, abrasi
atau hilangnya stratum korneum menyebabkan sangat meningkatnya absorpsi bahan-bahan
toksik yang terabsoprsi kedalam kulit. Zat-zat asam, basa, dan gas juga akan menambah
aborpsi dengan merusak jaringan ini. Beberapa pelarut terutama dimetil sulfoksida, juga
meningkatkan permeabilitas kulit.
Bahan kimia atau bahan toksik yang lolos dari lapisan epidermis dan dermis maka
selanjutnya zat kimia/bahan toksik akan memasuki sistem peredaran darah. Bahan toksik
akan didistribusi dengan cepat ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah. Laju
distribusi ke setiap organ tubuh berhubungan dengan aliran darah di organ tersebut, mudah
tidaknya zat kimia itu melewati dinding kapiler dan membran sel, serta afinitas komponen
organ tubuh terhadap zat kimia tersebut.
Salah satu kasus yang umum terjadi adalah di bidang pertanian dimana kulit petani sering
terpapar oleh bahan insektisida. Bahan insektisida terabsorpsi ke dalam kulit dan dapat
meningkatkan resiko pertumbuhan tumor apabila paparan terjadi secara sistemik.